Muted Hues of Gray Overhead.
Scarlett Corbyn, seorang gadis muda berusia sekitar 26 tahun, berambut pirang panjang terurai - dengan mata hijau - bergegas mencari sebuah gedung di Carnaby Street, London. Ia diberi kartu nama dari seorang pria bernama Dayton Hughes bulan lalu di trauma center.
Pagi itu kota London baru saja selesai disiram hujan gerimis. Ketika Scarlet menengadah ke atas, ia hanya bisa melihat jalinan berbagai tingkat warna abu-abu di angkasa.
Scarlett melangkahkan kakinya di Carnaby Street yang tidak bisa dilalui kendaraan bermotor. Waktu menunjukkan pukul 08:32 - jalan masih sepi karena biasanya toko-toko buka pada jam 10:00 pagi. Hanya suara percikan air tergenang yang merobek kesunyian di jalan itu.
“Brr..” Scarlett merasakan dingin yang dikirim dari langit melalui sisa-sisa embun yang berjatuhan. Ia merendahkan beanie hat kuning muda-nya untuk menutupi kedua telinganya. “Jika udaranya sedingin ini, lebih baik aku tadi pakai parka saja.” kata Scarlett dalam hati, lalu merapatkan mitten-nya.
Scarlett merapatkan resleting puffer jacket kuningnya lebih ke atas, dan membalut rapat scarf berwarna jingga untuk melindungi lehernya.
Carnaby Street merupakan sebuah jalan yang menjadi pusat mode dan budaya di London pada tahun 1960-an. Jalan ini memiliki banyak toko-toko, kafe, dan bar yang menawarkan berbagai gaya dan tren fashion, musik, dan seni.
Suasana di jalan itu nampak begitu mewah untuk Scarlett, hingga ia tak henti menengok ke kiri dan kanan. Sepertinya terlalu janggal jika ada kantor relawan nirlaba di tempat seperti ini. Tapi Scarlett tidak terlalu memikirkannya, ia hanya bersemangat ingin memulai perjalanan baru di bawah langit abu-abu. 10 Desember 2019 adalah hari pertamanya bekerja.
Scarlett menemukan dirinya sadar di sebuah trauma center - tanpa ingatan sama sekali, di awal November 2019. Ia kaget karena tidak bisa mengingat apa-apa. Awalnya ia nyaris mengalami gejala stress karena terlalu memaksa otaknya mengingat banyak hal yang tidak bisa diingatnya.
Namun berkat evaluasi medis, perawatan di trauma center yang intensif, dan penanganan cedera traumatis, akhirnya pemulihan dan rehabilitasi Scarlett dinyatakan berbuah hasil yang baik dua minggu lalu.
Jadi apa pun itu, di hari ini, semua akan menjadi suasana baru. Yang paling penting adalah selamat tinggal suasana trauma center.
“Ah, ini dia tempatnya!” seru Scarlett dalam hati. Ia menemukan sebuah bangunan tua, sepertinya bekas toko atau restoran dengan gaya era perang dingin yang sudah berubah fungsi menjadi kantor relawan untuk kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan, Women for Equality and Empowerment (WEE). Tampak ada logo WEE dengan tulisan “WEE CARE”.
“Ding… dong….” Scarlett menekan bel di depan pintu masuk kantor WEE. Dari luar tercium wangi roti, Scarlett menebak-nebak apakah kantor ini bekas toko roti.
Tidak ada jawaban langsung dari dalam. Hanya terdengar dua orang pria Italia sedang berbicara keras di teras sebuah cafe seberang kantor WEE.
Scarlett melihat menu sarapan kedua orang itu masih mengepul asap. Dari aroma karamel bawang, keju, dan croutons - Scarlett menebak sepertinya mereka memesan sup bawang.
Sungguh tidak biasa, di cuaca sekitar 2ºC ini mereka bisa sarapan di depan teras, dan lebih aneh lagi Onion Soup tidak biasanya dihidangkan di pagi hari di London. Sup Perancis itu lebih lazim dinikmati saat makan siang atau makan malam.
Scarlett jadi berusaha mengingat apakah Onion Soup lazim disajikan di pagi hari atau tidak. Jangan-jangan ia yang salah mengingat. Ia mulai menyiksa ingatannya kembali - ada dua orang Italia, dengan sup Perancis yang jarang terlihat sebagai menu sarapan pagi di London, dan mereka duduk di teras di cuaca yang hampir menyentuh 0ºC. “Ah, sudah lah..” kata Scarlett dalam hati. Ia menyerah tidak mau memaksa otaknya.
Scarlett hendak menekan bel kembali, tapi ia mengurungkan niatnya ketika terdengar samar-samar dari dalam dan ada langkah yang tergesa-gesa menuju pintu masuk.
Pintu dibuka dari dalam.
“Hai… Selamat pagi!” sapa manis seorang wanita muda berkulit kecoklatan berumur sekitar 25-an dengan rambut bergaya Fulani Braids. Sekilas ia nampak seperti warga Inggris keturunan Afrika, tapi jika melihat wajah dan kulitnya yang tidak terlalu gelap, sepertinya ia juga keturunan campuran Eropa.
Ia menggunakan hoodie berwarna merah muda dan celana oversized hitam. Ia juga memilih sepatu tiga warna yaitu ungu, biru dan pale pink. Sepertinya gadis ini penggemar fashion, atau menikmati harmonisasi warna.
“Selamat pagi!” jawab Scarlett, “Aku Scarlett Corbyn, aku mendapatkan informasi…”
“Oh ya!! Scarlett!” potong gadis itu “Kau tepat waktu! Oh, tidak.. Maksudku…. sebenarnya kau datang terlalu pagi, tapi bagaimana ya? Intinya kau datang di waktu yang tepat! Ada hal yang mendesak! Ayo masuk, masuk.. udara di luar dingin!”
“Ann! Ann! Teman baru kita sudah tiba! Segeralah bersiap!” teriak gadis itu ke dalam memanggil temannya yang lain.
“Er.. Scarlett, seperti yang kita bicarakan sebelumnya, sebenarnya kita mulai bekerja jam 10 pagi, tapi hari ini ada kasus mendesak! Untung kau datang lebih pagi. Ada Stress Call!”
“Oh begitu ya?” jawab Scarlett, “Aku berangkat lebih pagi karena takut salah alamat..”
Scarlett membersihkan sepatunya di keset dan masuk ke dalam, lalu segera menutup pintu. Gadis fulani braids itu pun menuju ruang dalam.
“Oh iya..” tiba-tiba gadis itu membalikkan badannya.
“Sorry lupa.. hai, aku Charlotte..” gadis itu menyapa dan menjabat tangan Scarlett terburu-buru sambil tersenyum.
“Aku Charlotte Alison. Panggil aku Char atau Charlotte, jangan miss Alison ya! Tidak perlu memulai pagi yang dingin ini dengan formalitas yang tidak perlu, oke?”
“Hai, Charlotte!” Scarlett membalas sapaan Charlotte, "Senang berkenalan denganmu,"
“Er.. tunggu sebentar ya!”
Scarlett mengangguk tanpa menjawab dengan kata-kata.
“Ann!! Ayo cepat!” teriak Charlotte ke arah ruangan dalam.
“Iya, iya!” jawab seorang gadis yang dipanggil Ann dari dalam, “Sebentar, aku akan ke situ! Tunggu!”
“Oke, Scarlett..” Charlotte mengatupkan kedua belah tangannya didepan dada sambil mengusap-usapkan kedua telapak tangannya supaya hangat, “Bagaimana kalau kau bantu dirimu sendiri untuk mengambil bekal sarnie untuk sarapanmu sendiri, dan juga ada kopi atau teh yang bisa kau nikmati. Pastikan kau mengambilnya ya, karena kegiatan kita adalah relawan dari kantor nirlaba, bisa jadi gaji kita bulan ini hanya dalam bentuk sarnie dan kopi.”
“Ah!” Scarlett kaget “Benarkah kita hanya digaji dengan sandwich dan kopi? Aku harus membayar biaya sewa tempat tinggal dan transportasi setiap bulan, aku kira..”
“CANDA!!! BERCANDAAAA!!!” Charlotte tertawa kecil dengan manis memperlihatkan deretan giginya yang bersih dan rapi sambil kedua tangannya mengarah ke tumpukan roti lapis di atas sebuah piring di sudut ruangan. Sarnie adalah bahasa slang di Inggris untuk kata sandwich atau roti lapis.
Scarlett agak canggung mendengar gurauan Charlotte yang kurang lucu, tapi ia membalasnya lagi dengan senyuman, lalu melepaskan mitten-nya.
“Eh, baiklah.. Akan aku ambil ya.. Terima kasih..” kata Scarlett.
Scarlett merasa Charlotte yang berbicara seperti rapper berlomba dengan laju kereta Eurostar. Tapi karena logatnya seperti penyiar berita BBC, secepat apa pun ia berbicara akan lebih mudah dimengerti.
“Sama-sama…” jawab Charlotte dengan manis lalu beranjak ke dalam meninggalkan Scarlett. Tapi beberapa detik kemudian ia berhenti dan menoleh kembali ke arah Scarlett, “Oh! Kau membawa tumbler sendiri kan? Untuk isi kopi? Atau teh? Eh, gak ada teh.. Cuma kopi deng..”
Scarlett membuka ransel merahnya dan ia mengambil tumbler berwarna pink dan memperlihatkannya kepada Charlotte.
“Oh manis sekali!” jawab Charlotte, “Warnanya cocok dengan hoodie-ku! Eh, maaf ya.. Kami tidak menyediakan gelas kertas lagi karena kita juga sudah harus mengurangi dan memilah sampah, tapi nampaknya kau sudah mengerti mengenai hal ini!”
Scarlett mengangguk setuju.
“Zero waste!” bisik Charlotte, “Hmm… permisi sebentar, aku harus ke dalam untuk menjemput tuan puteri kita yang tidak keluar-keluar dari tadi. Pastikan bekalmu penuh, dan tumbler-mu terisi, Scarlett!”
Kampanye zero waste sangat umum dikenal oleh generasi millennials dan generasi Z di seluruh Britania Raya sejak millenium ketiga atau tahun 2000.
Di tahun 2019 ini, giliran generasi Alpha yang meneruskan gaya hidup ramah lingkungan ini melalui pendidikan dini di sekolah. Limbah sampah luar biasa di Eropa sebelumnya tidak diperhatikan, ternyata bisa mengancam ketersediaan air bersih di tahun 2050 nanti.
Kampanye ini adalah filosofi sekaligus gaya hidup minim sampah seperti Refuse, Reduce, Reuse, Recycle dan Rot dengan salah satu cara yang sederhana adalah membawa tempat minum sendiri ke mana-mana supaya bisa mengurangi sampah gelas sekali pakai.
“Ann!” Charlotte kembali menggerutu dan masuk ke dalam.
Scarlett mengambil sepotong roti lapis dan memasukkannya ke tempat bekalnya sendiri. “Aroma roti ini rupanya yang tercium dari luar tadi,” kata Scarlett dalam hati.
Ia membuka tumbler-nya dan menuang kopi yang sangat wangi itu. Scarlett menebak kopi tersebut adalah hasil pemanggangan biji kopi Arabika Ethiopia.
Dari dalam terdengar dua orang berbicara, dan rupanya pembicaraannya masih akan menyita waktu lebih lama lagi.
Roti lapis yang disajikan ternyata potongan Jambon Beurre. Roti lapis khas Perancis yang terdiri dari baguette yang diberi isi irisan daging tipis dan mentega. Sandwich ini memiliki rasa yang sederhana namun nikmat, dan memiliki tekstur yang renyah sekaligus lembut. Biasanya disajikan dalam potongan baguette panjang, tapi ini lebih mudah dinikmati karena sudah dipotong-potong dengan ukuran lebih kecil.
Scarlett merasa senang melihat roti lapis yang berbeda. Beberapa minggu ia hanya makan grilled cheese sandwich, roti lapis yang disediakan trauma center tempat ia dirawat dulu.
Setelah memasukkan satu potong Jambon Beurre ke tempat bekal, ia mengambil satu potong lagi untuk langsung dimakan.
“Oh!” seru Scarlett dalam hati, “ENAK SEKALI!!”
Entah apakah roti lapis ini memang sangat enak, atau karena gratis - Scarlett Corbyn sudah tidak bisa membedakannya.
Tidak lama kemudian, suara dua orang saling berargumen tadi makin jelas dan kemudian muncul di depan Scarlett yang sudah menunggu.
“Maaf membuatmu menunggu, Scarlett..” kata Charlotte Alison datang bersama seorang gadis tinggi ke ruang depan, “Ini Ann, Ann Loughty.. dan Ann, ini Scarlett… eh maaf, nama belakangmu siapa ya, aku lupa..”
“Corbyn..” jawab Scarlett, “Scarlett Corbyn..”
“Hai Scarlett!” seorang gadis yang tingginya mungkin hampir 180 cm, kurang lebih berumur sama dengan Charlotte, berkulit putih pucat, pipi bersemu merah seperti ilustrasi buku dongeng, dengan rambut coklat kemerahan diikat dua - menyapa Scarlett.
Akhirnya ada juga orang yang tingginya hampir menyaingi Dayton Hughes - pria yang ia kenal di trauma center.
Dayton memiliki tinggi ideal sebagai atlet bola basket. Kemungkinan tinggi badannya sekitar 185 cm. Sayangnya Dayton tidak menyukai olahraga bola basket, namun ia pun tidak menjadi goalkeeper untuk meneruskan generasi kiper tinggi seperti Jordan Pickford.
“Senang berkenalan denganmu, Scar.. Kamu kuning-kuning biru seperti minion!” tambah Ann sambil pandangannya sibuk ke arah Jambon Beurre. Rupanya ia tergiur juga ketika melihat Scarlett menikmati roti lapis tersebut. Sementara itu Scarlett baru sadar bahwa ia memakai beanie hat kuning muda, jaket kuning, dan celana denim biru. Pantas saja ia disebut minion.
Ann Loughty berbicara dengan logat Skotlandia yang kental, dandanannya berbeda dengan Charlotte Alison. Ann lebih bergaya monokrom, pakaiannya serba abu-abu seperti langit London.
Ia memakai sweater abu-abu muda dengan corak rajutan Skotlandia yang indah, celananya denim abu-abu tua dengan bahan fleece hangat di dalamnya. Yang tidak abu-abu hanya jaket putih, scarf hitam, dan sepatu tenis putih dengan aksen hijau di bagian atasnya.
“Jam berapa ini?” tanya Charlotte pada dirinya sendiri “Astaga, Ann.. kau dandan menghabiskan waktu hampir 30 menit.. Sekarang sudah hampir pukul sembilan! Mana ada stress call pula!”
“Stress Call?” Scarlett tidak mengerti, terlalu banyak hal yang mengejutkan di hari pertama bekerja sebagai relawan di WEE.
“Iya, Stress Call!” jawab Charlotte, “Aku jelaskan di mobil ya, kita sudah terlambat nih!”
“Rupanya semua briefing di kantor ini dilakukan di mobil.” komentar Scarlett di dalam hati.
Charlotte Alison melilitkan scarf ungu di lehernya, lalu menyambar backpack putih dan bergegas menuju pintu utama. Tapi kemudian ia kembali lagi, rupanya ia lupa membawa kunci mobil, “Ayo nona-nona, saatnya bekerja!”
Scarlett mengikuti Charlotte ke luar, diikuti Ann.
“Er.. Ann!” tiba-tiba Charlotte membalikkan badan, “Jangan lupa kunci pintu!”
“Iya, iya!” jawab Ann sambil sibuk membawa Jambon Beurre di tempat bekalnya, “Sedang aku kunci..”
“Kita perlu beberapa menit untuk berjalan ke tempat parkir.” kata Charlotte kepada Scarlett, “Anggap saja olah raga pagi ya?”
“Oke..” Scarlett mengangguk sambil berjalan mengikuti Charlotte.
Mereka melewati dua orang Italia yang masih bercakap-cakap di teras seberang. Scarlett melirik menu mereka. Onion Soup mereka sudah habis. Sekarang mereka sedang meneguk Espresso yang ditemani Smoked Salmon dan Cream Cheese Bagels.
Salah satu pria Italia itu melirik ke arah Scarlett, sementara rekan di depannya masih berbicara tanpa henti dengan bahasa Italia.
Scarlett langsung memalingkan muka supaya tidak tertangkap basah bahwa ia tertarik dengan sarapan pagi kedua orang itu.
“Oh, aku benci jalan basah begini!” keluh Ann Loughty sambil mengunyah Jambon Beurre-nya. “Oh ya Scarlett, kau mau? Aku bawa semuanya dari kantor.”
“Terima kasih, Ann.” jawab Scarlett, “Aku sudah membawanya di backpack.”
“Makanlah lagi!” kata Ann sambil memberi sepotong Jambon Beurre kepada Scarlett “Ini buatan bibi Elara Windsor, dia yang terbaik! Bibi Elara membuatnya dari pagi buta lalu mengantarnya ke kantor ketika hujan turun. Aku mulai menyukai kantor relawan ini, tapi tidak dengan cuaca bulan Desember.”
“Ayo nona-nona!” kata Charlotte “Cepat sedikit! Jangan makan melulu!”
“Bilang saja kalau minta bagian!” kata Ann sekali lagi sambil memberi 2 potong Jambon Beurre kepada Charlotte Alison yang sudah tertawa lebih dahulu.
“Huh! Jalannya basah!” Ann berjalan sambil sedikit berjinjit.
Di sepanjang jalan yang belum kering, ketiga gadis itu bergegas jalan cepat sambil mengunyah roti lapis menuju Soho Square, tempat mobil diparkir. Angin London bertambah dingin walau matahari sudah mulai menampakkan diri sedikit dari balik awan yang kelabu.
The City Breathes the Future’s History.
“Mengapa kau selalu parkir di Soho Square, Char?” tanya Ann, sambil memasukkan potongan Jambon Beurre terakhir ke mulutnya lalu mengibaskan kedua tangannya dari remahan roti baguette.
“Di sini, Broadwick Street kan bisa.. Lebih dekat ke kantor.” Ann berbicara dengan mulut penuh makanan.
“Hemat biaya parkir, nona Loughty.” jawab Charlotte.
“Ah, paling beda cuma berapa? Beda 2 quids per dua jam kan? Pelit sekali! Lagipula kan itu mobil kantor.” Ann Loughty kembali mengeluh “Apakah kau ini sebenarnya Yahudi pelit atau apa?”
“Oh… sejak kapan kau rasis, nona Loughty?!” Charlotte menjawab dengan rasa tidak senang terhadap perkataan Ann dan tetap berjalan tanpa menoleh.
“Bilang saja ke nyonya Fiona Sterling..” tukas Ann, “Bu bos, musim dingin ini London sering hujan, jadi kita perlu dana lebih untuk parkir. Gitu..”
“Lalu?” tanya Charlotte.
“Lalu apa lagi?” balas Ann.
“Lalu, jika dana parkir ditambah tapi Bu Sterling tidak lagi membayar bibi Elara, apakah kau siap kehilangan Jambon Beurre, Crumpets, BLT dan Scotch Egg?” jawab Charlotte.
“Itu tidak akan terjadi..” kata Ann, “Itu tidak akan pernah terjadi. Bu Sterling mendapat dana banyak dari kontribusi pemerintah - dari PBB, IMF, World Bank - CSR sumbangan pengusaha, dan banyak lagi yang mendukung SDG.”
SDG atau Sustainable Development Goals adalah program yang berlangsung sejak 2015 sampai 2030 dari United Nations atau PBB - untuk mencapai tujuan-tujuan spesifik, yaitu mencapai sustainability atau keberlanjutan di tahun 2030 di bidang sosial, ekonomi, dan lingkungan.
SDG nomor 5 adalah kesetaraan gender, di mana diharapkan di tahun 2030 nanti sudah terbentuk cara atau jalan untuk mencapai keberlanjutan kesetaraan pria dan wanita dalam karir, rumah tangga, keluarga dan lingkungan.
Tujuan yang dicapai adalah menurunnya tingkat kekerasan dalam rumah tangga, berkurangnya kejahatan berdasarkan gender seperti pemerkosaan dan pelecehan seksual, bertambahnya akses untuk mendapatkan pendidikan yang layak, dan meluasnya kesempatan untuk mendapat dukungan ekonomi yang berlanjut dari masa ke masa.
Tahun 2019 masih merupakan tahun awal bagi SDG - apalagi SDG nomor 5. Jadi, masih banyak pekerjaan rumah yang harus dilaksanakan. WEE dan berbagai kantor relawan lain di Eropa dan benua lainnya adalah langkah awal untuk mencapai tujuan.
“Sudah hampir sampai, nona Loughty.” kata Charlotte sambil berjalan, “Gak lama kan jalannya? Sebaiknya simpan saja keluhanmu dan belajarlah berhemat, kita bukan crazy rich yang sarapan di Mayfair seharga £74.”
“Kalau sarapan orang Italia di seberang tadi berapa quids?” tiba-tiba Scarlett bertanya sambil mengikuti Charlotte dari belakang.
“Orang Italia?”
“Oh yang di seberang kantor tadi ya?” tanya Ann berusaha menyusul Scarlett dan Charlotte, “Aku tidak tahu.. Aku belum pernah makan di seberang. Enak gak ya? Sepertinya mahal..”
“Er, Ann..” kata Charlotte menoleh ke belakang sambil tetap berjalan, “Cafe di seberang kan biasanya buka jam 10 pagi ya? Kok jam segini sudah buka ya?”
“Iya aneh.. mungkin kejar target akhir tahun.”
Di sisi jalan Soho Square, nampak beberapa mobil berjajar parkir. Semuanya dengan emisi Euro 6, sebuah ketentuan bagi kendaraan bermotor yang boleh masuk ke kota London.
Di samping tikungan Soho Square dan Barclays Bank nampak sebuah mobil blind van merah bertuliskan Royal Mail.
Charlotte menekan remote, blind van merah itu berbunyi dan kedua lampu sign-nya menyala.
“Peugeot Partner?” tanya Scarlett.
“Ya, tahun 2016.” jawab Charlotte, “Kau nampaknya mengerti mobil ini?”
“Sepertinya.. Mungkin iya, mungkin tidak.. Aku tidak yakin.” jawab Scarlett, “Mungkin aku punya kenangan dengan mobil ini tapi aku tidak bisa mengingatnya sekarang.”
“Ya begitulah..” kata Charlotte, “Ini mobil kantor kita saat ini, bekas Royal Mail yang kabarnya bu Sterling akan menyerahkan mobil ini ke sebuah Lycée di Perancis tahun depan. Sementara belum dikirim ke Perancis, kita menggunakannya.”
“Apakah bu Sterling itu atasan kita?” tanya Scarlett.
“Eh iya… Sorry, Scarlett..” potong Ann, “Kau duduk di belakang ya? Ada satu tempat duduk kok di belakang, tidak sepenuhnya lapang untuk barang. Apakah kau keberatan?”
“Ah tidak sama sekali.” jawab Scarlett, “Aku tidak keberatan sama sekali.”
Charlotte Alison duduk di belakang kemudi, Ann Loughty duduk di sebelahnya, dan Scarlett Corbyn duduk di kursi penumpang belakang sambil mengurungkan niat untuk bertanya ulang tentang siapa itu Fiona Sterling.
“Oke berangkat!” seru Charlotte.
“Kita akan sampai sekitar 08.30 menurut Google Map!” kata Ann.
“Padahal dari sini ke Trafalgar Square dekat, bisa jalan kaki.” gumam Charlotte.
“Ah, naik mobil aja!” Ann tidak setuju, “Dingin begini, bisa beku kakiku.”
“Bener gak, sampai tujuan jam 08.30?” jawab Charlotte sambil menyalakan mesin mobil, “Jaraknya kan dekat!”
“BENAR! 08.30 kok! Dan berbaik hatilah dengan Peugeot ini, Nona Allison.” kata Ann, “Kemarin kau hampir membuat mobil lain terbalik seperti Mr Bean menyerang Reliant Regal biru muda.”
“Baiklah, tuan puteri..” jawab Charlotte, “Aku kemarin belum terbiasa dengan Peugeot Partner ini, biasanya kan aku menyetir Land Rover Serie 3.”
“Wow.. Land Rover Serie 3!” kata Scarlett “That car is grand!”
“Mobil rongsok, tidak bisa masuk ke kota London karena emisi belum sesuai Euro 6…” timpal Ann sambil tertawa terbahak-bahak.
Charlotte cemberut - menoleh kepada Ann yang masih tertawa. Ia mengawasi kaca spion kanan dan mulai menginjak gas.
“Ah ya, Scarlett!” Charlotte membuka pembicaraan, “Aku dan Ann sudah membaca berkas kemarin, turut sedih dengan apa yang menimpamu ya.”
“Oh iya!” Ann menoleh ke belakang, “Dikatakan di dalam laporan, kau mengalami amnesia, bahkan kau sendiri tidak ingat apa-apa! Apakah itu benar?”
“Ya, benar..” jawab Scarlett lirih, “ketika aku sadar, aku ada di trauma center dan tidak tahu alasannya. Bahkan aku tidak ingat namaku sendiri. Menyiksa rasanya ketika teringat hari pertama sadar tanpa ingatan apa pun.”
“Ya ampun!” Charlotte kaget “Lalu apakah Scarlett.. Er… siapa nama belakangmu?”
“Corbyn..” tambah Ann.
“Iya, Scarlett Corbyn adalah nama lengkapmu?” tanya Charlotte.
“Entahlah..” jawab Scarlett, “Sepertinya demikian..”
“Jadi kau tidak ada ingatan mengenai hal itu?” tanya Ann.
“Tidak ada..” jawab Scarlett, “Hanya ada kartu identitas saja dengan nama tersebut dan fotoku di kartu itu”
“Oh, mengerikan..” kata Ann menepuk dahinya sendiri, “Sekaligus menyedihkan..”
“Bahkan kau tidak ingat asal kotamu?” tanya Charlotte.
“Er… tidak.” jawab Scarlett, “Aku tidak ingat sama sekali..”
“Logatmu seperti Inggris bagian Timur, apakah mungkin kau dari Liverpool?” tanya Charlotte lagi, “Atau Irlandia barangkali?”
“Sadio Mané is the best football player in the weeeeyyrrrld.. I’m being seeeyyrieeesss…” Ann menirukan logat Liverpool seperti di media sosial, tapi tidak begitu mirip aslinya.
Charlotte menyentil bibir Ann yang sengaja dimonyong-monyongkan.
“Awww!! Sakitt!! Anj..” Ann tidak bisa meneruskan umpatan kasarnya karena mulutnya ditutup Charlotte.
“Liverpool ya?” Scarlett memandang hampa ke depan, “Sepertinya aku tidak mempunyai kenangan apa pun dengan kota itu, aku tidak tahu. Kalau Irlandia, tidak tahu juga sih.”
“Sudahlah, santai saja!” kata Charlotte melepaskan tangan yang membungkam mulut Ann, “Siapa tau setelah kau sibuk bersama kami menjadi relawan, ingatanmu kembali.”
“Benar!” jawab Ann sambil membersihkan mulutnya - Ada sisa baguette dari telapak Charlotte, “Siapa tau tidak sengaja kau membentur benda keras, kemudian ingatanmu kembali.”
“Hei.. tidak adakah cara yang lebih manusiawi selain terbentur benda keras?” Charlotte menoleh kepada Ann.
“Di film-film kan seperti itu..” Ann membela diri, “Awas, ada BMW hitam mau pindah jalur, Char.. jangan sampai kau membuat Peugeot ini jadi bulan-bulanan Jeremy Clarkson dan Richard Hammond karena menyerempet BMW!”
“BMW itu masih jauh, Ann..” tukas Charlotte “Kau terlalu lebay, nona!”
“Jangan menuduh aku lebay, nona Alison!” jawab Ann ketus sambil memandang pengemudi BMW hitam tersebut. Seorang wanita dengan rambut diikat menyetir. Di sampingnya seorang pria keturunan Timur Tengah melakukan komunikasi radio, “Aku HSP. Highly Sensitive Person, aku tidak terima disebut lebay!”
“Ah, kau sih bukan HSP!” Charlotte tidak setuju, “Hanya tidak suka disebut lebay, bukan berarti kau HSP!”
“Eh, aku ingat Jeremy Clarkson, Richard Hammond dan James May!” kata Scarlett sambil tertawa kecil, “Acara TV Top Gear kan ya?”
“Nah!” seru Ann sambil masih memperhatikan BMW hitam tersebut, “Sudah ada progres, mungkin sebentar lagi kau mulai ingat.. Er kapan ya Top Gear berakhir? 2016? Eh tidak, 2015! Ini bisa jadi permulaan untuk mengingat 4 tahun ke belakang!”
“Hahahaha…” kata Scarlett tertawa, “Sayangnya aku menonton tayangan ulangannya bulan lalu di trauma center, bukan di tahun 2015.”
“Yah! Itu tidak dihitung!” kata Charlotte, “kau harus mengingat hal-hal lain di masa kecilmu atau kira-kira 5 tahun yang lalu.”
“Oh BMW hitam itu polisi!” seru Ann.
“Tau dari mana?” tanya Charlotte.
“Ada lampu rotator biru di samping kaca spion mobil mereka! Blue light car! Apa ya mereka? Detektif atau apa ya?”
Charlotte berusaha melihat ke arah kaca spion BMW di samping kirinya tapi tak terlihat apa-apa.
“Siapa ya mereka?” Ann bertanya-tanya sambil melihat penumpang BMW hitam, “Sepertinya kenal!”
Tiba-tiba pengemudi BMW hitam itu menoleh ke arah Ann yang sibuk mengamati. Ann segera membuang muka mengalihkan pandangan, seolah tidak terjadi apa-apa.
“Atau ingat-ingat nama teman-temanmu!” Ann menoleh ke belakang untuk menghindari kontak mata dengan pengemudi BMW hitam, “Dari situ kita bisa mencoba cari tahu!”
“Siapa ya?” Scarlett menengadahkan kepalanya “Aku… aku hanya kenal dokter di trauma center, perawat, teknisi radiologi, fisioterapis, konselor psikologis, dan seorang pria bernama Dayton Hughes. Aku tidak tahu dia sebenarnya bagian apa di trauma center itu, tapi dia lah yang menyarankan aku bergabung dengan WEE setelah dinyatakan selesai rehabilitasi pasca cedera traumatis.”
“Oh iya.. Dayton! Ia yang merekomendasikan kamu untuk bergabung bersama kami. Dia datang ke kantor kemarin! Dayton Hughes adalah teman sekolahku di Skotlandia, dia kakak kelasku. Beda dua tahun!” jawab Ann. “Kami sama-sama dari kota Killin! Kau tahu tidak kota Killin?”
Scarlett menggelengkan kepalanya.
“Mereka berpacaran!” tiba-tiba Charlotte menyela pembicaraan.
“Oh, uruslah urusanmu sendiri nona Alison!” Ann membuat muka yang ditekuk dan melakukan gerakan pengusiran setan.
Charlotte hanya tertawa.
Ann kemudian kembali menoleh ke belakang “Kota kami ada di ujung barat Loch Tay.. Ingat? Geografi?”
“Maaf..” Scarlett tersenyum, “Sepertinya aku harus mencarinya di internet, aku tidak ingat geografi.. hehe…”
“Oke!” jawab Ann Loughty bersemangat. “Killin adalah kota kecil yang terkenal dengan air terjunnya yang mengesankan, yaitu Falls of Dochart…”
“Di sana lah Ann dan Dayton berciuman untuk kali pertama..” tambah Charlotte meniru gaya pembaca puisi Shakespeare.
“Tutup mulutmu nona….” Ann merebahkan badannya ke jok depan sambil mendorong bahu Charlotte “Jangan sok tau..”
“Eh!” teriak Charlotte “Aku sedang menyetir!”
A Chorus of a Chat.
Ann tertawa kecil lalu menoleh ke arah Scarlett “Jangan kau percaya omongan nona Alison ini, dia kemarin mengkonsumsi terlalu banyak kudapan kadaluarsa, gara-gara bibi Elara terlambat mengirim kudapan.”
“Tapi kau memang menyukai Dayton kan?” jawab Charlotte.
“I beg your pardon!” Ann Loughty menghela nafas panjang dan terdiam.
Charlotte tertawa. Ia menoleh ke arah Ann.
“Halo..”
Ann masih diam.
“Hei! Marah ya?” Charlotte mengguncang kaki kanan Ann Loughty, “Apakah kau masih hidup?”
Terdengar Ann menarik nafas lagi.
“Itu sepuluh tahun yang lalu. Waktu aku umur 15 tahun” jawab Ann pelan sambil memandang jalan di samping kirinya.
“Kami berdua secara kebetulan bertemu kembali di Edinburgh. Oh ya.. Dan untuk informasimu ya nona Alison, kami berdua di kota Killin hanya semasa sekolah dasar karena di kota tersebut tidak ada SMP dan SMA, kami harus pindah ke kota lain untuk melanjutkan pendidikan." tambah Ann, "Jadi, mana ada ya anak SD berciuman di Falls of Dochart!”
Charlotte tertawa keras.
“Awasi jalan, nona kecil!” kata Ann lagi “Pandangan ke depan!”
“Lali..” Scarlett membuka pembicaraan “Apakah benar kalian berpacaran? Er.. sepuluh tahun yang lalu?”
“Sayangnya itu tidak pernah terjadi.” jawab Ann kesal.
“BRAAAKKK!!!” Tanpa sengaja lutut kakinya membentur dashboard depan.
“Hei hei hei… tenang, nona Loughty!” Charlotte menoleh sebentar ke kiri. Scarlett tertawa melihat ulah Ann.
“Jeremy Clarkson benar! Mobil ini tidak untuk orang yang tingginya di atas 175 cm!” gerutu Ann, “Kakiku harus menekuk!”
“Ah kata siapa!?” bantah Charlotte, “Stig dan Jeremy juga tinggi.. Itu tadi kau terlalu emosional saja soal ciuman Dayton! Hahahahaha..”
“Di episode mana Stig dan Jeremy Clarkson mengemudikan mobil Royal Mail seperti ini?”
Charlotte dan Scarlett tertawa.
Ann lagi-lagi kembali menghela napas, “Aku terlalu baper, aku sangka dua orang yang berasal dari kota kecil akan saling mencintai ketika bertemu kembali di kota lain, ternyata kenyataan dengan cerita novel jauh berbeda. Atau mungkin karena aku HSP.”
“Nah itu yang tepat!” Charlotte berseru sambil tertawa, “Yang betul itu kau baperan, bukan HSP!”
Scarlett tersenyum, “Aku baru ingat, logat Dayton memang mirip denganmu Ann. Tapi ia berbicara hanya seperlunya."
"Oh ya?" tanya Ann.
"Dayton selain memberi kartu identitas dan dokumen pemerintah lainnya, ia hanya memberi telepon selular dan menjelaskan aku harus mempelajari mengenai kota London dan transportasi umumnya ketika aku terapi kognitif untuk pemulihan memori." kata Scarlett, "Untung aku ternyata tidak lupa huruf dan bahasa Inggris.”
“Dayton Hughes membelikanmu telepon seluler?” tanya Charlotte tiba-tiba. “Oh yaaaa? Cinta segitiga??!”
“Bukan! BUKAAAANNNN!!!” Ann teriak keras protes atas kata-kata Charlotte.
“Bukan, Charlotte!” tambah Scarlett sambil menggoyang tangannya tanda tidak setuju, “Bukan begitu ceritanya..”
“Itu bagian dari Road Risk Insurance yang ditanggung oleh kantor Dayton!” jawab Ann, “Dayton bekerja di Transport of London. Menurut Dayton, Scarlett mengalami kecelakaan di stasiun kereta api Amersham. Scarlett waktu itu sendirian di ujung platform kemudian ada gerbong yang meledak di dekat situ, Scarlett jadi korbannya.”
“Benarkah?” tanya Charlotte terkejut, “Kapan kejadiannya?”
“Tiga atau dua bulan lalu.” jawab Ann, “Scarlett tidak sadarkan diri di rumah sakit selama dua bulan. Alamat di kartu identitas tidak ada anggota keluarga lainnya. Telepon genggam tidak ditemukan, jadi tidak ada yang bisa dihubungi. Karena kereta api di Greater London masih masuk dalam wewenang TfL, maka perawatan Scarlett ditanggung asuransi Road Risk.”
“Oh aku tidak pernah tau ada ledakan di stasiun kereta Amersham.” kata Charlotte.
“Aku juga..” kata Scarlett pelan.
“Apakah Amersham masih masuk ke wilayah TfL (Transport for London)?” tanya Charlotte, “Kau tau banyak ya Ann?”
“Dayton yang cerita.” jawab Ann, “Minggu lalu kami makan siang bersama.”
“Cieeeeee cieeee…” timpal Charlotte.
“Sudahlah..” kata Ann sambil mencubit lengan kiri Charlotte, “Telinga Dayton bisa panas kita bergosip tentang dia, mari kita sekarang sama-sama memulihkan ingatan Scarlett.”
“Penyihir tua mengalihkan pembicaraan!” Charlotte mengumpat sambil mengusap lengan kirinya yang kesakitan dicubit.
“Untung juga Dayton ingat aku, dan kita sedang kewalahan tidak ada relawan tambahan.” kata Ann.
Charlotte menoleh tersenyum penuh arti kepada Ann di samping kirinya tanpa berbicara, kemudian memalingkan pandangannya kembali ke jalan raya.
“Kenapa?”
Charlotte diam saja. Hanya tersenyum melihat jalan.
“Ada apa, iblis kudapan?!” tanya Ann kesal menengok Charlotte dengan sudut mata yang tajam sambil tertawa kecil.
“Gak ada apa-apa!” jawab Charlotte sambil tertawa juga “Aku memperhatikan jalan!”
“Menggoda aku terus, awas kau nanti terima karmanya!”
“BRAKKK!!” tiba-tiba tanpa sengaja lutut Ann kembali membentur dashboard lagi.
“Astaga! Karma nya kenapa datang ke alamat yang salah? Hahahahaha...” Charlotte tertawa keras.
“Huh!” Ann kesal tapi senang.
Scarlett ikut tertawa di belakang.
“Eh tau gak, Scarlett?” kata Ann tiba-tiba, “Charlotte dulu adalah desainer grafis, tapi berakhir menjadi relawan di WEE. Kau lihat tadi logo WEE Care? Itu dia yang desain!”
“Oh ya?” tanya Scarlett, “Cerita yang menarik..”
“Ceritanya panjang..” potong Charlotte, “Tidak cukup waktu untuk menjelaskannya sekarang. Aku akan cerita nanti di saat yang tepat.”
“Charlotte adalah keturunan pelukis terkenal dari Nigeria.” kata Ann.
“Kakekku keturunan Nigeria, tapi leluhurku semua warga negara Inggris sejak sebelum perang dunia pertama dimulai.” jawab Charlotte.
“Dan mereka sekeluarga semua berbicara dengan logat BBC London.” jawab Ann.
“Kau cuma bertemu ibuku sekali di Camden.” protes Charlotte, “Mengapa jadi kami sekeluarga? By the way, kau pandai ya mengalihkan pembicaraan? Dari topik Dayton bisa pindah langsung ke logat bicaraku?”
“Huh! Saat kami belum bertemu muka, ngobrol di telepon, aku kira dia seorang aristokrat London berkulit pucat dan sombong, ternyata dugaanku salah.”
“Itu sebabnya kita tidak boleh melakukan stereotyping!” jawab Charlotte, “Dan omong-omong, logatku biasa saja, standard English gitu ya..”
“Iya, BBC English” jawab Ann.
“BBC English? Bukan!” tukas Charlotte.
“Queen’s English!” tambah Ann lagi.
“BUKAN!” bantah Charlotte.
“RP?” Scarlett menambahkan “Received Pronunciation?”
“Ya, kau benar Scarlett” Charlotte mengacungkan jempol kirinya.
“Apa bedanya? BBC English, Queen’s English atau RP kan sama saja semuanya! Seharusnya kau memiliki logat MLE!” tambah Ann memainkan rambut Charlotte, “Cocok dengan rambut etnikmu, Char!”
"Don't get too gassed about the game; it's just the beginning." Ann mencoba meniru logat Multinational London English atau MLE, tapi sekali lagi tidak persis aslinya. Logat Skotlandia-nya masih kental sekali.
“Memangnya pernah aku bicara seperti itu hah?” Charlotte tertawa geli, “Aku terbiasa berbicara begini, dan kau nona Loughty… jangan lagi bersikap rasis. Kata-kata Yahudi pelit, aristokrat London sombong, dan lainnya tidak pantas diucapkan. Kau terlalu banyak nonton TV Show The Rook!”
“Cuma bercanda lah…” jawab Ann Loughty sambil hati-hati meregangkan kakinya supaya tidak membentur dashboard lagi, “The Rook kan cuma satir dan dark jokes menyindir orang-orang rasis.. Cuma acara hiburan.”
“Tapi tidak perlu ikut-ikutan, nanti kelepasan jadi kebiasaan kan jadi repot!”
“Iya, bu guru!”
“Dan kau, Scarlett..” Ann menoleh ke belakang lagi, “Logatmu seperti Scouse, aku ingat tadi kau bilang that car is grand ketika membahas Land Rover.. Juga pengucapan R di kata car jelas sekali. Hanya Scouse yang mengatakan demikian! Eh tapi Irlandia juga seperti itu sih.”
“Oh ya?” Scarlett terkejut dan tertawa “Aku malah tidak menyadarinya, itu terjadi begitu saja! Tapi kau benar Ann! Saat evaluasi mental dan fisik di trauma center, konselor yang menilai kondisi mental, menyuruhku membaca 1 paragraf cerita. Dia bilang kemungkinan aku dari Irlandia, tapi ia pun bingung karena aku tanpa sadar mengucapkan kata-kata yang sering terdengar di Liverpool.”
“Er.. kemungkinan kau adalah seorang Scouse.” kata Ann, “Ayo mari kita telusuri Liverpool atau Dublin setelah tugas kita selesai pagi ini.”
“Seorang Scouse?” tanya Charlotte, “Apakah itu rasis?”
“TIDAK BU GURU!!” teriak Ann sambil mendekatkan wajahnya ke telinga Charlotte.
“BRAKK!” kaki Ann Loughty kembali membentur dashboard, dan Charlotte terkejut hampir keluar jalur.
“AWAS!” kata Scarlett, “BMW yang tadi!”
“Apakah BMW itu mengikuti kita?” Charlotte bertanya sendiri, “Aku hampir diserempet!”
“Eh, bukan..” Scarlett merevisi kata-kata sebelumnya “Yang ini warnanya biru.”
Ann mengusap lututnya yang sakit, “Mengikuti kita? Memangnya kita agen rahasia? Kau terlalu banyak nonton serial Spycraft jadi berhalusinasi. Atau… apa benar kemarin kau terlalu banyak mengkonsumsi kudapan kadaluarsa? Dasar iblis kecil maniak kudapan..”
“Tidak, aku kemarin hanya makan Patty and Bun.” jawab Charlotte, “Itu pun bibi Elara yang membawakan ke kantor. Tapi benar, BMW biru itu dari tadi seperti mengikuti kita.”
“Tapi beda kan dengan BMW hitam tadi? Beda seri sepertinya..” kata Scarlett.
“Oh iya yang hitam tadi sepertinya series 3, yang biru ini series berapa ya? hafal..” jawab Charlotte.
“Nonton The Rook lebih baik daripada Spycraft!” kata Ann.
“Perhatikan dengkulmu, nona…” kata Charlotte, “Jangan sampai membentur lagi. Lebih baik kau add Scarlett ke Discord Voice Chat kita supaya bisa bergabung dengan Amisha juga. Sebentar lagi Amisha online.”
“Astaga sampai lupa!” kata Ann menoleh ke belakang “Scarlett, kau punya akun Discord?”
“Ada..” jawab Scarlett, “Aku diajari menggunakannya saat dilatih kembali mengenai keterampilan mandiri. Tapi sayangnya hanya chatting dengan para petugas trauma center saja.”
“Oke sini aku add.” kata Ann, “Kita nanti komunikasi di sini saja terutama ketika mencari Amisha. Bocah itu sering berpindah lokasi bertemu.”
“Kalu selalu menyebut Amisha sebagai bocah.” kata Charlotte, “Padahal ia seumur dengan kita.”
“Ya, tapi tampangnya kan bocah..” jawab Ann, “Aku panggil dia bocah saja. Sudah aku add ya Scar.”
“Thanks!” jawab Scarlett, “Ini chessskunk95 itu siapa?”
“Amisha Catterson.” kata Charlotte, “Gadis yang mau kita temui di Trafalgar Square. Eh, Kita sudah mau sampai nih!”
“Parkir di mana?” tanya Ann “Whitcomb Street?”
“Tentu tidak!” Charlotte tidak setuju, “£19 untuk 2 jam parkir di sana!”
“Kalau begitu di Cockspur Street?” tanya Ann.
“Mana boleh parkir di sana” jawab Charlotte.
“Saint Martin Street?” tanya Ann, “JustPark lagi?”
Charlotte mengangguk “hemat 2 quids per dua jam parkir.”
“Pelit!” jawab Ann, “Masih harus jalan kaki 10 menit ke Trafalgar Square! Beda parkir 2 quids doang!”
“Jangan lebay! Cuma 2 menit jalan kaki dari JustPark. Jalan kaki di London tidak ada yang jauh non! Bahkan jalan kaki dari satu stasiun Tube ke stasiun lainnya juga gak jauh!” jawab Charlotte.
“Dengan 2 quids kita bisa beli kopi, teh, atau jus di Pret A Manger, Costa Coffee, atau Greggs.”
“Ya, tapi ini pagi dengan suhu 0ºC, Charlotte! Parkir kan pakai uang kantor…” kata Ann, “Lagipula kita bertemu dengan bocah Armenia itu paling lama hanya 10 menit, gak lebih dari 2 jam. Jalannya basah pula. Dan sekali lagi jangan bilang aku lebay!”
“Sudah.. Sudah… Ayo turun di sini!” tegas Charlotte memarkir mobil di St Martin Street. “By the way, gadis itu bukan bocah Armenia, tapi keturunan Indonesia, dan suhu hari ini 2ºC. Kau terlalu leb….”
Charlotte tidak meneruskan kata-katanya karena Ann sudah melotot walau bibirnya terkembang senyuman kecil.
JustPark adalah sebuah game-changer untuk solusi parkir di kota London yang banyak peraturan dilarang parkir dan padatnya kendaraan bermotor roda empat.
Kadang mencari tempat parkir di kota ini bagaikan mencari jarum di dalam jerami. Dengan menggunakan aplikasi, Charlotte bisa mendapatkan tempat parkir mana yang kosong sampai pembayaran parkir juga dilakukan di dalam aplikasi.
Charlotte mendapat tempat parkir sesuai aplikasinya, lalu mematikan mesin blind van merah tersebut.
Ann membuka pintu mobil dan merapatkan scarf hitamnya, “Mengapa bocah itu selalu memilih lokasi ini untuk bertemu?
“Dekat dengan tempat kerjanya!” jawab Charlotte.
“Oh iya, dia pindah ke McDonald’s ya?” Ann mengamati bagian bawah mobil, “Halooo… Kita bertemu kembali, jalan becek…”
“Becek apanya, tuan putri? Hadeeehhh!” tanya Charlotte sambil membuka pintu mobil.
“Hanya gerimis kecil tadi pagi dan jalan yang kita lalui kan aspal dan paving block semua. Mana ada lumpur?” Charlotte kesal sampai menghentakkan kakinya ke jalan.
Scarlett membuka pintu sliding belakang mobil Peugeot Partner merah Royal Mail, dan terus terang ia masih kebingungan. Pekerjaan relawan apa yang harus ia kerjakan pagi itu.
Ia belum dapat arahan sama sekali, bahkan Stress Call yang dijanjikan akan dijelaskan di mobil pun tidak ada yang menjelaskan. Apalagi tentang Fiona Sterling dan SDG nomor 5. Selama di mobil hanya membahas Dayton, pujaan hati Ann - boro-boro ada briefing.
“Ayo Scarlett, ikut kami.” kata Charlotte. “Voice chat-mu sudah on?”
“Sudah.” jawan Scarlett.
“Kau bawa headset?” tanya Ann kepada Scarlett.
Scarlett menunjukkan headsetnya “Perjalanan kereta apiku lama, aku selalu membawanya.”
“Eh, Kau dengar lagu apa di kereta, Scar?” tanya Ann.
“U2.” jawab Scarlett.
“With or without you… with or without you..” tiba-tiba Ann bersenandung.
“Sepertinya aku mendengar ada tukang sihir memulai ritual sesat.” kata Charlotte sambil memasang kuda-kuda siap menerima serangan Ann.
Ann kesal, mendorong bahu Charlotte dan menghentikan senandungnya. Charlotte hanya tertawa.
“Permisi, nona.”
“Oh maaf, aku tidak melihatmu!” kata Charlotte sambil menghindar seorang pemuda yang hendak memarkirkan sepeda Lime Online Uber-nya di pinggir jalan St Martin Street.
“Bocah itu sudah masuk voice chat room.” kata Ann melihat telepon seluler-nya sambil menggandeng lengan Charlotte agar tidak menabrak sepeda lainnya.
“Oh oke..” Charlotte memasang headset-nya ke telinga kiri. “Amisha! Ini Charlotte. Bisa dengar aku? Kita bertemu di mana?”
“Bocah itu online tapi sepertinya dia tidak dengar.” kata Ann.
“Bocah lagi, bocah lagi..” kata Charlotte, “Dia itu umur 24….”
“Lebih muda satu tahun dari kita kan? Jadi dia itu bocah!” Ann bersikeras.
“Tadi kau pakai aplikasi apa yang bilang kita sampai dalam 30 menit?”
“Google Drive..”
“GOOGLE DRIVE?!!”
“Er, Google Map..”
“Padahal kita sampai hanya dalam 7 menit..”
“Tapi tadi bilangnya 30 menit..”
“Salah titik kali.. Mungkin kau pilih titik Fulham, bukan Trafalgar..”
Udara di London masih tetap dingin, tapi Scarlett Corbyn merasa hangat karena ia merasa menemukan dua teman baru yang lucu. Mendekam lama di trauma center sambil memulihkan ingatan rasanya menyiksa. Hari ini Scarlett merasakan kebebasan.
Ingin rasanya Scarlett memainkan lagu Ordinary Love nya U2 di telepon selulernya. Tapi karena ia sudah masuk ke voice chat room WEE, maka ia hanya bersenandung di dalam hati dan membayangkan alunan gitar The Edge di lagu tersebut tentang kebebasan.
We can't fall any further, if
We can't feel ordinary love
And we can't reach any higher,
If we can't deal with ordinary love.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!