Di sebuah rumah yang penuh dengan kesederhanaannya terdapat sebuah keluarga kecil yang sangat manis. Akan tetapi kehidupannya tak semanis yang orang pikirkan.
Suara ketukan yang berulang kali terdengar nyaring membuat seorang wanita cantik berlari kecil untuk segera membuka pintu.
“Ras … Laras, buka pintunya!” pinta sang suami dengan sedikit kesal karena tidak mendapatkan respons cepat dari sang istri.
“Iya, Mas. Tunggu sebentar,” teriak Laras yang sudah mencapai pintu dan segera membuka grendel pintu.
Baru saja pintu terbuka sedikit sang suami langsung menyerobot masuk dengan sedikit kasar hingga Laras hampir saja terjatuh.
“Ya, ampun, Mas Jefri. Kamu bisa ‘kan, pelan-pelan buka pintunya, aku hampir aja kejedot,” ucap Laras dengan nada pelan, meskipun dia sedikit kesal atas sikap sang suami yang semena-mena padanya.
“Ckk, siapa suruh buka pintu aja setahun. Emang dari mana aja sih, kamu, hahh?” tanya Jefri kesal.
Laras segera mengambil tas suaminya, lalu memegang lengan Jefri dan mengantarnya ke kamar.
“Maafkan aku, Mas. Tadi aku lagi angetin sayur sawi putih sama goreng tempe ditepungin. Jadi saat Mas pulang nanti bisa langsung makan hangat-hangat, sekali lagi maafin aku ya, Mas.”
Sang istri menaruh tas Jefri di tempatnya, kemudian berbalik menatap wajah sang suami yang sangat lelah.
“Kebiasaan. Orang tuh, kalau suaminya pulang buru-buru disambut bukan malah mentingin makanan. Kenapa sih, setiap hari kerjaanmu bikin aku naik darah mulu. Aku itu capek Laras, capek!”
Jefri mengutarakan isi hatinya sangat lelah ketika menghadapi sifat istrinya yang selalu memancing emosinya.
“Bayangkan saja, dari pagi sampai malam aku kerja untuk memenuhi kebutuhan kita, sementara kamu? Tidak sedikit pun memanjakan aku di rumah, yang ada malah bikin emosi mulu. Muak lama-lama aku kaya gini, Las.”
Laras yang merasa bersalah perlahan duduk di samping suaminya dan menggenggam tangannya. Tatapan mata sang istri membuat Jefri terdiam, meski hati sangatlah muak melihat wajah yang semakin hari semakin membosankan tak ada menarik-nariknya sedikit saja.
“Aku tahu, Mas, aku salah. Aku minta maaf ya, lain kali aku tidak akan seperti ini lagi. Aku janji sama Mas, jadi tidak perlu khawatir ya, aku akan pastikan besok saat Mas pulang kerja pasti tersenyum.”
Rayuan kecil yang tulus dari dalam hati disertai dengan senyuman manis yang terukir di bibir, tidak mempan menarik perhatian Jefri. Pria itu malah membuang muka, lalu melepaskan tangan sang istri dan berdiri.
“Udahlah aku capek mau mandi dulu,” ucap Jefri sambil membuka kancing baju kemejanya, lalu mengambil pakaian ganti serta handuk.
“Mau aku siapkan air hang—”
“Nggak perlu,” jawab Jefri singkat dan pergi begitu saja meninggalkan Laras.
Sang istri hanya bisa tersenyum kecil menatap punggung suaminya yang mulai menjauh, sesekali menggelengkan kepala pelan lantaran melihat sikap Jefri yang semakin hari semakin dingin terhadapnya.
Selepas Jefri mandi, Laras mengajaknya untuk makan malam bersama. Di mana dia sendiri pun belum makan karena menunggu suaminya pulang dengan harapan bisa mengulang suasana indah yang dulu pernah terjalin.
Rasanya sang istri begitu merindukan makan bersama dengan Jefri juga anaknya. Berhubung sang anak sudah tidur Laras ingin menikmati suasana ini berdua.
“Mas, ayo kita makan dul—”
Perkataan Laras terhenti ketika Jefri yang sedang ngaca sambil menyisir rambutnya langsung membalikan badan dengan wajah datarnya.
“Aku sudah kenyang tadi sebelum pulang mampir makan di restoran. Ada teman ngajakin makan di sana, kalau kamu lapar makan dulu aja sana,” ucap Jefri cuek.
Laras yang sedikit terkejut akan ucapan sang suami merasa sedikit teriris. Bisa-bisanya Jefri makan di restoran seorang diri tanpa membawakan anak dan istrinya.
Sementara orang rumah hanya makan dengan sayur dan tempe, kalaupun makan ayam itu juga bisa dihitung sebulan sekali. Berbeda sama Jefri yang terkadang makan di luar seenak jidatnya tanpa ingat kalau orang di rumah kelaparan.
“Ohh, gitu, ya, sudah. Aku beresin makanan di dapur dulu ya, Mas istirahat aja dulu. Nanti aku kembali lagi,” balas Laras penuh senyuman.
Jefri langsung balik badan dan melanjutkan menyisir rambutnya sambil melihat istrinya sudah pergi dari kamar melalui kaca.
Laras memegangi dada yang terasa nyesek, bahkan dia membereskan semua makanan ke tempat yang lebih aman supaya besok masih bisa dimakan kembali tanpa membuangnya.
Tak terasa air mata menetes perlahan, tetapi segera mungkin dihapus kasar oleh Laras. Dia selalu menguatkan diri untuk tetap bersabar menghadapi sikap suaminya.
Setelah semua beres. Laras kembali ke kamar menemui Jefri yang sedang bermain ponsel sambil merebahkan tubuhnya.
Melihat kedatangan Laras, Jefri segera duduk dan mematikan ponselnya membuat sang istri sedikit curiga.
“Apa sampai selarut ini Mas masih mengerjakan pekerjaan kantor lewat ponsel? Apa sebaiknya ditunda besok saja. ‘Kan, masih ada hari esok loh, Mas. Aku tak mau sampai Mas sakit.”
Raut wajah khawatir yang terukir jelas di wajah Laras tak berarti apa-apa untuk Jefri. Sang suami malah menjawab perhatian sang istri dengan ketus.
“Itu bukan urusanmu! Kalaupun aku menundanya, bersiaplah besok suami akan menjadi pengangguran yang tidak ada harganya.”
Lirikan tajam dari Jefri membuat Laras segera meminta maaf karena pertanyaannya selalu saja membuatnya kesal.
“Ma-maaf, Mas. A-aku—”
“Udahlah nggak usah dibahas. Aku tidak mau ribut, ini uang gajiku. Gunakan sebaik mungkin untuk menyambung hidup bulan depan. Ingat, jangan boros kalau kamu masih mau makan setiap hari. Paham!”
Laras mengangguk pelan menerima amplop cokelat panjang dari sang suami, kemudian membukanya dan menghitung pendapatan gaji suami yang tidak bertambah sama sekali.
“Loh, Mas. Ko-kok, gajimu masih sama seperti bulan-bulan sebelumnya tujuh ratus ribu? Bukannya beberapa bulan ini kamu selalu lembur sampai malam. Apa tidak ada tambahan untuk itu?” tanya Laras bingung sambil menatap wajah suaminya.
“Hahh ….” Jefri membuang napas secara kasar, lalu merubah posisinya menatap lekat wajah sang istri.
“Las, dengarkan aku ya, aku kerja itu bukan cuma buat kamu dan Langit. Aku masih punya Ibu, jadi aku juga harus menyisihkan uang untuk keperluan ibuku juga keperluanku sendiri. Kamu paham ‘kan, aku juga tidak mau ibuku kekurangan. Jadi sebisa mungkin aku harus adil sama kalian.”
Laras menatap wajah Jefri dengan hati yang tersayat-sayat. Sepeduli itukah dia sama ibunya, sedangkan nasib istri juga anaknya terkadang harus menahan lapar jika uang yang diberikan telah habis.
“Kamu tahu ‘kan, aku kerja sampingan sampai harus pulang larut malam supaya uang bulananmu tidak terpotong dan ibu juga mendapatkan haknya. Aku tidak ingin dikatakan sebagai suami atau anak yang tidak adil. Untuk itu bersyukurlah jangan cuma bisanya ngeluh terus kalau suami kasih uang. Lagian juga aku cuma kasih ibu sedikit tidak banyak, itu pun dibagi dua sama uang bensin atau makanku ketika di jalan sisanya 80 persen gajimu untuk kamu.”
Sang istri terdiam sejenak menatap tujuh lembar uang bernilai seratus ribu rupiah. Hati Laras mulai bergejolak ketika mendengar penjelasan dari Jefri.
Ingin rasanya Laras membantah apa yang dikatakan Jefri karena selalu bertindak tanpa memberitahu lebih dulu. Seakan-akan kehadiran sosok istri sudah tidak penting lagi untuk dijadikan teman cerita juga meminta pendapat sebelum melakukannya.
“Kenapa diam? Kamu kecewa? Nggak terima? Marah? Katakan jangan diam aja. Punya mulut ‘kan, coba ngomong jangan bisanya nangis aja. Lemah!”
Dari tadi Laras terdiam untuk menjaga perkataannya supaya tidak mengeluarkan perkataan yang akan menyakiti hati suaminya.
Hanya saja dia sudah tidak bisa tinggal diam akibat kebutuhan hidup semakin meningkat, juga keperluan anak yang sebentar lagi masuk sekolah TK.
“Mas, maaf bukannya aku kecewa ataupun marah dengan pembagian uang yang kamu berikan itu. Cuma kamu tahukan, kebutuhan ekonimi itu semakin hati semakin meningkat. Belum lgi beli seragam Langit yang mau sekolah, terus juga buat kebutuhan tak terduga. Bisa tidak aku minta sama Mas untuk jujur sama aku. Pendapatan Mas semuanya berapa, terus kita diskusi untuk pembagiannya. Bukan seperti ini karena secara keseluruhan gaji Mas tidak pernah ada peningkatan. Kalau begini terus gimana Langit bisa sekolah, Mas? Apa Mas tidak—”
“Cukup, Laras, cukup!”
Jefri berdiri sambil membentak Laras hingga terperanjat kaget mendengar nada yang sangat tinggi.
“Mau sampai kapan kau mengatakan itu, hahh? Kalau kamu tidak bisa iri berapa pun uang yang aku berikan tidak akan pernah cukup buat kamu. Kamu lihat ibuku. Dia bisa hidup irit dengan uangnya padahal aku hanya memberikan uang yang mungkin sehari saja sudah habis jika aku berikan padamu. Harusnya kamu mikir, Las. Aku ini capek banting tulang kenapa kamu malah mempermasalahkan soal gaji, hahh? Kenapa!”
Suara lengkingan tersebut berhasil membuat Laras menangis sambil menunduk. Maksud dia bukan seperti itu, tetapi dia hanya ingin dilibatkan di dalam pembagian itu supaya suaminya terbuka.
Cuma dia tak menyangka reaksinya akan sebesar ini sampai-sampai untuk pertama kali nada Jefri bisa tinggi hingga membuat Langit terkejut dan langsung bangun.
“Mas, aku bisa jelasin. Maksudku bukan begitu. Aku cuma memikirkan tentang—-”
“Tentang apa, hahh? Sekolah Langit, makan, kebutuhan, apalagi? Kamu hanya memikirkan itu, sedangkan memikirkan aku aja kamu tidak pernah. Sekarang aku tanya sama kamu. Kapan terakhir kali kamu membuatku puas, hahh? Kapan! Udah lama banget ‘kan, jadi kalau kamu perhitungan dengan ibuku. Aku juga bisa perhitungan denganmu!”
Bentakan itu membuat Langit langsung berjalan dan berdiri tepat di tengah-tengah pintu masuk sambil meneteskan air mata.
“A-ayah, ke-kenapa Ayah marahin Ibu? A-apa salah Ibu?” tanya Langit membuat Laras segera berlari dan memeluk anaknya sambil berjongkok.
“Loh, anak Ibu kenapa bangun? Bobo lagi, yuk! Udah gapapa, Ayah cuma capek aja. Ibu temani bobonya, mau?”
Laras berusaha tersenyum di depan wajah sang anak, membuat tangan Langit mengusap air matanya dan menatap ke arah Jefri.
“Ayah, kalau Ibu nakal maafin ya, tapi jangan dimarahi. Langit juga pernah nakal kok, tapi Ibu hanya menasihati bukan marah-marah. Jadi Langit mohon sama Ayah, maafin Ibu ya, Ayah. Ma—”
“Ayah harus kerja lagi. Kamu tidur lagi aja ini masih malam, jaga ibumu baik-baik. Ayah mau siap-siap dulu,” sambung Jefri yang sudah muak bertengkar dengan Laras.
Sang istri yang terkejut langsung berdiri menatap Jefri. Di mana suaminya sedang berganti pakaian, padahal niatnya sudah ingin tidur. Namun saat percekcokan terjadi malah dia memutuskan untuk pergi.
“Mas, kamu mau ke mana? Ini sudah malam loh,” ucap Laras khawatir.
“Udah kamu urus aja Langit. Aku mau cari sampingan lagi biar kamu puas megang uang banyak. Minggirlah!”
Jefria sedikit mendorong sang istri untuk tidak mencegahnya, lalu dia pergi keluar rumah dalam keadaan kesal bercampur marah.
Laras ingin sekali menahan Jefri pergi, tetapi melihat kondisi Langit dia langsung mengurungkan niat dan menutup kembali serta mengunci pintu.
Setelah itu Laras segera menenangkan sang anak sambil menemaninya tidur, meski sesekali air mata menetes di pipinya. Namun dia harus tetap kuat untuk Langit.
*****
Sepanjang jalan Jefri berteriak kesal karena merasa muak dengan keadaan ini. Niat hati pulang ingin sedikit melepas kangen pada sentuhan sang istri, tiba-tiba saja malah mendapatkan omongan tak enak hingga menyakiti hatinya.
Jefri tidak terima dengan perkataan Laras yang seolah-olah tidak mengizinkannya untuk membahagiakan ibu kandungnya sendiri.
Sampai akhirnya Jefri pergi ke rumah sang ibu, lalu mengadukan nasibnya kembali dengan wajah yang sangat emosional.
“Loh, kok, kamu balik lagi?” tanya sang ibu yang terkejut mendapati anaknya kembali pulang, padahal sejam yang lalu dia habis dari rumah orang tuanya.
“Arrghhh … Aku kesal, Bu, kesal! Kali ini aku muak dengan Laras. Rasanya aku ingin segera pisah sama dia yang selalu menuntut gajiku. Bayak kebutuhan inilah, itulah, onolah, kesannya dia tidak pernah bersyukur atas usaha suaminya.”
Jefri menjambak rambutnya kesal sambil memasuki rumah sang ibu, lalu duduk di sofa ruang tamu bersamanya.
“Benar-benar menantu tidak tahu diri. Dikasih uang bukannya bersyukur malah menuntut suaminya. Untung uangmu Ibu yang pegang coba kalau diberikan ke istrimu semuanya, mungkin 20 juta lebih ditangan bisa habis dalam hitungan hari. Pemborosan! Udahlah kamu cepat-cepat pisah sama dia. Ibu jadi kasihan lihat kamu mending kamu sama Dania aja. Dia udah cantik, baik, bahkan bisa buat kamu bahagia daripada Laras cuma tahu caranya buat kamu marah aja.”
Tuti begitu kesal mendengar cerita menantunya yang semakin hati semakin menjengkelkan. Dia terus berusaha mencuci otak sang anak supaya bisa secepatnya dan memiliki menantu impian seperti Dania.
“Aku paham, Bu. Cuma masalahnya satu. Aku bertahan sama Laras hanya karena Langit, itu saja. Aku tidak tega jika Langit tahu kami berpisah bagaimana nasibnya nanti?” tanya Jefri penuh keseriusan menatap ibunya.
“Hahh … Urusan Langit bisa diatur. Biarkan dia sama Laras terpenting kamu bertanggung jawab memberikan uang untuk Langit sekolah. Atau bisa juga kita sewa pengacara hebat agar hak asuh Langit ada di tangan kita. Dengan begitu kamu dan Dania bisa segera menikah dan mengurus Langit bersama. Gimana?”
Sang ibu tersenyum sambil mengusap lengan anaknya membuat Jefri berpikir keras dan terdiam beberapa menit.
Tidak berhenti di situ saja. Tuti terus menghasut hingga memanas-manasi sang anak demi mencapai tujuannya. Di mana dia tidak ingin Jefri selalu berada di genggaman Laras yang tidak bisa diharapkan. Berbeda sama Dania yang memang tercipta untuk menjadi tulang rusuk anaknya.
Keromantisan yang selalu diungkapkan oleh Tuti berhasil mempengaruhi Jefri. Senyuman di bibir terukir membuatnya langsung memeluk ibunya.
“Ibu benar. Kayanya aku harus ke suatu tempat di mana kehadiranku selalu di hargai. Aku pergi dulu, Bu. Dahhh ….”
Tuti berdiri melambaikan tangan sambil tersenyum melihat semangat Jefri kembali membaik. Tak perlu bertanya karena dia sudah tahu ke mana anaknya akan pergi demi menjemput kebahagiaannya.
*****
Bersambung.
Tiga hari telah berlalu, hubungan Laras dan Jefri masih belum bisa dikatakan baik. Terkadang sang suami terus menyalahkannya, tanpa melihat sebesar apa perjuangan yang dilakukan oleh sang istri demi memperbaiki hubungan mereka.
Berulang kali Laras berusaha memberikan yang terbaik sesuai keinginan Jefri, tetapi tetap saja masih dianggap salah. Semua itu karena sang suami memang sudah berniat ingin pisah darinya.
Maka dari itu baik benar ataupun salah yang Laras lakukan tetap akan membuat Jefri muak, lantaran hatinya sudah tidak lagi milik sang istri.
Ingin rasanya Laras menyerah dengan rumah tangga yang sudah tidak bisa dipertahankan. Namun wajah malaikat kecil yang selalu memanggilnya ibu menggerakkan hati untuk terus mempertahankan Jefri dan menjadikan anak sebagai korban keegoisan mereka.
Siang hari Laras ingin pergi menjemput anaknya pulang sekolah, tiba-tiba dikejutkan oleh sebuah amplop cokelat yang tak sengaja diinjak ketika ingin keluar pintu.
Laras langsung mengambilnya sambil celingak-celinguk berharap ada seseorang yang bisa ditanyakan. Namun tak ada satu pun orang di dekat rumahnya.
Tanpa basa-basi Laras membuka amplop cokelat tersebut dan mengeluarkan isinya. Wajahnya terlihat syok berat mendapati foto Jefri bersama wanita lain dengan gaya foto sama persisi seperti pasangan romantis.
“Ma-mas Jefri … A-apa maksudnya ini, Mas? A-apa yang aku lihat ini benar kamu atau hanya cuma orang iseng yang berniat menghancurkan rumah tangga kita?”
Tak terasa air mata perlahan menetes di pipi Laras akibat foto yang dilihatnya berhasil mematahkan hati yang selama ini sepenuhnya telah diberikan kepada sang suami.
Sedetik kemudian Laras menghapus semua air mata dengan kasar, seolah-olah menyangkal foto itu dan berusaha untuk tetap tegar sambil tersenyum.
“Nggak, aku nggak boleh percaya begitu saja. Aku harus konfirmasi dulu sama Mas Jefri, siapa tahu ini foto editan. Ya, mungkin saja begitu. Daripada aku berburuk sangka pada suamiku sendiri lebih baik aku jemput Langit saja, kasihan jika terlalu lama menunggu.”
Secepat kilat Laras memasukan foto ke dalam amplop cokelat dan menaruh di tasnya, setelah itu mengunci pintu dan pergi menjemput anaknya.
*****
Sesampainya di depan pintu rumah Laras yang baru ingin masuk malah mendapatkan notifikasi pesan dari seseorang. Langit masuk lebih dulu, sedangkan sang ibu membuka ponselnya.
Betapa terkejutnya Laras saat melihat pesan itu berasal dari mertuanya sendiri yang menginginkan mereka berpisah.
“Dasar menantu tidak tahu diri kerjaannya cuma minta duit saja. Apa kamu lupa suamimu itu karyawan bukan bos, jadi jangan pernah menuntut apa pun dari anakku. Paham! Kalau mau apa-apa itu minimal usaha, bantu suamimu jangan bisanya marah-marah mulu. Pantesan aja suamimu gak betah di rumah dan memilih mencari kerja sampingan orang istrinya aja gak bersyukur. Tahu kaya gini mah, saya nyesel kasih restu anak saya dengan kamu. Udahlah daripada hidup anak saya tersiksa batin juga pikiran karena kamu, mending kalian pisah. Jefri bisa cari wanita yang jauh lebih baik dari kamu dan kamu bisa jadi simpanan om-om sana biar banyak duit sekalian!”
Tangan Laras refleks memegangi dadanya yang terasa sangat sakit. Pesan yang terus dikirim sang mertua selalu menyudutkan kesalahan yang tidak masuk akal juga menghinanya dan mengatakan kalau dia tidak pernah bersyukur atas rezeki yang diberikan oleh sang suami.
Padahal selama ini Laras berusaha mengirit-irit keuangan, sampai dia sendiri tidak makan hanya demi anaknya bisa makan enak sebulan sekali. Itu pun dia hanya mementingkan suami juga anak daripada kondisi dirinya.
Laras tak menyangka sebenci itukah sang mertua padanya. Jelas-jelas apa yang ada dipikirannya tidaklah benar. Dia meminta uang pun dalam keadaan mendesak, itu juga digunakan untuk kebutuhan suami juga anaknya tidak untuk berfoya-foya ataupun makan enak setiap hari.
Akan tetapi, Laras tak sanggup berkata apa-apa selain membalas pesan sang mertua dengan kata maaf karena belum bisa menjadi menantu terbaik.
Setelah itu Laras menghapus semua air matanya saat melihat Langit berada di depan pintu menatapnya.
“Ibu kenapa menangis?” tanyanya dengan wajah bingung.
“Ibu gapapa kok, Sayang. Ayo, ganti baju habis itu makan siang dan tidur, oke?”
Laras tersenyum lebar seolah-olah tak ada kejadian apa pun hati ini yang telah berhasil menguras mental juga batinnya.
Langit cuma menganggukan kepalanya, lalu mengikuti ibunya ke kamar untuk mengganti baju sekolahnya.
Ketika Laras ingin membuka baju sekolah Langit, matanya melihat beberapa jahitan baju yang sudah mulai berantakan. Belum lagi di bagian punggung terdapat lubang-lubang kecil akibat bahan seragam yang sudah tipis.
Parahnya saat baju terbuka Laras melihat di bagian ketiak seragam Langit sudah bolong akibat baju yang mulai kekecilan.
Tangannya meremas kuat baju itu dengan air mata yang hampir saja terjatuh jika Laras tidak mengalihkannya.
“Bajunya udah sempit ya, Bu. Jadi bolong, maafin Langit ya, kayanya Langit kebanyakan makan jadinya baju sekolah kekecilan. Langit janji, Bu. Langit tidak akan makan banyak lagi supaya baju langit tidak kekecilan lagi.”
Kalimat yang sangat menyayat hati seorang ibu berhasil membuat Laras meneteskan air matanya. Dia langsung memeluk Langit, meminta maaf, serta mencium wajahnya berulang kali.
Ini bukan salahnya dan ini bukan karena Langit makan banyak. Akan tetapi, ini akibat pertumbuhan sang anak yang sangat pesat.
Jika dipikir-pikir dari mana Langit makan banyak, sementara Laras masak beras satu liter saja bisa dimakan sampai dua hari bahkan terkadang tiga hari saking iritnya.
Kalaupun Langit makan banyak itu malah membuat hati Laras sangat bahagia, bukan sedih. Dikarenakan selama ini sang anak makan hanya dua centong nasi.
Kejadian hari ini benar-benar telah membuat Laras sangat bingung. Satu sisi dia mendapatkan foto suaminya dengan wanita lain dari orang tak dikenal, sisi lainnya sang mertua yang selalu menginginkan mereka pisah, dan sekarang Laras harus mendengar kata-kata Langit yang sangat mengharukan.
“Jangan nangis lagi, Bu. Langit tidak suka Ibu menangis. Ibu harus senyum karena Langit tidak mau wajah Ibu jelek.”
Langit mengusap air mata Laras, lalu menarik kedua sudut bibir sang ibu menggunakan tangan mungil itu untuk mengajarkan cara tersenyum dengan baik.
“Nah, begini ‘kan, bagus, cantik.” Langit tersenyum membuat Laras kembali memeluknya sangat erat.
“Terima kasih, Sayang. Kamu adalah harta Ibu satu-satunya yang paling berharga. Jadi jangan pernah tinggalin Ibu ya, Ibu sayang Langit selamanya.”
“Langit juga sayang Ibu selamanya. Langit janji akan selalu ada bersama Ibu.”
Laras melepaskan pelukan anaknya, kemudian mencium wajah Langit. Selepas itu mereka tersenyum bersama menatap wajah satu sama lain.
Setelah selesai mengganti pakaian Laras segera menyiapkan makan siang untuk anaknya. Langit yang awalnya makan dikit, langsung ditambahkan oleh sang ibu karena apa yang dikatakan tadi tidaklah benar.
Kesehatan Langit merupakan kebahagiaan bagi Laras, jadi dia tidak ingin anaknya jatuh sakit hanya karena makan sedikit.
Bila dihitung Langit hanya membeli baju setahun sekali itu pun Laras harus ekstra hemat menggunakan pengeluaran rumah tangga.
Sementara Laras tak memikirkan dirinya sendiri, hingga penampilannya tak secantik dulu. Apalagi kehamilan yang kedua badannya malah terlihat lebih kurus juga lusuh. Jangankan merawat tubuhnya, makan pun kadang harus mengalah yang penting Langit tidak kelaparan.
*****
Malam hari sekitar jam 9, Jefri baru saja pulang ke rumah dan langsung disambut hangat oleh Laras dengan senyuman manis juga perlakuan yang lembut.
Tidak ada percakapan apa pun karena Jefri segera berjalan ke arah kamar untuk mengambil pakaian ganti karena badannya sudah sangat lengket dan tanpa sadar menaruh ponsel di meja kecil dekat ranjang.
Saking buru-burunya Jefri melupakan ponsel itu, hingga membuat Laras penasaran dengan isi ponsel sang suami yang selama ini tidak pernah diletakkan sembarangan.
Saat Laras menekan tombol menyala, seketika matanya terbuka lebar dalam keadaan syok. Dia tidak menyangka bahwa wallpaper suaminya merupakan foto dari wanita lain.
Dari situlah kecurigaan Laras terhadap Jefri semakin kuat karena adanya teror foto yang ditemukan di depan rumah serta mertuanya yang selalu menginginkan perpisahan mereka.
Laras duduk di tepi ranjang dalam keadaan terdiam menunggu sang suami kelar mandi. Baru juga Jefri masuk ke dalam kamar sambil mengeringkan rambut sang istri berdiri dengan tatapan datar.
“Kenapa wajahmu begitu?” tanya Jefri bingung.
“Ini foto siapa, Mas? Wanita mana yang sedang kamu dekati, hem? Kenapa harus wanita ini yang menjadi wallpaper ponselmu, kenapa bukan fotoku atau foto Langit? Kenapa, Mas? Kenapa!”
Laras yang sudah menahan kekecewaannya dari tadi siang sampai-sampai masih menyangkal semua itu. Namun kembali yakinkan oleh foto wanita cantik itu.
Jefri yang terkejut melihat ponselnya ada di tangan Laras langsung mengambilnya dengan paksa dan menatap tajam ke arahnya.
“Dasar istri lancang. Bisa-bisanya kamu membuka privasiku, hahh!” pekik Jefri.
“Privasi kamu bilang, Mas? Setelah aku tahu semuanya perlakuanmu di belakangku kamu masih bilang kalau itu privasi? Iya!”
Sang suami tidak menyangka baru kali ini Laras berani meninggikan nada bicaranya persis seperti nada Jefri padanya.
Sorot mata Laras yang teramat kecewa dengan kebohongan Jefri selama ini, perlahan membuat sang suami takut karena sudah tertangkap basah.
Jika seseorang tidak bersalah maka dia akan menjelaskannya dengan baik dan menggunakan kepala dingin. Namun berbeda kalau orang tersebut melakukan kesalahan pasti malah akan berbalik marah untuk membela diri.
“A-apa maksudmu, hahh? Ka-kamu menuduhku selingkuh hanya karena wallpaper ini, iya?” bentak Jefri.
Laras tidak banyak berbicara. Dia mengambil bukti foto tadi siang dan memberikan di tangan Jefri dalam keadaan mata memerah menahan tangis.
“Foto itu akan membuktikan siapa yang menuduh dan siapa yang dituduh,” sahut Laras.
Jefri yang penasaran segera menaruh ponselnya di saku celana pendek, lalu membuka amplop tersebut. Betapa syoknya pria itu ketika mendapati fotonya bersama Dania bisa sampai di tangan Laras.
“Masih mau menyangkal, Mas? Sudah jelas wanita yang ada di foto itu dan wallpapermu adalah wanita yang sama. Itu artinya kamu ada main di belakang aku, iya, ‘kan? Aku minta Mas jawab jujur!”
Jefri mulai tersudutkan ketika sang istri telah mengetahui semua sifat busuknya. Memang benar selama beberapa tahun ini sang suami telah menjalin hubungan bersama Dania di belakang Laras.
Parahnya mereka sampai melakukan kontak badan untuk menyalurkan hasrat satu sama lain atas nama cinta. Cuma Jefri tidak ingin mengakuinya dan memilih untuk menyangkalnya.
“Sekarang jamannya teknologi canggih, Ras. Jangan bodoh jadi orang, foto bisa saja diedit, tapi buktinya mana? Apa kamu lihat dengan mata kepalamu sendiri, hahh? Nggak ‘kan, jadi jangan pernah menuduhku atau—”
“Atau apa, Mas? Kamu mengancamku, iya! Pantas Mama selalu menerorku dan mengatakan hal buruk mengenai, tanpa mengaca jika anaknya sendiri yang melakukan hal buruk dengan berselingkuh dengan wanita lain di saat istrimu sedang mengandung anak kedu—-”
Plakk!
Tamparan keras mendarat tepat di pipi kanan Laras hingga terjatuh tepat di atas ranjang. Sang istri menoleh dengan tatapan penuh kecewa sambil meneteskan air mata.
“Kamu benar-benar tega, Mas! Kamu tega!” teriak Laras disertai tangisan.
Jefri yang tak terima malah malah menarik rambut Laras dengan keras, membuat wajah sang istri mendongak ke atas.
“Awwshhh, sakit, Mas. Lepaskan aku, Mas, lepaskan hiks ….”
“Sekali lagi kamu mengatakan hal buruk tentangku juga mamaku, tidak segan-segan aku akan membuat perhitungan sama kamu. Ngerti!”
Jefri menghempaskan Laras di kasur, lalu meninggalkannya begitu saja dalam keadaan menangis.
Jika fisik yang disakiti Laras masih terima, tetapi ini masalah hati, kepercayaan, juga kesetiaan yang sudah dihancurkan. Haruskah dia bertahan ataukah menyerah dalam artian menyelamatkan mental juga anak-anaknya dari rumah tangga yang suda tidak sehat.
Laras yang merasakan perutnya keram hanya bisa menenangkan diri, meski rasanya begitu sakit. Dia tidak ingin sampai terjadi sesuatu pada sang anak yang ada di dalam kandungannya.
*****
Bersambung.
Dua hari Jefri tidak pulang ke rumah, selama dua hari itu pula Langit merasakan demam tinggi dan mengeluh sakit di bagian dadanya, hingga membuat bocah berusia 6 tahun itu kesulitan untuk bernapas.
“Bu-bu, da-dada Langit sa-sakit. La-langit su-susah napas. To-tolong Langit, Bu.”
Selama ini Langit tidak pernah menyusahkan Laras, bahkan jarang sekali minta tolong. Namun untuk pertama kalinya anak kecil itu meminta sang ibu supaya membantunya.
“Astagfirullah, Langit. Ya Allah, Nak. Ka-kamu sakit apa sih, jangan buat Ibu khawatir dong, Sayang. Kita ke periksa ke dokter ya, kamu tahan. Oke?”
Laras yang mulai panik melihat kondisi sang anak semakin tidak karuan langsung mencari kain, kemudian menggendong Langit layaknya anak bayi.
Perjuangan seorang ibu terlihat jelas. Laras rela berjalan kaki mencari angkutan umum yang lumayan jauh ke depan jalan raya.
Sepanjang jalan Laras hanya bisa meneteskan air mata melihat wajah sang anak yang sudah pucat, sesekali menciumnya.
Tak lupa juga Laras menelepon Jefri berulang kali, tetapi tidak diangkat sama sekali. Selepas itu beralih untuk mencoba menelepon ibu mertua dengan tujuan menanyakan keberadaan sang suami. Namun naas, belum juga bilang Tuti sudah memarahi menantunya tanpa ingin mendengar penjelasan terlebih dahulu.
Takut terbawa emosi mendengar suara mertuanya yang selalu menyalahkannya Laras segera mematikan sambungan panggilan secara sepihak. Dia tidak ingin menambah beban pikirannya, apalagi kondisi Langit sedang tidak baik-baik saja.
Melihat ada pangkalan tukang ojek Laras segera meminta tolong pada salah satu ojek untuk mengantarkan ke puskesmas terdekat.
Sepanjang perjalanan menaiki motor Laras menenangkan Langit yang terus menangis kesakitan. Putranya itu benar-benar anak yang kuat, mungkin jika anak lain yang merasakan sudah pasti tidak sadarkan diri dan terus merengek. Berbeda sama sang anak yang terus menahan rasa sakit tanpa menangis supaya tidak membuat sang ibu semakin khawatir.
Saking paniknya Laras berulang kali mengirim spam pesan kepada Jefri. Sayangnya bukan mendapat respons dia malah melihat pesan itu dibaca tanpa balasan apa pun.
“Ayo, Mas, balas pesanku. Aku mohon, bantu aku. Saat ini keadaan Langit sedang tidak baik. Aku tidak ingin kehilangan Langit. Jadi aku mohon susul aku ke rumah sakit. Langit butuh kita, Mas, Langit butuh kita!”
Laras berbicara kecil menatap ponselnya. Derai air mata terus bercucuran di wajah Laras. Tangan wanita itu sedikit gemetar untuk mengirim pesan juga menghubungi Jefri tanpa kata menyerah.
Hanya berselang beberapa detik, tiba-tiba saja nomor Jefri tidak aktif dan pesannya pun ceklis satu. Di situlah pikiran Laras mulai kacau, ditambah mendengar suara sang anak yang sangat menyayat hati.
“Bu-bunda, La-langit a-anak yang kuat, ‘kan?” tanya Langit terbata-bata, membuat Laras mengusap kepala sang anak sambil mengangguk menangis.
“I-iya, Sayang. Langit anak Bunda yang kuat. Jadi sabar ya, sebentar lagi kita sampai di puskesmas. Oke?”
Langit menatap lekat mata Laras, lalu mengusap air mata yang ada di pipi kanan ibunya sambil tersenyum kecil.
“Bu-bunda jangan khawatir. La-langit ‘kan, anak baik pasti Allah a-akan menolong Langit u-untuk sembuh. Cu-cuma ma-maafkan La-langit, Bunda. La-langit ngantuk. La-langit tidur se-sebentar, ya, Bun. Da-dada La-langit sakit banget. Bu-bunda jangan na-nangis lagi. La-langit tidak su-suka.”
Tangan Langit terlepas lemas bersamaan kedua mata yang sudah tertutup rapat. Isak tangis Laras semakin histeris karena melihat kondisi sang anak.
“Langit!” teriak Laras dengan sangat kencang memeluk sang anak, membuat tukang ojek bingung.
Betapa rapuh dan hancurnya hati Laras ketika tidak bisa berbuat apa-apa selain berdoa, berdoa, dan berdoa demi kesembuhan sang anak.
“Bunda mohon bertahanlah, Sayang. Bunda mohon hiks … Pak ayo, cepat bawa saya ke puskesmas!”
Laras menepuk keras pundak tukang ojek berulang kali dalam keadaan panik.
“I-iya, Bu. Sabar ya, Bu. Dikit lagi kita sampai, tapi anak Ibu gapapa, ‘kan?” tanya tukang ojek ikut panik.
“Anak saya pingsan, Pak. Jadi saya mohon sama Bapak. Tolong cepat, cepat, cepat hiks ….”
Tukang ojek mengangguk antusias, kemudian menambah kecepatan motornya dan berharap semoga Langit bisa segera mendapatkan pertolongan pertama dengan baik.
Hanya berselang 5 menit, akhirnya mereka sampai di puskesmas. Laras turun dalam keadaan terburu-buru, tetapi ketika ingin membayar ojek tersebut malah menolak.
Orang itu tidak ingin menerima dengan alasan untuk biaya berobat Langit saja, setelah itu pergi meninggalkan mereka dengan harapan semoga keadaan anak yang telah ditolongnya baik-baik saja.
Laras sangat terharu atas kebaikan hati tukang ojek. Berbeda sama Jefri yang tidak sedikit pun peduli akan kondisi anak kandungnya sendiri.
Langit langsung ditangani oleh dokter umum yang ada di puskesmas tersebut, tetapi jawaban sang dokter malah berhasil membuat dia syok.
“Jadi begini, Bu. Kondisi Langit saat ini benar-benar tidak baik. Detak jantungnya sedikit lemah, bahkan panasnya pun sangat tinggi. Dalam kondisi Langit yang seperti saat ini Ibu harus membawanya ke rumah sakit untuk melakukan ronsen. Saya takut jika ada penyakit dalam yang harus segera ditangani oleh alat-alat medis yang lebih canggih,” ucap dokter.
“Ru-rumah sakit, Dok? A-apakah se-separah itu penyakit anak saya?” tanya Laras penuh keseriusan.
“Saya kurang tahu pasti, Bu. Cuma melihat keadaan seperti ini Langit harus segera di opname di rumah sakit besar marena diagnosa saya anak Ibu terkena penyakit hati atau paru-paru yang menyebabkan dadanya terasa sakit. Namun saya tidak bisa memastikan dengan betul, apakah itu benar atau tidak, sehingga lebih baik Ibu konsultasi ke dokter khusus yang jauh lebih mengetahui tentang penyakit dalam,” jawab dokter.
“A-apakah dokter tahu biayanya ronsen itu sekitar berapa?” tanya Laras kembali.
“Saya kurang tahu ya, Bu. Mungkin kalau biaya ronsen doang atau mengecek penyakit dalam itu sekitar 300 ribuan kurang lebih. Namun setiap rumah sakit berbeda, Bu. Cuma kalau terbukti benar Langit punya penyakit dalam maka dia harus melakukan perawatan lebih yang biayanya bisa jutaan rupiah atau puluhan juta tergantung dengan penyakitnya.”
Penjelasan dari dokter membuat tubuh Laras melemas dan hampir saja jatuh jika tidak ditahan oleh suster yang kebetulan berada di dekatnya.
“Bu … Ibu gapapa?” tanya dokter panik, ketika suster membawanya duduk di kursi.
Laras tidak menjawab pertanyaan dokter karena hatinya begitu sakit mendengar semua penjelasan itu. Seakan-akan semua dunianya runtuh begitu saja ketika menatap wajah Langit yang masih pingsan.
Tidak ada cara lain. Laras harus segera menyelamatkan nyawa Langit. Dia berdiri mendekati sang anak, mengusap pipi sambil menciumnya dengan penuh tangisan.
Selepas itu Laras menatap wajah dokter penuh keseriusan sambil memegang tangannya dan memohon.
“Dok, saya mohon dengan sangat. Jaga anak saya sebentar saya. Saya harus mencari biaya untuk membawanya ke rumah sakit. Ini KTP saya. Dokter pegang sebagai jaminan. Saya tidak akan lama. Setidaknya dokter bisa menangani anak saya selama saya pergi. Setelah mendapatkan uang itu saya akan langsung menjemput Langit. Saya mohon, Dok, saya mohon!”
Laras berlutut di hadapan dokter yang sedikit bingung. Namun dia juga seorang ibu, sehingga bisa merasakan apa yang dirasakan oleh ibu dari sang pasien.
“Baiklah, Bu. Saya akan jaga Langit semampu saya sambil menunggu Ibu kembali. Saya doakan semoga Ibu segera mendapatkan uang demi membawa Langit berobat. Semangat, Bu. Tuhan tidak tidur,” ucap dokter tersenyum sambil membangunkan Laras.
“Terima kasih, Dok. Saya titip Langit. Permisi!”
Laras meninggalkan puskesmas demi mencari biaya untuk sang anak. Hanya ada satu tempat yang menjadi tujuan dia saat ini, meskipun tidak percaya akan mendapatkannya. Cuma wanita itu bertekad dengan segala pendirian harus bisa membawa Langit ke rumah sakit bagaimanapun caranya.
Tak peduli haus, lapar, bahkan panas sekalipun Laras tetap berjalan mencari ojek di sekitar puskesmas. Namun tidak lupa juga dia masih tetap memperdulikan dan menjaga kehamilannya sebaik mungkin.
Laras menaiki ojek ke rumah sang mertua yang bisa dibilang cukup kaya, berharap Tuti bisa membantunya apalagi Langit adalah cucunya sendiri pasti tidak akan perhitungan. Meski hati kecil wanita tersebut tidak begitu percaya.
Perjalanan dari puskesmas ke rumah sang mertua kurang lebih 25 menit akibat jalanan sedikit macet. Laras turun sambil membayar ojek, kemudian dikejutkan dengan adanya banyak orang di sekeliling rumah Tuti.
Sebagian orang menatap tidak suka kepada Laras akibat penampilannya yang sangat sederhana bahkan persis seperti orang kampung.
Hanya saja wanita itu tidak peduli. Dia terus berjalan menuju memasuki rumah sambil melihat semua orang yang berpenampilan cantik, tampan, juga gagah mengenakan kebaya. Seperti ada pesta besar yang sedang Tuti adakan. Cuma pesta apa itu? Begitulah pikir sang menantu.
Baru juga tiga langkah, matanya langsung terbuka lebar ketika melihat sang suami begitu tampan juga gagah sudah selesai bertukar cincin. Di mana Jefri mencium manis tangan wanita cantik dengan wajah persis seperti di dalam foto yang selalu dia terima.
“Mas Jefri apa yang kamu lakukan di sini dengan wanita itu, hahh!”
Suara teriakan dari Laras berhasil membuat semua mata tertuju padanya dalam keadaan bingung. Jefri yang baru saja melakukan tunangan bersama Dania pun ikut menoleh menatap sang istri dengan mata terbuka lebar.
“La-laras ….”
“Dasar laki-laki tidak punya hati. Bisa-bisanya kamu bahagia di atas penderitaan anak dan istrimu. Menjijikan!” pekik Laras penuh amarah.
“Jaga omonganmu, Laras!” teriak Jefri tak terima. Dania memegang lengannya sambil mengelus pelan dengan tujuan untuk membuat sang tunangan merasa tenang.
“Kalian—-”
Plaak!
Satu tamparan keras dari Tuti membuat Laras melirik tajam. Dia tak menyangka bila suami dan mertuanya telah bersekongkol untuk mengkhianatinya.
“Mama!” teriak Desi selaku kakak dari Jefri yang langsung merangkul Laras.
“Jangan pernah kamu berbicara seperti itu pada anak saya, mengerti! Dan untuk kalian semua jangan salah paham terhadap Jefri atas sikap wanita ini. Asal kalian tahu karena wanita ini anak saya menjadi stres, apa yang dilakukan terhadap anak saya benar-benar kejam. Dia menjadikan anak saya sebagai mesin ATM, sementara dia enak-enak menikmati uang anak saya tanpa mengerti susahnya Jefri banting tulang dari pagi sampai pagi lagi. Lebih parahnya ketika anak saya ingin memberikan sedikit rezeki kepada ibunya, tetapi dia malah melarang keras dengan alasan uang bulanan selalu kurang. Istri macam apa dia, hah?”
Laras terkejut atas perkataan sang mertua yang berusaha ingin menjatuhkan harga diri serta nama baik dihadapan semua orang. Dengan begitu mereka akan berpihak kepada Jefri karena otaknya sudah dicuci habis oleh wanita licik itu.
“Dasar istri tidak tahu diri. Pantesan suaminya berpaling, orang penampilannya aja menjijikan. Ditambah suaminya dijadikan budak yang harus menghasilkan duit. Sementara dia? Dia malah bersikap seolah-olah orang yang paling tersakiti. Dasar ular!”
“Istri kaya gini mah, buang aja ke laut Tuan Jefri. Lagi pula Nona Dania jauh lebih baik daripada dia. Jadi ngapain pertahanin istri yang sifatnya kaya se*tan!”
Hinaan dari semua pengunjung benar-benar meruntuhkan semua perasaan Laras. Dia dituntut kuat demi sang anak, tetapi mereka yang jahat berusaha mematahkan hati berulang kali dengan fitnahan yang tidak berdasar.
Tuti, Jefri, juga Dania tersenyum kecil karena semua orang berpihak padanya. Tidak seperti Desi yang menggelengkan kepala melihat kelakuan jahat mereka.
Desi ingin sekali membela Laras, tetapi dia tidak bisa bertindak lebih jauh karena begitu juga Tuti adalah ibu kandungnya sendiri.
“Cukup, Ma. Hentikan semua ini. Mama tidak bisa bersikap seperti itu pada Laras. Begini-begini juga dia—”
Perkataan Desi terhenti saat Dania turun dari panggung dan langsung mendekatinya sambil mengatakan kalimat yang sangat menyakiti hati Laras.
“Dia hanya seorang istri yang tidak tahu diri, Kak. Kalau dia becus mengurus suaminya dengan baik, pasti Jefri tidak akan berpaling apalagi sampai luntang-lantung layaknya pria yang tidak memiliki arah tujuan hidup. Lihat saja penampilannya jauh dari kata seorang istri. Aku yakin sih, uang yang selama ini dia tuntut dari Jefri pasti dibuat senang-senang sama pria lain. Makanya dia meminta Jefri untuk kerja dari pagi sampai pagi supaya dia bisa main belakang. Iya, ‘kan? Jujur saja!”
Rasanya Laras ingin sekali menampar mulut Dania yang sangat jahat itu serta menjambak rambut yang terurai rapi, tetapi dia urungkan niatan tersebut karena itu akan semakin membuat namanya jelek di mata semua orang yang sudah terhasut.
“Kamu!” ucap Laras berusaha menahan emosi sambil menatap tajam ke arah Dania yang terlihat santai juga sok anggun karena merasa menang dibela oleh Tuti.
“Sudah cukup kamu mengacaukan hari bahagiaku. Sekarang pergilah! Pak satpam, cepat usir wanita ini dan jangan biarkan dia masuk. Paham!”
Suara lantang Jefri membuat Laras melirik amarah ketika hatinya terbakar api atas pengkhianatan serta penghinaan yang keji ini.
“Baik, Tuan!” tegas satpam langsung menyeret Laras keluar dari rumah, “Ayo, ikut saya keluar, Bu. Jangan mengacau di sini!”
“Dasar kalian jahat! Aku bisa pergi sendiri, lepaskan!” bentak Laras, berjalan ke luar rumah. Namun saat di depan pintu keluar dia langsung berbalik menatap semua orang termasuk keluarga dari suaminya.
“Asal kalian tahu, saat ini Langit sedang sakit. Dia berada di puskesmas. Dokter bilang kalau Langit sepertinya punya penyakit dalam yang sangat berbahaya untuk nyawanya. Jadi dokter menyarankan aku untuk segera membawa Langit ke rumah sakit besar supaya mendapatkan penanganan yang lebih baik. Niatku ke sini ingin meminjam duit sama Mama untuk membawa Langit berobat, tapi … Tapi aku malah menyaksikan pertunangan suamiku sendiri. Sungguh, Mas,. Aku tidak menyangka kamu bisa melakukan ini di saat anak-anakmu sedang berjuang hidup. Keterlaluan!”
Jefri terdiam lantaran terkejut mendapatkan berita tentang anaknya. Akan tetapi Tuti dan Dania terus berusaha memprovokator pria itu untuk tidak percaya atas ucapan sang istri yang disangka hanya untuk memerasnya saja.
Sementara Laras yang sudah muak melihat semua itu, segera berbalik. Akan tetapi, Desi menahannya dan langsung memberikan uang sebesar 5 juta dari tas kecil yang tadinya ingin dia pakai untuk membayar sesuatu.
Cuma setelah mendengar keponakannya jatuh sakit. Tanpa berpikir buruk Desi membantu Laras demi menyelamatkan sang anak.
Laras memeluk Desi mengucapkan banyak-banyak terima kasih karena hanya dialah yang peduli akan nasib malang yang telah dialaminya.
Tanpa harus berlama-lama Desi meminta Laras untuk segera pergi supaya Langit bisa dilakukan pertolongan pertama di rumah sakit oleh dokter yang lebih ahli. Selebihnya urusan nanti. Setidaknya Langit sudah berada di rumah sakit terlebih dahulu.
Melihat Laras pergi Tuti menarik Desi dan memarahinya, tetapi sang anak tidak peduli. Dia pergi begitu saja dalam keadaan kesal atas sikap Jefri juga Tuti yang semena-mena terhadap Laras.
Desi hanya menyayangkan ketika semua masalah ini terjadi sang ayah, Daryono tidak ada di dekatnya. Dengan begitu Tuti bisa melakukan apa pun dengan bebas demi mencuci otak Jefri supaya meninggalkan istri yang selama ini telah menemaninya dalam keadaan susah maupun senang.
Desi sangat tahu. Seberapa besar dia melarang pertunangan itu, sebesar itu pula tekad Tuti dan Jefri untuk terus melanjutkannya sampai kelak Dania akan menjadi istri sahnya.
Laras kembali ke puskesmas dalam keadaan menangis dengan kondisi hati yang sudah hancur tanpa sisa. Pikiran wanita itu menjadi berantakan lantaran harus memikirkan tentang anaknya yang sakit, juga pertunangan yang berhasil membuat dunianya telah hancur lebur.
Akan tetapi, sesampainya di puskesmas Laras malah bertemu dengan Aiman, teman dari kakaknya yang sedang mengantar seseorang yang ditolongnya ketika bertemu di jalan.
“Loh, La-laras?” ucap Aiman terkejut.
“Ka-kak Aiman?” Laras menatap pria itu dalam keadaan wajah berantakan.
“Kamu ngapain di sini? Siapa yang sakit?” tanya Aiman.
“La—”
“Maaf, Bu. Keadaan Langit kritis. Langit harus segera dibawa ke rumah sakit sebelum nyawanya tidak tertolong,” sahut suster dalam keadaan panik karena telah melihat Laras sudah kembali.
“Ya Allah, Langit hiks … Baik, Sus. Saya akan bawa Langit ke rumah sakit. Terima kasih!”
Laras segera masuk ke dalam ruangan ingin menggendong Langit yang masih tidak sadar, tetapi dengan gentle Aiman langsung menggendongnya.
“Ikut denganku. Kita bawa Langit ke rumah sakit!” tegas Aiman diangguki oleh Laras.
Laras duduk di belakang sambil memangku kepala Langis yang terus diusap lembut sambil menangis. Perasaan dia sudah benar-benar campur aduk karena semua masalah datang secara bersamaan.
Aiman yang tidak tega melihat kondisi Laras hanya bisa menenangkannya sambil memintanya untuk berpegangan. Wanita itu hanya mengangguk menuruti permintaan dari sang pria.
Mobil Aiman melaju kencang dengan kecepatan ekstra, tak lupa klakson selalu dibunyikan juga lampu darurat telah dinyalakan. Habis itu Aiman berteriak dengan cara mengeluarkan kepala dari jendela demi memberikan pertanda kalau di dalam mobilnya ada anak yang sedang kritis.
*****
Bersambung.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!