“Lima tahun lagi aku akan datang melamarmu, tunggu aku” kalimat itu meluncur begitu lantang dari lisan seorang pemuda berseragam putih abu, di hadapannya seorang perempuan berjilbab putih yang menjulur menutupi hampir seluruh tubuhnya tengah tertunduk malu.
“Hey kalian, buruan …sebentar lagi semua bubaran” seru seseorang dengan suara pekikan tertahan karena takut ada orang lain yang mendengarnya, dia merupakan teman sang pemuda yang memaksanya untuk menemui gadis pujaan hatinya itu.
“Mil, jangan lama-lama!” dari arah yang berlawanan bisikan seorang gadis pun terdengar mengingatkan kedua sejoli yang tengah saling diam itu agar segera mengakhiri pertemuan mereka.
“Lima tahun lagi aku akan datang melamarmu, tunggu aku.” Pemuda itu kembali mengulang kalimat yang sama setelah sebelumnya belum mendapat respon dari perempuan di hadapannya yang hanya terus menunduk itu.
Hari ini adalah hari terakhir mereka memakai baju seragam putih abu, ujian akhir telah usai. Setelah ini mereka hanya tinggal menunggu hasil dari kerja keras selama tiga tahun belajar di sekolah itu sebagai modal untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi lagi.
Ariq Rafandra Malik dan Kamilia Izzatunnisa adalah sepasang anak remaja yang secara diam-diam telah menjalin kasih sejak memasuki sekolah berseragam putih abu.
Pertemuan pertama saat masa orientasi siswa baru menjadi awal tumbuhnya benih-benih cinta antara mereka. Kendati tiga tahun bukanlah waktu yang sebentar, tapi hubungan keduanya tidak banyak orang yang tahu, hanya kedua sahabat mereka yang selama ini menjadi perantara komunikasi keduanya yang mengetahui hubungan spesial itu.
Tidak akan ada yang menyangka jika keduanya adalah sepasang kekasih, selama ini komunikasi keduanya hanya sebatas surat, keduanya saling menumpahkan rasa dan perhatian melalui rangkaian aksara yang menjadi saksi bisu ketulusan cinta keduanya.
Ariq sudah memikirkan semuanya, lima tahun adalah waktu yang cukup untuk dirinya menempa diri agar benar-benar menjadi laki-laki yang layak untuk menghalalkan kekasih hatinya itu. Dia memang sudah bertekad untuk menikah muda.
Rencananya sudah sangat matang, apa saja yang akan dilakukannya selama lima tahun ke depan. Di usianya yang terbilang masih remaja dia sudah memiliki pemikiran yang kontekstual dan futuristik.
Sebagai anak laki-laki paling besar, dia mempunyai tanggung jawab untuk membuat kedua orang tuanya bangga, menjadi teladan untuk saudari-saudarinya sekaligus pelindung mereka pengganti sang ayah karena memang dirinya adalah putra satu-satunya.
“Bicaralah, Milia” pintanya dengan suara lembut, posisi Kamilia yang terus menunduk semenjak keduanya berada di ruangan itu membuat dia belum bisa melihat seperti apa wajah pujaan hatinya itu sebagai respon setelah mendengar apa yang diucapkannya barusan.
Keduanya saat ini duduk berhadapan dengan meja panjang sebagai penghalang, keduanya diantar oleh sahabatnya masing-masing untuk bertemu di tempat yang sudah dipastikan steril dari siswa lainnya pada jam makan siang seperti ini yaitu perpustakaan.
Perlahan wanita bermata indah dengan bulu mata yang panjang dan lentik itu mendongak, tatapan keduanya pun bertemu, beberapa detik kemudian Kamilia mengalihkan tatapannya ke arah lain. Ada rasa di hati keduanya yang tak bisa diungkapkan dengan kata-kata setelah beradu tatap walau dalam hitungan detik.
“Tak perlu mengikatku dengan janji. Bila aku takdirmu, kita pasti akan bertemu. Untuk sekarang, kita kerjakan bagian kita masing-masing, aku dengan hidupku, kamu dengan hidupmu. Perihal temu, datanglah bila sudah benar-benar siap. Itu juga bila belum ada yang mendahuluimu.” Helaan nafas terdengar menjadi pamungkas dari ucapan gadis itu.
Deg …
Kalimat terakhir yang diucapkan Kamilia seolah menjadi sesuatu yang menghantam dadanya, sesak seketika dia rasakan, ada perasaan tak rela jika itu benar-benar terjadi.
“Lima tahun, Kamilia, tolong tunggu aku.” Pintanya lirih, tatapannya sendu.
“Selamat ya, kamu berhasil diterima di universitas favoritmu sesuai dengan jurusan yang kamu minati, fakultas kedokteran” Kamilia mengalihkan pembicaraan mereka, seulas senyum dia tampilkan ketika mengucapkan selamat kepada pemuda yang telah mengisi hatinya selama tiga tahun ini.
Kamilia memang selalu seperti itu, pandai menyembunyikan perasaannya ketika keduanya berkesempatan bertemu. Kadang Ariq dibuat ragu karena Kamilia tidak pernah sekalipun menunjukkan perasaannya melalui sikapnya. Dia selalu bersikap biasa, tak ada bedanya terhadap Ariq maupun teman-teman yang lain, seperlunya.
Tapi, setiap goresan pena yang terukir rapi karya indah tangan Kamilia selalu membuat Ariq yakin jika cintanya tidak bertepuk sebelah tangan. Kamilia begitu pandai merangkai kata yang membuat Ariq percaya, pilihannya untuk menghalalkan gadis itu lima tahun mendatang tidak akan salah.
Entahlah, dunia remaja memang unik. Selalu merasa paling benar, paling tahu dan paling yakin. Enggan untuk berpikir jika waktu bisa saja mengubah segalanya.
“Terima kasih” ucap Ariq dengan senyum yang juga mengembang di bibirnya,
Selama ini mereka sangat jarang bertemu berdua seperti ini, di momen ini Ariq sepertinya tidak ingin kehilangan kesempatan untuk memiliki kenangan kebersamaan mereka berdua.
“Lima tahun, Milia” Ariq kembali mengulangi kalimat itu, dengan panggilan khusus yang biasanya hanya Ariq yang memanggil dengan nama itu. Kamilia hanya membalasnya dengan senyuman.
“Aku akan menganggap kalimat terakhirmu tadi sebagai motivasi agar bisa selesai lebih cepat” ucapnya mantap,
“Fokuslah belajar, kejar cita-citamu, wujudkan harapan kedua orang tuamu”
“Bolehkah kita berfoto berdua?” tanya Ariq dengan sungkan, pasalnya selama ini mereka tidak pernah berfoto berdua,
“Tentu saja, aku yang akan memotret kalian berdua” Mirza yang tak lain sahabat Ariq yang mengetahui perihal hubungannya dengan Kamilia datang secara tiba-tiba membuat keduanya menengok dan di saat bersamaan jepretan kamera dari ponsel Mirza telah mengabadikan momen berdua mereka.
Lima tahun kemudian …
“Selamat ya, akhirnya kamu lulus menjadi abdi negara” Elisha memeluk sahabatnya erat, setelah hampir satu tahun tidak bertemu kini mereka dipertemukan kembali dalam suasana yang penuh dengan kebahagiaan.
Di sela-sela kesibukannya sebagai seorang dokter di salah satu rumah sakit swasta terbesar di kota itu, Elisha sengaja meluangkan waktunya untuk bertemu dengan sahabat lamanya yang baru beberapa hari ini ditugaskan di kota yang sama dengannya setelah lulus tes menjadi abdi negara.
“Terima kasih, maaf sudah mengganggu waktumu” ucap Kamilia yang merasa tak enak hati karena tahu seperti apa sibuknya sang sahabat, dia tidak meminta untuk bertemu, mereka saling bertukar kabar melalui telepon saja sudah cukup tapi Elisha memaksa untuk bertemu di sela-sela kesibukannya itu.
Terhitung sejak seminggu yang lalu Kamilia resmi bertugas sebagai ASN di kota yang sama dengan sahabatnya. Kamilia yang awalnya berprofesi sebagai guru honor di salah satu sekolah di kota kelahirannya mengikuti tes penerimaan ASN setelah hampir satu tahun menjadi guru honor di kota kelahirannya pasca lulus sebagai sarjana pendidikan.
“Kamu jangan begitu, aku justru yang harusnya minta maaf karena baru bisa menemuimu. Harusnya aku tahu lebih awal, pasti aku akan mengajak kamu untuk tinggal di rumahku” Elisha mengurai pelukannya dan beralih menggenggam tangan Kamilia.
“Terima kasih” ucap Kamilia diakhiri kekehan karena melihat sahabatnya dengan wajah cemberut, masih sama seperti saat mereka masih berseragam putih abu.
Obrolan kedua sahabat pun berlangsung semakin seru, pertemuan keduanya seolah membawa mereka pada masa-masa indah di SMU, keduanya yang selalu saling terbuka dan saling membantu tentu sudah sangat saling merindukan.
Pertemuan terakhir mereka adalah saat lebaran tahun lalu. Elisha yang kebetulan mengunjungi makam leluhurnya di kota tempat Kamilia tinggal membuat keduanya berkesempatan untuk saling bertemu. Setelah hari itu hanya ponsel yang menjadi sarana komunikasi mereka itu pun di waktu tertentu seiring kesibukan keduanya.
“Oya, aku penasaran, hampir aja lupa mau nanya ini sama kamu” Elisha mengelap mulutnya setelah menghabiskan satu mangkok baso pedas di hadapannya.
“Apa?” tanya Kamilia tanpa menoleh, dia masih fokus pada baso di hadapannya yang tinggal beberapa suap lagi.
“Bagaimana kabar Ariq? Kalian sudah saling berkomunikasi kembali? Bukankah kalian sudah lima tahun berpisah” tanya Elisha to the point.
Mendengar pertanyaan sahabatnya seketika membuat Kamilia yang akan menyuapkan sendok berisi baso ke mulut menghentikan gerakannya.
“Kenapa?” tanya Elisha yang langsung bisa menangkap perubahan raut wajah Kamilia,
“Jangan bilang kalau sampai sekarang Ariq belum pernah menghubungimu.” telak Elisha dengan intonasi sedikit meninggi, dia tidak ingin sekali jika prasangkanya salah namun sayangnya Kamilia menganggukkan kepalanya pertanda jika yang dikatakan Elisha benar adanya.
“Mama sudah memastikan semuanya, guru yang akan menjadi guru ngaji Feli sangat baik, Pa” seorang wanita yang tak lagi muda namun terlihat masih sangat cantik dan berpenampilan modis itu berkata sembari menyerahkan piring yang sudah diisi sarapan kepada suaminya.
“Baguslah Ma, semoga kali ini Feli bertahan lebih lama dengan guru ngajinya” ucap sang suami yang kemudian menyuapkan sarapannya.
“Selamat pagi Ma, Pa” di sela-sela obrolan suami istri itu seorang pemuda nan gagah dengan stelan jas rapi dan terlihat jelas pasti harganya mahal datang menghampiri mereka,
“Sarapan dulu sayang, mama sudah membuatkan nasi goreng spesial kesukaan kamu” ujar sang mama, dia mengambil piring yang masih kosong dan mengisinya dengan nasi goreng sesuai porsi sarapan sang putra.
“Terima kasih Ma” ucap pemuda itu dengan senyum manisnya.
“Sama-sama, sayang” balas sang mama,
“Ngomong-ngomong Feli kemana? Tumben rumah udah sepi” tanya sang pemuda yang mengedarkan pandangannya mencari seseorang yang tidak lain adalah keponakannya.
“Feli sudah berangkat ke sekolah”
“Hah? Tumben.” potong sang putra yang bernama Cakra, dia tak bisa menyembunyikan wajah herannya karena sang keponakan tumben-tumbennya sudah berangkat ke sekolah di waktu yang terbilang masih pagi.
Biasanya dia menjadi orang yang paling direpotkan karena harus ngebut di jalan mengantar sang keponakan yang selalu injury time berangkat ke sekolahnya karena bangunnya yang selalu siang.
“Alhamdulillah dong, sejak ada guru baru di sekolahnya dia jadi berubah, lebih bersemangat ke sekolahnya" terang sang mama,
“Pasti gurunya cowok mirip oppa-oppa Korea” terka Cakra,
“Hushh …kamu tuh ya, suudzan aja kerjaannya sama keponakan sendiri juga” sanggah sang mama menegurnya, sementara sang papa anteng menikmati sarapannya.
“Terus apalagi yang bikin dia bersemangat selain semua hal yang berbau negeri ginseng” Cakra membeberkan fakta tentang keponakannya yang bilang malas ke sekolah tapi selalu bersemangat jika berhubungan dengan yang berbau Korea itu.
“Guru barunya perempuan, kebetulan juga mengganti wali kelas Feli yang harus mutasi tugas ke tempat lain, jadi mereka lebih akrab dengan guru baru itu karena menjadi wali kelas mereka” jelas sang mama yang ditanggapi Cakra hanya dengan mengangguk-anggukkan kepalanya.
Cakra Mahardika Wira, laki-laki berusia dua puluh tujuh tahun, putra kebanggaan keluarga besar Wira Atmaja, menjadi penerus tunggal sang ayah sebagai presiden direktur Wira Medika Corp, perusahaan besar yang bergerak dalam bidang obat-obatan dan alat-alat kesehatan.
Perusahaan yang dirintis oleh mendiang kakeknya, secara turun temurun diwariskan kepada sang ayah yang merupakan anak tunggal, dan kini perusahaan itu pasti akan diwariskan pada dirinya karena sang kakak yang seorang perempuan lebih memilih dunia fashion sebagai bisnisnya.
Berawal dari hobi menggambar, mencoba mendesain model-model baju yang akan dipakainya sendiri dalam setiap menghadiri acara keluarga atau acara perusahaan sang papa, kini hobi sang kakak bahkan sudah menghasilkan rupiah yang tak terhitung nol nya.
Demi membesarkan bisnisnya saat ini sang kakak memilih tinggal di Paris bersama suaminya untuk mengurus perusahaan mereka yang di sana. Keduanya terpaksa meninggalkan putri tunggal mereka yang berusia remaja dan kini sudah menduduki bangku kelas sebelas sekolah menengah atas, dia tidak mau ikut kedua orang tuanya dengan alasan Indonesia sudah sangat mendarah daging dalam dirinya.
Felicia Rania Safira yang sejak memasuki sekolah menengah atas sudah berdrama dengan segala keinginannya yang harus selalu dituruti, menjadi cucu kesayangan yang dilimpahi cinta kasih dari seluruh anggota keluarga lantas membuat dia tumbuh menjadi gadis yang manja dan sering memaksakan kehendaknya agar terpenuhi. Dan dalam hal ini, Cakra sang paman selalu menjadi korban dari keinginan-keinginan gadis remaja itu.
"Assalamu'alaikum Bu Guru," sapa Feli yang hari ini kembali datang lebih pagi, dia menenteng tas berisi kotak bekal untuk sarapannya pagi ini.
Sejak mengetahui sang guru kesayangannya selalu sarapan di sekolah, dia pun memutuskan untuk membersamai gurunya itu.
"Wa'alaikumsalam, Feli ..." seru gurunya yang tak lain adalah Kamilia.
"Ibu, boleh Feli sarapan bareng Ibu?" tanyanya malu-malu,
"Tentu, silakan duduk. Ayo kita sarapan." Kamilia menyodorkan kotak makan yang berisi capcay dan telur dadar bumbu yang dimasaknya setelah shalat subuh tadi, tidak lupa nasi putih yang masih tampak mengepul juga tersaji di kotak makan yang lainnya.
"Terima kasih, Bu Guru. Tapi Feli juga bawa bekal sendiri, ini nasi goreng spesial buatan oma Feli yang baik hati dan penyayang" Feli membuka tas yang berisi kotak bekalnya, tidak lupa buah potong dan segelas susu pun lengkap menyertai.
Kamilia tersenyum melihat muridnya itu, sejak bertugas di sana dia langsung merasa nyaman, tugas tambahan menjadi wali kelas membuatnya mudah akrab dengan murid-muridnya dan salah satunya Feli.
Keduanya pun makan dalam diam, tidak lupa Kamilia mengingatkan Feli untuk berdo'a terlebih dahulu sebelum memulai makannya.
"Oya Bu Guru, Feli akan sangat senang sekali kalau Bu Guru bersedia menerima permohonan Feli untuk jadi guru privat ngaji Feli" gadis itu merapikan kembali kotak bekas makannya dan memasukannya ke dalam tas.
"Feli, Ibu Guru sangat senang jika bisa membantu Feli belajar mengaji, tapi karena Bu Guru juga punya tugas lain jadi mungkin tidak punya waktu luang yang leluasa untuk belajar bersama Feli, lagi pula mungkin seharusnya Bu Guru juga bertemu dulu dengan orang tua Feli"
"Bu Guru tenang saja, nanti Oma akan datang ke rumah Bu Guru" sahut Feli dengan antusias. Keduanya pun bersiap memulai hari baru di sekolah setelah menghabiskan sarapannya.
Sesuai janji Feli yang mengatakan jika oma nya akan datang menemui Kamilia di rumah kontrakannya yang tidak jauh dari sekolah tempatnya mengajar.
Rumah sederhana yang hanya memiliki satu kamar, satu ruang tamu, dapur yang digabungkan dengan tempat makan dan juga kamar mandi menjadi tempat Naura tinggal selama satu bulan ini.
Kedatangan Feli dan omanya tentu mengejutkan Kamilia, dengan ramah dia pun menerima kedatangan keduanya.
"Mohon maaf kalau harus duduk di bawah" ucap Kamilia sungkan saat mempersilahkan Feli dan omanya harus duduk di atas karpet yang digelar olehnya di ruang tamu.
Cukup nyaman untuk ukuran Kamilia tapi entahlah untuk kedua tamunya, karena Kamilia tahu Feli dan keluarganya pasti orang berada, hal itu terlihat dari penampilan dan gaya Feli selama ini, apalagi saat ini Kamilia melihat dengan mata kepalanya sendiri oma Feli yang terlihat berpenampilan sangat modis dan berkelas. Belum lagi mobil yang digunakan keduanya saat ini adalah salah satu mobil yang termasuk katagori mobil mewah yang Kamilia ketahui.
"Tidak apa-apa, Bu Guru. Jangan sungkan." ucap Oma Feli ramah.
Mereka pun terlibat obrolan, ketiganya semakin akrab. Bahkan Feli sesekali bergelayut manja di lengan Kamilia, menunjukkan jika dirinya begitu nyaman dengan Kamilia. Hal itu tidak luput dari pengawasan omanya, setelah bertemu secara langsung dan berbincang cukup lama dengan Kamilia, oma Feli yakin cucunya itu akan sangat cocok dengan guru barunya itu.
Kesepakatan pun terjadi, setiap akhir pekan Kamilia akan dijemput oleh sopir keluarga Feli untuk datang ke kediaman omanya Feli. Dia akan mengajari Feli mengaji dan belajar pengetahuan agama lainnya. Meskipun Kamila adalah guru bidang studi Biologi di sekolah itu tapi bekal pengetahuan agamanya saat bersekolah di sekolah Islam boarding school membuatnya tampak relijius sehingga dipercaya untuk menjadi guru ngaji Feli.
Tiga hari dalam seminggu, tepatnya Jum'at sampai hari Minggu, Kamilia akan datang ke kediaman muridnya yaitu Feli untuk menjadi guru ngaji gadis remaja itu.
Terhitung sudah hampir satu semester Kamilia menjadi guru ngaji di sana. Perubahan signifikan terlihat dari muridnya itu, selain sudah mulai lancar membaca Al-Qur'an Feli juga mantap untuk berhijab. Hal itu tentu disambut bahagia oleh oma dan opanya, kedua orang tuanya yang berada di luar negeri pun tak kalah bahagia, mereka bahkan berjanji akan secepatnya pulang ke tanah air untuk menghadiri acara tasyakur yang sengaja dibuat oleh omanya Feli sebagai bentuk syukur atas perubahan cucu kesayangannya itu.
"Akhirnya anak itu berubah juga" gumam Cakra yang saat ini tengah duduk di balkon kamarnya, dia memerhatikan sang keponakan yang sedang mondar mandir di teras rumah menunggu kedatangan guru ngajinya.
Hari ini dia sengaja mengosongkan jadwalnya selepas shalat Jumat dan segera pulang ke rumah hanya untuk menghilangkan kepenasarannya tentang sosok guru ngaji Feli. Biasanya meskipun di akhir pekan Cakra masih saja disibukkan dengan urusan pekerjaan dan urusan lainnya dengan teman dan kekasihnya.
Karena penasaran dengan perubahan signifikan keponakannya, dia pun penasaran dengan guru ngaji Feli yang bisa membuat keponakan manjanya itu kini lebih mandiri dan terlihat dewasa. Dari cerita mamanya tergambar jika sang guru ngaji begitu istimewa dan hebat, dan hal itu berhasil menumbuhkan rasa penasaran di hati Cakra.
Cakra beranjak dari duduknya, dia mengamati dengan seksama saat sebuah mobil milik keluarganya memasuki pekarangan rumah. Cakra yakin jika di dalam mobil itu pasti ada guru ngaji Feli yang baru dijemput oleh sopir keluarga mereka.
Tampak seorang gadis berkerudung biru keluar dari dalam mobil dan langsung disambut oleh Feli dengan antusias. Karena posisi Cakra berada di lantai dua, dia jadi tidak terlalu jelas melihat wajah sang guru ngaji tersebut. Melihat dari penampilannya uang biasa, gamis longgar dan kerudung lebar, membuat dia hanya mengerdikan bahunya berusaha acuh.
Cakra berniat kembali ke dalam kamarnya, namun langkahnya terhenti ketika melihat siapa yang keluar dari balik kemudi mobil yang membawa guri ngaji Feli tadi. Dia adalah Cipta, sahabat sekaligus asisten pribadinya di kantor. Cakra heran, kenapa bisa Cipta yang menjemput guru ngajinya Feli, apakah sahabatnya itu sudah sering menjemput guru ngajinya Feli atau hanya baru kali ini?
Entahlah Cakra sempat penasaran namun kembali dia acuhkan ketika mendengar notifikasi panggilan masuk di ponselnya.
"Ya, halo ..."
"Sayang, nanti malam jadi kan?" terdengar suara manja dari seberang telepon milik Cakra.
☘️☘️☘️
"Silakan masuk Bu Guru, sekarang kita mengajinya di tempat baru, Opa sudah menyiapkan satu ruangan khusus untuk aku belajar ngaji, semoga bu guru suka suasana barunya" sebuah gazebo di taman belakang rumah mewah itu di sulap menjadi tempat untuk Feli belajar mengaji. Tempat yang sejak awal memang sudah terlihat estetik dan nyaman, kini lebih nyaman dan estetik setelah didesain ulang dengan nuansa religi yang sangat kental terasa.
"Masya Allah, indah sekali ini, Fel" Kamilia mengusap kaligrafi yang di tempel di salah satu sisi ruangan itu, dengan bingkai yang tak kalah indah membuat Kamilia tidak tahan untuk tidak menyentuhnya.
"Bagus gak Bu Guru?" tanya Feli antusias bertanya saat melihat binar mata kagum Kamilia,
"Sangat Fel, kaligrafi ini sangat bagus." ujar Kamilia dengan fokus masih pada kaligrafi yang sedang dikaguminya tersebut.
"Mami yang kirim kaligrafinya Bu, katanya hadiah karena Feli sudah lancar baca Al-Qur'annya, mami bilang dia pesan khusus dari Madinah" jelas Feli mengusir kepenasaran Kamilia yang masih anteng mengamati setiap keindahan ukiran huruf dalam kaligrafi itu.
"Alhamdulillah, keren sekali Fel. Baiklah kalau begitu, sekarang ayo kita mulai ngajinya."
Durasi waktu sembilan puluh menit yang digunakan Kamilia dan Feli untuk mengaji, sesuai dengan kesepakatan yang dibuat dulu di awal sebelum mereka memulai belajar mengaji. Bukan tanpa alasan Kamilia membatasi waktunya, dia akan datang ba'da Ashar ke rumah Feli, dan selesai qabla maghrib, walau bagaimana pun kota ini terbilang baru bagi Kamilia, dia tidak cukup berani untuk masih berada di luar rumah jika malam hari kecuali jika itu urusan pekerjaan sekolah.
Namun bukan Feli namanya jika tidak berhasil membuat Kamilia kewalahan, gadis remaja itu selalu berhasil membuat Kamilia akhirnya melaksanakan shalat maghrib bersamanya, selain banyak pertanyaan tentang pengetahuan agama yang dilontarkan gadis itu pada sang guru dia juga meminta agar bisa dibimbing langsung shalat dan berjamaah dengan gurunya itu. Alhasil selama enam bulan ini Kamilia selalu pulang selepas maghrib bahkan selepas Isya.
Seperti malam ini, Feli meminta Kamilia untuk makan malam bersama, Kamilia pun menolak karena tidak enak hati, tetapi dengan sedikit paksaan dari omanya Feli Kamilia pun akhirnya luluh, dan menerima ajakan keluarga itu untuk makan malam bersama.
Seluruh anggota keluarga hadir di waktu makan malam itu, termasuk Cakra yang selama ini tidak pernah bertemu dengan Kamilia, malam ini turut makan malam di rumah.
Tidak ada yang istimewa dari acara makan malam ini, setelah Kamilia dikenalkan oleh Omanya Feli pada putra bungsunya itu, semuanya berjalan seperti biasa. Suara Feli dan Omanya sesekali mengisi keheningan, di sambut seperlunya oleh Kamilia yang tak jarang dilibatkan dalam obrolan mereka, dia sangat senang karena Kamilia bersedia Kamilia bersedia makan malam bersama mereka.
Waktu pun berlalu seperti seharusnya. Hari-hari Kamilia hanya seputar sekolah dan rumah Feli. Sebentar lagi di sekolah akan dilaksanakan perpisahan kelas dua belas, Kamilia yang didaulat menjadi salah satu panitia mulai sibuk membimbing anak-anak OSIS menyiapkan acara untuk kakak kelas mereka.
Minggu ini Kamilia meminta izin tidak bisa datang ke rumah Feli untuk mengajar ngaji, dia harus mempersiapkan acara perpisahan di sekolah yang akan dilaksanakan akhir pekan agar tidak mengganggu waktu efektif belajar.
"Maaf Mbak, saya tidak sengaja" Kamilia membungkukkan kepalanya saat tidak sengaja troli yang didorongnya menyenggol troli yang didorong wanita lain. Saat ini dia tengah berada di sebuah mall untuk berbelanja keperluan kegiatan sekolah dengan rekannya.
"Oh tidak apa-apa" ucap wanita berambut panjang itu datar, dia kembali fokus pada ponselnya yang masih menempel di telinganya.
"Sayang, aku udah selesai, buruan dateng ya" ucap perempuan itu dengan suara manjanya saat berbicara di telepon, sangat berbeda dengan ketika berbicara tadi pada Kamilia.
Kamilia pun kembali dengan kegiatannya, setelah berburu kebutuhan kegiatan sekolah dia pun kemudian mengantri di kasir untuk membayar.
"Bu Kam, ini ketinggalan" seorang perempuan dengan pakaian formal mendekat ke arah Kamilia yang sedang mengantri, dia memasukan barang yang tadi dibawanya ke dalam troli yang di dorong Kamilia.
"Sudah semuanya ya?" tanya Kamilia kembali memastikan belanjaannya,
"Sepertinya sudah, Bu" sahut wanita yang bersamanya, dia bernama Sarah, rekan sejawat Kamilia di sekolah tempatnya mengajar. Keduanya sama-sama pendatang di kota itu, tidak hanya di sekolah mereka sering bersama tapi juga di luar sekolah karena rumah kontrakan mereka yang juga berdekatan.
"Sayang, kamu lama banget sih" di saat bersamaan tepat di samping Kamilia seorang pemuda dengan stelan jas lengkap tengah berdiri dan disambut dengan gelayut manja gadis yang tadi sempat beradu troli dengan Kamilia.
Mengetahui siapa pemuda itu Kamilia lantas memalingkan wajahnya, walau pun baru satu kali bertemu tapi Kamilia masih ingat jika laki-laki yang sedang berdiri di sampingnya itu adalah omm nya Feli, muridnya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!