Rhea Red Amber namanya. Gadis cantik dengan segala kelebihan dan kekurangan yang saling melengkapi. Percaya diri, mandiri dan pekerja keras. Satu-satunya yang paling dia sukai di dunia ini adalah uang.
Perempuan normal yang selalu ingin tampil cantik meski budget pas-pasan. Tak munafik meski dia hidup sederhana dan pas-pasan, dia penyuka benda berkilauan seperti seekor burung gagak yang mengumpulkan mutiara di kandangnya.
Dia sangat menyukai berlian karena menurutnya benda itu bersinar terang di manapun dia diletakkan, bahkan lumpur hitam berisi kotoran sapi saja bisa jadi mahal karena dihias permata.
Tapi taraf kegilaan nya hanya sampai batas menikmati keindahan batu permata itu. Untuk membeli dia akan menolak dulu sampai dia jadi triliuner yang punya segalanya dan bisa beli batu-batu itu sebagai mainan.
"Kerja keras untuk dapat cuan, no cuan no life!" Slogan khas gadis berambut biru langit dengan senyuman manis diikuti pipi merah merona alami bak didempul blush on itu. Dia tak perlu repot memakai blush on karena Tuhan sudah memberinya blush on alami di kedua pipi chubbynya.
Wajahnya manis dan cantik, kulitnya putih bersih karena sering dia rawat dengan potongan mentimun segar sebelum mentimun itu berakhir mendarat di lambung karetnya. Senyuman manisnya dia dapat dari kulit pisang dan jeruk yang setiap hari dia gosok ke giginya mengikuti tutorial memutihkan gigi dari internet.
Kuotanya habis untuk mencari cara perawatan diri dan membaca komik online dari situs illegal karena enggan berlangganan pada aplikasi. Sungguh gadis normal dengan kantong kembang kempis sesuai keadaan.
Awal bulan dia akan makan besar mentraktir kucing tetangga dan teman-temannya di sekitar jalanan tempat tinggalnya, akhir bulan dia hanya cukup makan obat lambung di campur air putih karena semua pengeluaran bertumpuk di akhir bulan.
"arrkhhhh... Aku laphaaarrr...." Teriak gadis itu sambil mendendangkan kedua kakinya ke udara. Menggeliat di atas tikar rajutan dari daun kering, menatap kosong ke penanak nasi yang sudah berhenti bekerja sejak malam tadi karena semua uang Rhea habis untuk membayar air, listrik, kuota internet (ini yang paling penting), bahan jualan goreng dan biaya sekolah adik kecilnya yang masih kelas 1 SMA.
Dia menatap nasi dan ikan asin di atas meja dengan air liur menetes, dia merangkak dengan tangan terulur ke arah tudung saji, wajahnya berkerut seperti tak makan dari tahun kemarin.
Plak!! Plak!!
"Sadar goblok, itu untuk Ahin!" Kesalnya sambil menampar pipinya sendiri.
"arkhhh tapi aku lapaaaar...." Teriaknya lagi sambil guling-guling di atas tikar, merengek bak anak kecil karena kelaparan di rumahnya sendiri.
Gadis itu duduk bersila sambil mengacak-acak rambutnya, menatap kesal pada kedua tangan nakalnya.
"Salahku juga memesan pizza dan minuman mahal hari itu, harusnya satu potong saja untuk ulang tahun Ahin, aku seharusnya tidak seboros itu, arhhh... Rhea, jelas-jelas biaya hidupmu besar kenapa kau boros sekali!" Dia hanya bisa mengomeli dirinya sendiri.
Gadis berusia 25 tahun itu hidup dalam keadaan yang tidak mengenakkan sebab dia dan adiknya adalah korban kejahatan orangtua mereka. Keduanya dibuang setelah ayah dan ibu mereka bercerai dan memiliki keluarga masing-masing.
Di usia 18 tahun, harapan Rhea untuk melanjutkan kuliah harus pupus karena perceraian orangtuanya, dia dan adiknya diusir bahkan oleh nenek dari pihak ayah dan ibu mereka.
Tidak ada yang mau menerima Rhea dan adik laki-laki nya, sejak saat itu Rhea mengambil peran sebagai kakak, ayah dan ibu bagi adiknya yang kala itu masih berusia 8 tahun.
Untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, Rhea berjualan goreng dengan gerobak yang dia buat sendiri dari sisa gelondongan kayu milik tetangganya yang sudah tua. Selain menjual goreng dia juga menawarkan jasa serba bisa untuk berbagai jenis pekerjaan yang bisa dia lakukan selama pekerjaan itu normal.
Beruntung mereka tinggal di komplek yang ramah dan baik, meski ada saja yang julid dan mengejek kehidupan mereka.
Tetapi Rhea menutup mata dan telinga serta menjalani hidupnya dengan caranya. Beruntung keduanya saat itu bertemu langsung dengan seorang nenek tua yang merupakan pemilik rumah mereka saat ini. Meski rumah semi beton itu terlihat tua, tetapi masih layak untuk ditinggali.
Keduanya hidup di sana sambil berusaha agar mereka tidak mati karena kelaparan.
Huuupp.. Haaahhh...
Puk! Ppuk!
Rhea menepuk kedua pipinya dengan lembut, menarik nafas perlahan-lahan dan menenangkan dirinya. Di ambilnya pil obat maag dan segelas air mineral lalu ditelannya obat itu agar lambungnya tidak lagi berpesta ria.
"Ayo kita bekerja Rhea, bulan depan harus lebih hemat!" Ucapnya pada dirinya.
Yakinlah, ini bukan kali pertama dia mengatakan hal itu. Dia berulangkali mengucapkan kata-kata ajaib itu tapi berakhir mengingkarinya.
Rhea memulai mengolah bahan gorengannya. Ada pisang, sayuran, tempe dan tahu yang siap dia olah sebagai bahan utama. Nama usahanya cukup unik, orang-orang memanggilnya sebagai "Gornyus Neng Biru" karena rambut biru Rhea yang jadi ciri khas gadis itu. Entah dia memiliki kelainan, tetapi rambutnya sudah biru sejak kecil, seingatnya dia diberitahu dirinya pernah terpapar semacam zat kimia yang menyebabkan rambutnya berubah biru seperti itu, sebab adiknya memiliki warna rambut pirang mengkilap yang menarik perhatian.
"Adududududu... Sakitnya jatuh cinta... Disimpan tak berguna dibuang sayang.. aye aye!!" Celetuk nya seraya bersenandung lagu dangdut ciptaannya untuk meledek tetangga yang suka karaokean sampai suaranya terdengar ke seluruh komplek.
Hidup di kota besar itu memang merepotkan, jalanan padat, cuaca panas, cari cuan pun tak segampang memutuskan pacar.
"Cihuyyy... Kalau aku kaya nanti, aku akan menikahi pangeran tampan dengan wajah bagai porselen sampai lalat pun terpleset di wajahnya, "
"Pria kaya raya, Rhea menantikanmu uhuuuyiiiii!!!" Celetuknya sambil goyang ke sana kemari sambil tertawa cengengesan. Khayalannya sebagai anak gadis yang jomblo sejak lahir tidak lah jauh, seandainya karakter komik yang dia baca jadi nyata dia ingin para pria gepeng itu muncul dan menemani malamnya yang sepi.
Rhea asik dengan musik pop yang dia putar, mengolah bahan gorengan sambil menikmati hidup sampai dia benar-benar lupa dengan nyanyian mars para cacing kelaparan di perutnya.
Di saat yang sama, pintu rumah dibuka dengan kasar, tapi Rhea tak memperhatikan sama sekali.
" Kak Rheaaaa... Toloooong!!!!!" Suara teriakan anak laki-laki terdengar.
Degh!!
Jantung Rhea hampir copot, pisau yang dia pegang sampai jatuh ke atas lantai karena terkejut mendengar suara teriakan adiknya yang dia sayangi. Tanpa alas kaki dia berlari ke ruang depan dengan wajah panik," Ahin ada apa!?" Pekiknya dengan nafas tersengal-sengal.
Dia paling takut jika terjadi sesuatu pada satu-satunya adik yang dia sayangi.
Rhea terdiam membisu saat melihat bercak merah berceceran di atas lantai. Seorang laki-laki sedang terluka, nafasnya tidak stabil. Tatapannya terlihat datar dan dingin, dia gemetaran dan hampir ambruk ke atas lantai.
"A-Ahin apa yang terjadi!??"
"Ahin ada apa ini!? Kenapa kamu....." Rhea terdiam dengan wajah syok, dia sampai pucat melihat ceceran darah di atas lantai dan di pakaian Ahin. Jantung Rhea berdegup sangat kencang menatap semua itu.
"Kak... Ce-cepat bantu Ahin.. uhuk... Uhuk... Tolong kak..." Ucap Ahin dengan nafas tersengal-sengal.
Wajah Rhea sangat pucat, buku jarinya sampai memutih saking kagetnya melihat sang adik membawa pria dengan luka tusuk di perutnya, sebab darah mengalir dari bagian perut yang ditekan begitu kuat.
"Kak Rhea!" Panggil Ahin, anak berambut pirang itu. Dia menatap Rhea heran, kakaknya tidak selemah itu sampai takut dan terdiam di hadapan darah.
"Ahin!"
"Astaga kamu bawa ini orang dari pemotongan daging yang mana!? Kenapa masih berdarah!? " Celetuk Rhea dengan suara melengking itu.
Ahin hampir saja tertawa, waktu tidak tepat tapi kakaknya selalu saja mengeluarkan candaan gila.
"Kak serius sedikit, orang ini tertusuk saat menolongku, bantu dia, aku gak punya uang, jadi gak bawa ke klinik, dia juga kelihatannya miskin!" Ucap Ahin sambil melirik penampilan pria yang tengah menunduk kesakitan itu.
"Yakk... Bo-bocah, jangan bicara seenaknya, " protes pria yang terluka itu.
"Dan kau, gadis aneh tolong aku, kalau kau tidak mau dituduh melakukan pembunuhan!" Ucap pria itu dengan suara bergetar sebab menahan sakit.
Rhea terhenyak kaget, " alamak! Benar juga, kalau dia mati di sini kita bisa dituduh pembunuh Ahin!"
"Buang aja sana ke selokan, gak guna juga, dagingnya pasti gak enak!" Celetuk Rhea dengan wajah panik tapi malah menyuruh Ahin membuang pria itu.
"Kak Rhea!!"
"Nona!"
Kedua pria itu berteriak dengan wajah kesal sambil menatap Rhea yang terus bercanda padahal kondisi pria itu sudah sangat serius. Dia kesakitan karena luka tusuk di perutnya, jika terus dibiarkan dia akan mati di sana.
"Astaga, sejak kapan kalian jadi soul mate, heheheh... Maaf maaf, sebentar ku ambil peralatannya!" Celetuk Rhea dengan senyuman ganas di wajahnya.
Pria berambut hitam legam itu mengerutkan keningnya, dia menatap Ahin dengan wajah heran," apa yang sedang dia lakukan?" Tanyanya.
Ahin membantu pria itu duduk," mengambil peralatan,"
"Kakak bisa menjahit luka dan mengerti tentang pengobatan, jadi anda tidak perlu khawatir, luka anda pasti akan sembuh," ucap Ahin.
"Apa kalian melakukan malpraktik!?" Tanya pria itu dengan wajah terbelalak.
Ahin terkekeh, pertanyaan pria itu sama seperti pertanyaan pasien lain yang pernah datang ke rumah mereka karena keadaan darurat," tenang saja, kak Rhea itu yang terbaik, dia bisa melakukan apapun, memakan manusia pun dia bisa kalau sudah sangat kelaparan!" Ucap Ahin sambil tertawa simpul.
Pria berwajah tampan bak porselen yang diidamkan Rhea itu terhenyak, " sial!"
"He-hey bocah, aku pergi saja, yang ada aku akan mati di rumah kalian!" Ucap pria itu dengan wajah ragu.
"Eitss...jangan sembarangan, kalau Ahin dituduh membunuhmu saat kamu mati di jalan, aku tidak akan memaafkanmu, bahkan di kuburmu pun aku akan menghajar mu!" Suara Rhea terdengar. Gadis itu keluar dari kamar sambil membawa kotak P3K yang cukup besar.
"Ta-tapi kau dokter abal-abal!" Ucap pria itu.
"Ck... Tenang saja, aku paham, aku menjamin hidupmu, aku tidak akan membuatmu cepat-cepat menemui Sang Pencipta meski ku tahu kamu sangat mencintai-Nya!" Celetuk Rhea sambil terkekeh.
Ahin sudah menahan tawanya di sudut sana, kakaknya memang selalu saja bercanda meski situasinya susah segenting ini.
"Ta-tapi..." Pria itu tampak ragu, dia menatap Rhea dengan wajah tak yakin.
"Sudah diamlah!" Titah Rhea sambil mengeluarkan semua peralatannya. Alat-alat nya disterilkan dengan benar bahkan Rhea sudah terlihat seperti dokter, dia tidak akan membiarkan seekor bakteri pun mengganggu pekerjaannya.
"Siapa namamu?" Tanya Rhea seraya menatap pria itu.
Sementara itu, batinnya bergejolak,"Hihihi... Dia tampan sekali, seperti pria gepeng favorit ku, aarrkhhhh ganteng banget sih mas... Demen aku tuh!!" Batinnya berteriak bahagia.
"Edgar, Aku Edgar!" Jawab pria itu seraya menatap Rhea tak yakin, tapi mau bagaimana lagi dia tak bisa keluar dari sana.
"Kalau aku pergi dalam keadaan ini, yang ada pada keparat itu mengejarku dan membunuhku, sialan!"
"Semoga Kay dan yang lain segera membereskan mereka! Kenapa juga aku malah berakhir di rumah gadis ini?" Batinnya dengan wajah ditekuk.
Tuk!!
Jari telunjuk Rhea mendarat di kening Edgar yang berkerut," agar-agar jelly drink, tolong diam dan jangan mengerutkan wajahmu seperti mau berak, aku akan menangani lukamu!" Ucap Rhea sambil menatap tajam pada pria itu.
Edgar hanya bisa menghela nafas berat, kata-kata Rhea sangat tidak ramah, bahkan untuk dapat bintang satu saja sudah meragukan!
"Namaku Edgar, dan tolong berbicara yang sopan nona gila!" Ucap Edgar dengan tatapan dinginnya.
Rhea terkekeh," ya maaf, baiklah kita mulai pengobatannya tuan agar-agar!" Celetuk Rhea.
Sraaakkkkkk...
Kaos yang dipakai Edgar dirobek oleh Rhea begitu saja.
Sring!!!
Sungguh pemandangan yang luar biasa indah, jejeran roti sobek terletak di depan mata Rhea.
Kroookkkkkkrokkkkk...
Perut karet Rhea seketika berkumandang, dia menatap roti sobek itu dengan mata berbunga-bunga, dan air liur yang hampir menetes, "wahhh... Asupan gizi premium, cantik sekali !" Celetuk Rhea sambil menggerakkan jemarinya hendak menyentuh Rite sobek berlumur darah itu.
Hap!
Tangan Rhea ditangkap oleh dua pria sekaligus," jangan main-main Kak Rhea!" Ucap Ahin sambil menatap tajam pada kakaknya yang penyakit gilanya mulai kumat. Tangan satu lagi adalah tangan Edgar yang syok karena ekspresi lapar di wajah Rhea saat menatap tubuhnya.
"Aku bisa melaporkanmu atas tindakan pelecehan nona!" Ancam Edgar dengan wajah datar tapi lehernya sudah merinding melihat tatapan gila dan kelaparan dari gadis bernama Rhea itu.
"Pffthh bahahhahahaa... Maaf-maaf...habisnya roti sobeknya terlihat empuk, aku sedang lapar heheheh... Maaf ya," ucap Rhea sambil tertawa cengengesan.
Edgar dan Ahin saling menatap sejenak.
"Maaf tuan, kakakku memang sedikit gila, tapi dia masih di taraf normal kok, dia tidak akan memakan mu, paling parah dia hanya akan menggigit perutmu yang menurutnya menggiurkan itu!" Celetuk Ahin yang sudah jengah dengan kerandoman sang kakak.
"Di gigit!?" Edgar tercengang tapi dia hanya bisa pasrah saja.
Edgar ingin berteriak tapi dia harus menyembunyikan dirinya.
Dengan kelakuan absurd nya, Rhea menjadi tangan pertama yang berani merobek baju pria tampan itu. Padahal seandainya Rhea tahu, kaos itu adalah kaos bermerk yang harganya bisa menghidupi Rhea selama empat bulan!
Rhea menangani luka Edgar dengan baik, melakukan tindakan anestesi membuat Edgar tak merasakan sakit sedikitpun. Lukanya dijahit dengan rapi bahkan terlihat sangat profesional. Tidak menjadi misteri di mana Rhea memperoleh kemampuannya itu, sebab dia hampir menjadi seorang perawat jika tak putus sekolah.
Di kediaman mereka sudah tersedia alat kesehatan juga untuk operasi kecil sebab Rhea tahu kalau pergi ke rumah sakit pasti mahal, itu sebabnya dia mempelajari ilmu kesehatan itu sampai membuat siapapun tercengang.
"Ahin, makanlah dahulu, kakak sudah siapkan makanan di dapur, nanti malam kakak mau jualan, kamu jaga pria ini di sini," ucap Rhea di sela-sela operasi kecilnya.
"Apa kakak sudah makan?" Tanya Ahin.
"Sudah, sana cepat makan, Kakak akan selesai sebentar lagi," ucap Rhea sambil tersenyum pada sang adik.
Ahin menurut dan dia pergi menuju dapur. Bagi Ahin, kakaknya adalah segalanya, juga jadi motivasinya untuk rajin belajar meski tantangannya sangat besar.
"Sudah selesai, untuk sementara jangan banyak bergerak, Aku dan Ahin akan membantumu sampai keluargamu datang menjemput," ucap Rhea.
"Selesai?" Tanya Edgar heran.
Rhea mengangguk sambil tersenyum dan membereskan semua kekacauan itu.
"Iya, dan maaf untuk yang tadi agar-agar, aku hanya bercanda agar kau melupakan rasa sakitnya!" Ucap Rhea.
"Tapi perutmu benar-benar kesukaanku heheh..." Celetuknya seraya mencolek perut kotak-kotak milik Edgar.
"Dasar gadis mesum yang aneh, apa kamu pecinta otot?!" Ucap Edgar sambil menyilangkan kedua tangannya di dada.
Rhea terkekeh sambil menjulurkan lidahnya," BENAR SEKALI!!! aku pecinta otot hahahahha...no otot no life!" Serunya sambil tertawa terbahak-bahak.
Panas terik matahari menyusupi ruangan demi ruangan dalam kediaman Rhea dan adiknya Ahin. Pria berwajah tampan itu menghela nafas berkali-kali sambil menatap ke atap seng yang berbunyi garing karena pemuaian tak henti dari sang Surya.
Nyatanya lukanya tidak separah yang dia bayangkan, darah yang berceceran di tubuhnya bukan miliknya melainkan milik lawannya.
"Apa yang sebenarnya terjadi?" Tanya Rhea sambil merapikan semua peralatannya. Kali ini nadanya berubah menjadi dingin dan tatapan matanya terlihat begitu datar.
Dia duduk di samping Edgar seraya menatap dingin pada pria asing yang dibawa adiknya ke rumah mereka.
Edgar merasa bulu kuduknya merinding, suasannya jelas berbeda saat Ahin ada di sana.
"Bocah itu...
"Ahin! Dia punya nama, Ahin!" Potong Rhea dengan nada tegas.
"Ahh.. iya, Ahin hampir diculik, " ucap Edgar.
"Diculik!? Siapa!? Di mana!?" Tanya Rhea dengan wajah syok. Dia tidak menyangka kalau adiknya hampir menjadi korban penculikan.
Edgar menceritakan apa yang dia lihat. Saat itu, Ahin sedang berjalan melalui jalan tol, karena lebih dekat dengan rumah kontrakan mereka.
Ahin berjalan sendirian, hingga tiba-tiba sebuah mobil hitam berhenti di dekatnya. Kawasan itu memang sepi, yang ada hanya rumah tidak berpenghuni dan semak belukar yang membuat area itu rawan penculikan.
Para penjahat itu turun dari mobil dan mencoba menangkap Ahin, tapi di sat yang sama Edgar yang memiliki urusannya sendiri, kebetulan lewat dari jalanan itu. Dia membantu Ahin namun menjadi korban penusukan para penculik itu.
"Apa dia tidak bersama temannya?" Tanya Rhea. Karena sepengetahuannya, Ahin punya beberapa teman yang sering pulang bersamanya, meski Rhea tak yakin mereka dekat.
"Tidak ada, tapi anehnya ada beberapa anak sekolah yang membicarakan hal aneh saat aku berpapasan dengan mereka,"
"Seolah mereka berhubungan dengan penculik itu," terang Edgar.
Rhea terdiam membisu, dia meremat ujung kaosnya, dia takut terjadi sesuatu yang tidak biasa pada adiknya. Namun Ahin pasti selalu memberinya jawaban positif dan membuatnya tenang.
"Ahin!!" Panggil Rhea sambil bangkit berdiri.
Edgar menatap gadis itu, dia paham dengan sikap Rhea saat ini, dia pasti terpukul mendengar adiknya mengalami hal mengerikan itu.
"Kak Rhea, apa-apaan ini!?" Suara bentakan Ahin terdengar. Anak itu berjalan tergesa-gesa ke ruangan depan sambil membawa kantong plastik berisi air mineral dan obat lambung yang diminum Rhea.
Brakkk!!!
Ahin melemparkan benda itu ke atas lantai dan menatap kakaknya dengan tatapan kecewa. Rhea terdiam membeku, sambil mengutuk dirinya di dalam hati.
"Ya ampun Rhea, kenapa kau tidak menyimpan benda itu!?" Batin Rhea yang kini menjadi panik.
Ahin sangat benci jika kakaknya meminum obat lambung sebagai pengganti makanan. Jika melihat Rhea melakukan hal itu, dia akan merasa sangat kecewa dan sedih.
"A-Ahin itu kakak bisa jelaskan,"
"Kakak su-sudah makan kok," ucap Rhea sambil tersenyum kikuk.
Ahin menatap sang kakak dengan tatapan sendu, tiba-tiba air matanya lolos begitu saja. Anak yang meski tubuhnya tinggi semampai itu, dia masihlah remaja dengan perasaan halus.
"Kak Rhea.. sudah berapa kali Ahin bilang, kakak makan duluan, Ahin bisa makan gorengan, lagipula pagi tadi Ahin sudah makan pagi,"
"Kalau kakak gak makan seharian, kakak bisa sakit!" Protesnya sambil menangis. Bagi Ahin, kakaknya adalah sosok yang sangat penting baginya.
"Ma-maaf, udah ih... Jangan nangis, kakak juga jadi ikut sedih," bujuk Rhea sambil menghampiri adiknya. Dia tahu betul adiknya punya perasaan yang halus, anak laki-laki yang bertanggungjawab dan penuh bakat.
Ahin memeluk sang kakak dengan erat, dia masih menangis, "kalau terjadi sesuatu pada kakak, Ahin tidak akan bisa hidup kak," ucapnya dengan suara serak.
Rhea menepuk punggung adiknya, dia merasa ada yang tidak beres dengan sang adik.
"Bagaimana keadaanmu? Kamu pasti panik karena kejadian tadi kan?"
"Pria itu sudah menjelaskan semuanya pada kakak, syukur lah kamu selamat, kakak khawatir," ucap Rhea sambil mengusap wajah adiknya.
Ahin mengangguk," semua baik-baik saja," ucap Ahin.
"Sana kakak makan dulu, biar Ahin bantu siapkan dagangan kita," ucap Ahin.
"Kamu sudah makan?" Tanya Rhea.
"Tadi di sekolah makan roti, diberi teman, udah sana kakak makan dulu," ucap Ahin sambil tersenyum lembut pada satu-satunya hartanya.
"Ya sudah," Rhea pergi ke dapur dengan perasaan kacau. Kakak beradik ini saling bergantung satu sama lain.
Pemandangan barusan membuat Edgar terdiam. Teringat akan hubungan buruknya dengan keluarga yang dia miliki. Seandainya dia memiliki kakak dengan sifat setengah dari Rhea, mungkin dia tidak akan terlalu membenci hidupnya.
"Ahin, apa kalian hidup berdua saja?" Tanya Edgar.
Ahin mengangguk sambil memungut pil lambung dan air mineral itu.
"Kami anak yatim piatu, sudah tujuh tahun kami hidup berdua saja kak," terang Ahin.
"Ahin mohon, jangan beritahu soal mereka yang terlibat dalam kejadian tadi, kak Rhea sudah cukup menderita," ucap Ahin dengan tatapan sendu.
"Tapi tadi itu berbahaya, jelas teman-teman mu terlibat, apa kamu tidak marah!?" Tanya Edgar. Pria itu memang tidak menceritakan detail kejadian pada Rhea, fakta bahwa penculikan itu hanyalah kiasan.
Yang sebenarnya terjadi adalah, Ahin hampir dijual oleh teman sepermainan nya sendiri.
"Aku marah, tapi aku lebih takut Kak Rhea hancur saat mengetahuinya," jelas Ahin.
Edgar paham perasaan Ahin, jika Rhea sampai tahu kejadian ini, bisa saja gadis itu membuat kekacauan dan menyerang teman-teman Ahin.
"Terimakasih sudah membantuku tadi kak, jika tak ada anda, aku mungkin tidak bisa lagi bertemu dengan kak Rhea," tutur Ahin.
Edgar hanya terdiam membisu, dia menatap rumah itu, meski sudah tua tetapi tetap rapi dan bersih. Baginya rumah reot seperti itu tidak layak untuk ditinggali, tetapi bagi Rhea dan Ahin rumah itu adalah tempat mereka berlindung.
"Bagaiman bisa manusia tinggal di tempat seperti ini?" Batinnya seraya mengerutkan keningnya.
Edgar mengambil ponsel di saku celananya, benda pipih dengan bentuk dilipat bak dompet itu dia buka. Ratusan pesan dan panggilan berjejer di layar pertama, dia menatap pesan itu dengan tatapan datar.
Lalu dihubungi nya seseorang dengan benda itu.
"Bos!!! Anda di mana!? " Teriak orang itu dari seberang sana.
"Di tempat yang aman," jawabnya.
"Segera selesaikan masalah itu, aku akan berada di tempat ini untuk sementara waktu, jangan cari aku jika kalian tidak ingin melihat mayat di depan gedung sialan itu!" Ucapnya lalu dengan sepihak pria itu memutus panggilan teleponnya bahkan sebelum pria itu membalas ucapannya.
Edgar menghela nafas, dia menatap langit-langit rumah itu dan juga Ahin yang masih berada di sana.
"Apa kamu tidak penasaran siapa aku?" Tanya Edgar pada anak laki-laki itu.
Ahin menggelengkan kepalanya, "Tidak, dan kami tidak perlu tahu," jawab Ahin dengan lembut. Anak yang aneh dan terlalu dewasa untuk anak seumurannya.
Edgar hanya diam, "ada baiknya aku menyembunyikan identitas ku untuk sementara waktu," batin pria itu.
"Ngomong-ngomong apa itu?" Tanya Edgar sambil menunjuk sebuah pamflet berisi keterangan aneh yang membuatnya bertanya-tanya sejak memasuki rumah itu.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!