Gadis yang duduk di tepian ranjang itu tampak meremat jemari tangan nya. Dengan harap-harap cemas ia sering melirik ke arah pintu kamar dimana ia berada. Adeline nama gadis itu. gadis berusia 21 tahun yang memutuskan untuk melelang sesuatu yang selama ini amat ia jaga.
Semua bukan tanpa alasan, rasa lelah menjalani kehidupan yang stag di tempat dan sama sekali tak ada perubahan membuat ia jenuh dan mulai tak berpikir jernih. tapi sekali lagi ini bukan sepenuhnya keinginan nya. Di kejar-kejar rentenir membuat ia memilih mengambil jalan pintas ini.
Meskipun enggan membayar hutang yang nominal nya fantastis tapi karena Adeline lah yang selalu di tagih hingga di kejar-kejar membuat ia merasa jengah dan terpaksa mengambil langkah ini.
Ceklek....
Terdengar suara pintu di buka kemudian di tutup kembali, terdengar nyaring suara langkah kaki seseorang dari arah belakang. Adeline memejamkan matanya, merasakan degup jantung yang tak terkontrol. Berulang kali ia menarik nafas untuk menenangkan diri yang mulai gugup. Bagaimana pun selama ini ia adalah gadis yang sibuk dengan aktivitas bekerja hingga tidak pernah berhubungan dengan seorang pria.
Dan malam ini ia akan menyerahkan diri kepada pria asing demi uang. Ohh rasanya Adeline menyesal. tapi apakah bisa ia membatalkan transaksi yang sudah berjalan ini? Tidak! Sama sekali tidak. Karena pria asing yang kini memandang Adeline dari arah belakang telah membayar separuh harga yang di tawarkan Adeline.
75 juta?!
Uang yang berjumlah sangat banyak bagi Adeline yang setiap harinya bekerja sebagai guru TK dan hanya di gaji 350 ribu setiap bulannya. Terpaksa mengambil langkah yang salah ini karena hutang ayah nya kepada rentenir cukup banyak.
Adeline membuka matanya perlahan, memindai sekitar dengan melirik takut. Tak ada orang, namun ia merasakan seseorang sedang menatap nya dari arah belakang. Tiba-tiba keringat dingin membasahi dahi dan tangan nya.
Sementara satu meter dari Adeline duduk, tampak seorang pria dengan penampilan yang sedikit berantakan tengah memandang lekat ke arah Adeline. Kening nya tampak mengkerut dan beberapa kali mengerjapkan mata untuk memastikan kebenaran pandangan nya.
Di depan nya tampak seorang wanita dengan pakaian muslimah nya. Meskipun bukan gamis yang biasa di pakai oleh wanita bercadar. tapi pakaian wanita di depannya ini tampak tertutup dan longgar. Apakah ia salah kamar?
ia menoleh ke arah meja kecil yang ada di ruangan itu dan kening nya mengkerut dalam ketika ia yakin bahwa ia tak salah masuk kamar. Lalu apakah wanita itu yang salah masuk kamar. Pria yang kemeja putih nya sudah acak-acakan itu kembali mendekat dan menepuk pundak Adeline.
"astaghfirullah....." pekik Adeline yang terkejut.
"oh sh*t" umpat pria itu yang sama terkejutnya karena Adeline yang tiba-tiba berteriak.
Adeline lantas menoleh dan mendapati seorang pria dengan wajah tampan. Kemeja putih yang di gulung sampai batas siku, rambut yang acak-acakan dan tiga kancing kemeja putih itu sudah terbuka membuat pria itu bertambah tampan. Adeline tertegun mendapati bahwa pria yang sudah membeli nya adalah pria muda bukan pria tua seperti bayangan nya.
Tiba-tiba Adeline merasa lega, setidaknya ia tidak terlalu menyesal jika harus menyerahkan mahkota nya kepada pria tampan di depan nya ini. ehh!
Adeline menggeleng, bagaimana bisa ia berpikir kotor seperti itu. Sementara pria asing itu menatap heran tingkah Adeline. Jika gadis yang sudah berdiri berhadapan dengan nya ini adalah seorang wanita panggilan kenapa wajah polos nya tanpa natural tidak seperti di buat-buat.
Hingga kemudian ia ingat ucapan Anton, sekretaris nya.
"ingat bos, dia seorang gadis pera*an. anda harus lembut memperlakukan nya"
Damn! Jadi gadis di depannya ini masih lugu dan polos. Pria itu menyeringai, sudut bibirnya tertarik ke atas.
ia jadi ingin melihat sampai batas mana kepolosan gadis di depannya ini. pria itu mendekat ke arah Adeline. Adeline yang masih asyik dengan pikiran nya pun tak sadar bahwa pria asing yang membeli nya sudah berada selangkah di depan nya.
"hei gadis" panggil pria itu.
Adeline sontak menoleh mendengar suara maskulin menyapa nya. Mata Adeline menatap netra seorang pria untuk pertama kalinya, karena biasanya jika berhadapan dengan pria Adeline akan menunduk kan kepala untuk menghindari bertatapan dengan lawan jenis.
Tapi apa saat ini? Ohhh Adeline sama sekali tak bisa mengalihkan pandangan dari mata tajam milik pria yang bahkan namanya belum ia ketahui. Pria dengan manik mata coklat itu menatap lekat wajah Adeline, ia kemudian menyeringai tipis dan langsung menarik Adeline hingga menabrak dada bidang nya.
"ahh" pekik Adeline.
dengan kasar Adeline langsung mendorong pria itu dan terduduk di ranjang.
"ohh,, kau tak sepolos yang ku kira ternyata"
"ti-tidak om. Sa-saya tidak ber-bermaksud mendorong om" jawab Adeline dengan terbata.
"benar kah?"
"be-benar om"
Pria itu menatap datar wajah gadis di depan nya, bagaimana bisa ia di panggil di om. Sedangkan usia nya baru 26 tahun. Oh God!
"apakah kau mau menolak ku? Bukan kah aku sudah membayar mu?"
Nyes.
Adeline merasa sedikit nyeri di hatinya ketika mendengar pernyataan itu. memang benar itu yang terjadi dan itulah fakta nya tapi mengapa rasanya sakit jika di ungkit. Mata Adeline tampak berkaca-kaca, beruntung keadaan lampu hanya tersinari oleh lampu temaram jadi pria itu tak akan tau jika kini Adeline sedikit menyesal dengan langkah yang di ambil nya.
"bagaimana?"
"a-apa yang bagaimana om?"
"kau tau kan apa yang harus kau lakukan?"
Adeline menggeleng.
Pria yang tadinya sudah on karena merasa terang*ang dengan wajah polos Adeline kini menjadi sayup kembali. Sebenarnya wanita seperti apa yang di kirim kan oleh Anton.
sedang Anton yang saat ini sedang makan malam berdua bersama seorang gadis tiba-tiba bersin. Anton merasa merinding di seluruh tubuh nya tapi bukan karena takut melainkan karena sesuatu hal.
'semoga bos Sadewa lancar dalam melakukan aksi nya' batin Anton.
Kembali pada pria yang bernama Sadewa itu, ia menyugar rambut nya kasar kemudian menatap ke arah Adeline. Rasanya sayang sekali membuang uang 75 juta jika ia tak sempat mencicipi tubuh gadis itu.
sementara Adeline merasa bersalah, bagaimana ia sendiri yang sudah menggali lubang. Maka ia pun akhirnya memutuskan untuk menutup lubang itu dengan rapat. Lagipula ia adalah gadis berusia 21 tahun, bukan lagi gadis polos karena ia sendiri sering membaca novel bergenre romantis. Jadi sedikit banyak ia tau apa yang harus di lakukan nya.
"saya akan melakukan apa yang om minta asal om menuruti satu syarat dari saya"
"apa?!"
Sadewa menarik ujung bibir nya. Merasa tertarik pada gadis di depannya. Rupa nya ada yang berani melakukan tawar menawar dengan nya. tapi, Sadewa ingin mengetahui syarat apa yang akan di ajukan oleh gadis yang kini sudah duduk di tepian ranjang dan menghadap dirinya.
Sadewa duduk di samping Adeline, Adeline tampak menggeser sedikit tubuh nya saat tubuh Sadewa di rasa cukup menempel padanya.
"jadi, apa permintaan mu?"
"sa-saya ingin anda menikahi saya sebelum ki-kita... Ki-kita melaku-melakukan itu" jawab Adeline menunduk malu.
Sadewa tersenyum tipis, mungkin benar apa yang di katakan Anton jika gadis di samping nya ini masih polos.
"bagaimana jika aku tidak mau?"
"tidak mungkin" sanggah Adeline tegas.
"bagaimana bisa anda melakukan hal itu tanpa menikah terlebih dahulu"
Sadewa menatap lekat mata Adeline begitu sebaliknya. Pandangan mereka bertemu sangat lama, mereka menyelami mata masing-masing. hingga Adeline lah yang pertama memutuskan pandangan itu karena tidak ingin terjebak pada pesona om-om di depan nya.
Sadewa menarik tangan Adeline hingga gadis kepala gadis itu terjatuh di dada bidang nya. Tanpa aba-aba Sadewa Melu*at bibir Adeline dengan lembut. Adeline yang syok tampak membelalakkan matanya. Jantung nya berdebar kencang bahkan lebih kencang dari sebelum nya.
Adeline mengerjapkan matanya beberapa kali, merasakan benda kenyal yang kini menempel di bibir nya. Sementara Sadewa yang merasa Adeline tak membalas ciuman nya pun menggigit ujung bibir Adeline hingga Adeline membuka mulut nya. Sadewa bersorak dalam hati, bibir polos seorang gadis pera*an memang manis.
Adeline menepuk d*da Sadewa karena merasa tidak bisa bernafas.
"a-apa yang om lakukan?" tanya Adeline mengusap bibir nya yang basah.
Sadewa mengusap bibir nya dengan usapan yang menggoda.
"aku hanya meminta DP. Lagipula bukan kah seharusnya kita sudah melakukan hal itu berulang kali saat ini?"
"ta-ta-tapi saya ingin om menikahi saya terlebih dahulu. Saya tidak ingin melakukan itu tanpa menikah terlebih dahulu"
"hei gadis kecil! Bukan kah sebelum kau menjual dirimu kau bisa memikirkan hal ini terlebih dahulu. Jika orang lain yang membeli mu mungkin saja kau sudah habis oleh nya. Bahkan pakaian panjang mu itu mungkin sudah tak berbentuk lagi"
"tapi, bisakah om melakukan permintaan saya? Tidak harus menikah resmi, cukup menikah di bawah tangan saja. Hanya agar saat saya melakukan hal itu dengan om, saya tidak akan merasa bersalah terhadap diri saya sendiri. Setelah saya melakukan kewajiban saya, maka om akan bebas dari saya" mohon Adeline pada Sadewa.
"baiklah. menikah hanya untuk malam ini saja. Dan besok antara kita tak ada hubungan apapun lagi"
Adeline mengangguk setuju. Ia pun berdiri dan meraih ponsel nya. Begitu juga dengan Sadewa.
Tut.... Tut....
"halo bos?"
"om, semua sudah siap. Mari kita turun ke bawah"
Sadewa langsung memutuskan panggilan nya kepada Anton, sang sekretaris. Ia menatap Adeline kemudian mengangguk dan mengikuti langkah kaki gadis itu.
"ah, bos ini apakah perlu menelpon ku jika hendak melakukan itu. Meskipun ini pengalaman pertama seharusnya bos menonton blue film saja. Kenapa harus menganggu waktu makan malam romantis ku" gerutu Anton kemudian kembali ke bangku di mana gadis pujaannya tengah menunggu sembari memakan es krim vanila coklat.
***
Adeline dan Sadewa tiba di lantai dasar hotel. tampak mereka di sambut oleh seorang pria yang memakai sorban di kepala. Empat pria lainnya memakai pakaian batik dan celana dasar sopan. Pakaian mereka tampak khas sekali.
Adeline menyalami pria yang memakai sorban itu, kemudian empat pria lainnya.
"ini calon suami mu Del?" tanya pria yang memakai sorban itu.
"iya pak ustadz. Tapi kami ingin melakukan pernikahan di bawah tangan terlebih dahulu"
Pria yang di panggil ustad itu pun mengangguk. beliau kemudian menggiring orang-orang itu termasuk Adeline dan Sadewa untuk memasuki ruangan yang telah di siapkan.
Sadewa terpaku, di dalam ruangan itu sudah ada meja untuk pelaksanaan ijab qobul. Kapan persiapan ini di lakukan. tapi ia mencoba abai sebab pada dasarnya ia memang tak peduli.
Mereka duduk pada posisi masing-masing. Sadewa menghadap penghulu dan Adeline berasa di samping kiri Sadewa.
"kau siap nak?" tanya pak ustadz.
Sadewa mengangguk. Kemudian tangan mereka pun berjabat dan pak ustadz mengucapkan kalimat ijab dan Sadewa mengucapkan kalimat qobul dengan sekali tarikan nafas saja hingga kalimat 'sah' menggema di ruangan itu.
Air mata Adeline tak bisa di tahan, bukan karena haru ataupun bahagia karena sudah menikah. Tapi karena setelah ini ia akan kehilangan sesuatu dalam dirinya yang selama ini ia jaga.
"nah, Adeline kini engkau sudah menjadi istri seorang lelaki. Kau tanggung jawab nya, lakukan kewajiban mu sebagai seorang istri dan saya berdoa semoga pernikahan kalian langgeng" ucap pak ustadz.
"terima kasih pak" jawab Sadewa.
"kalau begitu kami permisi"
Lima pria berusia 50 an tahun itu pun keluar dari ruangan itu.
"om tunggu di kamar tadi saja, saya mau menyusul pak ustadz sebentar"
Adeline langsung beranjak tanpa menunggu jawaban Sadewa. Sadewa pun keluar dari ruangan itu dan ketika hendak keluar dari pintu samar-samar ia mendengar perbincangan seseorang.
"iya, kasian sekali Adeline. harus menikah secara sembunyi-sembunyi agar tidak di ketahui oleh ayah nya. Kalau sampai pak Burhan tau sudah pasti Adeline akan di jadikan bulan-bulanan oleh ayah nya itu"
"betul itu mas, saya berharap suami nya Adel bisa menjadi sosok panutan yang penyayang bagi Adeline"
Terdengar langkah kaki menjauh, setelah yakin tidak ada orang Sadewa pun keluar dan menaiki tangga menuju kamar nomor 17 dimana ia akan menunggu Adeline, gadis yang baru saja menjadi istrinya.
"gi*a, aku pasti sudah gil*. Bagaimana bisa aku menikahi seorang gadis yang bahkan namanya baru ku ketahui sejam yang lalu. Bagaimana dengan mama jika sampai tau hal ini"
Sadewa mengacak rambut nya kasar. Ia pun melepas kancing kemeja nya karena merasa gerah. Ia melihat ke arah pintu yang masih tertutup rapat.
"ah sia*. Apakah sekarang kau juga sedang menunggu kedatangan gadis itu Dewa!" maki Sadewa kepada dirinya sendiri.
Entah berapa waktu Sadewa memejamkan matanya hingga ia merasakan pergerakan di samping ranjang. Ia membuka mata dan melihat seorang gadis sedang memperhatikan dirinya.
"om tidur?"
Sadewa tak menjawab. Ia langsung meraih tubuh gadis itu dan menghimpit nya. suasana tengah malam dan udara dingin membuat jiwa lelaki Sadewa memberontak apalagi ini adalah pertama kalinya ketika ia membuka mata ada seorang wanita di samping nya.
Tak seperti tadi, Adeline tampak pasrah dengan segala perlakukan Sadewa. yang ia harap kan malam ini akan segera berlalu dan ia akan mendapat bayaran nya. Dan setelah itu, ia akan melupakan apapun hal yang terjadi pada malam ini.
Adeline menggeliat, perlahan membuka mata indah nya dan memindai sekitar. Kening nya mengkerut dalam ketika mendapati dirinya tak berada di dalam kamar nya sendiri. Ia kemudian menoleh ke arah samping dan tertegun. Ohh Adeline baru ingat jika dirinya sudah menjadi seorang istri tadi malam. Melakukan pernikahan tanpa di hadiri oleh keluarga bahkan orang tua dari kedua belah pihak. Mata Adeline menjadi berkaca-kaca jika mengingat nya.
Padahal yang di inginkan nya adalah pernikahan seumur hidup dengan seseorang yang sangat ia cintai dan juga mencintai nya. tapi kini harapan nya telah pupus, karena semalam ia sudah melangsungkan pernikahan dengan seorang pria asing. Yaa meskipun hanya pernikahan siri tapi tetap saja dalam agama nya ia tetap lah seorang istri sekarang.
Adeline meraih blazer panjang milik nya yang tadi malam sempat ia letakkan di atas nakas.
"shhh...."
Adeline meringis sakit menyentuh area inti nya. Terasa sakit dan perih saat kaki nya hendak menapak pada lantai.
Apakah memang seperti ini jika baru saja melewati malam pertama.. Ohh andaikan saja ia melewati malam panas tadi malam bersama pria yang di cintai nya pasti akan sangat menyenangkan, tapi sayang sekali..
Ah sudah lah, daripada membayangkan penyesalan yang tidak berujung. Adeline memilih turun dari ranjang dan berjalan tertatih dengan sesekali mulut nya meringis karena merasakan sakit yang teramat di area bawah nya.
Setelah pintu kamar mandi tertutup, Sadewa membuka mata nya kemudian duduk di head board kasur. Ia melirik ke samping di mana terdapat bercak merah di sana. Sebuah senyum terukir di bibirnya. Ternyata gadis tadi malam yang ia nikahi secara siri benar-benar masih suci.
Senyum Sadewa semakin melebar ketika ia mengingat betapa menggemaskan nya wajah Adeline yang meringis kesakitan namun kemudian berteriak nikmat setelah merasakan sesuatu yang selama ini belum pernah di rasakan nya.
"sia*" umpat Sadewa. Membayangkan pertempuran nya tadi malam membuat rudal nya kembali berdiri tegak.
"om udah bangun?" tanya Adeline.
Sadewa menoleh, ia hanya mengangguk kemudian mengambil handuk di atas nakas dan berlalu ke kamar mandi. Adeline mengendikkan bahu acuh. Gadis yang sudah tidak peraw*n itu membuka tas punggung nya dan mengambil mukena. Kemudian bersiap melakukan sholat subuh.
***
"kamu pulang nya saya antar aja" tawar Sadewa.
"ngga usah om, saya udah pesan ojek kok"
"ojek?"
"iya, saya mabuk kendaraan jika naik mobil" ucap Adeline tersenyum lebar menunjukkan giginya yang putih.
"oh iya, ini untuk kamu"
Adeline menerima sebuah bag yang di berikan oleh Sadewa. Tanpa malu Adeline langsung membuka tas itu di depan Sadewa dan Sadewa pun tak terganggu.
"om... I-ini...."
"ya, saya memutuskan untuk mengurus pernikahan kita agar sah secara agama dan negara"
"tapi...."
"kamu jangan senang dulu, saya melakukan ini hanya karena agar saya tidak di paksa menikah oleh keluarga saya lagi. Dan saya bisa mengulur waktu agar perjodohan yang keluarga saya lakukan bisa di undur lebih lama"
Adeline mengangguk mengerti. Lagipula siapa lah dirinya yang berharap berlebihan. Adeline menghela nafas. Dengan adanya surat pernikahan ini maka sudah di pastikan ia akan kesulitan melepaskan diri dan menikah lagi di kemudian hari. Tapi bukan kah itu menguntungkan juga bagi nya. Dengan surat nikah yang di miliki nya maka ia tak akan menikah lagi di kemudian hari.
"baiklah, terima kasih om"
"dan ini untuk mu"
Sadewa merogoh saku jas nya dan mengeluarkan amplop coklat tebal kemudian menyerahkan nya kepada Adeline.
"apa ini om?"
"pergunakan sebaik mungkin, karena setelah ini kita tak akan bertemu lagi"
Adeline menerima amplop coklat itu kemudian melongo memperhatikan Sadewa yang sudah keluar dari kamar.
Adeline membuka amplop itu dan mata nya langsung membelalak kaget. Ia syok, karena ternyata di dalam sana terdapat banyak lembaran uang berwarna merah.
"oh Tuhan... aku kaya" seru Adeline.
***
Di dalam sebuah kamar sederhana seorang pria remaja berusia 18 an tahun itu tampak mondar mandir. Sesekali matanya melirik ke arah jam kemudian melirik ke arah jendela kayu yang sengaja ia buka.
"kemana mbak Adel, kenapa belum pulang juga" ucap nya khawatir.
remaja itu menghentikan langkah nya saat mendengar suara motor berhenti tak jauh dari jalanan rumah nya tapi tampak jelas jika di lihat dari jendela kamar nya yang mengarah ke jalan.
"itu mbak Adel" pekik nya langsung keluar dari kamar.
Sementara itu, Adeline melangkah kan kakinya dengan biasa meskipun terasa perih sekali di area nya. Berulang kali ia menarik nafas untuk menetralkan irama jantung nya yang terus terpacu tak beraturan.
"kamu bisa Adeline, kamu bisa"
Adeline melanjutkan langkah nya, di tangan nya tampak membawa plastik hitam kecil.
"mbak...." sapa seseorang yang Adeline kenal.
"dek...." Adeline tersenyum menatap remaja yang membuka kan pintu untuk nya.
Tapi senyum nya tak lama kemudian pudar saat menyadari keberadaan lelaki yang tidak ingin ia temui. Adeline memasang raut wajah datar saat pandangan nya bertemu dengan pak Burhan, ayah nya.
Wajah pak Burhan tampak memerah karena menahan amarah. Adeline tau itu, tapi apa pedulinya?
"bagus!!! Keluar rumah dari kemarin pagi baru pulang pagi lagi mau jadi perempuan apa kamu?" ucap pak Burhan.
"menurut ayah?"
Pak Burhan tak menjawab, ia melangkah kan kaki nya mendekat pada Adeline dan kemudian..
Plak....
"mbak!!" teriak sang adik.
Adeline tersenyum, ia mengusap sudut bibir nya yang terasa anyir. Ia memandang jempol nya yang tampak noda merah di sana.
Adeline tak menangis, tak juga mengaduh. Hanya menatap datar pada sang ayah.
"apakah kau belajar menjadi wanita Pela*ur hah?"
"jawab!!!"
"iya... Aku memang telah menjual diriku" jawab Adeline tegas.
Plak....
Adeline memejamkan mata, menenangkan diri nya. Sabar Adeline, dengan begini meyakinkan dirimu untuk meninggalkan rumah yang terasa seperti neraka ini.
"dan Ayah tau apa penyebab aku jual diri? itu ayah sendiri" ucap Adeline tegas.
"jika seandainya saja ayah mau sedikit saja bekerja untuk memenuhi kebutuhan maka sudah pasti aku tak akan bingung mencari tambahan uang kemana pun. Dan lagi, hutang yang ayah punya itu tak banyak. Siapa yang di tagih oleh rentenir itu? Aku, aku capek di kejar-kejar rentenir setiap hari. Bukan aku yang hutang uang, bahkan aku tak tau uang itu di gunakan untuk apa. tapi siapa yang mereka tagih? Aku. Apa ayah tau total hutang itu.?"
Pak Burhan diam, dalam hati ia memang mengakui itu semua. Tapi ia terlalu malu untuk mengakui kesalahannya.
"50 juta. Apakah aku sanggup membayar nya dengan gajiku yang 300 ribu perbulan. Sedang aku masih harus menanggung semua biaya hidup keluarga ini? Di tambah dengan uang sekolah Farhan?"
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!