New York, Amerika Serikat
Bulan Februari yang tertutup salju di sekelilingnya dengan menara - menara serta pepohonan yang berhias salju di atasnya. Inilah kota New York yang telah memasuki musim dingin sejak bulan Desember di Amerika.
Bagi banyak orang hari ini adalah kesenangan. Namun, tidak untuk satu orang yang sangat menghargai sebuah waktu, pekerja keras, independen dan perfeksionis. Musim dingin baginya seperti kemalasan dimana tubuhnya akan sangat sulit bergerak karena iklim yang mendukung untuk diam dan beristirahat.
Terbukti dengan seorang wanita yang tertidur di kursi penumpang dengan sangat pulas. Mobilnya melaju pelan membelah jalanan kota New York yang basah. Asisten yang merangkap sebagai sopir pun tidak berani menganggu tidur nyenyak wanita yang bisa menjadi singa betina kapan saja.
Oliver Stacy, wanita karier dengan segudang pekerjaan yang digelutinya. Setiap langkah yang dijalani baginya adalah pekerjaan. Namanya pun tidak lagi asing di kalangan pebisnis, kecuali wajahnya yang tidak akan ditemukan di media manapun.
Di usianya yang ke-26 tahun, ia masih setia melajang dengan tekad tidak ingin menikah. Jika ingin anak, ia bisa pergi untuk adopsi. Begitu rencananya. Parasnya yang rupawan dan menjadi idaman banyak pria tidak membuat hati wanita itu tergerak.
Oscar Cage sang asisten selalu setia berdiri bersamanya hampir di setiap aktivitas sang nona sangat mengerti bahwa Oliver yang terkadang lembut dan manis, juga terkadang menyeramkan hingga membuat seisi gedung perusahaan memilih menghindar daripada bertatapan dengannya sangat anti pada percintaan!
Tapi, siapa yang bisa menebak masa depan? Siapa yang tahu jika Oliver Stacy akan menemukan cinta dan menikah suatu hari nanti. Kisahnya akan dimulai disini dengan—
Brakk!
Kecelakaan kecil misalnya ...
“Apa itu?!” Oliver mau tidak mau terkejut dalam tidurnya dimana sensor motorik nya merespon dengan otomatis.
Oscar menelan salivanya kasar karena kesialan hari ini. Namun, hal itu tidak penting sekarang. Yang terpenting adalah korban yang berada di depan mobilnya. Siapa sangka jika itu seorang— anak kecil? Berapa usianya? Sekitar 6 atau 7 tahun, kah?
“Kau tidak apa - apa?” tanya Oscar cemas.
“Tubuhku terluka! Kau harus bertanggung jawab untuk tubuhku yang mahal," katanya berkaca - kaca. Perkataan yang terdengar arogan itu seperti makanan sehari-hari untuk Oscar.
Bocah kecil ini sombong sekali, pikirnya. Memang sih! Dari pakaiannya saja sepertinya dari keluarga terpandang.
“Kau dengar, Oscar? Katanya kau harus bertanggungjawab. Selain itu, kau juga harus bertanggungjawab karena membuat tidurku terganggu.” Entah sejak kapan nona nya sudah keluar dari mobil dan berkata menakutkan begitu. Ini pertanda ia akan mendapat setumpuk pekerjaan lagi. Oscar hanya bisa menangis dalam hati.
Oliver berjongkok di samping bocah itu sambil berkata, “Hei, Boy. Mau ikut denganku?” ajaknya santai membuat Oscar waspada seketika.
“Nona, jangan bilang kau—”
Sebelum selesai bicara, bocah itu sudah masuk dalam gendongan Oliver yang berbalik badan menatapnya.
“Iya. Aku akan membawanya,” katanya santai.
“Apa? Tidak bisa begitu, Nona. Bagaimana jika keluarganya mencari?” Oscar bernada cukup keras karena Oliver mengabaikannya begitu saja dengan masuk ke mobil bersama anak itu.
“Kenapa tidak bisa? Kau tidak lihat dia hanya sendirian?”
Astaga! Jangan sampai ada berita jika Oliver Stacy menculik seorang anak kecil. Tidak lucu, bukan?
“Hei, Boy. Dimana orang tuamu?” tanya Oscar. Bukannya menjawab, anak itu justru menggeleng dan mengeratkan pelukannya pada Oliver.
“Kau tidak punya orang tua?” tanya Oliver begitu saja. Anak itu mengangguk.
"Aku juga tidak punya," tukas Oliver yang lagi-lagi membuat Oscar melotot. Wah kurang ajar sekali wanita ini. Jika orang tuanya mendengar pasti akan memaki-maki hingga telinganya panas.
“Kalau begitu kau bersama siapa?” Oscar bertanya.
“Alone,” cicitnya, membuat Oliver dan Oscar saling menatap.
“Siapa namamu?”
“Liam."
“Just Liam?”
Bocah itu mengangguk lagi.
"Hei, Nak. Jangan coba-coba membohongi kami. Wanita yang kau peluk itu bukan wanita yang bisa kau permainkan," kata Oscar menelisik.
"Bicara apa kau pada anak kecil!" Oliver menendang kursi Oscar cukup keras. Pria itu lantas mengatup bibirnya rapat.
Karena merasakan ancaman dari pria di kursi kemudi itu, Liam menunduk. “Daddy menyuruhku menunggu, tapi daddy tidak kembali lagi,” jelasnya sendu.
Mungkin hanya Oliver yang menatapnya iba dan kasihan. Berbeda dengan Oscar yang justru menatapnya curiga meski masih ada rasa kasihan. Kenapa rasanya anak ini tidak sesederhana itu.
“Kau dengar itu? Orang tua mana yang menelantarkan anaknya sendiri. Dia bukan orang tua!” hardik Oliver pada Oscar.
“Kau mau ikut denganku saja, Liam? Aku bisa menjadi mommy-mu.” Kali ini Oliver bicara dengan tersenyum.
"Mommy?" Liam mengerjap polos.
"Jika Liam jadi putraku, aku bisa memberikan apa saja yang Liam mau. Jadi, panggil saja aku mommy jika Liam setuju."
"Nona—" Oliver melotot marah, menyuruh pria itu agar diam.
Astaga, Nona ... Oscar frustasi.
"Bagaimana, Liam?"
"Apa kau kaya?" Pertanyaan Liam membuat Oscar terperangah, sangat berbeda reaksinya dengan Oliver.
"Tentu saja! Aku sangat kaya dari para orang kaya di negara ini," katanya bangga.
Liam tersenyum lebar, kemudian mengangguk.
"Setuju, Mommy!"
Oliver langsung tersenyum. “Urus surat adopsi untuk Liam, Oscar. Jangan membantah lagi!”
Oscar akhirnya pasrah dengan usulan itu. Nona nya serius dengan ucapannya. Identitasnya saja belum jelas dan tidak semudah itu mengurus dokumen adopsi. Lagi - lagi setumpuk pekerjaan tidak masuk akal.
"Baik, Nona!" jawab Oscar menahan diri. Lebih baik iyakan saja dulu.
Sedangkan di sebuah gedung pencakar langit di pusat kota yang menjadi gedung tertinggi seorang pria mengacak rambutnya gusar karena anak lelakinya menghilang entah kemana setelah meninggalkannya di ruang kantor saat rapat dengan petinggi.
Sebelum berlanjut, mari perkenalkan ...
Sebelumnya, ada Oliver Stacy, maka ada Tyler Charles. Ia sempurna, memiliki segalanya, penampilan, kekayaan dan status. Begitu semua orang memandangnya seolah tanpa cela.
Bagaimana jika keduanya dipertemukan? Sayangnya belum terjawab hingga sekarang. Meski berada di posisi yang sama, keduanya saling melihat ke arah yang berbeda.
Kembali pada topik awal.
Berdasarkan rekaman cctv, anak lelakinya itu sudah keluar dari perusahaan. Sayangnya, cctv hanya dipasang di area sekitar perusahaan sehingga jejak putranya tidak terlihat lagi di area yang tidak terpasang kamera pemantau.
"Kami sudah mencari di sekitar jalan dan area tersembunyi di perusahaan, tapi tuan muda Liam tidak ditemukan, Sir. Tyler."
Anak itu selalu kembali dengan sendirinya setelah puas bermain, tapi sudah setengah hari anak itu belum juga kembali sehingga Tyler curiga anak itu menghilang.
"Cari jalan yang terdapat cctv! Temukan Liam hingga ketemu!"
Tidak berani bicara lagi, asistennya itu segera berlari keluar untuk mencari tuan mudanya yang berulah kembali.
"Kemana perginya anak itu," desis Tyler seraya memijat keningnya. Padahal baru saja rasanya Liam bertanya seperti apa tipe wanita yang disukainya, lalu tiba-tiba menghilang begini.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
...cek arus dulu...
"Seperti apa tipe wanitamu, Daddy?" Pertanyaan dari bibir kecil Liam mengalihkan perhatian Tyler dan Jeremy yang sedang berdiskusi.
Tidak tahu mengapa putranya tiba-tiba bertanya pertanyaan yang menurutnya aneh itu. Tak ingin pusing, Tyler hanya menjawab, "Setara dengan Daddy."
Jeremy mengangguk setuju dengan jawaban Tyler. Awalnya ia juga penasaran dengan pilihan Tyler karena tidak pernah dekat dengan siapapun lagi setelah sekian lama. Terus terang Tyler menolak dengan tegas berhubungan dengan wanita manapun dan di kalangan apapun.
Jawaban yang dilontarkan Tyler sama saja dengan mengatakan bahwa tidak ada wanita yang cocok dengannya. Tentu saja karena belum ada yang bisa menandingi seorang Tyler Charles dalam hal kekayaan dan keunggulannya dalam dunia bisnis eropa.
"Tunggulah disini, Liam. Daddy akan rapat dulu."
Tyler keluar lebih dulu meninggalkan Jeremy yang sedang membereskan meja kerjanya.
"Apa ada wanita kaya seperti daddy, Jeremy?"
Jeremy yang ditanya menghentikan kegiatannya dan mengerjap menatap Liam. Ia lupa jika Liam adalah anak yang tidak mudah menyerah.
"Sepertinya tidak ada, Tuan muda."
Mungkin?
"Ehm!" Liam mengangguk-angguk. Sudah jelas tidak ada. Ia juga mengetahui hal itu. Daddynya, kan, termasuk orang terkaya di Eropa. Setelah dipikir-pikir tentu tidak ada yang cocok dengan daddynya itu.
"Apa benar-benar tidak ada?" tanya Liam lagi.
Jeremy sudah siap untuk menyusul Tyler kembali terhenti. Pria itu terlihat berpikir sebentar.
"Ada banyak wanita dari kalangan atas, tapi tidak ada yang sesuai dengan kriteria Sir. Tyler."
"Memang sulit." Liam lagi-lagi setuju.
Jeremy sudah berniat pergi lagi kembali berhenti. Kali ini bukan Liam, tapi pikirannya sendiri.
"Mungkin ada satu orang," celetuknya. "Benar, tidak salah lagi."
"Siapa?" Liam sangat tertarik hingga turun dari sofa mendekati Jeremy.
Pria itu sedikit membungkukkan badan untuk mensejajarkan tingginya dengan Liam, kemudian berbisik, "Oliver Stacy."
Begitulah kesialan muncul bagi Jeremy karena anak lelaki itu menghilang setelahnya. Jeremy mencurigai jika Liam pergi mencari wanita bernama Oliver itu meski belum sepenuhnya yakin. Jika tuannya tahu Liam menghilang karena ulahnya, entah apa yang terjadi. Jeremy ingin bersembunyi dalam lubang saja.
...***...
Berdasarkan dugaan Jeremy, memang benar jika Liam pergi mencari wanita itu. Tidak tahu apa yang dilakukan Liam hingga akhirnya bertemu dengan Oliver Stacy yang hampir menabraknya. Bagi Liam ini bukan kebetulan, tapi keberuntungan yang disengaja.
Ada rumor jika Oliver sangat lembut dan manis, namun juga bukan hal asing jika ada yang menyebut wanita itu temperamental. Sifatnya berubah-ubah, begitu kata orang yang pernah bertemu dengannya.
Namun, Liam sudah memastikannya sendiri. Selain hampir setara dengan sang ayah, ia juga menyukai wanita itu! Meskipun pria yang bernama Oscar itu terus saja menatapnya curiga.
"Sudah tidak sakit lagi, kan, Sayang?" Oliver berujar lembut setelah memeriksa lukanya. Hanya lecet kecil di telapak tangannya karena tergores aspal saat jatuh tadi. Sebenarnya biasa saja bagi Liam, tapi demi menarik perhatian target, ia harus memainkan peran anak yang manis dan polos.
"Udara dingin sekali. Suruh kepala pelayan siapkan pakaian untuk Liam, Oscar."
Oscar menghela nafas pasrah sambil mengangguk. Sudahlah. Biarkan saja anak itu bersamanya jika nona mudanya senang. Untuk masalah kedepannya bisa dipikirkan nanti saja. Lagipula ia tidak bisa melawan nona bosnya yang keras kepala.
"Kita akan kemana, Mommy?"
"Karena sudah hampir gelap, kita pulang ke rumah."
Liam tersenyum lebar begitu mendapatkan kecupan dari Oliver di keningnya. Tidak rugi ia nekat pergi sendiri mencari wanita ini. Ia sempat khawatir jika Oliver Stacy seorang nenek tua, tapi ternyata seorang wanita yang secantik dewi.
Mungkin karena udara dingin dan pelukan Oliver yang hangat, Liam tanpa sadar sudah tertidur dengan nyaman dalam perjalanan. Dan atmosfer dalam mobil seketika membuat bulu kuduk Oscar meremang.
Suasana hatinya cepat sekali berubah, batinnya.
"Ini jas keluaran terbaru. Sepatunya hanya ada dua di dunia karena dibuat oleh desainer ternama paris yang merindukan anaknya. Dia diurus dengan sangat baik, tapi kenapa dia dibuang?" tanya Oliver tanpa ekspresi ramahnya barusan, seolah apa yang dilakukannya tadi hanyalah sebuah acting untuk menipu anak kecil.
"Nona ... apa kau percaya dia benar-benar dibuang? Dia kelihatan licik." Prasangka Oscar belum berubah.
"Tidak juga," gumam Oliver dengan nada malas.
Mobil berhenti tepat di depan gerbang tinggi. Oscar menjalankan mobilnya kembali setelah pintu gerbang terbuka lebar. Dari sana sudah terlihat sebuah bangunan megah berupa mansion yang di dominasi oleh warna putih.
"Benar, kan! Sudah saya duga nona tidak mungkin percaya begitu saja."
"Meski begitu aku akan tetap membawanya." Keputusan Oliver tidak berubah membuat Oscar lesu kembali.
Oscar menghentikan mobilnya lagi setelah berhenti di depan mansion yang menjadi kediaman Oliver Stacy selama 26 tahun ini.
"Selamat datang kembali, Nona." Ed, kepala pelayan menyambutnya di depan pintu.
"Thanks, Ed. Tolong tidurkan dia kamarku." Meski merasa bingung dengan anak lelaki yang dibawa sang nona, Ed tetap meraihnya dengan hati-hati.
"Oh, dia putraku!" Oliver mengerti kebingungan Ed dan beberapa pelayan.
"Putra? Ah! Saya bawa tuan muda ke kamar dulu." Ed mengundurkan diri. Tinggallah Oscar, Oliver dan beberapa pelayan yang menyambutnya juga tadi.
"Namanya Liam. Perlakukan dia sebaik mungkin layaknya pemilik rumah. Dia putraku sekarang," tegas Oliver.
"Baik, Nona," jawab Ed sembari melirik pada Oscar yang mengangguk pasrah.
Dengarkan saja dia. Aku sudah menyerah. Begitu maksud Oscar.
"Mari kita lihat apa yang dia bawa."
Oliver membuka dengan santai tas ransel yang dipakai Liam sebelumnya. Muncul kerutan kecil di keningnya setelah mengeluarkan isi ransel tersebut, meski begitu bibirnya melengkungkan senyuman.
"Liam Parrish, anak laki-laki dari Lohan Parrish dan Caitlin Parrish," ejanya. "Dia bahkan membawa dokumen identitasnya, Oscar. Wah, luar biasa. Sepertinya dia benar-benar dibuang." Sedikit berbisik di akhir. Tapi, ia takjub karena dibuang bersama identitas diri. Seharusnya sangat aneh, bukan?
"Meski begitu kita tetap tidak bisa menculiknya." Oscar masih tetap dengan pendiriannya sehingga lirikan Oliver berubah sangat tajam kearahnya.
"Aku tidak menculiknya!" tekan Oliver. "Memangnya tidak boleh mengambil anak yang dibuang orang tuanya? Berapa kali harus ku katakan ini. Pergilah sana! Urus pekerjaanmu saja."
Meski sempat terjingkat akibat hardikan Oliver, Oscar berhasil mengatur nafasnya lagi. Kemarahan Oliver sebenarnya tidak terlalu menakutkan lagi karena ia sudah terbiasa, tapi bukan berarti ia harus menganggap remeh, kan? Sering mengaum bukan berarti tidak akan menerkam.
"Hei kalian, baik-baiklah dengan anak itu. Semua orang nona harus kalian hormati," peringat Oscar pada para maid yang menunduk sejak tadi.
Tanpa diberitahu pun, mereka juga tahu itu. Lagipula, Oliver satu-satunya ratu di kediaman ini. Wanita dengan kekuasannya. Siapapun akan bergidik mendengar namanya. Dan mereka semua disini sebagai pelayannya.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Flashback
"Permisi, Sir." Seorang petugas keamanan menatap kebawah saat seseorang menarik bajunya.
"Ya?" Sambil menatap sekelilingnya.
"Apa Oliver Stacy bekerja disini?" tanya Liam dengan wajah polos.
"Kau siapa, anak kecil? Kenapa bertanya begitu?" Takut jika salah-salah memberi jawaban. Nama itu cukup sensitif untuk disebutkan meski yang bertanya hanya anak kecil.
"Apa dia disini?" tanya Liam lagi.
"Iya, benar. Memangnya ada apa?"
"Aku sering mendengarnya, jadi aku penasaran."
Oh, ternyata hanya anak kecil yang penasaran.
"Benar, dia ada di lantai paling atas gedung ini. Tinggii sekalii ...," jelasnya sambil menunjukkan gedung paling tinggi di hadapan mereka. Kebetulan mereka ada di pos keamanan.
"Ternyata sangat jauh. Aku sangat ingin melihatnya." Menunduk murung, membuat penjaga itu menjadi kasihan.
"Hanya orang penting saja yang bisa bertemu dengannya. Tapi, jika kau mau melihatnya, tunggu saat jam pulang saja. Biasanya dia akan keluar tepat waktu."
Liam langsung berbinar. "Apa masih lama?"
"Tidak. Tunggu sebentar lagi."
Petugas menggeleng pelan. Pengaruh Oliver memang luar biasa hingga anak kecil saja harus penasaran dengannya.
Flashback off
-
-
-
-
Oliver merenggangkan tubuhnya setelah selesai memakai piama tidurnya. Setelah mencepol asal rambutnya, Oliver kemudian berkutat dengan perawatan malamnya di depan meja hias. Namun, bukan berarti pikirannya fokus pada hal itu saja karena matanya telah mengawasi Liam yang masih terlelap di atas ranjang dari pantulan kaca.
Suara ketukan pintu yang hati-hati membuat Oliver mengalihkan pandangannya. Kepala pelayan Ed masuk setelah dipersilahkan.
"Untuk sementara, ini pakaian tuan muda, Nona. Saya akan segera mengisi lemarinya setelah pakaian yang lain datang."
"Thank you, Ed," ucap Oliver tersenyum seraya melangkah pada Liam.
"Dia manis, kan, Ed?" Duduk di sebelahnya dengan hati-hati sembari mengelus kepalanya pelan.
"Iya, Nona, tapi kita harus mencari orang tuanya," ujar Ed yang membuat senyum Oliver memudar.
"Kalian sama saja!"
"Berdasarkan hukum tidak mudah melakukan adopsi terutama nona belum menikah. Kita juga harus mendapat persetujuan orang tuanya," jelas Ed tanpa takut meski ia tahu Oliver pastinya telah mengetahui hal itu. Hanya saja seperti yang diketahui jika wanita itu cukup keras kepala dan tidak takut pada hukum.
"Hm. Kalau begitu aku akan menjaganya saja."
Menjaga berarti tidak akan mengembalikannya, kan? batin Ed tidak mampu menyangkal lagi, tahu jika wanita itu tidak akan menyerah begitu saja. Sepertinya mereka harus bekerja keras lagi kali ini untuk memastikan tidak ada berita buruk apapun mengenai sang nona. Tidak lucu jika ada berita seorang Oliver Stacy menculik anak orang lain.
"Kalau begitu saya permisi, Nona."
"Baiklah. Bawakan makanan untuknya setelah ini, Ed."
"Baik, Nona."
Liam yang tertidur pun mulai terusik saat merasakan seseorang menusuk-nusuk pipinya meskipun pelan. Senyum manis Oliver yang pertama kali dilihat begitu membuka matanya.
"Sudah bangun. Kita harus mandi dan makan malam."
"Sudah malam?" tanya Liam dengan suara serak khas bangun tidur.
Oliver menjawab dengan deheman seraya berdiri dan membuka kedua tangannya sehingga Liam langsung masuk dalam gendongannya. Oliver membawanya seperti menggendong koala ke dalam kamar mandi.
"Mommy, aku ingin mandi sendiri." Meski masih kecil, Liam sudah cukup malu. Oliver yang ingin membuka pakaian Liam pun terhenti dengan raut bingung.
"Apa kau tahu berapa usiamu sekarang?"
"Tujuh tahun," jawabnya polos.
"Benar. Liam tahu apa artinya?"
"Aku sudah besar," jawabnya lagi.
Oliver menggeleng. "Salah!"
"Salah?"
"Artinya Liam masih kecil. Tidak ada salahnya bermanja-manja dengan orang tua."
Liam berkedip polos. "Tapi, daddyku tidak begitu. Daddy bilang aku harus mandiri dan tidak boleh merepotkan orang lain kecuali pelayan rumah," katanya.
Cih! Ayahnya itu hanya malas saja, batin Oliver mencibir.
"Termasuk mandi?"
Liam mengangguk. "Aku sudah mandi sendiri sejak usia lima tahun. Aku juga menjalani les bisnis sejak usia enam tahun hingga sekarang."
"Les bis— apa?!" Oliver terperangah mendengarnya. Anak sekecil ini sudah diberikan pendidikan sekeras itu? Wah, Oliver jadi ingin mencari pria itu dan menendang tulang keringnya.
"Kalau begitu tidak perlu pikirkan lagi. Sekarang Liam sudah bersamaku, jadi katakan apapun yang Liam mau padaku." Maksudnya Oliver ingin memberikan masa kecil Liam yang hilang.
"Baiklah, Mommy."
"Sekarang peluk aku." Bocah itu segera melakukannya. Tanpa Oliver ketahui, senyum licik tersinggung di bibir kecil Liam yang bersembunyi di lehernya.
Maafkan Liam, daddy. Kau akan kesulitan cukup lama, batinnya tidak menyesal sama sekali. Mendapatkan ibu baru yang sesuai dengan kriteria ayahnya adalah yang terpenting saat ini.
...***...
Keesokan harinya Liam dan Oliver turun bersama menuju lantai satu setelah menyelesaikan sarapan mereka di kamar. Liam jadi bertanya-tanya saat keadaan ruang tengah yang luas menjadi begitu ramai dengan pelayan yang berlalu lalang.
Oscar juga sudah ada disana memonitor semua orang. Kepala pelayan Ed pun tidak lupa ikut serta bersamanya.
"Mommy, kenapa disini sangat ramai?"
"Kau akan terbiasa melihatnya." Menyentuh kepala Liam sekilas, kemudian mendekati kepala pelayan.
"Berapa banyak lagi?"
"Sudah hampir selesai, Nona."
"Selamat pagi, Tuan muda. Bagaimana pagi anda hari ini?" Ed menyapa Liam dengan ramah setelah Oliver meninggalkanya untuk berbicara dengan Oscar.
"Selamat pagi, Ed. Sangat baik! Aku sangat suka tidur dipelukan Mommy."
Oliver yang sedang berbicara dengan Oscar pun menoleh kecil dan tersenyum tipis mendengarnya.
Setelah selesai berbicara dengan Oscar, Oliver membawa Liam menuju mobil. Dua mobil lainnya sudah terjejer rapi di halaman mansion yang nantinya akan mengikuti mobil Oliver.
"Kita akan kemana, Mommy?" Setelah mobil mereka bergerak meninggalkan mansion.
Oliver mengalihkan pandangannya dari tab di tangannya kepada Liam.
"Bertemu teman baru," ujar Oliver tersenyum.
Meski belum terlalu mengerti, Liam tidak bertanya lagi hingga mobil yang mereka naiki berhenti di sebuah bangunan yang cukup besar. Ada pagar besi yang membatasinya.
Sekarang Liam mengerti maksud ucapan Oliver setelah melihatnya sendiri. Sekitar dua puluh orang anak berusia lima hingga sepuluh tahun keluar dari bangunan itu menuju dirinya dan Oliver.
"Oliver!" teriak mereka semua. Liam mendongak untuk melihat reaksi ibu barunya itu. Rupanya juga tersenyum seperti saat tersenyum padanya. Ada kecemburuan menyusup di hati Liam.
Ia ingat Ed sempat mengatakan jika Oliver sangat jarang tersenyum karena sifatnya yang temperamental, tapi Oliver selalu tersenyum padanya. Itu sebabnya Ed bilang jika dirinya istimewa bagi Oliver. Ternyata tidak seperti itu. Liam sedikit cemberut.
Oscar serta pria berpakaian hitam lainnya juga sudah turun dari mobil dan mengeluarkan banyak barang. Tidak heran pagi ini sangat sibuk. Beberapa kotak besar berisi mainan serta bahan makanan diserahkan kepada pengurusnya dan anak-anak.
"Kami selalu datang kesini setiap bulannya. Mereka semua anak-anak yang tidak seberuntung kita. Jadi, Liam harus bersyukur atas apa yang kau punya sekarang."
Liam tersenyum lebar dengan mengangguk patuh. Ia suka Oliver! Pokoknya ia sangat menyukai Oliver! Daddynya harus bersama wanita ini!
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
...Gass terus Liam ......
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!