Naya. Dia adalah seorang gadis lugu yang berasal dari suatu daerah yang sangat terpencil dan datang ke kota untuk menimba ilmu setelah menyelesaikan pendidikannya di tingkat Sekolah Menengah Pertama.
Ia adalah anak pertama dari tiga bersaudara. Terlahir dari pasangan Pak Rusdi dengan Ibu Sara.
Orang tua Naya ingin menyekolahkan anaknya di kota hanya bermodalkan dari penjualan hasil kebun yang tidak seberapa sehingga mengharuskan pula Naya untuk menumpang di rumah kerabat karena mereka tidak punya uang lebih untuk membayar sewa rumah kost.
SMA Jaya Sentosa tempat Naya menimba ilmu termasuk salah satu sekolah yang menerapkan kedisiplinan yang patut diapresiasi. Peserta didik berada di sekolah hingga menjelang sore membuat Naya merasa serba salah ketika tiba di rumah, tempat ia menumpang karena tuan rumah selalu menyambutnya dengan wajah yang tidak bersahabat.
Tidak ada lagi pekerjaan yang bisa ia kerjakan karena semuanya telah selesai dikerjakan oleh tuan rumah. Naya merasa sangat tersiksa dengan kenyataan yang sedang dihadapi ditambah lagi dengan komunikasi yang dingin bahkan hampir-hampir tidak ada dari semua penghuni rumah.
Hanya beberapa bulan saja Naya bertahan di rumah tersebut hingga memutuskan untuk mencari rumah kerabat yang lain.
"Maaf, Tante, saya mau pamit, terima kasih sudah menampung saya selama ini!" kata Naya ketika berpamitan.
"Oh, yah, kenapa harus minta maaf, kalau mau pergi, pergi aja! Lagian juga kamu nggak ada guna-gunanya tinggal di sini, hanya makan gratis dan nyusahin orang aja!" ujar Ibu Nuriah tanpa perasaan.
Mata Naya berkaca-kaca mendengar kata-kata yang kasar dan menyakitkan bahkan ketika ia mengulurkan tangannya untuk pamit, Ibu Nuriah malah menepis dengan kasar lalu buru-buru masuk ke kamar sambil membanting pintu.
Pak Domi, suami Ibu Nuriah yang sedang duduk di teras sambil menikmati sebatang rokok tersentak kaget mendengar suara pintu kamar yang dibanting keras namun ia tidak bisa berbuat banyak.Ia hanya bisa menghela nafas sambil mengurut dada untuk meredam rasa kesal yang menyeruak. Sebenarnya ia sangat kasihan melihat Naya, tapi jika ia bersuara maka sudah bisa dipastikan bahwa masalah akan bertambah. Ia sedih karena tidak bisa membela Naya yang merupakan ponakannya sendiri. Pak Domi adalah saudara kandung Sara, ibu Naya.
"Kamu mau tinggal di mana, Naya?" tanya Widy yang baru saja bangun tidur. Suara pintu yang dibanting oleh ibunya membuat tidurnya terusik. Biasanya ia tidur hingga magrib dan akan terbangun jika makan malam sudah tersaji di meja.
"Di rumah Tante Yuli, Kak," jawab Naya dengan suara serak.
"Baguslah, silahkan pergi! Buat apa lagi, coba, kamu di situ berdiri nggak jelas?" kata Widy dengan sikap angkuhnya
"Permisi, Kak, saya pamit dulu!" ucap Naya dengan kepala tertunduk. Ia tidak berani menatap kakak sepupunya yang sejak dari dulu tidak pernah menganggap kehadirannya di rumah tersebut.
Naya keluar dari rumah dengan membawa dua buah tas. Satu tas sekolah yang berisi semua peralatan sekolah dan yang satunya lagi berisi pakaian yang hanya terdiri dari beberapa potong saja.
"Permisi Om!" ucap Naya ketika melewati teras. Ia mengulurkan tangannya untuk berjabat tangan dengan Pak Domi.
"Maafkan Tante dan kakakmu!" ucap Pak Domi dengan wajah sedih sambil menepuk bahu Naya dengan lembut.
Naya hanya mengangguk lalu melangkah keluar.
"Hati-hati di jalan, Nak!" kata Pak Domi lagi.
"Terima kasih, Om!" sahut Naya kemudian berlalu dengan langkah yang pasti walaupun hati sedang terluka.
Naya diterima baik oleh keluarga Ibu Yuli. Keluarga ini masih punya hubungan keluarga yang dekat dengan Ibu Sara.
Satu-dua bulan masih berjalan sebagaimana mestinya namun kehidupan Naya kembali terusik ketika Om Fredi, suami Ibu Yuli yang kerap pulang tengah malam dalam keadaan mabuk mencoba mengganggunya. Waktu itu Ibu Yuli sedang tidak berada di rumah karena ada urusan keluarga di luar kota dan Naya tinggal di rumah bersama Santi, anak tantenya yang masih duduk di bangku Sekolah Dasar kelas tiga.
Untuk menghindari masalah, Naya berencana untuk berhenti saja bersekolah dan pulang ke kampung halamannya tapi niatnya itu berubah ketika ia mencurahkan segala isi hatinya kepada Elly, teman sebangku di sekolah sekaligus menjadi sahabatnya.
"Ehh, jangan putus sekolah, entar kamu akan menyesal kalau jadi gembel!"
"Tapi..., saya harus tinggal di mana lagi?"
"Di rumahku, sebentar saya akan bicara sama mama dan pasti dia akan setuju,"
Naya tersenyum melihat sahabatnya yang sangat bersemangat namun ia belum yakin apakah kedua orang tua Elly akan mengizinkan dirinya untuk menumpang di rumah mereka.
Belum juga selesai makan setelah pulang dari sekolah, Elly sudah datang menjemputnya dengan naik motor. Wajah sahabatnya itu sangat cerah menandakan bahwa ia sangat senang karena akan memiliki teman di rumah.
"Kamu serius, El?"
"Iya, bahkan papa dan mama yang menyuruhku langsung ke sini buat jemput, lu,"
Ibu Yuli keberatan ketika Naya pamit tapi dia juga tidak bisa menghalangi karena alasan yang diberikan oleh Naya masuk akal. Naya beralasan bahwa ia ingin pindah karena tidak kuat jalan kaki ke sekolah sedangkan rumah Elly, sahabatnya sangat dekat dengan gedung sekolah.
Jelas saja Ibu Yuli merasa kehilangan karena sebagian besar pekerjaan rumah sudah dilimpahkan kepada Naya sejak tinggal di rumahnya.
"Sering-seringlah ke sini kalau kamu nggak ada kesibukan!" ucap Ibu Yuli ketika Naya berpamitan.
"Iya, Tante, terima kasih buat tumpangnya selama ini!" sahut Naya.
"Sama-sama,"
Naya segera berlalu dengan perasaan lega karena kebetulan suami tantenya sedang tidak ada di rumah. Rasa takut dan benci selalu menghantuinya jika mengingat kejadian malam itu membuat ia berusaha dan berharap untuk tidak bertemu lagi dengan Om Fredi.
Om Fredi telah mengancam agar dirinya tidak membeberkan kejadian tersebut kepada Tante Yuli dan sekalipun tidak ada ancaman, Naya sudah berjanji untuk tidak mengatakan apa-apa kepada Tante Yuli, demi keutuhan rumah tangga mereka.
Ibu Karina dan Pak Jona sangat senang melihat anak gadisnya kini punya teman di rumah dan hal itu juga membuat Naya terharu. Ia merasa sangat dihargai di rumah itu karena kedua orang tua Elly serta Enji, kakak Elly sangat baik.
Naya mengerjakan apa saja yang bisa dikerjakan tanpa harus mendapat perintah dari tuan rumah. Mulai dari menyapu, mengepel lantai, memasak, bahkan mencuci pakaian yang kotor milik penghuni rumah tanpa terkecuali.
Ibu Karina merasa sangat terbantu karena sehari-harinya sibuk dengan jahitan sehingga kadang dalam dua sampai tiga hari tidak pernah mengepel tapi sejak Naya tinggal bersama dengan mereka, lantai rumah berubah jadi kinclong dan harum. Perabotan juga tampak tersusun dengan rapi.
"Kenalin dong, dengan gadis itu!" bisik Robin, ponakan Pak Jona yang datang bertamu sore itu dan melihat Naya sedang sibuk di dapur.
"Ehh, Kak Robin, kalau mau kenalan, nggak usah pakai perantara, langsung aja sama yang bersangkutan," ucap Elly dengan senyum khasnya, memamerkan lesung pipi yang menjadi andalannya.
Liburan kali ini dimanfaatkan oleh Naya untuk pulang ke kampung menjenguk orang tua dan adik-adiknya. Rasa rindu tak dapat dibendung lagi setelah dua tahun meninggalkan kampung halaman.
"Kakak Naya makin cantik aja, nih," ujar Anan, adik bungsunya dengan serius. Ia memandangi wajah kakaknya dengan rasa kagum.
Kulit Naya yang dasarnya putih kini tampak semakin bersinar karena terlihat bersih dan walaupun tanpa make up ia tetap terlihat manis.
"Ahh, Adik bisa aja," ucap Naya lalu memeluk Anan dengan erat. Ia tidak peduli dengan bau keringat dan lumpur yang penuh di pakaian adiknya.
Tak lama kemudian Dadang, anak yang kedua juga muncul dari belakang rumah. Tubuhnya juga penuh dengan lumpur sawah karena ia baru saja membantu sang ayah membajak di sawah. Meskipun baru duduk di kelas delapan SMP tapi ia sudah bisa membantu ayahnya bekerja.
"Kak Dang, lihatlah, siapa yang datang!" seru Anan dengan riang.
"Kak Naya!" teriak Dadang dengan senang.
"Ayo, kemari, Kakak punya ole-ole buat kalian!" seru Naya pula.
Dadang tidak langsung menemui kakaknya tapi ia terlebih dahulu pergi ke pancuran yang tidak jauh dari rumah untuk membersihkan tubuhnya yang penuh dengan lumpur sawah. Anan pun ikut serta setelah menyadari bahwa tubuhnya juga sangat kotor.
Ibu Sara segera ke dapur untuk menyiapkan makan malam karena sudah sore. Ia menumbuk daun singkong yang dipetik di dekat pondok tadi ketika hendak pulang ke rumah.
Dari kecilnya Naya sangat suka makan daun singkong tumbuk dengan lauk ikan asin. Makanya ibu Sara menyiapkan makanan tersebut untuk santap malam mereka saat ini.
"Terima kasih, Ma, sudah menyiapkan makanan kesukaanku!" ucap Naya yang tanpa sadar sudah dua kali tambah nasi.
"Iya, Nak, makanlah sepuas-puasnya tapi ingat, jangan berlebihan!" sahut Ibu Sara sambil tersenyum.
Usai makan malam mereka berkumpul di ruang tengah yang juga adalah ruang makan sekaligus tempat tidur buat Dadang dan Anan karena hanya ada satu kamar yang berukuran kecil. Mereka tampak sangat bahagia karena bisa berkumpul sambil mendengarkan cerita dari Naya.
Pak Rusdi dan Ibu Sara sangat senang mendengar cerita dari Naya tentang kebaikan orang yang telah sudi menampung anaknya di kota walaupun diantara mereka tidak ada hubungan keluarga.
"Dari mana kamu dapat uang buat beli ole-ole?" tanya Ibu Sara yang penasaran dengan ole-ole yang dibawa oleh anaknya. Selain pakaian buat kedua adiknya, ia juga membawa makanan berupa kue dan beberapa camilan
"Saya sering mendapat upah dari Ibu Karina karena ikut mambantu menyelesaikan jahitannya dan uang itu saya tabung," sahut Naya.
Memang benar ia sering mendapatkan uang dari Ibu Karina tapi itu hanya cukup buat jajan di sekolah. Naya tidak mau berterus terang bahwa ole-ole yang dibawanya adalah pemberian Robin yang telah resmi menjadi kekasihnya.
Keluarga Robin adalah keluarga yang tergolong kaya dan ia tidak segan-segan mengeluarkan rupiah demi Naya. Awalnya ia ingin mengantar Naya ke kampung tapi Naya menolak untuk menghindari cemooh dari warga kampung jika tiba-tiba ia muncul berboncengan dengan seorang laki-laki.
Naya menikmati hari liburnya di kampung selama dua minggu dan ia memanfaatkan waktu liburnya dengan sebaik-baiknya untuk membantu pekerjaan di rumah karena kedua orang tuanya berada di sawah dari pagi sampai malam hingga tak terasa malam ini adalah malam terakhir ia berkumpul dengan keluarganya karena lusa sudah masuk sekolah kembali.
***
"Selamat pagi!" sebuah suara mengejutkan Naya ketika ia keluar dari rumah. Suara yang begitu dikenalnya.
"Kaget, ya?" seru Robin lagi karena melihat Naya yang kebingungan.
"Kok..., kok, Kak Robin ada di sini? Datang sama siapa? Siapa yang tunjukkan rumah?" Naya melontarkan pertanyaan secara beruntun.
Robin tidak menjawab tapi hanya menyunggingkan senyum bahagia karena sedikit rasa rindunya sudah terobati tat kala bisa memandangi wajah kekasihnya. Ada keinginan untuk memeluk dan melepaskan kerinduan tapi hanya bisa dibayangkan dalam hati saja.
Rasa cinta yang telah melahirkan kerinduan amat sangat membuat Robin nekat berangkat ke kampung kelahiran Naya. Ia mendapatkan informasi dari Elly bahwa hari ini Naya akan pulang.
Robi berangkat subuh di kota dengan modal nekat dan selalu bertanya kepada beberapa orang yang ditemuinya di jalan. Sebelumnya ia sudah tahu nama desa yang akan dituju.
Ibu Sara dan suaminya muncul di pintu untuk mengantar anaknya yang sudah bersiap untuk pulang ke kota.
"Apa tukang ojeknya sudah datang, Naya?" tanya Pak Rusdi sambil melirik ke arah Rusdi. Ia heran karena tidak biasanya tukang ojek yang ada di kampung berpenampilan seperti laki-laki yang kini sudah siap di halaman rumah dengan motornya.
Robin memiliki wajah yang tampan, kulit putih dan perawakannya tinggi besar. Tidak ada ciri-ciri yang memperlihatkan bahwa ia seorang tukang ojek.
"Ohh, ehh, eh, iya, Pa," sahut Naya dengan gugup.
"Tukang ojeknya orang baru, yah? Kok,Papa barusan lihat?"
"Iya, Om, saya berasal dari kampung sebelah. Teman saya yang menghubungiku karena tiba-tiba ada urusan yg sangat penting dan ia tidak bisa mengojek hari ini," ucap Robin dengan lancar.
"Kalau begitu, silahkan kalian berangkat, takutnya nanti kehujanan di jalan!"
"Iya l, Om, Tante,"
Naya memeluk dan mencium papa, mama, dan kedua adiknya secara bergantian lalu segera naik ke boncengan motor milik Robin.
Naya melambaikan tangan ketika motor yang ditumpangi sudah perlahan meninggalkan pekarangan rumah dan dibalas pula dengan lambaian tangan dari orang tua dan adik-adiknya.
Untuk beberapa saat Naya dan Robin tidak bersuara karena masih ada beberapa rumah penduduk yang berjejer di pinggir kiri kanan jalan yang mereka lalui dan ada saja ibu-ibu yang memperhatikan mereka lalu berbisik-bisik.
Kondisi jalan juga yang hanya merupakan pengerasan, banyak lubang dan batu-batu lepas membuat Robin harus lebih berhati-hati dan fokus untuk menyetir kendaraannya.
Usai melewati perkampungan, Robin tiba-tiba menghentikan kendaraannya.
"Kenapa berhenti, Kak?" tanya Naya.
Robin tidak menyahut tapi meraih tangan Naya dan melingkarkan di pinggangnya.
"Peluk yang erat dan jangan dilepas karena kondisi jalanan sangat jelek!" ucapnya tanpa menoleh ke belakang kemudian kembali melanjutkan perjalanan dengan hati yang senang.
Pelukan Naya menghangatkan tubuh yang dingin karena diterpa angin pegunungan dan Senyuman terukir di wajah Robin ketika pelukan Naya semakin erat karena motor meliuk ke sana ke mari.
Naya memejamkan mata ketika melewati jalanan yang menurun dan di samping kanan dan kiri ada jurang yang menganga.
"Nggak usah takut, Sayang!" ucap Robin. Ia melihat wajah kekasihnya yang panik di kaca spion.
Naya tersenyum lalu menyandarkan kepala pada pundak Robin. Hatinya merasa damai bisa sedekat ini dengan sang kekasih yang merupakan cinta pertamanya.
Kurang lebih lima jam keduanya menempuh perjalanan hingga tiba di kota dengan selamat. Rasa capek dan lelah tidak terasa karena hati mereka sedang dilanda asmara.
Usia keduanya selisih enam tahun dan kini Robin sudah bekerja di salah satu sekolah negeri sebagai tenaga honorer.
Selama ini ia sangat terkenal sebagai salah seorang pecandu judi online dan sering membuat kedua orang tuanya jadi stres karena sifatnya itu yang tidak bisa lagi ditolerir.
Namun sejak berkenalan dengan Naya, ia pun mulai berubah. Judi online tidak menarik lagi perhatiannya membuat kedua orang tuanya, Pak Melki dan Ibu Noni merasa lega dan senang. Keduanya sepakat untuk segera menikahkan Robin dengan Naya.
Apakah Naya bersedia menikah diusia yang masih sangat belia?
Hari ini Ibu Sara ke pasar untuk membeli ikan asin dan garam karena persediaan di rumah sudah habis, sementara para pedagang hanya datang berjualan ke desa tempat tinggal mereka hanya sekali seminggu.
"Siapa laki-laki yang menjemput Naya kemarin?" tanya Mak Titin kepada Ibu Sara dengan volume suara yang sengaja dikeraskan untuk mengundang perhatian ibu-ibu yang sedang berbelanja ikan.
"Oh, iya, saya juga lihat mereka lewat, sepertinya orang baru," timpal Mak Suri tetangga Mak Titin.
"Katanya tukang ojek dari kampung sebelah," sahut Ibu Sara.
"Nggak percaya deh, soalnya saat berpapasan di belokan ke kebun tampak Si Naya memeluk erat laki-laki yang memboncengnya," ucap ibu-ibu yang lain.
"Ihhh, jangan-jangan pacarnya dari kota," sambung yang lain.
"Katanya menuntut ilmu di kota, ujung-ujungnya...," seorang ibu mencibir dan tidak melanjutkan kalimatnya.
Perkataan Si ibu tersebut sontak membuat wajah Ibu Sara merah padam. Ia ingin marah tetapi tidak punya alasan yang tepat karena ia tidak tahu secara persis siapa sebenarnya yang datang menjemput anaknya, yang ia tahu orang tersebut adalah tukang ojek seperti pengakuan dari Naya sehingga ia hanya bisa mengurut dada untuk menenangkan dirinya lalu bergegas meninggalkan kerumunan ibu-ibu itu yang sedang memperbincangkan Naya.
Dengan langkah cepat Ibu Sara pulang ke rumah. Tiba di sana ia duduk di bangku tua dan merenungi kata-kata yang dilontarkan oleh ibu-ibu di pasar tadi.
Tidak ada yang bisa dilakukan karena kampung mereka belum terjangkau dengan alat komunikasi yang canggih.
"Tuhan, tolonglah anakku, karunia-kan hikmat kepadanya sehingga tidak melakukan sesuatu yang tidak baik." Ibu Sara berdoa dalam hati. Untuk saat ini hanya doa yang bisa membuat hatinya tenang.
***
Tinggal hitungan bulan, Naya akan segera mengikuti Ujian Nasional dan kedua orang tua Robin sudah menyusun rencana untuk segera menggelar pernikahan anaknya.
Hari ini Robin pulang dari sekolah lebih awal dan ia tidak langsung pulang ke rumah melainkan membelok kendaraanya menuju ke sekolah Naya. Ia ingin menjemput kekasihnya atas permintaan Sang ayah.
Pak Melki sangat terkesan dengan kepribadian Naya yang mempunyai daya tarik dan bisa pengaruh besar terhadap kehidupan Robin sehingga hampir tiap hari menyuruh anaknya untuk menjemput Naya di sekolah.
Hal ini membuat Ibu Karina kecewa karena pekerjaan di rumah menumpuk namun ia merasa tidak enak untuk melarang Robin yang selalu datang menjemput Naya.
"Ehh, Naya...udah pulang sekolah?" tanya Pak Melki basa-basi ketika berpapasan di pintu.
"Iya, Om," sahut Naya sopan.
Ibu Noni langsung mempersilahkan Naya dan Robin ke meja makan karena makanan sudah tersedia.
"Kamu jangan malu-malu, Naya, soalnya nggak lama lagi kamu akan menjadi bagian dari keluarga kami di sini," ucap Ibu Noni dengan serius.
"Naya masih mau sekolah, Tante," sahut Naya dengan ragu.
"Nggak masalah..., nanti selesai ujian kalian langsung menikah dan untuk kuliahnya nanti di belakang persolan," kata Pak Melki meyakinkan.
Naya melirik Robin yang duduk di sampingnya karena gugup.
***
Dua hari setelah Naya mengikuti Ujian Nasional di sekolah, pesta pernikahannya pun dengan Robin segera digelar di kampung.
Tidak banyak keluarga dari pihak Robin yang hadir karena kondisi jalan yang rusak parah di beberapa titik akibat hujan deras yang mengguyur daerah pegunungan di sekitar kampung tersebut dan sudah hampir satu minggu ini hujan turun di sore hari hingga tengah malam.
Pesta pernikahan digelar secara sederhana sesuai dengan adat yang berlaku di desa tersebut.
Kini di pelaminan telah duduk pasangan pengantin yang sangat serasi. Tampan dan cantik. Pakaian adat yang dikenakan pas di tubuh serta make up yang menempel di wajah semakin menampilkan kesan istimewa.
Senyum pada wajah Robin dan Naya selalu mengembang pertanda bahwa keduanya sangat bahagia bisa bersanding di pelaminan untuk meresmikan hubungan sebagai suami-istri.
Dari jauh sepasang mata menyaksikan kebahagiaan mereka dengan dengan hati menangis. Leo, teman sepermainan Naya sejak kecil hingga tamat di Sekolah Menengah Pertama. Hatinya terluka melihat kenyataan bahwa sahabatnya telah menjadi milik orang lain.
Perasaan suka hingga tumbuh menjadi benih-benih cinta ketika mereka duduk di kelas dua SMP sampai saat ini masih utuh dan yang menjadi persoalan karena Leo tidak pernah mengungkapkan secara langsung karena menurutnya waktu itu, umur keduanya masih sangat belia untuk menyatakan cinta.
Liburan yang lalu, Leo sangat berharap bisa bertemu dengan Naya karena ia pikir, sudah waktunya untuk menyatakan perasaan cinta kepada sahabatnya itu namun ketika ia hendak pulang ke kampung tiba-tiba pamannya jatuh sakit dan tidak ada yang bisa merawat.
Dulu ketika lulus di Sekolah Menengah Pertama Leo melanjutkan sekolah di kota yang lain dan menginap di rumah pamannya yang memang tinggal sendirian. Istrinya sudah menikah dengan laki-laki lain karena tidak betah lagi hidup dengan Sang paman yang ringan tangan.
Leo sangat kaget karena ia baru tiba di kampung tadi malam dan mendengar kabar dari orang tuanya bahwa besok ada acara nikahan di rumah Pak Rusdi. Berita ini membuat dirinya gelisah sepanjang malam hingga hari ini ia nekat untuk menghadiri pesta tersebut.
"Hm, ibu-ibu, benar kan apa yang saya katakan dulu tentang pria yang menjemput Si Naya itu? Lihatlah mereka segera dinikahkan padahal baru aja selesai ujian, atau jangan-jangan...!" kata Mak Titin ketika sudah duduk di antara para tamu lainnya.
"Iya juga ya, kok buru-buru amat nikahnya?" timpal seorang ibu yang duduk di belakang kursi tempat Mak Titin.
"Ada baiknya nikahannya dipercepat dari pada nunggu perut buncit," seru tamu yang lain.
Tak sengaja percakapan mereka didengar oleh Vina, adik Robin yang kebetulan duduk tak jauh dari tempat ibu-ibu yang sedang bergosip itu.
"Hey, ibu-ibu yang kampungan, hati-hati kalau bicara!" Seru Vina sambil berkacak pinggang dengan wajah merah padam menahan emosi.
Ibu-ibu yang bergosip tadi saling berpandangan.
"Ehh, orang baru, kamu jangan ikut campur dengan urusan kami!" ujar Mak Titin tidak mau kalah.
"Apa kata Ibu? Jangan ikut campur? Nggak terbalik? Justru kalianlah yang ikut campur dengan urusan kakak saya. Ingat! Kami ini berasal dari keluarga baik-baik, jadi tidak mungkin kakak saya itu menghamili anaknya orang baru diperistri, Paham!"
Satu per satu ibu-ibu yang duduk di sekitar situ mulai mencari tempat yang masih kosong karena merasa terusik dengan pertengkaran tersebut sedangkan Mak Titin masih ingin beradu mulut dengan Vina tapi dicegah oleh seseorang sehingga ia kembali duduk dengan perasaan kesal.
Vina meninggalkan tempat duduknya dan kembali bergabung dengan keluarga dari kota.
Acara demi acara berlangsung dengan baik sesuai dengan harapan hingga tiba pada acara penutup yaitu makan bersama.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!