Sudah hampir satu jam Lea menunggu calon suaminya di hadapan pak penghulu untuk mengucapkan ijab qobul.
Akan tetapi, Panji belum juga kembali setelah meminta izin untuk ke kamar hotel satu jam yang lalu.
Pria itu justru meninggalkan hotel sekaligus membatalkan pernikahannya secara sepihak tanpa alasan yang jelas.
Di tengah kekhawatiran Lea, gadis itu tetap bersikap tenang sembari tersenyum kepada pak penghulu juga sang ayah.
“Lea, ini sudah hampir satu jam kita menunggu. Tapi, Panji belum juga kembali, Nak,” tutur Pak Rahmat.
Lea tetap tersenyum memandangi sang Ayah. Gadis itu menarik nafas dalam-dalam kemudian membalas ucapan Pak Rahmat dengan lirih, “Ayah, sepertinya Mas Panji nggak akan kembali.”
“Lea.” Pak Rahmat menatap lekat wajah cantik sang putri dengan perasaan sedih.
“Nggak apa-apa, Ayah, aku baik-baik saja,” ucap Lea dengan tegar. Ia kemudian menatap pak penghulu yang sejak tadi sudah menunggu. Gadis itu meminta maaf lalu meraih mikrofon.
“Para tamu undangan sekalian, sebelumnya saya memohon maaf yang sebesar-besarnya. Sepertinya pernikahan ini nggak akan terlaksana. Dengan berat hati saya menyatakan pernikahan ini terpaksa dibatalkan.”
Selesai mengumumkan pernikahannya batal, suasana ballroom hotel seketika menjadi riuh. Ada yang merasa iba ada pula yang geram dengan calon mempelai pria.
Tak terkecuali orang tua dari Panji yang merasa sangat malu akan sikap sewenang-wenang sang putra.
“Bapak Ibu sekalian, meski pernikahan ini batal, anggap saja kalian sedang menghadiri tasyakuran wisuda saya,” lanjut Lea dengan tegar disertai senyum yang tetap mengembang dibibir.
Selesai berucap ia mempersilahkan para tamu undangan mencicipi hidangan yang telah disediakan oleh pihak hotel.
Dalam suasana riuh, tiba-tiba saja terdengar suara berat nan lantang seorang pria yang membuat seisi ballroom itu kembali hening.
Tak pelak, semua mata tertuju kepada pria itu yang sedang berdiri tegak nan gagah sedang memandangi Lea dari kejauhan.
“Pernikahan ini akan tetap dilanjutkan. Saya yang akan menjadi pengantin pengganti prianya!” tegas pria itu yang tak lain adalah Bagaskara Wardana.
“Pak Bagas,” gumam Pak Rahmat sembari memegang dadanya yang mulai terasa sakit. Memandangi pria itu yang kini sedang berjalan menghampiri dirinya dan Lea.
“Pak penghulu, ganti nama calon suami gadis ini dengan namaku Bagaskara Wardana,” pinta Bagas begitu ia sudah berdiri tepat di samping Lea.
Lea hanya bisa mematung. Lidahnya keluh tak bisa berkata-kata. Menatap pria berkarisma penuh wibawa itu berdiri disisinya. Pikirnya, bagaimana mungkin seorang pria asing tiba-tiba mau menggantikan posisi Panji.
‘Ya Rabb, kenapa perasaanku tiba-tiba nggak enak begini? Seperti ada sesuatu yang mengganjal di hatiku.’
“Lea, duduklah,” pinta Bagas dengan seulas senyum.
‘Bagaimana pria ini tahu namaku? Sedangkan aku sama sekali nggak mengenalnya.’
“Apa kalian sudah siap?” tanya pak penghulu.
“Saya sudah siap lahir dan batin!” jawab Bagas tegas.
Sambil menahan sakit di dada, Pak Rahmat kemudian mengulurkan tangan lalu disambut oleh Bagas. Meski terkesan mendadak, akan tetapi Bagas terlihat benar-benar sudah siap.
“Bagaskara Wardana, saya nikahkan dan kawinkan engkau dengan putriku yang bernama Azalea Hestari dengan mas kawin tersebut dibayar tunai!”
“Saya terima nikah dan kawinnya Azalea Hestari dengan mas kawin tersebut dibayar tunai,” sahut Bagas dengan lantang hanya dengan sekali tarikan nafas.
“Bagaimana para saksi!” tanya pak penghulu.
“Sah!”
“Sah!”
“Sah!” sahut para saksi sekaligus mengucap Hamdallah.
Pak Rahmat kemudian beranjak dari tempat duduk. Menghampiri Bagas lalu memeluk pria itu seraya berbisik lirih, “Bagaimana dengan Bu Melissa? Dia pasti akan sangat marah pada Bapak. Mungkin saja putriku akan menjadi bulan-bulanannya.”
“Pak Rahmat aku bisa mengatasi Melissa. Jadi jangan merasa khawatir begitu,” balas Bagas.
“Pak Bagas, Lea satu-satunya putri saya. Ibunya sudah lama meninggal dan hari ini saya menitipkan Lea pada Bapak.” Pak Rahmat mengatur nafas sambil menahan sakit.
“Tolong jaga Lea baik-baik, sayangi serta cintailah putriku sebagaimana Bapak mencintai serta menyayangi Bu Melissa, serta bersikap adil lah pada keduanya,” pungkas Pak Rahmat.
Begitu selesai berucap, Pak Rahmat akan terjatuh. Namun, dengan sigap Bagas menahan tubuh pria paruh baya itu.
“Pak! Pak Rahmat,” panggil Bagas sedikit panik.
“Ayah! Ayah, bangun, Yah!” Azalea menepuk wajah Pak Radit sambil menangis.
“Sebaiknya kita bawa ke rumah sakit!” cetus Bagas.
.
.
.
Beberapa jam berlalu ....
Tak ada kata yang bisa diucapkan oleh Lea melainkan hanya bisa diam membisu. Bak sebuah tugu, ia mematung dengan pandangan kosong mengarah ke jasad sang ayah yang telah terbujur kaku.
Air matanya terus mengalir merasakan sesak di dada. Pernikahan yang seharusnya berlangsung meriah harus berakhir mengenaskan.
Calon suaminya menghilang entah ke mana, dinikahi oleh pria asing lalu berakhir ditinggal pergi oleh sang ayah. Lengkaplah sudah semua penderitaan Azalea Hestari.
Belum lagi jika gadis itu mengetahui kenyataan yang sebenarnya. Dinikahi sekaligus dipoligami oleh Bagaskara Wardana.
Bagas yang kini sedang berdiri saling berhadapan dengan Lea, memandangi wajah sendu gadis itu.
Ucapan Pak Rahmat beberapa jam lalu seketika membuatnya dilema. Poligami yang tak diinginkan olehnya terpaksa ia lakukan demi sebuah alasan.
.
.
.
Dua Minggu kemudian ....
Pasca menikah sekaligus kehilangan sang ayah di hari yang sama, Lea tampak lebih tegar. Ia pun kini sudah siap kembali bekerja di maskapai penerbangan sebagai pramugari.
Tadinya Lea berpikir jika Bagas benar-benar ikhlas menikahinya. Setelah tahu alasan pria itu menggantikan posisi Panji sebagai suami, Lea cukup terkejut sekaligus kecewa.
Apalagi setelah tahu ia ternyata dipoligami. Bagas mengungkap jika ia ingin menggunakan rahim sang istri muda untuk mengandung benihnya dari Melissa yang mengalami PCOS.
Di ruang tamu, Lea duduk termenung sembari menunggu jemputan. Beberapa jam lagi, ia akan ikut dalam penerbangan menuju ke negara Thailand.
Sejenak Lea memejamkan mata, mengingat kembali ketika Bagas menyentuhnya dalam keadaan mabuk. Sedaya upaya ia melawan namun, pada akhirnya sang pramugari tak berdaya hingga berujung pasrah sekaligus terpaksa.
‘Ya Rabb, apa yang harus aku lakukan? Sepertinya aku butuh waktu untuk mengabulkan permintaan Mas Bagas dan Mbak Melissa.’
Tak lama berselang lamunannya membuyar ketika suara klakson mobil terdengar di halaman rumah. Pikirnya itu adalah mobil jemputan dari bandara.
“Mama Yola, aku berangkat,” pamit Lea seraya mendorong kopernya menuju pintu utama.
“Baiklah, hati-hati ya, Nak,” balas mama Yola dengan lirih sembari menatap nanar ponakannya itu.
Begitu Lea membuka pintu, ia terkejut. Karena yang sedang berdiri dihadapannya saat ini adalah Bagas.
“Lea!”
“Mas Bagas.” Lea menghela nafas sembari menatap sepasang mata milik suaminya.
“Lea, apa kamu akan berangkat? Kenapa nggak memberitahu jika hari ini kamu ikut dalam penerbangan, jadi aku bisa mengantarmu ke bandara.”
“Nggak apa-apa, Mas. Lagian nggak penting juga bagimu.”
“Lea.” Bagas terdiam sejenak. “Lea, aku ingin berbicara sebentar saja tentang ....”
“Tentang pinjam rahim?” sela Lea karena sudah tahu apa yang dimaksud oleh Bagas. Ia menunduk lalu tersenyum miris. “Mas, beri aku waktu untuk memikirkannya. Jika aku sudah siap, aku pasti akan menghubungi kalian.”
Selesai berucap, Lea kembali mendorong kopernya. Akan tetapi dengan cepat Bagas memegang lengan sang istri dengan tatapan yang sulit diartikan.
“Mas.” Lea merubah posisi saling berhadapan dengan Bagas. Menatap lekat wajah sang suami dengan senyum pahit. “Tolong beri aku waktu!”
“Lea, aku nggak bermak ....”
“Mas, aku sangat menghargai niat baikmu menggantikan posisi Mas Panji. Tapi, tanpa sadar kamu telah melukai juga mengecewakan dua hati sekaligus, AKU dan MBAK MELISSA.”
Tak lama berselang mobil jemputan gadis itu pun tiba. Lea melirik sekilas kemudian kembali menatap Bagas.
“Aku berangkat Mas, jaga kesehatanmu, shalatmu serta fokuslah bekerja. Salam buat mama, papa juga mbak Melissa.” Lea kemudian lanjut mendorong koper menuju mobil jemputannya.
Sedangkan Bagas hanya bisa menatap nanar kepergian Lea dengan perasaan hampa.
“Maafkan aku Lea,” ucap Bagas dengan lirih.
...----------------...
PCOS \= Polycystic Ovarian Syndrome, adalah gangguan hormon yang terjadi pada wanita di usia subur. Yaitu gangguan siklus menstruasi yang memiliki kadar hormon androgen yang berlebihan sehingga menyebabkan penderitanya sulit hamil.
Syndrom ini mengakibatkan ovarium atau indung telur memproduksi banyak benjolan kecil yang berisi cairan (kista), sehingga sel telur tidak berkembang sempurna serta gagal dilepaskan secara teratur.
Waktu terus berlalu, hari serta bulan juga ikut berganti. Lea tetap melalui semuanya tanpa rasa terbebani. Bekerja sekaligus berkeliling dunia lewat maskapai penerbangan tempatnya bekerja.
Setidaknya itulah yang menjadi pelipur lara bagi Lea. Menata sekaligus mengobati hatinya yang sedikit kecewa. Meski sesekali terpaksa harus bertemu dengan Panji. Karena pria itu, merupakan salah satu pilot GAI.
Memikirkan keputusan yang akan Lea ambil setelah mempertimbangkan keinginan Bagas dan Melissa.
Di sisi lain, Bagas dan Melissa kerap kali bertengkar karena sampai detik ini, Lea belum memberikan jawaban untuk menjadi sorrogate mother bagi wanita itu.
Tok ... tok ... tok ...
Suara ketukan pintu membuat Bagas memutar badan. Pandangan yang sejak tadi mengarah ke luar jendela kini tertuju ke arah Melissa.
“Mel, ada apa kamu kemari? Bukannya kamu lagi sibuk?”
“Memangnya kenapa jika aku kemari? Apa kamu takut jika aku memergokimu dengan perempuan itu!” balas Melissa kesal sekaligus merasa cemburu membayangkan jika Bagas sedang bersama Lea.
Bagas menghela nafas panjang, karena Lea tak pernah menginjakkan kakinya ke kantor itu. Entah karena tak ingin mengganggu sang suami ataukah menghindari Melissa.
“Lea nggak punya waktu ke kantor ini. Karena waktunya lebih banyak habis di udara daripada di darat,” tutur Bagas.
‘Bahkan meminta hakku saja begitu sulit karena dia sering menolak. Belum lagi dianya yang memang jarang berada di rumah,’ keluh Bagas dalam batin.
Terhitung sejak menikahi Lea, baru dua kali ia berhasil menyentuh sang istri. Itupun karena Bagas nekad dan memaksa.
“Baguslah kalau begitu!” sahut Melissa sinis. “Sudah enam bulan berlalu, sampai detik ini dia belum memberikan jawaban yang pasti untuk menuruti keinginan kita. Percuma kamu menikahi dia, ujung-ujungnya zonk. Ceraikan saja dia jika memang dia nggak mau menampung benih kita!”
Bagas tak menjawab melainkan memilih bungkam. Jauh dalam sudut hatinya, tak terbersit sedikit pun ingin menceraikan Lea.
Justru ia takut kehilangan istri mudanya itu. Ada yang sulit ia artikan dengan perasaannya ketika bersama dengan Lea.
‘Kenapa akhir-akhir ini ponselnya susah banget dihubungi? Nggak biasanya Lea seperti ini,’ batin Bagas sembari mengusap dada.
“Sayang, yuk kita makan siang bersama,” ajak Melissa sekaligus membuyarkan lamunan sang suami.
Bagas melirik arloji dipergelangan tangan. “Maaf Mel, aku nggak bisa soalnya sebentar lagi aku harus ke lokasi proyek.”
“Padahal aku sudah janjian sama mama papa,” balas Melissa merasa kecewa.
“Maaf.” Hanya itu jawaban dari Bagas.
Sepeninggal Melissa, Bagas merogoh saku celana mengeluarkan ponsel. Keningnya berkerut tipis sembari menatap layar benda pipih itu.
“Kok, ponselnya masih nggak aktif? Sebaiknya aku ke rumahnya saja. Lagian sudah dua minggu aku nggak ke sana. Pasti dia sudah pulang.” Bagas mengusap dada karena merasa cemas.
.
.
.
Setibanya di kediaman Lea, Bagas mengatur nafas seraya mengusap dada. Setiap kali akan bertemu istri mudanya itu, jantungnya selalu berdetak dua kali lebih cepat dari biasanya.
Setelah menekan password pintu, alisnya seketika bertaut begitu masuk ke dalam rumah. Ia mendapati mama Yola sedang memegang nampan dan akan menapaki anak tangga menuju lantai dua.
“Mama Yola,” tegur Bagas dengan seulas senyum seraya menghampiri wanita paruh baya itu.
Kehadiran Bagas yang terkesan tiba-tiba, tentu saja membuat mama Yola terkejut.
“Nak Bagas,” sahut mama Yola.
“Apa tehnya untuk Lea, Mah? Sini, biar aku saja yang membawakannya.”
Bagas mengambil nampan itu lalu melanjutkan langkah menuju kamar sang istri.
Sesaat setelah masuk ke kamar, Bagas langsung mematung memandangi Lea yang sedang tertidur dengan tubuh yang ditutupi oleh selimut tebal.
Bagas sudah bisa menebak jika Lea sedang sakit. Karena wajahnya terlihat pucat serta bibir yang terlihat kering.
“Lea,” ucap Bagas lirih disertai dada yang ikut terasa sesak.
Bagas menghampiri Lea. Meletakkan nampan ke atas meja nakas kemudian duduk disisi ranjang.
Sepasang mata pria itu seketika berkaca-kaca diselimuti dengan perasaan bersalah.
“Lea,” panggil Bagas. Melepas hijab yang masih menutupi rambut sang istri. Membelai lembut wajah pucat Lea kemudian mendaratkan kecupan yang lama dikening.
“Lea.” Bagas kembali memanggil nama Lea.
“Mas Bagas,” ucap Lea nyaris tak terdengar, karena merasa namanya berulang kali disebut. Namun, tetap dengan mata terpejam.
“Nak Bagas,” tegur mama Yola sembari membawa secangkir kopi.
Bagas menegakkan badan lalu berbalik menatap mama Yola, “Mama Yola, kenapa Mama nggak bilang-bilang jika Lea sedang sakit? Sudah berapa hari dia seperti ini?”
“Sudah hampir seminggu, Nak. Sebenarnya Nak Lea yang meminta mama supaya nggak memberitahu mu. Nak Lea nggak mau pekerjaanmu sampai terganggu jika tahu dia sedang sakit,” jelas mama Yola sekaligus merasa bersalah.
Bagas menghela nafas kasar sambil geleng-geleng kepala. Ia kembali memandangi Lea yang masih memejamkan mata.
Bagas beranjak dari ranjang lalu mengusap wajah dengan kasar. “Mah, lain kali jika ada apa-apa jangan sungkan untuk menghubungiku. Apalagi jika menyangkut dengan Lea. Dia istriku dan aku yang bertanggung jawab penuh atas dirinya. Bagaimana jika sampai Lea kenapa-napa!”
“Maafkan mama, Nak Bagas.”
“Mah, lain kali jangan seperti ini lagi. Aku juga bagian dari keluarga ini,” tutur Bagas.
Mama Yola mengusap lengan Bagas lalu tersenyum. Setelah itu, ia berpamitan.
Sepeninggal mama Yola, Bagas kembali duduk di sisi ranjang. Memandangi wajah pucat Lea dengan perasaan iba.
“Mah ... mama Yola,” panggil Lea dengan suara lirih masih dengan mata terpejam.
“Lea.” Bagas menggenggam jemari sang istri seraya menyentuh wajahnya. “Lea, apa kamu membutuhkan sesuatu?”
Merasa tak asing dengan suara itu, Lea perlahan membuka mata. Sejenak ia bergeming sembari menatap lekat wajah Bagas.
“Mas.”
Bagas mengulas senyum sembari membantu Lea merubah posisi menjadi duduk. Menyugar rambut gadis itu supaya rapi lalu memberikan cangkir berisi teh.
“Ini, minumlah selagi hangat.”
“Makasih, Mas.” Lea mengambil cangkir kemudian meneguk teh hangat itu sedikit demi sedikit.
Hening sejenak ....
Setelah meneguk teh, Lea meletakkan cangkir teh ke tempat semula kemudian menyandarkan kepala di sandaran ranjang. Menatap lekat wajah sang suami yang tampak mengkhawatirkan dirinya.
“Mas, kenapa kamu ada di sini? Bukankah di jam segini kamu masih berada di kantor?”
Bagas tersenyum tipis. “Sejak ponselmu nggak bisa dihubungi, perasaanku nggak enak. Bahkan aku nggak bisa fokus bekerja, makanya aku ke sini. Lagian sudah dua Minggu kita nggak bertemu.”
“Maafkan aku, Mas,” bisik Lea.
“Apa kamu tahu, betapa cemasnya diriku memikirkan dirimu? Setiap kali kamu ikut dalam penerbangan, aku nggak bisa tenang,” aku Bagas.
Tak ada jawaban dari Lea, gadis itu menghela nafas. Memejamkan mata sejenak karena masih merasakan pusing.
Sedetik kemudian, ia kembali membuka mata sambil memandangi wajah Bagas.
“Ada apa, kenapa menatapku seperti itu?” tanya Bagas sedikit salah tingkah. Tatapan sang istri muda selalu sukses membuat dadanya berdetak tak karuan.
“Mas, aku sudah siap menjadi sorrogate mother. Maaf, jika aku terlalu lama membuat kalian menunggu. Minggu lalu aku ingin ke rumah kalian untuk mengatakan langsung. Tapi, tiba-tiba saja aku nggak enak badan,” jelas Lea.
Penuturan Lea barusan membuat Bagas terkejut. Sejujurnya ia sudah tak tertarik ingin menjadikan Lea sebagai sorrogate mother.
‘Jika kamu bisa mengandung benih hasil dari hubungan kita, kenapa harus menjadi sorrogate mother untuk Melissa,’ batin Bagas sambil memikirkan sesuatu.
“Mas, aku berjanji akan menjaga benih titipan kalian di rahimku nanti. Setelah melahirkan mungkin pernikahan kita juga akan berakhir.”
Ungkapan Lea barusan seketika mengusik hati juga pikiran Bagas. Alisnya berkerut tipis memandangi Lea yang kini memejamkan mata.
...----------------...
Keheningan seketika tercipta di antara keduanya. Bagas mendekati Lea lalu memeluk erat sang istri.
“Kenapa kamu berkata seperti itu?” bisik Bagas.
“Anggap saja itu sebagai balas budiku padamu. Sebagai seorang wanita, aku sangat mengerti perasaan Mbak Melissa. Diduakan itu nggak enak, Mas. Ketahuilah, nggak ada wanita yang rela dimadu, apalagi kamu menikahiku tanpa seizinnya kala itu.”
Lea mengurai dekapan Bagas. Ia kemudian kembali berbaring karena merasakan kepalanya masih terasa pusing.
Sedangkan Bagas hanya memandangi Lea yang kini kembali memejamkan mata.
‘Tubuhnya panas banget, apa dia belum pernah ke dokter?’ batin Bagas tanpa mengalihkan tatapannya pada Lea.
“Istirahatlah, jika kamu membutuhkan sesuatu panggil saja aku,” saran Bagas lalu membelai pipi Lea.
Gadis itu hanya mengangguk pelan tanpa membuka kedua matanya.
Bagas beranjak dari ranjang lalu menuju ruang ganti pakaian. Setelah membersihkan diri, ia lanjut melaksanakan shalat dhuhur kemudian turun ke lantai satu.
“Nak Bagas,” sapa bik Yola saat Bagas menghampirinya di dapur.
Pria itu mengukir senyum lalu duduk di kursi yang kosong. Menatap makanan yang telah ditata dengan rapi di atas meja makan.
“Mah, apa Lea sudah makan?”
“Sudah, Nak, dan sudah minum obat juga. Mudahan-mudahan akan ada perubahan. Sebenarnya pagi tadi kami baru pulang dari rumah sakit.”
“Rumah sakit?” Kening Bagas berkerut tipis sekaligus terkejut. “Berapa hari Lea dirawat di rumah sakit? Kenapa Mama nggak memberitahu?!” cecar Bagas sedikit kesal. Ia lalu menghela nafas kasar.
“Nak Lea nggak sampai dirawat inap. Dia hanya berobat saja. Itu pun mama dan paman Saleh yang memaksa karena dia enggan ke dokter. Mama khawatir dia kena demam berdarah. Tapi, Alhamdulillah kata dokter dia demam biasa saja,” jelas mama Yola sambil menunduk.
Bagas hanya bisa geleng-geleng kepala mendengar penjelasan Bik Yola. Sedetik kemudian ia memijat kening turun ke pangkal hidung.
‘Lea, ternyata dia keras kepala juga.’
.
.
.
Ba'da isya ....
Bagas yang sejak tadi berada di ruangan kerja, menghentikan gerakan jemarinya dari mouse juga keyboard laptop.
Melepas kacamata yang bertengger di hidungnya lalu bersandar di kursi kerja. Pikirannya kembali terusik mengingat ucapan Lea siang tadi.
“Apa maksud Lea berkata seperti itu? Apa setelah melahirkan dia akan menggugat cerai? Nggak ... nggak ... ini nggak boleh terjadi,” gumam Bagas merasa getir. Ia kemudian beranjak dari kursi lalu meninggalkan ruangan kerja menuju kamar Lea.
Alisnya seketika bertaut saat mendapati sang empunya kamar tak berada di tempat.
Namun, saat mendengar gemericik air dari dalam kamar mandi, sudut bibir Bagas seketika melengkung.
Ketika akan menghampiri ranjang, ekor matanya tak sengaja tertuju ke arah ponsel milik Lea di atas meja. Karena penasaran, ia pun mengambil benda itu.
“Nggak terkunci?” gumam Bagas sesaat setelah menggeser layar ponsel. Yang pertama ia buka adalah galeri foto.
Kekecewaan seketika menyelimuti dirinya ketika mendapati foto-foto Panji yang masih tersimpan apik di galeri itu.
“Apa kamu masih berharap pada pria ini!” ucap Bagas dengan perasaan geram disertai rahang yang mengetat.
“Mas!”
Suara yang menyapa gendang telinga Bagas, seketika membuat pandangannya beralih kepada Lea.
Bagas kembali meletakkan ponsel Lea di tempat semula. Sedangkan sang pemilik benda pipih hanya geleng-geleng kepala memandang Bagas.
“Apa yang ingin kamu ketahui dari benda itu, Mas? Nggak ada rahasia di dalamnya.”
“Apa kamu sudah merasa baikkan? Siang tadi aku merasakan hawa tubuhmu panas banget,” tanya Bagas dengan nada dingin sembari menghampiri Lea.
“Alhamdulillah, sekarang aku merasa jauh lebih baik, Mas. Hanya saja kepalaku masih terasa pusing,” tutur Lea kemudian akan melangkah. Namun, dengan cepat Bagas menahannya.
“Mas, kamu membatalkan wudhu ku!” Lea menjadi kesal.
“Wudhu lagi, apa susahnya,” sahut Bagas seraya mengarahkan Lea mundur ke belakang sehingga punggung sang istri menempel tepat di pintu kamar mandi.
“M—mas, mau apa kamu?” Dengan wajah getir Lea menahan dada Bagas. Ia paling benci berada di situasi seperti saat ini. Hal sama yang dilakukan Bagas sebulan lalu, sebelum ia ikut dalam penerbangan menuju Rusia.
“Meminta hakku yang sering kamu tolak!” Tatapan tajam mengintimidasi dari Bagas membuat Lea memejamkan mata tak sanggup menatap iris sang suami.
‘Maafkan aku, Lea. Aku sama sekali nggak bermaksud menyakitimu. Aku benci pria yang masih bertahta di hatimu itu!’ batin Bagas dengan rahang mengetat tak kalah mengingat sosok Panji.
“Maaf, aku nggak bisa, Mas,” tolak Lea dengan suara lirih.
“Maaf, aku nggak bisa, Mas?” Bagas mengulangi kalimat itu. “Bukan jawaban itu yang aku inginkan!” balas Bagas tegas lalu mengetatkan rahang.
Seolah tak peduli dengan kondisi Lea yang baru saja membaik, Bagas langsung menggendong paksa sang istri.
Membawanya menuju ranjang lalu menghempas tubuh mereka ke atas benda empuk itu. Dengan cepat Bagas melepas handuk yang melilit ditubuh Lea.
“Mas, hentikan!”
“Aku suamimu! Kenapa kamu sering menolak berhubungan denganku! Apa aku kurang perkasa?! Nggak membuatmu puas?! Katakan!” bentak Bagas merasa sangat kesal, meski di sisi lain ia tak tega membentak juga memperlakukan Lea dengan kasar.
“Karena aku nggak mencintaimu, Mas!”
Deg!
Dalam kungkungan Bagas, Lea kini bergeming. Sepasang mata gadis itu mengalirkan kristal bening. Bentakan sang suami membuat sekujur tubuhnya membeku.
Melihat tetesan air mata Lea, Bagas kembali merasa bersalah. Ia menyeka tetesan bening itu lalu membenamkan bibirnya yang lama di kening wanitanya.
“Maafkan aku,” ucap Bagas sembari membelai wajah Lea. Tatapan tajam tadi kini berubah menjadi sendu penuh harap. “Aku menginginkanmu, Lea.”
“Mas ....” Lea kembali menahan dada suaminya dengan wajah memelas. “Pulanglah dan lakukan dengan Mbak Melissa,” pinta Lea dengan suara tercekat.
Penolakan Lea kembali membuat Bagas emosi merasa frustasi. Tak ingin ada penolakan lagi, ia tetap memaksa Lea. Sehingga pergumulan itu pun terjadi di bawah kendali Bagas.
Sedangkan Lea bak sebuah boneka dengan tatapan kosong. Sesekali ia meringis sambil memejamkan mata disertai buliran bening yang ikut berjatuhan.
Setelah menuntaskan hasratnya, Bagas tetap berada di atas tubuh sang istri seraya berbisik, “Terima kasih, Lea. Maafkan aku karena tetap memaksa.” Ia mendaratkan kecupan di kening juga bibir Lea.
Diam seribu bahasa dipilih Lea. Air matanya terus menetes. Begitu Bagas berbaring di sampingnya, ia memilih merubah posisi membelakangi suaminya.
Selang beberapa detik kemudian, tanpa sepatah kata pun Lea bangkit dari tempat tidur kemudian menuju ke kamar mandi. Sedangkan Bagas hanya bisa menatap nanar sang istri hingga menghilang dari pandangan mata.
“Lea, maafkan aku,” ucap Bagas dengan lirih.
.
.
.
Di kediaman Bagas, Melissa yang sejak tadi mondar-mandir di kamar, merasa sangat jengkel. Bukan tanpa alasan, sejak meninggalkan kantor Bagas, ponsel sang suami tak bisa dihubungi.
“Argh! Menyebalkan!” Melissa membanting ponselnya ke atas kasur lalu berkacak pinggang. “Apa dia pergi ke rumah perempuan itu!”
Ia mengarahkan pandangan ke jam dinding yang kini sudah menunjukkan jam sebelas malam. Membayangkan suaminya sedang bergumul dengan Lea saja, ia merasa frustasi.
Takut kalau-kalau Lea hamil dan otomatis ia akan diabaikan. Melissa mengepalkan kedua tangannya.
“Aku nggak akan membiarkan kamu hamil dari Bagas. Pokoknya nggak boleh! Jika itu terjadi maka aku nggak segan-segan berbuat sesuatu!” ucap Melissa dengan perasaan geram.
...----------------...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!