...***...
Langit mendung di atas sana tidak lama kemudian berhasil mengguyur hujan lebat, membasahi, meluluh lantahkan bumi siang itu.
Tidak peduli pada sekeliling, satu persatu pijakan kecil memecahkan genangan air di jalan raya.
Seorang anak lelaki berseragam biru putih berlari menyusuri derasnya hujan. Langkahnya yang lambat sukses membuat seluruh tubuh nya basah kuyup.
Sementara itu dari arah belakang, seorang gadis berseragam merah putih terus memanggil namanya.
"Kak Asta, kak Asta..."
Gadis yang tengah menjulurkan kepalanya dari jendela mobil meneriaki nama anak lelaki tersebut. Raut wajah nya menunjukkan rasa khawatir. Untungnya siang itu tidak ramai, di tambah jalanan tersebut bukan lah jalan pusat sehingga jarang sekali mobil maupun kendaraan besar lain berlalu lalang jadi untuk beberapa alasan, gadis kecil yang tampak lebih dewasa dari usianya tersebut lumayan merasa tenang.
"Kak Asta, tunggu!" Gadis kecil itu berteriak, namun sang pemilik nama masih terus berlari, mengacuhkan hal lain selain dirinya.
Dari belakang seperti yang sedang terjadi, mobil hitam yang di kendarai seorang pria paru baya tetap setia mengekori walau dari tadi gadis kecil cerewet yang adalah sang majikan terus memaksa agar sang supir bisa melaju lebih kencang, nyatanya pria tersebut sama sekali tidak menggubris perintah anak majikan nya. Pria itu tetap senantiasa mengikuti sambil tetap memantau keselamatan anak lelaki di depan mereka.
"Pak Budi, cepat! Kasian Kak Asta kehujanan," ujar gadis kecil sedikit membentak kesal, namun pak supir iang ia panggil Pak Budi tadi, hanya mengangguk patuh sambil tetap menjalankan mobilnya dengan lambat, menggiring anak kecil di depan mereka.
"Ia nona, ini juga sudah cepat. Tidak bisa lebih cepat dari ini lagi nona," sahut sang supir berbohong. "Nona Elora duduk saja. Bahaya kalau nona terus seperti itu," imbuhnya.
Karena tidak di dengarkan, gadis yang di sapa Elora tersebut memutuskan untuk diam namun tetap memantau anak lelaki yang tengah menangis di tengah derasnya hujan.
Tidak lama kemudian, akhirnya rumah yang menjadi tujuan mereka nampak di depan mata. Rumah beton sederhana yang kini di penuhi dengan keramaian membuat siapa pun yang mengerti, akan iba melihat nya.
Anak kecil lelaki berseragam SMP tadi segera berlari, menerobos gerombolan orang yang menatapnya dengan iba. Ada yang berbisik lirih, bahkan menangis kencang.
"Yang kuat Asta."
"Ya, Tuhan, kasian sekali kamu, Nak."
"Kenapa mereka pergi secepat itu?"
Dan berbagai macam ungkapan lirih lainnya yang membuat anak lelaki itu semakin berat melangkahkan kakinya ke dalam kamar yang saat ini tengah terpapang di depan matanya.
Dua orang yang sangat ia kenal dan cintai terbaring tidak bernyawa. Tanpa dapat di cegah. Anak lelaki itu berlari, memeluk tubuh kedua orang tuanya yang telah pergi untuk selamanya.
Di samping mereka, seorang pria seusia sang ayah tengah terduduk menatap mayat kedua sahabat karibnya. Pria itu menangis tersedu memeluk anak lelaki kecil di sampingnya.
Sementara itu, di luar, gadis kecil yang mengekori hanya bisa menangis sambil terduduk di depan pintu kamar. Ia menangis karena melihat Asta dan ayah nya yang tengah menangis.
"Ayah, kenapa mama Alea dan papa Ala tidur saja? Bangunkan mereka. Kasian Kak Asta menangis terus."
Gadis kecil itu semakin membuat beberapa orang yang mendengar penuturan nya hanya bisa semakin tersedu.
°
°
Tangan kecil itu hendak memegang ganggang pintu sebuah ruangan. Namun, niatnya terhenti begitu mendengar perbincangan di dalam ruang tersebut. Jantungnya pun seolah berhenti ia tahu betul apa yang mereka bicarakan, dirinya sudah cukup besar untuk tahu maksud pembicaraan tersebut.
Apa yang dirinya dengar, merupakan sebuah kejahatan besar. Ini adalah pembunuhan!
...***...
...***...
"Elora...!"
Suara seorang anak lelaki terus menggema di tengah rumah sederhana namun, terkesan asri dengan berbagai tanaman hias di luar maupun dalamnya. Anak lelaki itu mengejar seorang gadis kecil dan terus menyerukan namanya.
Sementara itu, Elora, gadis lima tahun yang di panggil namanya, menghentikan langkah lalu berbalik saat mendengar suara dentuman di balik punggung, dan betapa terkejutnya ia saat mata bulatnya menangkap sosok anak lelaki yang telah terbaring kaku tak jauh dari sana.
Sembari berlari kencang menghampiri anak lelaki tersebut, air mata Elora mengalir deras dan dengan penuh ketakutan langsung menggoyang tubuh sang anak lelaki.
"Kak Asta, kamu kenapa?" panggil Elora dengan pelafalan cadelnya, yang masih tetap berusaha tenang, namun dengan air mata yang terus membasahi pipi.
"Kak Asta ... tolong jangan belcanda," serunya lagi tanpa bisa berbuat banyak karena orang tua mereka sedang tidak berada di rumah.
Sambil menangis, bergetar, Elora pun mencoba merogoh ponsel yang di simpan di laci tas kecilnya.
"Dimana ponselnya ... ayah, ibu, Elola takut."
Masih terus mencari, tiba-tiba, Asta yang terbaring membuka matanya, dengan senyum jahil anak lelaki itu segera berteriak lantang.
"Kyaaaaa!!!"
"Brakkkk!!!" Satu pukulan mendarat.
"Aduh!!!" keluh Asta seketika. "Kenapa kamu memukul ku?" tutur nya yang ternyata hanya berpura-pura demi mengerjai gadis kecil didepannya yang justru mendapat serangan balik yang tak di duga-duga.
"Kenapa Kak Asta melakukan nya? Kenapa Kakak sepelti itu? Kak Asta membuat Elola takut. Hiks...!" Eno sang gadis kecil malah kembali terisak. Bibir mungilnya melengkung ke bawah dengan amat lucu. Kebiasaan nya setiap kali menangis.
Asta yang mesara bersalah hanya bisa mengusap lembut puncak kepala sang gadis kecil. "Maaf, Elora," ucapnya.
Dengan kelembutan, Asta membawa Elora dalam pelukan nya seraya mengelus lembut punggung gadis kecil itu, lalu mulai menenangkan nya.
Elora yang sudah mulai tenang, segera melepaskan diri. Ia menatap tajam wajah tampan Asta, anak lelaki tujuh tahun yang telah mengerjainya itu.
Lalu, sambil lirih Elora berbisik pelan di sela tangisnya, "Jangan belcanda sepelti itu lagi, ya? Elola takut, kalau Kak Asta pelgi," ucapnya polos.
"Baiklah Elora, Asta tidak akan tinggalkan Elora."
°
°
°
Tring...!!!
Sebuah tangan terulur ke nakas di samping tempat tidur. Berusaha meraih benda merah muda yang tiba-tiba berisik, Elora mencebik kesal karena mimpi indah nya baru saja di ganggu.
"Argghhh, berisik!" gumamnya masih berusaha memejamkan mata, menjaga agar rasa kantuk nya tidak segera menghilang. "Akh, menyebalkan!"
Karena tak kunjung diam, akhirnya dengan sangat terpaksa, gadis tersebut membuka mata lebar-lebar mencari di mana letak benda merah muda yang masih berisik tersebut.
"Huh, disana rupanya," gumamnya dengan raut wajah kesal. Ternyata jam weker yang ia cari hingga mengorbankan mimpi indah nan-singkat tersebut di letakkan di lantai, di samping ranjang.
"Pantasan. Ini pasti ulah bunda. Ck!"
Setelah mematikan alarm nya, Elora kembali membentangkan tubuhnya di ranjang. Mata nya menatap nana langit-langit kamar yang semakin lama terasa jauh di atas sana.
Mimpi yang baru saja hadir dalam tidurnya merupakan kenangan lama. Amat sangat lama. Saat Elora masih berusia lima tahun, dan anak lelaki kecil yang bersamanya berusia tujuh tahun. Kehangatan yang seharusnya terjalin hingga saat ini, malah sirna karena kejadian naas kala itu. Saat ini, mereka jauh. Walau masih seatap, namun semesta tak lagi sehangat dulu.
Ceklek...!!!
"Elora, cepat bangun!"
Elora tersadar dari lamunannya saat tubuh sang bunda melengos masuk begitu saja ke dalam kamar. Tanpa permisi dan tanpa ketukan.
"Bunda! Kenapa masuk kamar ku seenaknya! Aku ini sudah gede loh, Bun. Aku juga punya privasi." Kesal sekaligus kaget, Elora memasang wajah cemberut alanya.
"Ckck, baru juga 16 tahun, El. Bunda cuma mau memastikan kalau kamu tidak tidur lagi," ucap Eunike sang bunda, sembari membuka gorden. "Cepat mandi Elora. Mau jam berapa kamu ke sekolah?"
"Masih pagi Bunda, masuknya kan tujuh lima belas," protes Elora, melihat jam yang masih menunjukkan pukul 06.40
"Iya, bunda tau, masalahnya kamu berangkat sekolah dengan siapa?" keluh Eunike, menarik napas lelah. "Bunda sudah terlambat. Kalau kamu tidak siap-siap, siapa yang akan mengantar mu nanti? Mbok Cum?"
"Ayah? pak Budi?" sahut Elora tak acuh.
"Ck, kamu ini anak siapa, sih? Ayahnya pergi saja tak tahu," decak Eunike. "Pagi tadi ayah kebandara karena urusan rumah sakit, pak Budi pun selepas mengantar ayah, langsung pamit pulang kampung, istrinya mau melahirkan."
"Hah? Istri pak Budi melahirkan lagi, Bun? Bukankah tahun kemarin baru lahiran juga? Cepat sekali," celetuk Elora, seraya tersenyum jenaka.
Eunike melebarkan matanya. "Heh, kamu ini, bukannya mandi malah mengurus istri pak Budi. Sekarang kamu pilih mandi atau bunda pukul?"
Eunike mengangkat kemoceng membuat sang putri segera melompat turun dari ranjang nya.
"Iya Bunda sebentar. Masa sudah umur begini masih di ancam dengan kemoceng, Bun?" goda Elora.
Eunike memutar bola matanya. "Sekali lagi kamu bicara, Bunda tinggal!" ancam nya mulai habis kesabaran.
Pasalnya tugas Eunike di rumah sakit sedang menumpuk. Belum lagi jadwal operasi pukul sembilan nanti, dan sang suami yang sudah berangkat lebih dulu membuat dirinya yang harus mengantar sang putri ke sekolah.
"Elora, tunggu apa lagi?" bentak Eunike hilang kesabaran sebab Elora masih berdiam di tempat. Sambil memainkan ponselnya
"Oke, kamu, bunda tinggal."
"Tidak apa, deh, Bun. Kan ada Kak Raja." Lagi-lagi Elora membantah.
Tanpa banya bicara, Eunike langsung beranjak menuju putrinya. Kesabaran nya sudah habis. Kemoceng di tangan nyaris melayang jika saja Elora tidak segera menutup pintu kamar mandi.
"Kamu kira Kakak mu akan masuk sekolah di jam ini? Jangan mengada-ada Elora. Kakak mu tidak pemalas seperti dirimu! Cepat mandi! Dalam waktu sepuluh menit kamu tidak siap, maka selamat tinggal!"
Tidak ada bantahan. Elora merinding mendengar ancaman bundanya sendiri. Dirinya bahkan masih sempat terkekeh sebelum melakukan ritual mandi.
Geli karena berhasil menggoda sang bunda, tiba-tiba tanpa sadar, nyeri di hatinya menyerang. Senyum yang tadi terpampang jelas, sirna seketika.
Kak Raja sudah berangkat lebih dulu.
Dia memang sudah tau Raja tidak mungkin menunggunya. Namun ... kenapa ia masih berharap?
Saat bunda tidak menyebutkan nama sang kakak dalam daftar kemungkinan orang yang mungkin mengantarnya, seharusnya Elora tau. Seharusnya ia sadar. Bahwa Raja bukan lagi orang yang sama.
Batin Elora terluka. Lelaki yang dulu selalu menunggunya, mengajaknya berangkat sekolah berangkat sekolah bersama bahkan mengomelinya jika terlambat, kini tidak lagi sama. Lelaki yang sama berartinya seperti kedua orang tuanya kini bagaikan orang asing yang nyaris tidak Elora kenal.
Tidak ada batasan, namun kenapa Elora merasa jurang di antara mereka semakin menganga? Kenapa rasanya ia tidak lagi mengenal sosok itu?
...***...
...***...
Maharaja Samasta Brajaya dan Elora Lentera Adiraja. Bersahabat sejak kecil karena persahabatan kedua orang tua mereka.
Orang tua Elora, Bara dan Eunike merupakan pasangan dokter. Mereka pun menjadi direktur di dua rumah sakit berebeda, sementara orang tua Raja adalah pemilik sebuah rumah makan yang cukup maju di daerah mereka.
Elora kecil adalah gadis yang selalu bermasalah, sementara Raja kecil merupakan orang yang selalu menyelesaikan masalah. Umpamanya dimana ada Elora di situ ada Raja. Mereka bagai dua anak manusia yang tidak terpisahkan.
Elora yang nakal, dan Raja yang selalu menyembunyikan kenakalan gadis itu.
Elora yang berbuat salah namun, Raja yang selalu siap di marahi.
Dan, Elora si cengeng namun Raja yang selalu setia menghapus air matanya. Mereka bagai takdir yang telah di janjikan.
Sayangnya, semua berubah ketika kedua orang tua Raja meninggal dunia. Di hari yang sama ibu Raja yang terbaring di rumah sakit meninggal disaat sang ayah yang juga dalam perjalanan ke rumah sakit mengalami kecelakaan lalu lintas.
Sejak saat itu, dunia Raja dan Elora berubah. Raja yang kala itu duduk di bangku kelas 1 SMP, diadopsi oleh Bara dan Eunike. Bara yang sering ke ibu kota karena tanggung jawabnya sebagai direktur, sementara Eunike yang juga sibuk dengan rumah sakit di daerah tempat tinggal mereka sering meninggalkan Elora dan Raja sendirian di rumah.
Bukan nya menjadi lebih dekat, Elora dan raja semakin menjauh. Raja yang dulunya hangat berubah menjadi anak lelaki yang dingin. Mereka jarang bicara maupun bertegur sapa meski tinggal seatap.
Jarak yang tercipta bahkan semakin menganga ketika tiba saat nya Raja naik SMA dan memutuskan untuk pindah ke ibu kota menemani Bara yang memang lebih banyak menghabiskan waktu nya di sana.
Keputusan di ambil, dan sejak saat itu mereka berpisah.
Kala itu, Elora menangis sejadinya, memohon agar Raja tidak pergi, tapi Raja, ia sama sekali tidak peduli. Selamat tinggal pun tidak terucap. Bahkan, selama dua tahun, hanya Bara, sang ayah lah yang mengunjungi mereka.
Walau begitu, setiap libur panjang, Elora akan duduk di bangku taman yang mengarah lurus ke gerbang utama rumah mereka, menunggu kedatangan sang Ayah dan Raja. Akan tetapi, setiap itu juga tidak sekalipun batang hidung pria itu muncul. Setiap kali Elora bertanya, "Ayah, kenapa kak Raja tidak ikut?" Setiap kali itupun jawaban nya akan selalu sama.
"kak Raja tidak jadi datang, dek. Sibuk ikut kegiatan sekolah," dan berbagai alasan lainnya.
Elora tidak pernah berhenti menunggu walaupun sampai akhir hal yang sama akan terulang.
Ya, Raja tidak datang. Raja bahkan tidak pernah membalas pesannya ataupun mengangkat panggilan telepon nya. Hanya sesekali ia bisa berbicara dengan pria itu saat Renata yang menghubungi. Kedua orang tua mereka cukup mengerti sebab Raja adalah anak laki-laki yang mulai beranjak dewasa, namun Elora sama sekali tidak mau mengerti.
Hingga dua tahun berlalu, dan Elora lah yang menyusul Raja ke ibu kota bersama sang bunda saat ia juga akan naik ke jenjang SMA.
Dua tahun menunggu, dua tahun menyimpan rindu, dua tahun bersabar, akhirnya terbayarkan. Ketika untuk pertama kali setelah dua tahun netra Elora akhirnya menangkap sosok itu.
Anak laki-laki yang hampir tidak Elora kenal tersebut telah berubah menjadi seorang pria tampan, yang tingginya bahkan sudah melewati Bara, sang ayah.
Wajah nya yang tegas walau tak berekspresi membuat jantung Elora berdetak kencang dan semakin kencang. Bahkan saat sebuah kalimat, 'lama tak jumpa' terucap dari bibir Raja, saat itu juga, Elora sadar bahwa dirinya telah jatuh hati pada kakak angkatnya sendiri.
Sayangnya dua tahun berjauhan, Elora salah mengira jika Raja mungkin sudah tidak lagi sedingin seperti terakhir kali mereka bertemu. Nyatanya, pria itu bahkan jauh lebih dingin dari sebelumnya. Tak ayal dirinya sering bersikap acuh tak acuh terhadap Elora. Terkadang, saat hanya mereka di rumah, Raja akan menghabiskan waktunya di dalam kamar. Belajar seperti orang gila dan tidak peduli terhadap keberadaan Elora.
Bahkan ketika Raja sendiri tahu bahwa Elora di bully di sekolah karena dirinya, lelaki itu sama sekali bungkam.
Ketika Raja yang jelas jelas mempermainkan dirinya dengan hanya berpura-pura baik di depan orang tua mereka tidak lantas membuat Elora sadar bahwa Raja telah membencinya.
Tapi, 'Apa boleh buat' Itulah yang selalu Elora katakan di saat dirinya menjadi korban ketidakpedulian sang kakak.
Dia sama sekali tak berhenti berharap, ia terus menaruh harapan bahwa suatu saat entah kapan Raja nya, Asta nya akan menjadi Asta yang dulu. Dan sampai saat itu, Elora berjanji akan tetap memaklumi semua tindakan Raja terhadapnya. Hatinya terlalu lama tertaut pada seorang Raja sehingga logikanya pun tidak di acuhkan.
Kata Elora, "Tak apa terluka sedikit, lagi pula kita bertemu di saat paling bahagia dan bersatu di saat paling menyakitkan. Jadi tak apa, aku akan bertahan sedikit lebih lama."
°
°
°
Bergabung dengan teman-teman sekelasnya. Hari ini seperti biasa Elora ikut menonton pertandingan bulu tangkis yang di adakan setiap hari jumat.
Gadis berambut cepol tinggi itu tidak bisa menyembunyikan tatapan terpesonanya terhadap salah satu pemain yang saat pun menjadi pusat perhatian semua gadis di sekolahnya.
"Maharaja Samasta Brajaya, I Love you...!"
"Kak Raja makin tampan saja!!!" Teriak beberapa gadis dan masih banyak lagi teriakan teriakan konyol yang tertangkap radarnya.
Mendengar hal tersebut, tatapan Elora berubah datar. Matanya bagaikan sensor cctv yang terus memantau setiap jengkal pergerakan Raja. Wajahnya kadang cemas, kadang tersenyum, bahkan tak ayal merasa lega jika pria tersebut tidak terjatuh.
"Cie, yang kakak nya pujaan semua gadis."
Elora mengalihkan atensi saat seorang gadis yang entah dari mana, tiba-tiba saja menyenggol bahunya.
"Sera," sahut Elora tidak begitu bersemangat. Ia benci mendengar gadis-gadis lain meneriaki nama pujaan hatinya.
"Kenapa muka mu?" Sera mengambil tempat di samping Elora. Masih dengan tatapan penuh tanya.
"El, aku mau minta sesuatu, tapi kamu jangan marah." Kali ini ini raut Sera memelas dan Elora tahu maksudnya.
Tersenyum sinis lalu kembali mengalihkan pandangan pada pertandingan, Elora menebak maksud Sera tadi. "Kamu juga mau nomor hp kak Raja, kan?" tebak Elora. Matanya memicing, kembali menatap Sera, teman sebangkunya.
Tapi bukan menjawab, Sera malah tersenyum centil membuat Elora bergidik ngeri.
"Kok tahu" kekeh Sera. "Aku sudah bersabar dan menunggu beberapa hari agar tidak di cap teman ada maunya, loh, El," rengeknya namun tidak di acuhkan.
Elora malah kembali sibuk menatap sosok tampan di depan sana.
Mereka diam begitu lama. Sosok yang tengah bertanding mewakili kelasnya tersebut mampu membuat dua gadis cerewet itu, bungkam.
"Jadi kamu beruntung, ya." Lagi, Sera membuka suara. "Gimana sih rasanya punya kakak tampan?" tambahnya.
Dalam hati, Elora pun ikut bersyukur. Raja merupakan hadiah tak terduga dari Tuhan untuknya. Ia bisa melampaui gadis-gadis lain dalam hal memiliki Raja.
"boleh tidak ya, jika aku mengejar kak Raja dan menjadikanya pacarku?" Sedikit merapatkan diri pada Elora, Sera kembali berbisik.
Tak lantas menjawab, Elora justru menoyor kepala Sera agar menjauh dari nya baru setela itu menjawab lantang.
"TIDAK BOLEH!!!" ucapnya.
Hanya bisa memanyunkan bibir, Sera kemudian berpaling dengan wajah cemberut. Lau, di detik berikutnya ekspresinya berubah begitu netranya menangkap sosok Raja yang masih menari inda di lapangan.
Huh...
Melihat perubahan drastis tersebut, Elora menggeleng. Sempat kesal ketika ia kembali teringat akan kejadian minggu lalu saat identitas nya di ketahui sebagai adik Maharaja Samasta. Dirinya kesal karena sejak saat itu raganya hanyalah tempat informasi pagi para gadis pemuja Raja. Dirinya bahkan dalam sementara waktu ini sedang hengkang dari sosial media hanya karena tidak ingin meladeni ratusan chat yang masuk. Menanyakan perihal yang sama yaitu.
Maharaja Samasta
Padahal awalnya Elora sebagai siswa baru, sering di salah artikan oleh para gadis pemuja Raja.
Siswa baru cantik, cerdas dan di gandrungi para pria tentu saja akan menjadi sasaran empuk bully para kakak kelas, apalagi jika gadis itu dengan terang-terangan mendekati sang pentolan sekolah yaitu Raja si ketua osis mereka tidak akan tinggal diam.
Ya, Elora yang terlalu peduli pada Raja pun di cap sebagai gadis penggoda. Hal ini karena Raja pun tidak selalu merespon gadis itu, mereka bahkan seperti orang asing, tapi Elora tetap saja peduli dan mencoba mengakrabkan diri.
Bahkan tak ayal, Raja pun sering tidak peduli ketika dengan jelas mengetahui bahwa Elora tengah di buli karena kesalah pahaman, walau sebenarnya Elora sendiri bukan gadis baik-baik yang menerima bullian begitu saja dan lebih sering dirinya mengerjai balik para kakak kelas, Elora tetap tidak mengerti tenapa Raja membiarkan hal tersebut terjadi. Padahal sebenarnya Elora sendiri bisa membuka kenyataan bahwa dia dan Raja adalah adik kakak angkat, tapi karena kemauan Raja lah Elora tetap diam hingga saat penerimaan raport semester awal dimana Bara dan Eunike sama-sama ke sekolah untuk menerima raport mereka.
"Pasti kakak kelas yang sering ngebuli kamu tidak lagi bisa berkutik," Lagi-lagi Sera berceloteh. Elora yang asik melamun, balas mengangguk dengan senyum penuh kemenangan.
"Pastinya. Malah sekarang mereka sering sekali tersenyum aneh ke arah ku. Benar-benar menggelikan," bisik Elora.
Mereka berdua sama-sama terkekeh pelan dan lagi kembali fokus ke lapangan. Tapi, Tiba-tiba entah angin apa, Sera kembali menyenggol lengan Elora. Rautnya penuh tanya, sarat akan rasa penasaran.
"Tapi El, kenapa setiap kali kamu di buli kak Raja diam saja? Kalian kan, kakak beradik, bukankah seharusnya dia membela mu?"
Pertanyaan aneh tersebut singgah begitu saja di benak Sera. Elora pun menyadari, cepat atau lambat semua orang juga pasti akan menanyakan hal yang sama?
KENAPA RAJA DIAM SAJA? KENAPA SAAT ELORA DI BULLY, RAJA TIDAK MELAKUKAN APAPUN?
Sayangnya, Elora sendiri pun tidak tahu alasan nya. Sampai detik ini, Elora masih menanyakan hal yang sama. Kenapa dia berubah? Kenapa dia tidak seperti dulu? Kenapa dia seperti menjauh bahkan membencinya?
Elora tak tahu jawaban nya.
...***...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!