Di malam yang panjang, di kediaman keluarga Stephanie, seorang anak kecil perempuan yang masih berumur sekitar dua tahun sedang bermain bersama ibu dan keluarganya.
Putri bungsu keluarga Stephanie telah dikaruniai seorang anak perempuan yang menggemaskan, walau keluarganya masih belum mengetahui siapa yang bertanggung jawab atas hal itu―karena telah menghamili putri bungsu keluarga Stephanie, kemudian meninggalkannya sendirian di sebuah hotel mewah.
Namun, kegembiraan itu hanya berlangsung beberapa menit saja, hingga datanglah badai petir yang diikuti oleh datangnya sekelompok orang ke kediaman keluarga Stephanie dengan membawa persenjataan yang lengkap. Satu per satu anggota keluarga di rumah itu diancam dan dilukai.
Jeritan kesakitan dan bau amis darah menjadi atmosfer yang mengelilingi kediaman itu.
"Haah! Haah! Haah!"
Seseorang terbangun dari tidurnya, keringat dingin membanjiri sekujur tubuhnya, jantungnya berdegup kencang. Tubuh kecilnya meringkuk di atas tempat tidur, bergetar.
Meskipun samar-samar, mimpi itu masih menghantuinya.
Air mata mengalir dari kelopak matanya. Ia terisak sambil memeluk lengannya yang masih bergetar.
Kegelapan malam menjadi lebih menakutkan baginya.
"Heuk, hiks, hiks, hiks...."
Dia menangis sambil membenamkan wajahnya di sebuah bantal.
Hampir setiap malam, mimpi buruk yang sama terus menghantuinya, datang berkali-kali. Dia ketakutan setiap mengingat kembali apa yang terjadi dalam mimpinya. Rasanya sungguh menakutkan.
Darah yang kental membanjiri lantai, membentuk sungai kecil.
Jeritan orang-orang disertai tangisan membuat suasana itu menjadi lebih menakutkan.
Suara tembakan yang nyaring terdengar berkali-kali.
Pemandangan itu sangat tidak manusiawi.
Dan dia, selalu berdiri di sana, di dalam mimpinya, dengan pandangan kosong, tidak bisa berbuat apa-apa. Dia melihat semua yang terjadi, tapi orang-orang di sana bahkan tidak menyadari kehadirannya.
Seolah terpaku, dia tidak bisa bergerak ataupun berbicara. Mata birunya yang bulat dan cerah dipaksa untuk melihat kejadian berdarah itu tanpa berkedip sedikit pun. Setelah itu, dia akan terbangun dengan terengah-engah.
"Tolong... siapa pun, tolong...."
Kata minta tolong terus terucap dari bibirnya.
Tapi tidak ada yang datang.
Setiap malam selalu seperti itu. Dia melewati malam yang panjang dengan berat, bahkan di hari istimewa ini.
"Hiks, hiks."
Sambil menangis, dia turun dari tempat tidurnya. Kaki kecilnya menuju ke tempat di mana sesuatu yang sangat berharga baginya tersimpan.
Di lemari kayu kecil yang terletak beberapa langkah dari tempat tidurnya.
Tangan kanannya membuka laci lemari, meraba isi di dalam lemari seolah-olah sedang mencari sesuatu. Hingga jari tangannya menemukan apa yang dicarinya.
Di tangannya ada sebuah liontin berbentuk oval yang terbuat dari batu rodonit berwarna merah muda. Dia membuka liontin itu dengan kunci yang berada di rantai emas liontin tersebut.
Klik.
Liontin itu sempurna terbuka. Ia memandangi sebuah tulisan yang tertera di dalamnya.
"Heuk."
Berusaha untuk tidak menangis, dia menghapus air matanya dan cegukan. Setelah melihat tulisan yang terukir di dalam liontinnya, rasa takutnya menghilang dalam sekejap. Dia kembali tenang.
"Hehe."
Tersenyum senang, dia memeluk liontinnya dengan gembira.
Teng! Teng! Teng!
Jam raksasa yang ada di panti asuhan tempatnya berada saat ini berbunyi tiga kali, menandakan bahwa waktu tengah malam sudah datang.
"Selamat ulang tahun, untuk diriku!" ucap anak kecil itu dengan seruan, tepat setelah jam raksasa di panti asuhan ini berhenti berbunyi.
Ulang tahunnya yang ke-7 tahun sudah tiba, namun sayangnya mimpi buruk tadi menjadi hadiah pertama yang dia terima di hari istimewa ini.
Tapi selalu ada cahaya di dalam kegelapan.
―――――――――――――
revisi sekalian pengumuman!
Rencananya, aku bakal revisi besar-besaran, dimulai dari bab 1 sampai bab terakhir update. Alur awal tidak berubah, tapi dialognya mungkin akan ada perubahan. Ada juga adegan-adegan baru yang ditampilkan.
Sebenarnya, alasan aku mau revisi novel ini dari awal adalah karena rasanya ... aku gak memuaskan para pembaca, padahal yang baca udah lumayan banyak, udah sampai 20k lebih. Jadi karena aku merasa ada yang kurang sama novel ini, aku mau revisi besar-besaran, juga memperbaiki beberapa kata atau tanda baca yang salah.
Sampai jumpa lagi~
...↬°↫...
Bonus:
"Ayaaaah!"
"Iya."
"Kita jadi ke pantai, 'kan? Ya, 'kan?"
"Iy―"
"Tidak."
"Kenapa, Bu? Hiiiing...."
"Sekarang, 'kan, ada covid, sayang."
"Ko apa? Kopid? Emang ada hubungannya, ya? Kita, 'kan, mau ke pantai!"
"Ada hubungannya. Mereka adalah virus, yang selalu mencari mangsa di luar rumah, apalagi di tempat terbuka."
"Mangsa?! Nina takut!!!"
"Jadi kita gak bakal pergi ke pantai."
"Terus? Kita pergi ke mana?"
"Kita diam saja di rumah. Ayo berkemah!"
"Kemah? Mauuu! Nina mauuu!"
"Ayo kita kemah~ Persiapan sudah selesai!"
"Yeeeey!"
Sepasang ibu dan anak itu pergi. Tapi....
"Hiii!"
Entah kenapa author merinding.
"Eh, Thor. Serius nih dialog aku cuma dua biji doang?"
"Eh, masa sih?"
"Mata lu ditaruh di mana sih?"
"Eh bang sabar, jangan ngegas."
"Dahlah."
Dih. Dasar sombong. Lihat cara jalannya itu.
Yah, sama seperti bonus kali ini, tetaplah mematuhi protokol kesehatan. Gunakan masker dan jangan berkerumun.
Dadah!
Lop lop😗😗😗
TBC!
Seorang anak kecil perempuan sedang memasak sarapan pagi bersama dengan suster panti asuhan, dia tertawa gembira.
Rambut pirangnya yang panjang dan sedikit bergelombang diikat dua bagian dengan pita berwarna merah muda, membuatnya semakin lucu. Mata birunya yang bulat dan indah sangat bersinar, tampak jernih. Tawa polos yang segar mengalir dari bibir kecilnya.
Ia terlihat ceria pagi ini, karena hari ini adalah hari ulang tahunnya.
Anak kecil yang manis itu adalah Nina, seorang anak perempuan yang ditemukan oleh suster panti asuhan ketika berumur dua tahun dengan bekas luka di sekujur tubuhnya.
"Kak Nina!"
Seseorang memanggilnya, dia adalah gadis kecil berponi dengan rambut pendek hitam legam yang diikat satu.
"Selamat ulang tahun yang ke-7 tahun!"
Nina memandang anak itu dan tersenyum manis, lantas memeluknya.
"Makasih, ya!"
"Iya, sama-sama. Hehe."
Anak kecil di pelukan Nina tertawa bahagia, kemudian memakaikan sesuatu yang melingkar di kepala Nina.
"Lila buat mahkota bunga ini untuk Kak Nina!"
"Ini hadiah yang paling bagus!"
Mereka saling tertawa dan mengobrol, hingga seseorang dengan gaun sederhana datang.
"Nina, tolong bantu bawa ini, ya."
"Iya, Suster!" balas Nina.
Ia mengambil nampan yang diserahkan suster panti asuhan itu, lalu membawanya ke meja makan. Setelah itu, anak-anak yatim-piatu yang lain segera berhamburan duduk di meja makan.
"Selamat makan!"
Setelah itu mereka sarapan pagi bersama, tak lupa memotong kue cokelat yang dibeli anak-anak panti untuk Nina, yang hari ini berulang tahun.
"Makan ini, Nina."
"Wah! Ini kue cokelat kesukaan Nina. Makasih, Suster!"
Nina membuka mulutnya, lalu sepotong kue cokelat yang dicampur vanila memasuki mulutnya. Rasa manis yang kental segera meleleh di sana.
"Mmm! Sangat enak!"
Nina menganggukkan kepalanya berulang kali, pipinya yang tembam tampak kemerahan, kemudian ia menerima suapan dari suster panti asuhan hingga kue cokelat untuknya tidak tersisa.
Setelah itu, suster tertua menghampiri Nina, lalu memberikannya hadiah dan ucapan selamat ulang tahun. Nina menerima hadiah itu dengan senang hati. Ia tak lupa berterima kasih pada suster itu, yang telah dianggap sebagai neneknya sendiri.
"Nina, kamu harus mencari keluargamu."
Namun tiba-tiba, wanita tua itu mengatakan kalimat itu, membuat Nina terkejut sekaligus bingung.
"Kenapa? Aku, 'kan, sudah punya kalian. Kenapa aku harus mencari keluargaku?" tanya Nina.
Wanita tua itu menggeleng. Ia tersenyum hangat.
"Tidak. Kamu harus tetap mencari keluargamu. Karena kamu pantas menerima itu. Kamu harus hidup bahagia bersama keluargamu."
Kata-kata suster itu menyemangati Nina, kemudian sesuatu melintas di pikirannya.
"Tapi... Nina gak mungkin cari orang tuaku sendirian...."
Memainkan jari-jarinya, Nina menunduk.
Itu benar.
Dia hanya seorang anak kecil berumur 7 tahun, yang bahkan belum menjelajahi dunia luar yang menyeramkan.
Jadi, bagaimana mungkin dia bisa mencari orang tuanya di dunia yang begitu luas ini?
Suster panti asuhan tertua memahami kesulitan Nina, tangannya yang keriput membelai kepala Nina dengan lembut.
"Tidak apa-apa. Cari pelan-pelan saja. Wanita tua ini yakin kalau orang tuamu adalah orang yang terkenal, jadi pasti akan sangat mudah mencari mereka."
"Benarkah?"
"Iya, Nak. Kata kuncinya ada di dalam liontin milikmu."
'Kata kunci? Apa itu?'
Nina sedikit memiringkan kepalanya, berpikir, namun ia tetap tidak mengerti. Tapi setelah mendengar kata "liontin", tiba-tiba otak kecilnya bekerja.
'Ohhh! Jadi aku bisa cari orang tuaku dari liontin indah itu!'
Sekarang Nina sudah tahu bahwa dia harus memulai pencarian dari kalung liontin miliknya.
'Oke! Ayo mulai cari!'
Ia bertekad di dalam hati bahwa ia akan mencari keluarganya.
Melihat semangat yang besar membara di mata biru jernih itu, suster panti asuhan tersenyum dan memeluk Nina.
"Nina janji. Nina akan menemukan keluargaku."
Dia berjanji bahwa ia akan menemukan keluarganya. Dan Nina akan melaksanakan pencariannya esok hari, setelah pulang sekolah.
Tangan mungilnya mengepal dan membentuk tinju kecil.
'Aku pasti bisa! Hidup Nina!'
Namun, tak ada yang tahu bahwa janji itu akan terpenuhi esok hari.
...↬°↫...
Sepulang sekolah, Nina langsung pergi ke Perusahaan Van In Here, perusahaan tempat orang-orang mencari keluarga mereka yang menghilang. Nina pergi ke perusahaan itu dengan berjalan kaki, yang ternyata jarak antara perusahaan itu dengan sekolahnya hanya beberapa meter saja.
Sebelumnya dia sudah mengumpulkan informasi dari para guru.
Mereka semua merekomendasikan perusahaan besar itu padanya, jadi Nina pergi ke sana tanpa ragu.
Ketika memasuki pintu Perusahaan Van In Here, petugas keamanan langsung mengecek tas ransel berwarna merah muda bergambar kelinci yang dibawa Nina. Setelah selesai, Nina berjalan menuju meja resepsionis. Di sana ia menanyakan ruangan tempat orang-orang melakukan pencarian.
"Permisi, Kak," ucap Nina dengan sopan dan ramah pada salah satu karyawan di meja resepsionis itu.
Karyawan itu segera menghentikan aktivitasnya. Ia sedikit menunduk, memandang anak kecil perempuan yang tampak lucu.
"Ya? Ada yang bisa saya bantu, Dik?" tanyanya ramah.
Nina tersenyum kikuk. Ia menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.
"Eh, anu, bisa kasih tahu Nina di mana ruangan tempat orang melakukan pencarian?"
"Ya?"
"Bisa ya, Kak~? Ya~"
Memasang tampang yang begitu menggemaskan, Nina menatap karyawan itu sambil memelas.
Karyawan itu, yang tak sanggup mengabaikan anak kecil di depannya yang begitu menggemaskan, langsung menjawab dengan wajah memerah, "Dari sini kamu bisa jalan lurus, terus belok kanan. Ruangannya ada di sana ya, Dik."
"Ohhh, begitu. Makasih ya, Kak!"
Nina menembakkan bentuk hati pada karyawan itu, yang dibalas seruan kecil dari karyawan itu.
"Kyaaa! Dia imut sekaliiii!"
'Hehe!'
Nina tertawa di dalam hati sambil membanggakan wajahnya yang imut. Lalu ia berjalan, mengikuti instruksi karyawan tadi. Ketika kaki kecilnya melangkah, rambut pirangnya yang diikat dua bergoyang. Ukuran tubuhnya yang lebih kecil daripada orang-orang di sini membuatnya menjadi pusat perhatian.
Orang-orang yang berjalan di sekitarnya melirik dan menatapnya dengan tatapan terkejut.
"Hah? Ini tidak mungkin, 'kan?"
"Ya Tuhan, apakah malaikat kecil itu turun dari langit?"
"Gila. Lihat wajahnya! Wajahnya!"
"Sejak kapan presdir kesayangan kita punya anak?!"
"Idola kita sudah menikah?!"
"Hari patah hati nasional resmi ada."
"Imut! Dia imut sekali."
'Hm?'
Nina memandang orang-orang, yang entah sejak kapan mulai mengelilinginya, lalu dia segera mempercepat langkahnya.
'Huwaaa! Ibu guru tolong! Aku mau diculiiik!'
Tatapan ganas dari semua orang membuatnya mengira bahwa mereka akan menculiknya. Nina segera berlari.
"Dia kabur!"
"Apa dia akan mengadu pada presdir kita?"
"Tamatlah riwayatku!"
Para karyawan, yang takut malaikat kecil itu mengadu pada ayahnya, segera mengerjarnya.
"Tolong berhenti!"
Mereka berteriak putus asa.
Namun Nina, yang salah paham dengan teriakan mereka, langsung meneteskan air mata.
"Huwaaa! Ibu guru tolong akuuu!"
Dan terjadilah aksi kejar-mengejar di antara para karyawan dan Nina. Hingga kepala kecilnya menabrak seseorang.
"Kyaaaa!"
Buk!
Terjatuh di lantai, Nina mendongak. Mata birunya yang bulat sudah berair.
"Heuk."
Dia terkejut ketika mata seseorang menatapnya dengan tajam. Tubuhnya tanpa sadar bergetar.
'A-a-aku takut....'
Sementara Nina bergetar di lantai, para karyawan yang awalnya mengejarnya segera berhenti. Tubuh mereka langsung kaku. Lalu mereka membungkuk dengan tergesa-gesa.
"Ma-maafkan kami, Presdir! Maaf! Maaf! Maafkan kami!"
Setelah meminta maaf berulang kali, mereka kabur. Sekali lagi mereka salah paham bahwa tatapan tajam dari orang itu diarahkan pada mereka.
――――――――――――――
TBC!
Lyon baru saja keluar dari ruang rapat, diikuti oleh asisten pribadinya dan beberapa pengusaha yang berbisnis dengannya. Namun, dia tidak menyangka bahwa para karyawannya, yang seharusnya bekerja, justru sedang berlari mengejar seorang anak kecil.
'Apa-apaan mereka?'
Sebagai seorang presiden direktur di perusahaan keluarganya, dia sangat ketat dalam kedisiplinan para karyawannya. Tapi ketika dia melihat para karyawannya melalaikan tugas mereka dan bermain dengan seorang anak kecil, harga dirinya seolah diinjak.
"Asisten Fai, catat nama-nama mereka. Aku akan memasukkan mereka ke daftar hitam," perintah Lyon dengan dingin pada asisten pribadinya, yang berasal dari negara timur.
"Baik, Tuan."
Lalu tatapan kasihan dari asisten Fai mengarah pada sekumpulan orang-orang itu.
'Lebih baik potong gaji daripada masuk ke daftar hitam milik Tuan. Sungguh malang nasib kalian.'
"Huwaaa! Ibu guru tolong akuuu!"
Kemudian suara jeritan khas anak-anak terdengar. Mata hitam asisten Fai membelalak kaget ketika melihat anak yang meminta tolong sambil berlari sedang dikejar oleh sekelompok orang.
'Nggak mungkin. Masa mereka mau menculik anak kecil?!'
Karyawan tuannya tidak mungkin melakukan hal seperti itu!
Lantas asisten Fai memandang tuannya dengan gugup.
"Tu-tuan...."
"Kyaaaa!"
Tapi panggilan asisten pria itu disela oleh jeritan seseorang.
Lyon dan asistennya, serta para pengusaha yang masih mengikutinya di belakang, segera menatap anak itu, yang bertabrakan dengan Lyon.
'Astaga. Anak siapa ini?!'
Mereka merinding sambil menelan saliva dengan gugup. Semua orang tahu bahwa para karyawan yang sudah menikah dilarang membawa anak mereka ke kantor, tapi masih ada satu karyawan yang berani melanggar aturan itu?
"Anu, Tuan, Anda tidak apa-apa?"
Berusaha mengalihkan perhatian Lyon dari anak kecil itu, asisten Fai bertanya dengan gugup sambil berpura-pura memeriksa tuannya.
"Berhenti," kata Lyon dengan dingin.
'Ah, habislah kita hari ini.'
Asisten Fai mengangguk dan melangkah mundur, membiarkan tuannya berhadapan dengan anak kecil itu.
Lyon, yang mengamati wajah anak kecil di depannya dalam diam, tidak bisa tidak terkejut.
"Kamu."
"I-iya!"
"Ikut denganku."
"Y-ya?"
Asisten Fai, yang sedang kebingungan dengan perkataan tuannya, tiba-tiba mendapat perintah.
"Bawa dia ke ruanganku."
"Baik, Tuan."
Setelah mengatakan itu, Lyon pergi lebih dulu. Asisten Fai yang sedang kebingungan pun beradu pandang dengan mata anak kecil itu. Segera setelah itu, akhirnya dia menyadari mengapa tuannya memerintahkannya membawa gadis kecil itu ke ruangannya.
...↬°↫...
'Kue ini enak.'
Setelah tak sengaja bertabrakan dengan seseorang, Nina tiba-tiba dibawa ke sebuah ruangan mewah, setelah itu dia disajikan berbagai macam hidangan kue.
"Apakah enak?"
"Iya! Sangat enak! Makasih, Paman!"
Nina tidak tahu siapa paman yang duduk di depannya, tapi dia tetap berterima kasih karena sudah memberikannya kue yang begitu lezat. Senyum ceria andalannya terpasang di wajahnya.
"Paman juga sangat tampan! Hehe."
"...."
"Pffft."
Berdiri di samping pria yang dipanggil 'paman' oleh Nina, seseorang menahan tawanya. Sudut mulutnya terus terangkat.
"Asisten Fai, kalau kamu ingin tertawa pintu ada di sana. Keluarlah."
"Baik, pffft, Tuan."
Setelah terdengar suara pintu tertutup, suara tawa yang menggelegar segera terdengar.
"Bwahahaha! Tuanku yang dijuluki "Pangeran Es" mendadak berubah jadi 'Paman Es'! Hahahaha!"
'Apa paman itu gila?'
"Jangan dengarkan dia."
"Oh, iya!"
"Makan."
"Iya!"
Nina mengikuti kata-kata pria berambut pirang itu dengan patuh. Ia memakan kue-kue lezat di atas meja yang ditaburi topping cokelat dengan semangat.
Sementara itu, Lyon, yang menatap anak perempuan di depannya sambil menopang dagunya, berpikir keras.
'Semuanya mirip. Mata, hidung, mulut, dan fitur wajahnya juga mirip denganku. Hanya rambut dan sifatnya yang berbeda.'
Dia tidak tahu apakah ini kebetulan atau tidak, tetapi fakta bahwa anak itu memiliki kemiripan yang sama dengannya adalah nyata. Namun, bagaimana bisa?
Dia adalah Van Lyon, anak tunggal dari keluarga Van sekaligus presiden direktur Perusahaan Van In Here. Semua orang memberinya julukan 'Pangeran Es'. Ke mana pun dia pergi pasti akan menuai kehebohan, dan di mana pun dia berada pasti akan membuat tempat itu terkenal dalam sekejap. Keluarganya sangat tertutup terhadap dunia luar, sehingga semua orang selalu ingin mengetahui apa saja aktivitasnya selain bekerja. Satu berita tentang dirinya pasti akan menjadi trending topic di sosial media.
Tapi secara tiba-tiba anak kecil yang mirip dengannya muncul di perusahaannya sendiri? Sejak kapan dia menikah? Dan sejak kapan dia memiliki seorang putri?
Jika anak perempuan itu tidak muncul di perusahaannya hari ini dan malah muncul di tempat lain, maka gosip-gosip miring tentangnya pasti akan memenuhi stasiun televisi dan di seluruh media sosial.
'Itu tidak boleh terjadi. Ibu akan marah kalau dia tahu berita ini dari orang lain, bukan dari aku.'
Mata biru Lyon menatap anak perempuan itu lebih dalam.
"Siapa namamu?"
"Uh, aku?"
Lyon mengangguk. Anak perempuan itu tersenyum senang dan memperkenalkan dirinya sendiri.
"Namaku Nina!"
"Di mana tempat tinggalmu?"
"Di panti asuhan!"
"Apa?"
Mata biru Lyon sedikit melebar. Ia tidak percaya dengan indra pendengarannya. Anak perempuan manis itu tinggal di panti asuhan? Lalu di mana ibunya?
"Kamu... tinggal di panti asuhan?"
"Iya!"
"Di mana ibumu?"
"Ibuku?"
Tatapan Nina secara perlahan menurun ketika Lyon bertanya tentang ibunya. Dia memainkan jari-jari mungilnya.
"Nina... gak tahu orang tuaku di mana...."
"Hah?"
'Bagaimana bisa?'
Apakah wanita yang melahirkan anak itu sudah tiada makanya dia tinggal di panti asuhan? Atau dia dibuang di sana?
"Terus kenapa kamu ada di sini?"
"Karena Nina mau cari keluargaku!"
"Kamu? Sendirian? Dengan tubuh sekecil ini? Bagaimana kalau nanti kamu diculik? Kenapa kamu berkeliaran di kota ini sendirian? Apa tidak ada orang dewasa yang menemanimu?"
Tanpa sadar Lyon memborbardir anak perempuan itu dengan banyak pertanyaan, setelah itu dia menutup mulutnya dengan wajah terkejut.
"Kenapa aku sangat peduli padamu?" gumamnya.
Lyon tidak terbiasa mempedulikan orang-orang di sekitarnya selain ibunya, tapi sikapnya pada anak ini sangat berbeda. Sikap peduli yang selalu ditunjukkannya pada ibunya juga dia tunjukkan di depan anak ini.
'Ah, gila. Aku jadi gila.'
...↬°↫...
'Paman ini aneh.'
Itulah pikiran Nina saat ini. Dia bertanya-tanya di dalam hati mengapa paman di depannya bertanya tentang ibunya, yang bahkan tidak dikenalnya sama sekali.
'Oh! Apa jangan-jangan paman itu mau membantuku?'
Berpikir seperti itu, Nina bangkit dari sofa dan berlari ke arah Lyon dengan semangat.
"Paman! Paman!" panggilnya dengan ceria sambil memeluk kaki pria berambut pirang itu.
"Apa?"
Lyon, yang sedang menjernihkan pikirannya, dikejutkan dengan suara manis anak kecil yang memanggilnya "paman".
Apakah wajahnya setua panggilan itu?
Tanpa sadar alisnya berkerut.
Namun Nina, yang tidak menyadari ekspresi paman tampan di depannya, berbicara dengan wajah cerah.
"Apakah Paman mau membantuku? Ya? Ya? Atau tidak?"
"Bantuan apa?"
"Tolong carikan keluargaku!"
"Kenapa harus aku?"
"Karena sepertinya Paman mengenal keluargaku! Paman bahkan bertanya tentang ibuku! Itu berarti aku mirip dengan orang yang Paman kenal, 'kan? Nina benar, 'kan?"
"Benar. Kamu mirip dengan orang yang kukenal."
Rona kemerahan segera menjalar di wajah mungil Nina. Senyumannya semakin lebar.
"Benarkah? Siapa itu? Siapa?" tanyanya dengan antusias. "Nina ingin tahu!"
"Itu aku."
"Hah? Apa maksudnya? Paman?"
Nina tampak bingung. Jawaban singkat dari paman tampan itu membuatnya tidak mengerti. Kenapa dia? Kenapa?
"Orang itu aku."
"Paman?"
"Dan juga jangan panggil aku 'paman'. Namaku Lyon."
"Bukan itu! Kenapa Paman bilang kalau orang yang Paman kenal adalah diri Paman sendiri? Kenapa?"
'Sudah kubilang jangan panggil aku seperti itu.'
Lyon menghela napas. Dia mengetuk kepala Nina dengan jari panjangnya.
"Coba pikir dengan kepala kecilmu ini."
"Paman gak seru, huh!"
Nina menggerutu, tapi dia menuruti ucapan Lyon. Kepala kecilnya, yang sudah bekerja keras selama berada di sekolah, kembali bekerja. Beberapa saat kemudian, ia mengerutkan kening setelah mengerti ucapan Lyon.
"Maksudnya Paman adalah orang itu? Orang yang mirip denganku?"
"Pintar."
"Gak mungkin."
Nina mendongak, memandang wajah Lyon tanpa berkedip.
"Aku mirip dengan Paman?"
"Ya."
"Semirip apa?"
"Lihat saja sendiri."
"Oh, benar! Sangat mirip!"
Sementara Nina tertawa bahagia sambil berseru, Lyon hanya membalas dengan anggukan kecil.
"Tapi Paman ada hubungan apa denganku? Kita mirip karena keluarga, 'kan?"
"...."
Lyon tidak bisa menjawab.
Benar juga. Apa hubungannya dengan anak perempuan ini?
――――――――――――――
TBC!
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!