NovelToon NovelToon

TIERS

Chapter 1

AYUNAN pedang dan tombak saling beradu. Ribuan anak panah melesat dengan kecepatan tinggi, menghantam ratusan iblis di luasnya Tanah Merah.

Tiga hari sudah berlalu. Namun, tak ada di antara kawanan iblis, maupun manusia yang mau berdamai. Sampai akhirnya, secarik kertas datang dari cengkeraman kaki burung elang, memberikan kabar duka bagi kawanan iblis dan manusia.

"Raja Iblis telah ... tewas."

"Dewa kita telah ... tewas."

Kawanan iblis dan manusia berteriak lantang, mengira Dewa manusia tewas karena perbuatan Raja Iblis, dan begitu pula sebaliknya. Namun, pertikaian tidak berlangsung lama, saat sosok wanita datang bersama seekor naga besar di atas tunggangan.

Kawanan iblis maupun manusia nyaris terjerembab saat sayap besar naga mengepak, membentuk pusaran angin begitu besar, hingga dua kaki besarnya menapak Tanah Merah.

Rambut pirangnya yang panjang dan bergelombang saling meliuk, saat dia melompat turun dari atas tubuh si naga besar, menapakkan kakinya di atas bebatuan besar. Sementara mata merahnya menyorot tajam ke hadapan dua kubu di bawah.

"Saya iblis, tapi juga manusia."

Iblis dan manusia saling beradu pandang, cukup terkejut akan pengakuan itu. Terlebih, tubuh wanita itu memang seluruhnya manusia, kecuali dua tanduk di atas kepalanya.

"Saya datang ke sini atas perintah dari dua pimpinan kubu. Kalian mungkin mengira, jika Dewa Arthory tewas karena ulah Raja Iblis, begitu juga sebaliknya."

"Namun, dugaan kalian salah besar!"

Kawanan iblis dan manusia terdiam, antara tidak percaya tapi juga ada yang sedikit percaya.

"Pimpinan kalian sengaja membunuh diri mereka sendiri demi kalian! Demi kalian iblis dan manusia berdamai!"

Wanita itu menarik napas panjang. "Dan saya sebagai manusia dan juga iblis, akan menghukum kalian, atas perintah Dewa Arthory dan Raja Iblis."

Sekali lagi, wanita itu menarik napas sebelum mengeluarkan sebuah buku merah dengan ukiran pedang dan tanduk iblis di sampulnya.

"Di buku ini takdir akan membawa kalian, iblis dan manusia di dunia yang berbeda. Kalian, akan terkurung, untuk selama-selamanya! Dewa Arthory dan Raja Iblis tewas, karena ingin membersihkan dunia ini agar menjadi peradaban yang makmur."

Lingkaran besar keluar dari buku yang wanita itu buka, membentuk lubang kegelapan di atas merahnya langit dan awan. Wanita itu menarik napas pelan, kemudian mendongak untuk menatap kawanan iblis dan manusia seksama.

"PIMPINAN KALIAN MEMBERIKAN PENGORBANAN BESAR! DENGAN MEREKA TEWAS, MAKA DUNIA BARU AKAN LAHIR, BEGITU JUGA DENGAN KALIAN MANUSIA DAN IBLIS!"

Bersamaan dengan kawanan iblis dan manusia yang mulai terhisap ke atas, suara lantang wanita itu tetap tidak menghilang.

"SEBAGAI BENTUK DUNIA BARU, KALIAN MANUSIA DAN IBLIS AKAN TINGGAL DALAM DIMENSI YANG BERBEDA! DALAM KEHIDUPAN DAN LINGKUNGAN YANG BERBEDA!"

Tepat suara wanita itu berhenti, lubang hitam kembali masuk ke tiap lembaran buku, yang kemudian wanita itu tutup rapat setelah menyegelnya dengan kekuatan besar.

"Dengan ini, semoga pengorbanan kalian tidak akan sia-sia."

...¤...

"Humans and Demons?"

Finn mengerutkan kening setelah membaca buku aneh yang ia temukan di perpustakaan. Tiap lembar sangat tebal, dan mungkin akan membutuhkan waktu seharian penuh untuk menyelesaikannya.

"Lo nggak ngerti 'kan, soal buku itu?"

Frey datang dan langsung menahan tangan Finn yang hendak mengembalikan buku ke rak. Untuk sesaat, kening Finn mengkerut, tepat saat tangan Frey merebut buku itu dari tangannya.

"Gue udah baca nih buku. Lo tahu nggak, berapa lama gue habisin waktu buat baca nih buku?" Frey menatap lekat mata biru kristal Finn sambil sesekali menarik kecamatanya yang merosot.

Finn mengetuk dagu dengan jemari. "Satu hari, maybe?"

Frey sontak tertawa. "Salah, bego! Lebih tepatnya, satu Minggu penuh!"

Finn geleng-geleng kepala, tapi juga tidak akan terlalu heran jika ini Frey. "Jangan bilang lo sampe tidur jam tiga malem cuman buat tuh buku jelek?"

Finn melongo sambil berdecak saat Frey memberikan anggukan. Nampak tidak ada kebohongan di mata coklatnya. Sangat Frey sekali.

"Sebenernya, kalau cuman baca sih, satu hari juga bisa. Asal gue sampe ketiduran. Ini harus dipahami tiap kata yang gue baca. Jadi yah ... gitu."

Dipahami? Finn berkaca pinggang sambil geleng-geleng kepala. Sementara Frey menyengir, menampakkan deretan giginya yang bersih sambil garuk-garuk kepala.

Finn mengangkat bahu sambil memasukkan kedua tangan ke saku celana. Dia kemudian menyenderkan punggung ke dinding. Burung-burung bertengger di atas dahan pohon, begitu kaca jendela dia buka.

Frey mendekat. "Buku itu tentang sejarah dunia ini ribuan tahun lalu."

Frey mengerucutkan bibir saat Finn sama sekali tidak menanggapi. Tapi dia tetap antusias dan semakin mendekat, ikut menyenderkan punggung berhadapan dengan Finn.

"Ribuan tahun lalu, iblis dan manusia tinggal di lingkungan yang sama. Bahkan, iblis udah kayak teman aja bagi manusia. Tapi kemudian, ada yang buat mereka saling berseteru dan menyebabkan adanya perang dunia."

Finn menguap lebar dengan mata terbuka tutup berulang kali. Dia ingin pergi, tapi Frey memegang pergelangan tangannya, tanpa mau melepas barang sedetik. Sementara mata coklat anak itu masih mengamati beberapa ekor burung yang beterbangan.

"Mungkin, kalau nggak karena Dewa yang memimpin manusia, dan Raja Iblis yang memimpin iblis yang membunuh diri mereka sendiri untuk berkorban. Kita nggak akan bisa lahir. Dan sampai sekarang, hanya akan ada perang dan perang."

Finn memutar bola mata, kemudian menyentak lepas tangannya. Setelah itu berlari pergi dengan tangan masuk saku celana. Tidak memperhatikan jalan, dan tanpa sadar menabrak seseorang yang juga berlari ke arah berlawanan.

"Maaf, maaf. Gue nggak— Bu Linda? Kenapa?"

Bu Linda susah payah berusaha berdiri dan lanjut berlari tanpa mempedulikan Finn. Tepat ketika Finn hendak melanjutkan langkah, bunyi sirine darurat sekolah berbunyi, bersama ledakan yang terjadi, menghancurkan sebagian gedung sekolah.

Finn spontan mundur, saat atap gedung runtuh, nyaris menghantam kepalanya. Dia bernapas lega dan spontan berbalik dan berteriak cukup kencang.

"FREY WOI! LO DI MANA? KELUAR CEPET!"

Atap gedung lagi-lagi runtuh, tepat saat Finn hendak kembali ke perpustakaan. Mata Finn membola saat ledakan kembali terjadi, dan kali ini menghancurkan bagian perpustakaan sekolah.

"FREY!"

Finn hendak berlari ke bagian perpustakaan, tapi bajunya lebih dulu tertarik ke belakang. Beberapa kali memberontak, tarikan di bahunya kian kencang, hingga tiba di halaman luas depan gedung sekolah.

"LO APA-APAAN SIH! Temen gue di dalem! Gue harus ke sana!"

"JANGAN BEGO! Lo bakal ma*i kalau ke sana!"

Deon memegang kedua bahu Finn, menatap mata biru kristal itu tegas. "Jangan, ke sana!"

Finn kalang kabut dan tanpa sadar melayangkan tinju, mengenai pipi Deon hingga dia terjatuh ke tanah. Sementara Finn menggeram dengan tangan terkepal kuat.

"DIA TEMEN GUE SATU-SATUNYA! LO TAHU APA, HA? Lo cuman tukang bully nggak punya etika!"

Deon bergerak cepat dan langsung menahan tangan Finn yang lagi-lagi hendak pergi. Dia sampai tidak sadar, akan mata Finn yang berubah ungu kemerahan menyala dengan bola mata seperti binatang buas.

"FREY!"

Chapter 2

"TEMAN kamu tidak kami temukan. Bahkan, kami sudah memeriksa di bawah reruntuhan, tapi dia tidak ditemukan."

Finn menundukkan kepala dengan tangan mengepal kuat. Kuku jarinya sampai menusuk telapak tangan. Satu cairan merah kental menetes, seperti tetesan embun menghantam dedaunan di telinga Finn. Hingga tanpa sadar, matanya terpejam.

"Itu masih belum cukup. Lebih besar lagi, lebih kuat lagi. Emosi itu masih belum bisa membangunkannnya."

Finn spontan membuka mata saat suara berat lelaki terngiang di telinga. Dia menengok kanan kiri dengan wajah linglung, tapi tidak menemukan sosok yang bersuara di dekat telinganya.

"Kami akan menghentikan pencarian. Ini hanya akan—"

Gigi Finn saling bergemelatuk, dan tanpa aba-aba langsung menarik kerah baju Tim SAR, hingga mata mereka saling beradu. Tim SAR sedikit menelan ludah saat sadar, akan bola mata Finn seperti binatang buas.

"Kenapa dihentikan? Frey belum ketemu, dan lo ngomong gitu santai banget? Kalau dia nggak ada di sana, artinya dia masih idup!"

Deon menarik bahu Finn, menepuknya berusaha membuat anak itu tenang. Namun Deon kalah, saat tangan Finn dengan gerakan cepat dan kuat menepisnya, nyaris membuat Deon terjatuh.

"LO DIEM! Mending lo pergi aja! Nggak guna!"

Alih-alih marah karena ucapan pedas Finn, Deon menarik napas pelan dan menarik bahu Finn sekali lagi. Hingga akhirnya dia berhasil membawa tubuh Finn menghadapnya.

"Temen lo selamat. Dia nggak ada di sini, jadi otomatis dia udah pergi dari sini. Daripada lo marah-marah nggak jelas di sini, mending kita cek Frey ke rumahnya."

Finn menarik napas pelan dan mengangguk. Deon berlari, mengekori Finn yang berlari ke tepi jalan, menengok kanan kiri nampak mencari sesuatu. Deon menepuk bahu Finn, lalu menunjuk motornya di halaman dengan dagu.

...¤...

Ada yang aneh. Deon spontan menarik pedal rem, tepat saat mobil sedan melayang di udara, menghantam aspal hingga meledak dan hancur. Beruntung Deon lebih cepat menarik rem, nyaris saja mobil itu menghantam motornya.

Begitu kepala Deon mendongak lurus ke depan, ia baru sadar bukan hanya satu mobil yang menjadi seperti itu. Namun, juga beberapa motor dan mobil pun tergeletak di jalan aspal, bahkan juga ada yang sudah terbakar. Belum lagi jalan aspal yang mulai retak.

Finn mengguncang bahu Deon kasar. "Cepetan jalan!"

"Lo nggak liat di depan itu?"

Finn memutar bola mata. "Nggak penting. Cepetan jalan! Atau gue aja yang nyetir."

Deon hampir tertawa, tapi berakhir hanya menarik satu sudut bibir sambil melirik wajah suram Finn dadi kaca spion. "Emang, lo bisa nyetir?"

Finn menggeram dan tanpa aba-aba langsung memukul helm fullface yang menutupi kepala Deon cukup kasar. "Bacot. Cepetan jalan!"

"Nggak bisa."

Finn menggeram dan mengikuti arah pandang Deon, sebelum matanya sedikit melebar, walau tidak terlalu memengaruhi wajahnya yang masih suram luar biasa.

Gila! Ada makhluk aneh di sana yang cukup kuat mengangkat motor hanya dengan tangan kosong. Body motor matic melayang, nyaris menghantam Deon dan Finn. Namun mereka lebih dulu turun dari motor.

Deon memukul helm yang menutupi kepalanya. "Motor gue! Itu mahal banget!"

Finn melipat kedua tangan di depan dada. "Minta lagi sama Nyokap Bokap. Gitu aja kok susah."

Lagi dan lagi, makhluk berbadan coklat dengan satu tanduk di puncak kepalanya itu mengangkat motor lain, dan kali ini masih ada si pengendara yang kini berteriak meminta tolong.

Motor dan si pengendara nyaris terlempar, tapi Finn lebih dulu melempari dada polos si makhluk dengan kaca spion motor Deon yang sudah retak. Begitu perhatian si makhluk teralih kepadanya, Finn tersenyum miring dan melambaikan kedua tangan.

"WOI, JELEK! SINI LO. GUE NGGAK TAKUT SAMA MUKA JELEK KAYAK LO!"

Deon hanya bisa diam dengan mata membola lebar. Dia bahkan belum sempat bicara saat Finn menyuruhnya menyelamatkan si pengendara yang nyaris menghantam aspal.

Tapi Deon menurut dan menangkap tubuh si pengendara yang makhluk itu lempar. Sementara motornya menghantam gedung tinggi.

Finn berlari, mengelilingi tiang listrik untuk menghindari tangan besar si makhluk yang nyaris mencakar tubuh dan wajahnya. Tubuh Finn memutar dengan bantuan tangan memegang tiang, sementara kakinya menendang tubuh makhluk— yang ajaibnya membuat tubuh si makhluk sampai ambruk ke jalanan aspal.

Finn tersenyum bangga dengan jari telunjuk mengusap hidung. "So, easy."

Finn mengambil ujung tiang listrik kecil yang patah. Untuk kemudian memukul tubuh makhluk yang hendak bangkit. Finn terus memberikan pukulan membabi-buta. Dan di pukulan terakhir, tubuh makhluk mendadak hancur menjadi bentuk partikel-partikel kecil dan menghilang tanpa jejak.

"Lo nggak papa?"

Deon memegang bahu Finn, memeriksa apakah ada luka di tubuh anak itu, namun anak itu masih dalam keadaan baik-baik saja. Membuatnya bisa bernapas lega.

Finn berdecak. "Rumah Frey masih sekitar lima kilometer dari sini. Gimana, dong?"

Deon menarik napas panjang dengan kepala tertunduk, memikirkan nasib motor sport yang baru saja ia beli dua Minggu yang lalu. Dan Finn ini tidak terlihat khawatir, tetap dengan wajah suram memikirkan keadaan Frey.

Finn mengedarkan pandang untuk mencari kendaraan yang masih dalam keadaan utuh. Namun nihil. Semuanya hancur dan hangus terbakar dengan sisa-sisa api yang masih merebak.

"Mending kita pulang aja. Gue anter, ya?"

Finn berdecak dan tanpa aba-aba langsung menarik kerah kemeja putih Deon. "Bacot banget, sih. Gimana sama Frey!"

"Dia pasti udah ada di rumah."

Finn terkekeh. "Gue nggak percaya kalau dia setega itu ninggalin gue sendirian di sekolah dalam keadaan bahaya kayak gini?"

Deon menarik napas panjang. "Gimana, kalo emang faktanya, gitu?"

Finn berdecak dan langsung melayangkan tinju, tepat mengenai sebelah pipi Deon, hingga anak itu sampai terhuyung, nyaris saja terjatuh. Deon mencoba untuk berdiri tegak, dan Finn sudah tidak ada di hadapannya.

...¤...

"Gue pulang~"

Sunyi. Tidak ada yang menyambut kecuali temaram lampu di langit-langit atap yang Finn lupa matikan. Senyum masam terbit dari bibir Finn sambil membuka sepatu dan melemparnya asal.

Debu langsung berhamburan begitu tubuh Finn menghantam empuknya sofa usang. Dia berulang kali menarik napas dengan tangan sibuk melepas dasi yang terasa melilit leher.

Kepala Finn tertunduk. "Frey, lo ke mana? Apa lo juga bakal ninggalin gue? Ngebiarin gue hidup sendiri lagi?"

Finn langsung mendongak dan memusatkan pandang ke pintu yang baru saja diketuk dari luar. Kening Finn mengkerut, tapi tetap beranjak dan membuka pintu.

Begitu tahu siapa yang datang, Finn langsung memasang wajah garang. " Ngapain lo di sini? Udah sana lo, cari target buat lo bully lagi!"

Deon berdecak. "Gue ke sini nggak sendirian. Keluarga lo yang dari jauh, mau ketemu sama lo, tuh."

Sejak kapan?

Finn menyipitkan mata untuk mengingat sosok yang keluar dari balik punggung tegap Deon. Tapi tetap saja.

"Lo?"

Chapter 3

"SEJAK kapan lo jadi keluarga gue? Kenapa lo ngaku-ngaku keluarga gue? Siapa lo sebenernya?"

Finn spontan mundur, tapi gagal menghindari tangan putih sosok itu yang kemudian menghantam tepat di puncak kepalanya. Tidak ada wajah bersalah yang terlihat, hanya wajah dan mata merah darah yang menyorot tajam.

Finn mengusap lembut benjolan kecil di puncak kepalanya. "Kenapa mukul gue?"

"SOPAN SEDIKIT KAMU SAMA ORANG YANG LEBIH TUA!"

Finn langsung bergidik ngeri, bisa membayangkan rambut pirang panjang bergelombang wanita itu meliuk-meliuk seperti ular kelaparan.

Finn mengerucutkan bibir, melipat kedua tangan di depan dada sambil membuang muka. "Ya habisnya, lo ngaku-ngaku jadi keluarga gue. Emang, sejak kapan?"

"Aku Arete. Datang ke sini karena ada hal penting yang menyangkut tentang kamu. Jika aku tidak mengaku sebagai keluarga, pasti bocah berambut merah tadi tidak akan membawaku padamu."

Finn memutar tubuh dan kali ini menghadap wajah putih Arete, menatap lekat manik merah darah wanita itu—yang entah kenapa membuat hatinya berdesir aneh. Finn tidak tahu, tapi ini pertama kalinya.

"Jadi, apa yang kau inginkan dariku?"

Arete mengulas senyum, walau ada kedutan di sudut bibir dan sebelah alisnya dengan mata tertutup. "Bahasanya mulai sopan, tapi aku tidak bisa menemukan nada kesopanan di sana."

Finn berdecak karena wanita ini tak kunjung mengatakan tujuannya datang kemari. Apalagi, sedari tadi, yang wanita aneh itu katakan hanyalah bullshit semata.

Arete buru-buru menahan pergelangan tangan Finn saat anak itu beranjak berdiri. "Mau ke mana? Kita belum selesai bicara."

Finn melirik Arete yang menatapnya penuh harap. Kemudian menarik napas panjang dan menarik pelan tangannya. "Aku masih punya attitude."

Arete spontan menaikkan sebelah alis. "Apa itu tadi? Bahasa apa, itu?"

"Sopan-santun. Akan kubuatkan minum. Mau apa?"

Finn menatap lekat Arete yang nampak berpikir. Mengabaikan perasaan aneh akan sentuhan yang diberikan wanita itu. Pikiran Finn memang aneh.

Arete mengulas senyum. "Aku menginginkan teh merah."

Teh merah? Minuman jenis apa itu? Finn spontan duduk kembali dan menatap lekat manik merah Arete yang terlihat santai dan biasa.

"Minuman jenis apa itu?"

Arete memiringkan kepala. "Itu jenis teh yang hanya ada di Tanah Merah."

Finn spontan memukul kening, tapi juga tetap berdiri dan kembali lagi dengan segelas air putih. Kemudian meletakannnya di atas meja, sebelum kembali duduk di samping Arete.

Arete spontan memiringkan kepala, meneliti minuman biasa yang tidak ada unsur teh merahnya. "Sekarang teh merah seperti ini?"

Finn mendengus geli. "Itu air putih. Sebenarnya, kau ini berasal dari dimensi mana? Air putih aja nggak ngerti."

Arete mengerucutkan bibir, dan entah kenapa ifu terlihat sangat lucu di mata Finn. Namun dia tidak menunjukkan ekspresi serius. Hanya menggigit bibir dalam sebagai pelampiasan.

"Aku tahu. Hanya saja, aku meminta teh merah, tapi yang datang hanya air putih biasa. Jamuan macam apa ini!"

Finn menarik napas panjang, kemudian menyenderkan punggung ke sofa. Dia melirik Arete dengan rahang sedikit mengeras, karena wanita ini terus saja berbual dan tidak mengatakan hal pentingnya.

"Cepetan kasih tahu! Ada urusan apa kau menemuiku?" Walau aneh, tapi Finn tetap menggunakan bahasa yang membuat lidahnya berkedut.

Arete menarik napas panjang setelah meletakkan kembali air putih yang ia minum ke atas meja. Kemudian memutar tubuh untuk sepenuhnya menatap mata biru kristal Finn—yang mengingatkannya pada seseorang.

"Dunia yang kamu tinggali sekarang sudah berbeda. Kamu pasti sudah menyadarinya, bukan?"

Finn mengangguk. "Terus?"

"Kamu bisa menghentikannya."

"Oi, oi!" Finn geleng-geleng kepala. "Makhluk aneh aja tadi sulit banget buat aku bunuh. Dan kau dengan enteng ngomong gitu?" Finn tidak habis pikir. "Wah, kau emang agak lain, sih."

Arete menarik napas pelan untuk menenangkan gelora panas di tubuh dan otaknya. Dia sudah tidak tahan untuk segera membekap mulut tidak tahu diri Finn. Namun, ada hal lain yang membuatnya mengalah.

"Tapi, hanya kamu yang bisa menghentikannya."

Finn menaikkan sebelah alis. "Gimana bisa gitu?"

Arete sedikit mendongak untuk menatap penuh tekad manik biru kristal Finn. "Hanya kamu, sebagai reinkarnasi keturunanku yang bisa!"

Finn memainkan lidah di rongga mulut, menahan diri untuk tidak mengumpati wanita ini yang lagi-lagi berbual tidak tahu arah. Finn mana mau percaya dengan hal begituan.

Finn spontan tertawa pelan. "Lo ngomong apa, sih? Aneh banget, sumpah. Reinkarnasi apaan? Mana ada yang kayak begitu?"

Arete mengulas senyum, walau tidak tahan untuk memaki bahasa kotor yang lagi-lagi keluar dari bibir reinkarnasi keturunannya sendiri itu.

"Aku tidak heran jika kamu tidak percaya. Peradaban yang sekarang memang sudah sangat berbeda. Kamu pasti juga tidak percaya jika dulu ada dua pahlawan yang sampai berkorban, bukan?"

Finn mendengus geli. "Tahu! Sebenernya nggak mau percaya, tapi kalau udah temen gue yang bilang ...." Finn mengangkat bahu. "Berarti itu emang fakta."

Arete menarik napas pelan untuk mempersiapkan setidaknya kata-kata yang mungkin akan menguras banyak energinya.

"Kamu harus menghentikannnya. Apa kamu tidak memikirkan perasaan pahlawan yang dengan hati terbuka berkorban untuk dunia ini?"

Finn mendengus. "Nggak! Dari saat gue lahir, gue nggak akan pernah mau mengakui dunia ini!"

Bukan karena ucapan super pedas itu yang membuat Arete mengerutkan kening. Melainkan mata Finn yang menyorotkan banyak hal menyedihkan saat mengatakan itu.

"Kenapa?" Pada akhirnya, hanya itu yang terlantar dari bibir Arete.

Finn mengepal kuat kedua tangan. "Dunia ini jahat sama gue!" Mata Finn mulai memanas, tapi anehnya belum ada air mata yang berkumpul. "Dunia ini udah merenggut kebahagiaan gue!"

Finn menggertakkan gigi, mencoba untuk menahan agar suaranya tidak bergetar. "Dunia ini, udah ambil sesuatu yang paling berharga bagi gue!"

Arete mengepal kuat kedua tangan tanpa sadar, hingga kuku-kuku cantiknya memutih. Dia tidak bicara, hanya menatap wajah Finn penuh arti.

"Dunia ini, udah ambil sesuatu yang gue sebut sebagai keluarga!" Finn terkekeh sumbang, tidak tahu kenapa bisa mengatakan ini. "Aneh, 'kan? Yang lain aja bisa ngerasain kasih sayang Ayah dan Ibu. Lah gua? Apaan! Nggak ada!"

Bibir Arete sedikit bergetar, tidak tahu kenapa sangat emosional dengan anak ini. Sekalipun pada reinkarnasi keturunannya sendiri, tetap saja ini yang pertama kali terjadi padanya.

"Tapi, apa kamu akan tetap diam jika ini juga menyangkut sahabat yang paling berharga?"

Finn langsung menoleh dan menatap lekat manik merah Arete, berusaha mencari tahu apa yang ada di pikiran wanita ini. Namun nihil, karena wanita ini nampak sangat pintar menyembunyikan sesuatu.

Arete tertawa dan menepuk puncak kepala Finn. "Ayo kita selamatkan teman kamu!"

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!