Prolog.
Arumi Nasha Razeta, gadis muslimah berusia 24 tahun. Merupakan seorang tenaga pengajar honorer di sebuah madrasah di tempat tinggalnya. Arumi memiliki sifat lembut dan juga ceria.
Sifatnya yang memang penyayang dan sangat menyukai anak-anak, membuat Arumi memilih profesi dengan gaji tak seberapa ini. Sementara Arumi berasal dari keluarga yang sederhana. Arumi sudah menjadi yatim piatu sejak kecil dan dia hanya memiliki seorang paman yang sudah berumur.
Max Stewart adalah ketua mafia yang sangat gagah dengan rahang tegas serta rambut panjang sebahu berwarna hitam legam. Terdapat bulu-bulu tipis di sekitar dagu dan juga jambangnya.
Sebagai pemimpin Mafia kelas atas. Max Stewart merupakan sosok yang teramat di takuti. Tentu saja di karenakan sifat kejam yang tanpa welas asihnya itu. Bahkan, Max tega menghabisi nyawa kakek dan sang ibu melalui kedua tangannya sendiri. Bukan tanpa sebab sifat pembunuh berdarah dingin itu melekat padanya. Masa kecil yang ia habiskan dengan beragam penyiksaan serta kurang kasih sayang, telah menjadikan sifat kejam mendarah daging pada jiwa seorang Max. Melihat sang ayah disiksa hingga meregang nyawa di hadapannya, telah membuat Max tumbuh menjadi seorang pria yang tanpa hati dan cinta. Sejak saat itu, Max membenci mahkluk yang bernama wanita.
*
*
Pertarungan dua kelompok mafia memang selalu terjadi. Selain berebut lahan kekuasaan mereka juga saling menjatuhkan sama lain. Hal itu juga tengah dialami oleh seorang pemimpin kelompok mafia yang cukup di takuti. Max Stewart, ketua dari kelompok mafia Black Hawk
Karena sebuah penghianatan maka nyawanya kini di ujung tanduk. "Shit!" Pria bertubuh tinggi kekar itu terus berlari setelah kendaraannya meledak di pinggiran jalan sepi.
Di balik pekatnya malam, Max terlihat berlari dengan langkah yang semakin tertatih. Beberapa tembakan menghujani kepalanya. Hingga salah satu lesatan timah panas itu mengarah padanya dan tak dapat terelakkan lagi.
Dorr!
"Akh!!"
Max, terjatuh karena sebuah tembakan entah dari mana, hingga ia terguling di atas aspal. Sebelah tangannya memegangi bahu yang kemungkinan tertembus timah panas. Seketika, luka itu pun mengeluarkan darah cukup banyak.
Max, sekuat tenaga menahan rasa panas yang menjalar dari bahu hingga ke pangkal lengannya. Bahkan, jemarinya mulai sulit untuk di gerakkan. Max, langsung mengeluarkan pil dari sakunya dan menelannya tanpa air.
"Argh!" Max, terdengar mengerang sebelum akhirnya bangkit dan kembali berlari demi menghindari musuh yang tengah menggila ingin menghabisi nyawanya.
Meskipun selongsong peluru tembus ke bahunya yang kekar. Hingga membuat nya, sempat terjerembab, tapi Max langsung buru-buru bangun lagi. Luka yang ia dapatkan pada tubuhnya tidak akan membuatnya menyerah begitu saja. Max, memutuskan terus berlari, hingga terpaksa masuk ke sebuah pemukiman padat penduduk.
Max merasa, saat ini dirinya tak mempunyai pilihan lain selain berkamuflase untuk menyelamatkan dirinya dari para petugas bersenjata yang mengejarnya itu. Tim panther yang memang mengejar sindikat mafia narkoba yang menjadi momok perusak generasi muda, katanya.
Max, nyatanya tidak pernah berada di posisi ini sebelumnya. Dia selalu selamat dan mulus ketika mengadakan transaksi. Hari ini nyatanya menjadi waktu na'as baginya ketika dirinya mendapatkan pengkhianatan dari salah satu anggotanya sendiri.
"Akan ku pastikan. Kau mati dengan kedua tanganku sendiri," monolog Max, dengan napas yang terengah-engah. Peluru panas yang menembus bahu sebelah kiri telah membuatnya kehilangan banyak darah.
Max, beringsut semakin ke dalam gang ketika sayup-sayup ia mendengar suara dari orang-orang yang mengejarnya. "Sial! Mereka bahkan terus mengejar sampai kesini," erangnya, geram.
Sang ketua mafia berdarah dingin itu, yang biasanya tidak pernah takut dengan siapapun. Terlihat menutupi sebagian tubuhnya dengan tumpukan karung dan plastik sampah lalu ia bersandar di sebuah kotak kardus bekas barang elektronik. Max, berharap dengan begini maka keberadaannya tidak tercium oleh pihak yang berwajib. Max sadar diri bahwa kondisinya saat ini sangat tidak menguntungkan.
Max mengeluarkan ponselnya dan ternyata benda tersebut kehabisan daya. Max, lagi-lagi kesal karena ia tidak bisa menghubungi anak buahnya untuk meminta pertolongan. "Shit!" Max, kembali mengantongi benda persegi itu. Lalu melempar batu kedalam parit yang berada sebelahnya, untuk mengusir binatang pengerat yang berniat mendekatinya. Para tikus itu pun melompat rusuh dan berlarian ke segala arah.
Max memukul dan menendang tikus-tikus yang mendekatinya dengan tenaga yang tersisa. Binatang-binatang itu ada yang naik ke bahunya dan berjalan di atas kepalanya. Salahnya sendiri mengacaukan konsentrasi sekumpulan tikus got tadi.
Max, memejamkan matanya sambil mengatur napas. Max khawatir dengan darah yang terus keluar dari bahunya. Posisinya juga terancam ketahuan.
"Aku tidak boleh tertangkap. Apalagi dalam keadaan memalukan dan nista seperti ini," erang Max, dengan rahangnya yang saling beradu. Keringat telah membasahi wajahnya dengan gurat tegang.
"Sialan! Jika aku selamat, akan ku buat pengkhianat itu lebih menderita dari ini!" geram Max. Merasa ada yang mendekat, Max memutuskan untuk tidak bersuara lagi. Max bahkan menahan napasnya.
Setelah di rasa aman, Max kembali bergerak sambil mengendap-endap. Ia terus berusaha berlari dari kejaran kelompok petugas berseragam itu.
Anjing pelacak hampir menemukan jejaknya dari bau darah yang terbawa angin. "Sial! Aku harus segera menemukan jalan keluar."
Max, mengeluarkan sisa tenaganya untuk terus berlari. Ketika ia menemukan secercah cahaya terang yang menandakan bahwa ada sebuah bangunan yang berpenghuni. Max, pun semakin mempercepat larinya. Dengan sisa tenaganya, Max menghampiri sebuah rumah. "Aku tidak boleh kalah apalagi mati!" erangnya lagi.
Max, sengaja memilih sebuah rumah dengan lampu yang masih menyala. Apalagi posisi bangunan sederhana itu cukup dekat dengannya.
Di dalam rumah itu, ada seorang gadis terbangun karena merasa haus dan ingin buang air kecil. Padahal waktu telah menunjukkan tengah malam. Gadis itu menguap kemudian meletakkan punggung tangannya untuk menutup mulut. Arumi kemudian keluar kamar dalam keadaan setengah mengantuk. Arumi tidak menyadari jika jendela kamarnya belum ia tutup sejak tadi.
Hal tersebut memudahkan, Max untuk masuk. Max, memutuskan untuk bersembunyi dari kejaran musuhnya di tempat ini. Max, dengan mudah masuk ke kamar itu setelah mengetahui tidak ada pemiliknya di dalam sana. Max yakin jika penghuninya ini hanyalah perempuan dan pasti dia tidak akan sulit menghadapinya.
Pada saat Max sedang menyelinap masuk lewat jendela, pada saat itulah ada sepasang mata yang mengekorinya. "Kena kamu, Rum! Ternyata kamu tidak sesuci itu," gumam pria bertubuh kurus dan tinggi yang kebetulan bertugas ronda.
Pria itu menghampiri pos kemudian mengumpulkan warga lainnya yang kebetulan ikut ronda sama sepertinya. Sebuah cerita telah berhasil ia karang berdasarkan dari apa yang sekilas ia lihat barusan.
Arumi sudah kembali masuk ke dalam kamar. Namun, Max segera menurunkan saklar lampu. "Astagfirullah! Mati lampu?" kaget Arumi.
Tiba-tiba, sosok tegap mendekatinya. Kemudian terdapat lengan kekar membekap mulutnya.
Grep!!
"Emmh!" Arumi ingin berteriak ketika sebuah tangan kekar membekap mulutnya. Max menyeret, Arumi semakin ke dalam dan bersembunyi di balik dinding kamarnya.
"Ya Allah. Siapa yang ada di dalam kamar Arumi," batin gadis itu gemetar ketakutan.
"Aku akan melepaskanmu. Tapi berjanjilah jangan berteriak," bisik Max. Gadis yang berada dalam dekapannya ini langsung mengangguk.
"Ingat! Jika kau berteriak. Aku bisa langsung memperkosa lalu membunuhmu dengan keji!" ancam Max lagi. Ia memutuskan melepaskan dekapannya karena gadis itu kembali mengangguk.
Huuhh!
Arumi mengambil napas sebanyak-banyaknya. Dadanya terasa sesak karena susah bernapas dan juga takut. "Astagfirullah, astagfirullah." Arumi berkali-kali mengucapkan istighfar dalam hatinya. Dadanya berdegup luar biasa kencang.
Dalam kegelapan kamarnya, Arumi yang telah dilepaskan langsung mengambil jilbab dan juga niqob yang ia letakkan di samping bantal.
Depp! Max, pun menyalakan lampu senter pada ponselnya. Hingga ia melihat siluet gadis itu dan terlonjak kaget karenanya.
"Ninja!" kaget Max. Arumi pun terkejut dengan teriakannya. Hal itu menyebabkan Max buru-buru menyalakan lampu kamar tersebut.
"Sial! Kenapa kau mengenakan pakaian seperti itu!" tunjuk, Max sambil meringis.
"Ka–karena ini memang pakaian, Arumi," jawabnya takut-takut.
"Tutup jendelanya lalu kunci pintunya cepat!" titah Max selanjutnya. Tapi Arumi tak bergeming. Ia tak mungkin menuruti permintaan pria asing ini kan? Hingga, Max mengeluarkan senjatanya dari dalam jaket.
"Lakukan perintahku, atau pistol ini akan melubangi kepalamu!" ancam Max tegas. Padahal senjata apinya itu sudah kehabisan peluru. Ia hanya ingin menakut-nakuti gadis di hadapannya agar menurut. Max, tau jika musuhnya pasti akan sampai juga ke kampung ini.
Arumi, menekan dadanya yang seketika sesak karena takut. Dengan langkah gemetar Arumi pun maju mendekati pintu. Ia mengunci dua bagian itu. Sekilas Arumi dapat melihat jika keadaan pria di dalam kamarnya ini tengah terluka. "A–apa, anda butuh pertolongan? Anda terluka?" tanya Arumi, memberanikan diri.
"Yah, aku butuh air hangat, lap dan juga alat p3k," titah Max. Wajahnya kian pucat dengan keringat sebesar biji jagung di pelipisnya. Arumi pun mengangguk dan menyerahkan apa yang pria itu minta barusan. Semua ada di dalam kamarnya.
Arumi sama sekali tidak memiliki kesempatan untuk kabur ataupun meminta pertolongan. Meskipun posisinya saat ini dalam bahaya, entah kenapa, Arumi menaruh rasa kasian pada pria asing di dalam kamarnya itu.
Betapa kagetnya Arumi, ketika Max mengeluarkan pisau dari ujung sepatunya. Max, menelan obat lagi, kemudian Max mengorek luka di bahunya itu.
"Arrggh!" Max menahan erangannya ketika ia berusaha mengeluarkan material peluru dari bawah kulitnya. Sementara itu, Arumi sudah terduduk lemas di pojokan lemari. Entah apa yang, Max konsumsi sehingga tak ada darah yang menetes. Tak lama kemudian, luka tersebut telah di balut dengan plester. Kerjaan pria itu sangat rapih, walaupun mengobati diri sendiri.
"Siapa pria itu sebenarnya? Lindungi, Arumi ya Allah," batinnya menangis dengan lutut yang gemetar.
Max, benar-benar melakukan pengobatan pada lukanya itu sendirian. Tiba-tiba, Max kembali berjalan ke arah jendela. Secepat kilat, Max kembali mendekat ke arah Arumi yang berada di pojokan.
"Matikan lampunya. Karena ada sekelompok orang yang sedang mengawasi rumahmu," titah Max, lagi dengan berbisik di samping telinga Arumi. Seketika, dada gadis itu berdebar tak karuan. Apalagi, ini adalah pertama kalinya ada laki-laki yang begitu dekat dengannya.
Arumi membulatkan matanya ketika, tangannya kembali dipegang oleh, Max. Pria asing itu terus menyeret Arumi ke depan jendela yang terdapat di dalam kamarnya. Di sana, Max mengintip suasana di luar rumah. Arumi meronta sehingga Max terpaksa melepaskan cekalannya.
"Sebenarnya, ka–kamu itu siapa? Kenapa masuk ke kamar saya?" cecar Arumi dengan suara yang bergetar. Matanya tanpa kedip memandang sambil menelisik ke arah pria di hadapannya.
"Kamu tidak perlu tau siapa saya. Tapi, satu hal yang perlu kamu tau bahwa saya perlu bersembunyi sampai pagi," kata Max, tegas seraya balas menatap mata Arumi.
"Tidak!"
"Jika anda sudah merasa lebih baik. Pergilah! Selesaikan urusan anda dan mintalah perlindungan pada yang berwajib jika memang anda merasa terancam. Tolong, jangan libatkan saya. Jangan sampai orang lain salah paham!" tolak Arumi tegas.
Bahkan dalam hatinya, gadis ini ingin pria tampan bak aktor itu keluar dari kamarnya saat ini juga. Arumi merasa kesehatan jantungnya terancam.
"Kamu mengusir saya? Asal kamu tau ya. Meskipun sedang terluka begini, saya bisa saja mencelakai kamu. Bahkan, saya bisa memperkosa kamu," ancam, Max lagi dengan mencengkeram bahu Arumi.
Mendengar kalimat ancaman itu, Arumi langsung menyilangkan tangan di depan tubuhnya. Raganya sontak bergetar hebat.
Memangnya wanita mana yang mendapat ancaman seperti itu di depan matanya sendiri, lalu tidak merasa takut. Tentu saja, Arumi ketakutan. Apalagi, saat ini, pria itu tengah menatapnya tajam.
"K–kau di datang kerumah ku dalam keadaan tubuh penuh luka dan bersimbah darah. Apakah ini cara balasanmu? Dengan mengancam untuk melakukan perbuatan jahat kepadaku?" tukas Arumi tegas.
Gadis ini berusaha untuk mengeluarkan segala keberaniannya agar ia tak dapat ditindas dengan mudah.
"Aku akan keluar ketika keadaan sudah aman. Kamu, sebaiknya diam dan ikuti perintahku paham!"
Dengan lenguhan berat, Arumi pun menjawab. "Baiklah, tapi keluar dari kamarku sekarang. Biar saya bangunkan paman," kata Arumi.
Tapi semua terlambat karena tiba-tiba pintu kamarnya telah di buka dengan paksa.
Brakk!!
Suara pintu di dobrak hingga terbuka paksa oleh sekelompok warga.
"Astagfirullahal adzim!" teriak beberapa tetangga memekik di tengah malam buta.
"Keterlaluan kamu Arumi!!"
Mendapati para warga masuk kedalam kamarnya dengan cara mendobrak pintu, sontak saja membuat Arumi kaget setengah mati.
Gadis itu juga langsung berusaha menjauh dari pria asing yang entah bagaimana caranya bisa ada di dalam kamarnya.
"Arumi, bisa jelaskan semuanya," ucap gadis itu dengan rasa malu yang teramat sangat. Karena tatapan warga mengintimidasinya. Padahal dirinya pun sama kagetnya.
"Mau jelaskan apa lagi, Arumi! Kami sungguh tidak percaya kalau bukan melihat ini dengan mata kepala kami sendiri? Percuma kamu mengenakan pakaian tertutup hingga hanya matamu saja yang terlihat. Jika ternyata kamu berbuat zina dengan laki-laki yang bukan mahram kamu!" tuding salah satu warga dengan nada bicara yang penuh dengan emosi.
Sakit rasanya hati Arumi, ketika dirinya harus mendapatkan tuduhan seperti itu.
Sedangkan, pria asing dengan rahang tegas itu nampak diam berdiri dengan tatapan tajamnya ke arah warga yang berbicara kasar tanpa perasaan seperti itu. Karena memang, Arumi dan dirinya tidak melakukan apapun.
"Kau, jangan asal bicara! Saya bisa menuntut kalian semua dengan tuduhan pencemaran nama baik!" protes pria berhidung mancung dengan mata bak elang itu. Kesal sekali dia dengan mulut ketus ibu-ibu dihadapannya.
"Heh, kamu orang asing! Jangan sok membela diri. Kita semua sudah melihat dengan mata kepala sendiri apa yang kalian berdua lakukan. Jadi ini bukan sekedar dugaan! Kalian berdua sudah terbukti berzina!" pekik ibu-ibu berdaster itu lagi, seakan memprovokasi warga lainnya. Kapan lagi dia menemukan celah yang bisa mencemarkan nama baik Arumi. Siapa suruh menolak lamaran putranya tempo hari.
"Kena kau, Arumi!"
"Kalau perlu kalian itu di arak keliling kampung terus di rajam pake batu!" Sontak, ucapan anarkisnya itu membuat beberapa warga yang ikut menggerebek saling bersahutan dalam menghakimi Arumi.
"Demi Allah. Saya tidak seperti apa yang kalian sangka dan pikirkan. Tolong, percayalah. Arumi bisa menjelaskan ini semua," ucap perempuan berniqob ini dengan suara bergetar tanda menahan tangis.
"Halahh! Alasan basi! Kami tidak butuh pembelaan diri kalian!" pekik salah satu warga. Dia adalah suami dari ibu berdaster tadi. Keduanya kompak balas dendam pada wanita yang telah menolak putranya hingga anak tersebut sakit hati di buatnya. Mati segan hidup tak mau.
"Berhenti kalian semua!" seru Pak RT, dengan kedua tangan yang diangkat ke atas kepalanya. Memberi instruksi pada pada warganya untuk menyudahi aksi menghakimi Arumi. Ternyata, Mustafa selaku paman dari Arumi meminta bantuan aparat RT setempat untuk menyelamatkan nama baiknya dan juga sang keponakan.
"Udah, arak aja pak RT!"
"Enak aja buat mesum di sini!"
"Kelakuan mereka berdua bisa bikin sial kampung kita nanti!" oceh para warga yang lain.
"Tenang semuanya!" seru pak RT lagi menenangkan para warganya yang terlanjur terprovokasi. "Kita masih bisa bicarakan semuanya secara baik-baik," tegas pak RT berusaha mendinginkan suasana.
Mereka semua pun di kumpulkan pada ruang tamu, termasuk Arumi dan juga pria asing itu. Ruangan yang sempit membuat keadaan semakin sesak. Sebagian warga hanya bisa berdiri di teras rumah.
Max, duduk di dampingi oleh Pak RT. Sementara Mustafa mendampingi Arumi.
"Nak Arumi. Saya sudah menampung semua kekhawatiran para warga. Demi kebaikan kamu yang selama ini tinggal bersama pamanmu, dimana beliau adalah seorang marbot di masjid kampung ini. Juga demi menjaga nama baik kamu yang notabene juga guru ngaji, saya memutuskan agar sebaiknya kalian berdua menikah saja malam ini," tegas pria dengan raut wajah penuh wibawa yang menjabat sebagai aparat di kampung tersebut.
"APA!!"
Arumi dan pria asing itu memekik bersamaan. Keduanya pun saling pandang dengan tatapan yang sulit untuk di artikan.
Hanya sesaat. Karena sejurus kemudian, Arumi kembali menundukkan pandangannya. Arumi menangis tanpa suara. Mimpi apa dia tadi, sampai mengalami kejadian seperti ini ketika bangun.
"Mana bisa begitu!" protes, Max. Bahkan sampai berdiri dari duduknya. Dia tak bisa terima begitu saja keputusan yang baginya sangatlah konyol ini. Dia ini sedang sembunyi, tapi kenapa jadi di desak untuk menikah. Hal yang bahkan tak pernah terlintas dalam benaknya.
"Duduklah anak muda!" titah Pak RT tegas.
Melihat tatapan mata dari pak RT yang penuh wibawa, membuat Max memilih untuk menurut. Dengan wajah keras dan kaku, Max kembali meletakkan bokongnya di atas balai bambu.
"Siapa namamu, Nak?" tanya pak RT sopan, seraya menatap ke arah Max yang duduk di sebelahnya.
"Max Stewart," jawabnya singkat.
"Menikahlah. Itu lebih baik, ketimbang kalian di arak keliling kampung atau di rajam," ucap ketua rukun warga itu lagi dengan penuh wibawa. Hingga tak ada satu warga pun yang berani menentang maklumatnya.
Arumi hanya bisa menunduk dengan rasa lemas di sekujur tubuhnya. Gadis itu, tak tau lagi harus berkata apa. Percuma juga ia bicara, sepatah kata pembelaan maka akan memancing bantahan panjang lebar dari para warga. Arumi juga tidak mau nama baik pamannya tercemar karena hal ini.
Karena, bukti sudah jelas bahwa ada laki-laki yang bukan mahram berada di dalam kamarnya dan juga mereka kepergok dalam keadaan yang tidak menguntungkan keduanya.
Salahnya juga, karena Arumi tadi tidak buru-buru membangunkan pamannya.
"Tapi saya tidak bisa dan itu tidak mungkin--" Belum juga menyelesaikan ucapannya, pria asing itu sudah mendapatkan tatapan tajam dari semua orang yang ada di dalam ruangan tersebut.
Glek!
Max, sampai menelan ludahnya kasar. Ternyata nasibnya tidak lebih baik dari sebelumnya.
"Kalau tidak mau, arak saja lalu di rajam sampai mati!" desak seorang pria kurus tinggi dengan sorot mata penuh amarah.
"Apa itu di rajam?" tanya Max. Di tidak tau hukuman apa yang di maksud oleh warga.
"Nak, Max. Rajam itu adalah hukum dalam Islam bagi para pelaku zina. Pelaku dari perbuatan tersebut akan di kubur sebatas kepala di dalam tanah lalu di lempari dengan batu."
"Damn it! Hukuman apa itu!" batin Max kaget bukan kepalang.
"Ternyata, mereka semua lebih barbar daripada sekelompok anggota mafia," batin Max, lagi sambil menelan ludahnya susah. Karena, Max sudah tau apa makna di rajam yang sesungguhnya. Tentu saja, Max tidak mau mati konyol.
Max, merasa terjebak. Max saat ini tidak tau apa yang harus dia lakukan. Menolak sekuat hati pun tak bisa. Karena, itu artinya ia bersedia menerima hukuman yang mungkin bisa mengancam nyawanya. Jika dirinya di arak keliling kampung itu artinya, keberadaannya akan di ketahui oleh musuhnya nanti.
Max, hanya bisa mengeratkan kepalan tangannya. Kedua matanya terpejam pasrah menerima keadaan yang mau tak mau harus ia jalani.
"Iyakan saja. Nanti aku tinggal buat perjanjian dengan gadis itu," batin Max dengan segala niat liciknya.
Max, yang notabene adalah ketua mafia terkuat, mana mungkin terima kejadian ini begitu saja. Hidup bersama dengan gadis yang baru ia temui. Apalagi, menikah tidak masuk ke dalam rencana masa depannya.
"Arumi, kamu terima kan keputusan ini?" tanya Pak RT.
Panggilan itu, membuat Arumi seketika mendongak dengan tatapan sendu. Ia menghela napasnya lebih dulu kemudian mengangguk pelan.
Arumi tak habis pikir apa rencana Allah untuknya. Sehingga dirinya harus menikah dengan cara seperti ini. Bahkan dengan pria yang tidak ia kenal, meskipun sekedar nama mau pun asal-usulnya sekalipun.
"Baiklah, kalau begitu. Kalian berdua akan menikah secara agama. "Apa anda ingin menghubungi keluarga terlebih dahulu?" tanya pak RT pada Max.
"Tidak!" jawabnya cepat.
"Aku tidak mungkin memberitahukan hal memalukan ini pada siapapun," batin Max.
"Saya, perlu bicara berdua dengan gadis itu," pinta Max. Ucapannya barusan membuat Arumi menatap kearahnya penuh tanya.
"Sebentar lagi adzan subuh. Sebaiknya, Pak Mustafa sebagai wali dari Arumi segera menikahkan saja. Setelah itu kita bisa solat berjamaah di masjid dengan tenang," titah Pak RT, pada Mustafa, paman Arumi. Secara tak langsung ia menolak permintaan dari Max.
Beberapa saat kemudian.
Pernikahan siap di laksanakan dengan sangat sederhana.
Tak ada riasan dan tanpa persiapan apapun. Juga tanpa raut kebahagian dari kedua pasang pengantin.
Miris.
Max, bahkan tanpa alas kaki ketika melakukan pernikahannya ini.
"Kamu sudah hafal belum nama lengkap calon istrimu itu?" tanya pak RT.
Max langsung menoleh ke arah Arumi dan menatapnya tajam.
"Arumi Nasha Razeta, binti Muhammad Furqon," ucap pelan gadis dengan niqob yang menutupi sebagian besar wajahnya itu.
"Sial kuadrat! Takdir apa ini! Sehingga aku harus terjebak menikahi wanita macam ninja begini. Apa jangan-jangan wajahnya itu cacat sehingga dia sembunyikan dengan selembar kain penutup?" batin Max, bertanya-tanya akan kenyataan buruk di hadapannya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!