Menjadi anak bungsu dari dua orang kakak perempuan dan dua orang kakak laki-laki yang selalu menjadi kebanggaan keluarga walaupun pada kenyataannya hanya bisa memberikan beban untuk keluarga adalah salah satu hal yang tidak semua orang ketahui tentang hidupku.
Kisah ini akan menceritakan perjalananku sejak pertama kali mengenal sosok Rajendra Prabu Wicaksono atau yang akrab aku panggil mas Rendra sampai akhirnya kami memutuskan untuk menjalin hubungan hingga berpisah.
Tidak, lebih tepatnya aku yang memutuskan berpisah disaat hubungan kami sudah memasuki tahun ke 6. Miris bukan? Tapi begitulah kenyataannya.
Aku masih seorang gadis berusia 16 tahun saat pertama kali bertemu mas Rendra. Statusku adalah seorang putri bungsu dari Ardianto Group dengan semua kemewahan hidup yang sedari kecil aku rasakan dan aku dapatkan.
Pertama kali lelaki itu menyapaku ketika aku berkunjung ke rumahnya untuk menemui adiknya, Keshwari Dhira Wicaksono. Aku berteman dengan Dhira sejak pertama kali masuk SMA, tetapi aku hampir tidak pernah bertemu dengan mas Rendra sampai hari dimana aku bertemu dengannya di rumah.
Laki-laki yang sangat hobby mengendarai motor Honda Win 100 bersama dengan teman-temannya itu selalu menggunakan jaket kulit dengan bordiran di belakangnya bertuliskan GPD .
Aku, Dhira dan Gheya pertama kali bertemu saat berusia 16 tahun dimana kami baru masuk SMA. Tiga anak manusia yang awalnya tidak saling mengenal akhirnya menjadi teman baik karena entah kenapa kami merasa cocok terlepas dari pola pikir kami yang terkadang sangat berbeda 180°.
Dhira adalah anak bungsu, dia memiliki dua kakak laki-laki. Mas Rendra yang pertama dan Mas Brian yang kedua. Sedangkan Gheya adalah anak kedua dari 3 bersaudara. Dia memiliki 1 orang kakak perempuan dan 1 orang adik laki-laki.
Aku? Aku anak bungsu, memiliki 2 kakak laki-laki dan 2 kakak perempuan. Aku yatim semenjak masih SMP. Ibuku mengurus perusahaan semenjak kepergian mendiang ayahku.
Aku hanya anak perempuan biasa yang tidak memiliki keistimewaan. Aku suka membaca novel, aku suka berkunjung ke toko-toko buku bernuansa klasik. Aku suka mengoleksi barang-barang klasik seperti piringan hitam, kaset klasik dan hal-hal lainnya.
Awalnya aku pikir Mas Rendra dan teman-temannya adalah sekelompok berandalan atau anak kaya manja yang hanya bisa berfoya-foya dan menghabiskan uang orang tuanya. Itulah salah satu alasan saya tidak tertarik pada dia karena saya tidak menyukai laki-laki manja yang tidak bisa berdiri di atas kakinya sendiri.
Ya, setidaknya itulah kesan pertamaku saat melihat mas Rendra. Lelaki itu satu geng dengan Atar mahasiswa jurusan bisnis, Dika dan Cakra yang menjadi mahasiswa kedokteran.
Entahlah bagaimana mereka bisa mengenal, yang jelas 4 sekawan itu benar-benar tidak bisa dipisahkan. Bahkan GPD bermula dari mereka berempat hingga sekarang memiliki beberapa cabang di kota lain.
Di waktu lain, aku pernah bertanya padanya tentang apa yang sebenarnya dilakukan GPD. Karena memang di bayanganku mereka hanya menjadi anak berandalan yang membuat onar di jalan.
Aku masih ingat dengan jelas lelaki itu hanya tersenyum, tanpa menjawab pertanyaanku lelaki itu justru memberi penawaran apakah aku mau ikut bersamanya saat sedang ada acara GPD? Tentu saja jawabanku tidak mau. Untuk apa aku ikut acara geng motor yang tidak jelas apa tujuannya.
Satu hal yang membuatku sedikit tergerak hari itu karena Mas Rendra tidak marah sama sekali dengan penolakan yang aku berikan. Bahkan dia menanyakan pandanganku tentang anak geng motor yang tentu saja pandanganku seperti yang sudah aku jelaskan tadi. Dan dia tidak marah mendengarnya, lelaki itu bahkan tertawa sembari mengusap kepalaku.
Aku yang masih terus penasaran, akhirnya lambat laun menyetujui ajakan mas Rendra. Lelaki dengan jaket kulit bertuliskan GPD itu membawaku ke sebuah panti asuhan. Sepanjang perjalanan aku terus berfikir apa sebenarnya arti dari GPD, tetapi aku urungkan niatku untuk bertanya.
Motor-motor itu berhenti di sebuah panti asuhan yang membuatku sedikit terhenyak. Ternyata, tidak semua anak geng motor memiliki tabiat buruk seperti mabuk dan tawuran tidak jelas di jalanan.
Semenjak hari itu, hubunganku dengan Mas Rendra menjadi lebih dekat. Aku yang masih seorang anak SMA dekat dengan seorang mahasiswa jurusan bisnis sekaligus penerus tahta dari Future Corporation yang bergerak di bidang kesehatan dan properti.
Tidak ada yang berubah. Aku masih tetap menikmati masa SMA dengan segala kepusingan hidup menghadapi tugas-tugas sekolah yang membuatku sering berjibaku dengan buku-buku dan juga komputer dimana pada tahun 2010 belum semua orang memiliki komputer pribadi di rumah.
Sekali waktu aku bertemu dengan mas Rendra saat aku bermain ke rumahnya. Ya, niat awalku tetap ingin menemui Dhira, tapi tidak jarang juga bertemu mas Rendra yang sedang di rumah.
Semakin aku mengenalnya semakin aku tahu kalau lelaki ini memiliki pemikiran yang cukup random. Bahkan terkadang muncul ide-ide yang cukup aneh menurutku tetapi anehnya ide-ide darinya bisa diterima dengan cukup baik bahkan dimengerti oleh Dika, Cakra dan Atar sebagai teman baiknya.
Hubungan kami terus berkembang hingga mas Rendra lulus kuliah dan aku memilih masuk fakultas kedokteran bersama dengan Dhira dan juga Gheya.
Kami sempat jarang bertemu saat Mas Rendra memutuskan untuk menempuh pendidikan magister di USA pada tahun 2012 hingga 2015. Saat itu, email dan chat masih menjadi alternatif kami untuk sesekali bertukar kabar walaupun terjadi perbedaan waktu di antara kami berdua.
Kami tidak berkabar setiap hari karena saat itupun aku sedang menempuh pendidikan sebagai dokter dimana pada 2015 aku juga sedang menempuh sebagai koas di Future Hospital yang di masa depan akan menjadi milik Dhira, si anak bungsu pemilik dari Future Hospital.
Keluargaku sendiri sebenarnya bukan keluarga yang cemara. Ibu yang sudah mulai memasuki usia 55 tahun memilih untuk melepas jabatan dan menyerahkannya kepada kakak sulungku, mas Hendra namanya. Namun melepas usaha kepada mas Hendra justru menjadi awal mula kehancuran keluargaku.
Kurang lebih itu adalah ringkasan yang bisa aku ceritakan. Setelah ini, aku akan menceritakan semuanya secara detail. Tetapi sebelum kita membahas tentang mas Rendra, aku akan menjelaskan semua hal tentang diriku yang sebenarnya tidak istimewa tetapi bukan berarti juga tidak ada hal yang menarik dari diriku.
Saya harus menjelaskan dulu siapa saya sebelum menceritakan bagaimana hidup saya berjalan bersama dengan sosok bernama Rajendra yang begitu setia menemani saya bahkan di kondisi terburuk saya sekalipun.
Bagaimanapun juga, jatuh cinta dengannya adalah hal terbaik yang pernah saya dapatkan dalam hidup. Tetapi melepaskannya adalah salah satu bukti betapa saya begitu mencintainya.
Suara ketukan pintu membuat Luna yang sedang memejamkan mata di kursi kerjanya membuka matanya.
"Kenapa?" tanyanya dengan ekspresi datar saat melihat Dhira, Presiden Direktur sekaligus sahabat baiknya masuk ke ruangannya.
"Makan siang yuk, lapar," ucapnya dengan ekspresi manja.
Kaluna hanya menghela nafas lalu menggeleng, wanita itu beralasan perut dan kepalanya sama-sama sedang penuh saat ini.
Dhira yang awalnya bersemangat tiba-tiba menunjukkan tatapan iba ke arah Kaluna yang kembali memejamkan matanya.
Ditariknya satu kursi di depan meja Kaluna agar dia bisa duduk,
"Orang bank ke rumah lagi Lun?" tanyanya dengan suara lirih yang membuat Kaluna membuka matanya. Tatapan kosongnya dia arahkan ke langit-langit ruangan bersamaan dengan helaan nafas berat yang berarti adalah jawaban "ya" dari pertanyaan Dhira.
"Pakai uang mami dulu aja ya? Biar aku yang bilang ke mami."
Kaluna menggelengkan kepala dengan cepat, "500 Miliar aku mau bayar pakai apa Ra?" ucapnya dengan nada pasrah.
Lagi Dhira hanya bisa menghela nafasnya. Semenjak usaha orang tuanya bangkrut setelah di kelola oleh kakak laki-lakinya, wanita berusia 32 tahun itu terpaksa harus mengangsur hutang kakaknya setiap bulan.
"Rumah mama dipasang plang disita Ra," jelasnya dengan mata yang mulai basah dan suara yang mulai bergetar. Wanita itu tampak berulang kali menghela nafas sembari mencoba sebisa mungkin menahan air matanya.
Ingin sekali dia melepas tanggung jawab, tetapi sekarang ibunya bahkan tinggal di rumah dengan posisi terpasang tulisan disita dari bank yang membuatnya dan kakak perempuannya harus mati-matian melunasi rumah yang dijadikan kakak laki-lakinya sebagai jaminan di bank.
"Mama gimana Lun?" kali ini Dhira bertanya dengan cukup pelan setelah mengetahui kondisi terbaru dari kasus hutang piutang mas Hendra, kakak pertama Kaluna.
Dengan sorot mata kosong, wanita berkacamata itu hanya mengangkat kedua pundaknya,
"di luar ya baik-baik aja Ra, tapi di dalam hatinya mama pasti hancur. Rumah itu beliau rintis bersama mendiang ayah" jelasnya mengingat kembali kenangan dari rumah utama yang masih ditempati oleh mamanya.
"Mas Hendra?"
Mendengar nama kakak pertamanya, Kaluna hanya tersenyum sinis, "tau dimana tuh orang, mati kali." ucapnya sarkas dengan sorot mata kecewa dan marah yang bercampur menjadi satu.
"Aku bilangin ke mami aja ya? Atau aku bilang mas Rendra aja biar bantu kamu kalau kamu gak mau pakai uangku,"
"Gak Ra! Aku gak mau berhutang sama siapapun lagi." jawabnya tegas menolak bantuan Dhira.
Kaluna menghela nafas seraya melepas kacamatanya,
"maaf ya Ra, aku gak maksud bentak kamu," ucapnya dengan nada menyesal.
"santai aja Lun, gak papa kok."
"Gajiku gak akan cukup kalau harus lunasin semua hutangnya mas Hendra, apalagi kalau harus merintis ulang kerajaan usaha yang ayah tinggalkan Ra," ujarnya dengan nada pasrah.
"Mama gak mau ikut tinggal sama kamu dulu aja Lun?"
Kaluna menggeleng. Wanita itu menjelaskan kalau ibunya bersikeras untuk tetap tinggal di rumah utama walaupun terdapat plang tulisan disita disana.
"Berarti mba Karin disana?"
Lagi Kaluna hanya mengangguk saat Dhira menanyakan keberadaan kakak perempuan keduanya.
"Mas Arka sama mas Radit yang malah bantuin mikir cara lunasin hutang mas Hendra," ujarnya pasrah.
"Makan dulu yuk, minimal biar ada tenaga buat rawat jalan sore,"
Dhira coba membujuk Kaluna tetapi wanita itu kembali menolak,
"Makan aja Ra, aku gak lapar." ucapnya dengan tatapan kosong.
Manik mata coklat itu benar-benar terlihat bingung dengan semua yang terjadi dalam hidupnya akhir-akhir ini.
"Pesan makan aja ya? Biar aku pesanin sekalian sama Gheya."
"Terserah Ra, ikut aja deh,"
...****************...
Flashback
Kaluna yang baru saja pulang dari kampus sedikit terkejut melihat ibu, 4 kakak dan 2 kakak iparnya sedang mengadakan rapat di rumah.
"Ada apa?" tanyanya ragu saat masuk ke dalam rumah.
"Mas Hendra ditipu orang dek, uangnya dibawa kabur dan sekarang perusahaan ayah terancam bangkrut." ucap mba Prisha, kakak kedua dari Kaluna.
Kaluna yang masih mahasiswa semester dua seketika kakinya terasa lemas yang dimana untuk menopang tubuhnya sendiri saja rasanya seperti sudah tidak mampu.
"Kok bisa?" tanyanya dengan nada bergetar dan tatapan tidak mengerti,
"Kan aku udah selalu bilang jangan kasih uang usaha atau perusahaan ke orang lain, kenapa gak ada yang mau dengar?" lagi ucapnya dengan tatapan kosong dan nada bergetar menahan tangis.
Mba Prisha hanya bisa menghela nafas, begitu juga dengan 2 orang kakaknya yang lain.
"Ya dia itu biasanya bisa dipercaya Lun," elak Hendra yang tentu saja langsung mendapat respon tatapan tajam dari Kaluna yang masih berdiri tidak jauh dari pintu.
"Aku kan sudah bilang puluhan kali mas untuk membedakan urusan pertemanan dan perusahaan. Kalau ditipu begini, siapa yang akan bertanggung jawab?" ucapnya dengan sorot mata penuh kemarahan yang tidak mendapat jawaban apapun dari orang-orang yang ada di hadapannya.
"Kuliah kamu cuti dulu gimana? Uang buat kamu bayar semesteran dipakai tambah buat bayar angsuran dulu."
Lagi Kaluna hanya bisa menghela nafasnya,
"Yang mau aku ambil jurusan kedokteran kalian tapi sekarang kalian juga yang mempersulitnya? Kalian ini maunya apa apa sebenarnya?" tanyanya dengan ekspresi tidak mengerti.
Kaluna mengedarkan pandangan tajamnya ke semua orang yang ada di ruang tamu rumahnya,
"Aku gak akan cuti kuliah apapun alasannya! Kalau mas Hendra gak becus pimpin perusahaan, mending turun aja, cari orang yang berkompeten! Nanti setelah lulus biar aku yang ambil alih," ucapnya penuh penekanan dan sorot mata penuh kemarahan sebelum meninggalkan orang-orang di ruang tamu rumahnya.
...****************...
Flashback end
Gheya masuk dengan membawa makanan sembari memberi kode ke Dhira mempertanyakan kondisi Kaluna yang sedang berbaring dan menutup matanya di sofa.
Dhira hanya menggeleng tanda kalau Kaluna benar-benar sedang tidak bisa di ganggu sekarang ini.
"Makan dulu neng," celetuk Gheya sembari memukul lembut betis Kaluna.
Kaluna menghela nafas sebelum menurunkan lengan yang sedari tadi dia gunakan untuk menutup matanya. Dhira dan Gheya hanya saling tatap saat melihat mata merah Kaluna yang mereka tahu wanita itu sepertinya baru saja menangis dalam diamnya.
"Makan dulu neng, nangis juga butuh tenaga," celetuk Gheya sembari menarik tangan kanan Kaluna untuk memberikannya sumpit.
"Kalau rumah mama gak bisa balik gimana ya?"
Gheya dan Dhira hanya bisa saling tatap disaat Kaluna hanya menatap kosong ke arah sushi yang ada di depannya.
Dhira yang duduk di depan Kaluna memutuskan untuk pindah ke sofa single yang ada di sisi kanan Kaluna.
"Lun," panggilnya seraya meraih tangan Kaluna. Tatapan kosong Kaluna berpindah dari sushi ke arah Dhira yang sedang menatapnya dengan tatapan tidak tega,
"Pasti balik kok, percaya sama aku." ucapnya meyakinkan sahabatnya yang sudah benar-benar di ambang kehilangan semua harta yang dimilikinya.
Kaluna yang baru saja keluar dari lift langkah kakinya terhenti sejenak saat melihat sosok laki-laki yang pernah menjadi kekasihnya sedang duduk di ruang tunggu lobby rumah sakit.
Kaluna hanya menghela nafasnya lalu kembali berjalan seperti seolah-olah tidak melihat sosok Rendra yang sedang berkutat dengan ponselnya.
"Hai Lun.."
Sapaan lembut itu berhasil kembali menghentikan langkah kaki Kaluna.
"Hai mas," jawabnya dengan ekspresi datar dan senyuman tipis.
"Duluan ya mas," pamitnya kemudian tanpa ingin basa basi lebih lama dengan Rendra.
Flashback
Siang itu di tengah teriknya matahari, Kaluna dan Gheya memutuskan ikut pulang ke rumah Dhira.
"Ra boleh minta es gak?" ucap Gheya begitu duduk di ruang tengah rumah Dhira yang biasa mereka jadikan posko.
"Luna es sekalian?" tanya Dhira yang dijawab anggukan kepala oleh Kaluna.
"Mau ngapain Lun?" tanya Gheya dengan ekspresi bingung saat gadis berambut panjang itu membuka tas sekolahnya.
"Ngerjain PR fisika, kan nanti malam kita mau nonton konser," ucapnya sembari berpindah duduk di lantai yang beralaskan karpet bulu berwarna hitam.
"Nanti aku pinjam ya Lun,"
Kaluna hanya menatap sinis Gheya yang sedang menunjukkan barisan gigi rapinya.
"Bayar!" celetuknya singkat.
"Ya elah Lun, pelit banget sama sahabat sendiri. Ya? Nanti bagi ya?" ucapnya dengan ekspresi memohon.
"Sekali-kali kerjain sendiri kenapa sih Ghe?" ucap Dhira yang datang bersama Bu Jum, salah satu asisten rumah tangga di rumahnya.
"Lagian fisika kan udah ada rumusnya, kan tinggal dimasukin aja angka-angkanya Ghe," lanjut Dhira yang mendapat respon anggukan kepala tanda setuju dari Kaluna.
Gheya menatap sinis dua anak manusia yang sedang duduk mengelilingi meja pendek yang ada di tengah-tengah ruangan,
"Masalahnya udah aku masukin juga tetap aja gak ngefek, hasilnya tetap gak ketemu," Keluhnya sembari merebahkan tubuhnya di atas karpet.
Dhira hanya bisa menggeleng heran saat melihat kelakuan Gheya.
"Cari apa sih Lun?"
"Charger," jawabnya sembari tetap mengeluarkan semua isi di dalam tasnya.
"Ketinggalan di mobilku mungkin,"
Kaluna hanya mengangguk saat mengingat kalau chargernya memang ketinggalan di mobil Dhira.
Kaluna mengulurkan tangannya, "pinjam kunci Ra," ujarnya.
"Pak Adi di depan Lun, udah minta tolong pak Adi aja buat bukain mobil,"
Kaluna bergegas menuruni anak tangga rumah Dhira untuk menemui pak Adi.
"Duh mana lagi?" ucapnya sembari menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
"Cari siapa dek?"
"Pak Adi kak," ucapnya sembari tetap mencari pak Adi tanpa memperhatikan sosok yang menyapanya.
"ngapain nyari pak Adi? ada butuh apa?" tanyanya dengan ekspresi bingung sembari ikut melihat ke sekitar untuk mencari keberadaan pak Adi.
"chargerku ketinggalan kak," jawabnya dengan nada kesal karena Rendra terus bertanya tanpa berminat membantunya untuk mencari keberadaan pak Adi.
Rendra hanya menatapnya dengan ekspresi bingung karena tiba-tiba Kaluna menatapnya dengan ekspresi kesal bahkan nada bicaranya berubah menjadi nada bicara kesal.
"Lhah, kok marah?" tanyanya tidak terima sedangkan Kaluna hanya menatapnya dengan sinis.
"Ya kak Rendra gak bantu nyari malah tanya terus," ujarnya kesal yang lagi-lagi membuat Rendra menatapnya dengan ekspresi bingung dan terkejut.
"Ya jelasin dulu apa korelasinya charger ketinggalan sama nyari pak Adi,"
Kaluna menghela nafasnya dengan kesal lalu menatap Rendra dengan tatapan tajam, "Chargerku ketinggalan di mobil kak, nah yang punya kuncinya kan pak Adi, makanya sekarang aku nyari pak Adi. Sampai sini paham?" jelasnya yang direspon dengan anggukan kepala oleh Rendra.
Bukannya membantu mencari pak Adi, Rendra justru membuka tas ranselnya. Tampak lelaki itu mencari-cari sesuatu di dalam ransel warna hitam yang sedari tadi berada di pundaknya.
"Nih pakai punyaku," ucapnya sembari menyerahkan kabel charger miliknya.
Kaluna hanya menatap charger yang diserahkan oleh Rendra. Wanita itu tidak mengambil ataupun menerima charger itu yang membuat Rendra harus menarik tangan Kaluna untuk menerima charger miliknya.
"Pakai aja dulu, nanti balikin ke Dhira. Kalau nanti aku ketemu pak Adi, aku kasih tau buat nyari charger kamu di mobil." jelasnya setelah menyerahkan charger miliknya.
Lelaki dengan jaket kulit bertuliskan GPD itu meninggalkan Kaluna masuk ke dalam rumah lalu menghilang saat menaiki tangga menuju ke lantai dua.
"Udah ketemu chargernya?" tanya Gheya begitu Kaluna kembali ke ruangan yang menjadi posko mereka untuk menonton televisi dan berkumpul.
Kaluna menggeleng yang membuat Gheya dan Dhira saling menatap satu sama lain dengan ekspresi bingung.
"Terus itu punya siapa?" celetuk Dhira dengan rasa ingin tahu yang menggebu.
"Kak Rendra," jawabnya santai sembari menyambungkan ponselnya dengan charger milik Rendra.
"Mas Rendra di rumah?" tanya Dhira dengan ekspresi heran yang dijawab dengan anggukan kepala oleh Kaluna. Sedangkan Gheya seketika bangun dari tidurnya, dengan cepat gadis itu mencari sisir dan cermin untuk bersolek.
"Mau ngapain sih ribet banget nyari sisir sama cermin?" protes Dhira dengan ekspresi dan nada tidak suka saat temannya itu tiba-tiba mempercantik dirinya sendiri setelah mendengar Rendra ada di rumah.
Kaluna tertawa pelan saat melihat kegaduhan yang diciptakan oleh Gheya, "udah biarin aja Ra, kan siapa taui nanti dia bisa jadi adik iparmu." celetuknya yang membuat Dhira bergidik jijik sebagai respon dari ucapan Kaluna.
"Gak usah sok jijik deh Ra, nanti kalau aku jadi kaka iparmu, akan kubuat kamu menjadi adik ipar terbahagia di dunia," ucap Gheya sembari memeluk Dhira yang tentu saja membuat Kaluna tertawa dengan lepas saat melihat tingkah mereka berdua.
Flashback End
"Kamu apa kabar Lun?" ucap Rendra yang tentu saja membuat Kaluna menghentikan langkahnya lagi.
Kaluna menghela nafas sebelum tersenyum tipis, "baik kok, saya harap Ketua juga baik-baik saja," jawabnya dengan nada lembut dan bahasa formal karena bagaimanapun juga, ketika di tempat kerja Rendra adalah bosnya.
Tampak sorot mata penuh kerinduan dari Rendra, namun sejauh ini Kaluna benar-benar menutup semua akses yng dimiliki Rendra untuk kembali mendekati Kaluna.
"Mama apa kabar Lun?"
"Baik, mama bai. Terimakasih karena Ketua mau menanyakan kondisi mama saya," jawabnya sesopan mungkin walaupun sebenarnya hal itu membuat Rendra muak. Lelaki itu merindukan Kaluna yang dulu. Kaluna yang ceria, Kaluna yang tidak tampak sendu ataupun sedih seperti sekarang ini.
"Di cari mama Lun, katanya kamu sudah lama gak kesana,"
Kaluna hanya menghela nafas, dia tahu benar kalau Rendra hanya sedang mengulur waktu untuk terus berbicara dengannya. Tetapi anehnya, ada sisi dalam dirinya yang juga enggan untuk mengakhiri obrolannya bersama Rendra.
Kaluna tersenyum lembut, "Saya sudah tidak punya alasan untuk kesana, lagipula dokter Dhira kan juga sudah punya rumah sendiri,"
"Kan masih bisa menemuiku?" Ucap Rendra memotong kalimat Kaluna yang membuat wanita cantik berambut panjang itu sedikit terkejut dengan respon Rendra.
"Kan Ketua tidak satu rumah dengan mama?" ujarnya yang entah kenapa justru menanggapi obrolan Rendra.
"Katakan saja kapan kau mau datang, aku akan di rumah utama kalau kau mau datang."
Kaluna hanya tertawa pelan melihat respon spontan dari Rendra,
"Kenapa? Ada yang salah dari perkataanku?" Lelaki itu coba mengkonfirmasi arti tawa Kaluna, tetapi Kaluna segera membantahnya.
"Saya permisi dulu Ketua, mari." pamitnya saat meninggalkan Rendra yang masih berdiri di tempatnya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!