Senyum sumringah mengembang di wajah kala dari kejauhan kulihat abang-abang penjual boba sudah tiba di taman. Dari tempatku terduduk saat ini, abang penjual boba itu terlihat sibuk memasang booth portable yang ia bawa dan mulai menggelar dagangannya.
Aku berlari kecil menghampiri abang penjual boba. Aku harus ekstra cepat berjalan ke arahnya. Boba ini merupakan salah satu minuman yang begitu laris di taman kota. Oleh karena itu, sebelum antrean mengular, aku harus segera tiba di depan booth.
"Bang, aku mau satu dong!" ucapku ketika tiba di depan booth.
Abang penjual boba tersenyum lebar. Mungkin sebagai bentuk rasa syukur karena sudah ada pembeli pertama yang menghampiri lapaknya.
"Siap Mbak. Mau yang rasa apa?"
Sejenak aku memilih-milih varian rasa apa yang ingin aku nikmati di sore hari ini. Setelah aku berpetualang rasa, dari varian satu ke varian lainnya, pilihanku tetap jatuh pada varian brown sugar. Entah mengapa boba varian brown sugar ini benar-benar terasa nikmat di indera pengecap.
"Brown sugar saja ya Bang. Emmmmm tapi gulanya sedikit saja ya."
"Siap Mbak, tunggu sebentar!"
Abang penjual boba dengan cekatan mulai meracik boba pesananku. Ada sedikit rasa kagum yang terselip kala melihat pemuda ini. Di usianya yang masih terbilang muda, ia terlihat begitu bersemangat menjajakan dagangannya.
"Kok jualannya tidak dari siang Bang?" tanyaku berbasa-basi.
Meskipun tidak terlalu kenal, tapi aku suka mengajak ngobrol para penjual yang ada di taman kota ini. Bukan karena sok kenal atau sok dekat, tapi aku juga tidak paham rasanya senang punya banyak kenalan.
"Kalau siang aku ke kampus Mbak, jadi baru bisa jualan di sore hari seperti ini," jawabnya santai seraya memasukkan butiran-butiran boba di dalam cup.
"Jadi Abang ini mahasiswa?" tanyaku sedikit terkejut.
"Iya Mbak, aku mahasiswa. Meskipun baru aktif bulan depan tapi ada banyak hal yang aku persiapkan. Lagipula taman kota mulai ramai saat senja tiba."
Aku menganggukkan kepala. Membenarkan alasan si abang penjual boba. Taman kota ini memang jauh lebih ramai saat senja tiba hingga malam hari.
"Oh, jadi Abang ini maba?"
"Iya Mbak. Saya berasal dari Bandung dan baru mulai kuliah di tahun ini."
"Tapi Abang sudah lama jualan di sini kan? Kok baru jadi maba?" tanyaku keheranan. Padahal sejatinya itu bukan menjadi urusanku.
Kulihat Abang ini terkekeh pelan. "Betul itu Mbak, sudah dua tahun aku ada di sini. Sudah dua kali aku mencoba ikut test masuk UGM namun belum diterima. Dan baru tahun ini aku diterima."
"Ya ampun Bang, ternyata Abang ini salah satu pejuang UGM?"
"Ya mau gimana lagi Mbak. UGM merupakan universitas impian. Aku harus berusaha keras untuk bisa masuk ke sana. Jadi, aku memutuskan untuk tetap stay di kota ini sampai aku benar-benar bisa menjadi salah satu mahasiswa di UGM."
"Ckckckck ... keren banget sih ini." Aku berdecak kagum. Kegigihan abang penjual boba ini rasa-rasanya pantas untuk diberi apresiasi.
Abang penjual boba ini menyerahkan satu cup boba yang sudah siap. "Ini Mbak bobanya."
Aku merogoh saku celana yang aku kenakan. Aku ambil uang pecahan dua puluh ribuan dari dalam sana.
"Ini Bang. Kembaliannya untuk Abang saja."
"Eh, tapi Mbak?"
"Sudah tidak apa-apa Bang, ambil saja!"
"Terima kasih banyak ya Mbak."
Aku mengangguk pelan seraya ku langkahkan kaki ini menyusuri tiap-tiap sudut taman kota. Sungguh kenikmatan tiada tara bisa menikmati suasana kota di sore hari seperti ini.
Aku sedikit membalikkan punggung. Benar saja Abang penjual boba itu sudah mulai dikerumuni oleh para pembeli. Padahal belum ada lima menit aku dari sana.
Kenikmatan boba sedikit demi sedikit sudah membasahi kerongkongan. Namun tiba-tiba...
"Aaaaaahhhh .... kalau jalan pakai mata dong. Kalau seperti ini basah semua kan bajuku!"
Aku berteriak kencang saat tiba-tiba tubuhku ditabrak oleh seseorang yang datang dari arah depan. Alhasil minuman hits yang sedang aku nikmati ini tumpah seketika dan baju yang aku kenakan basah oleh minuman boba ini. Dan aku hanya bisa menatap nanar butiran-butiran boba kesukaanku itu menggelinding, hilang ditelan bumi.
"Dasar gadis aneh. Dimana-mana yang namanya jalan itu pakai kaki, bukan pakai mata!"
Aku terhenyak kala mendengar lelaki ini juga ikut berteriak. Bukannya meminta maaf karena telah menabrakku atau mengganti boba yang tumpah ini, dia justru malah mengataiku gadis aneh? Gila kan?
Kepalaku menengadah, melihat sosok lelaki yang entah dari mana datangnya tiba-tiba menubrukku.
"Ngeles aja kamu. Lalu sekarang bagaimana dengan boba ini? Karena kamu lah yang membuat minuman kesukaanku ini tumpah ruah tidak bersisa, sekarang aku minta kamu menggantinya."
"Hahahaha kamu minta aku menggantinya? Gak salah?"
Kulihat wajah lelaki ini nampak begitu santai. Bahkan dia tersenyum tanpa sedikit pun tersirat rasa bersalah, berdosa atau menyesal di raut wajahnya. Benar-benar tidak ada akhlak.
Apa dia tidak tahu, jika aku harus diam-diam membeli boba ini tanpa sepengetahuan papa mamaku karena mereka khawatir aku akan terkena radang jika meminum minuman ini? Dan sekarang, setelah aku berhasil menikmati minuman ini, dia seenak jidat mengacaukannya? Benar-benar ingin aku kruwes saja wajah lelaki ini.
"Jelas aku tidak salah dan semua kesalahan ada padamu. Karena kamu yang sudah menabrakku. Jadi sekarang aku minta kamu bertanggung jawab membelikanku boba lagi."
Aku berada di posisi yang benar dong karena bagaimanapun juga lelaki ini yang telah menabrakku, jadi sudah sewajarnya aku minta ganti bukan?
"Aku juga tidak akan pernah menabrakmu seandainya saja kamu fokus dengan jalan yang kamu lewati. Namun yang terjadi apa? Kamu malah jalan sambil melamun dan tidak fokus dengan keadaan sekitarmu."
Lagi-lagi aku hanya bisa terperangah karena lelaki ini tidak merasa bersalah sama sekali. Bahkan wajahnya terlihat semakin songong seolah ingin menantang. Dasar lelaki tidak bertanggung jawab.
"Aku tidak mau tahu, sekarang cepat berikan aku satu cup boba, setelah itu kamu aku maafkan dan bisa pergi dari sini."
"Oh tidak bisa. Sampai kapanpun aku tidak akan pernah mengganti boba itu. Karena aku juga seperti kamu!"
"Hah? Seperti aku? Maksudnya apa? Kamu juga kehilangan boba? Bahkan kamu hanya membawa tangan kosong."
Aku benar-benar tidak mengerti tentang pola pikir lelaki ini. Mengapa di zaman sekarang masih ada manusia yang tidak mau mengakui kesalahan yang telah ia buat? Bahkan ucapannya terkesan berputar-putar seperti obat nyamuk bakar.
Benar-benar menggelikan. Untung saja aku tidak memiliki riwayat vertigo. Jika sampai aku memiliki riwayat penyakit itu, bisa aku pastikan saat ini aku sudah pingsan karena merasakan kepalaku yang berdenyut nyeri, mengikuti kemana arah pembicaraan lelaki ini.
"Nih, lihatlah!"
Lelaki ini menunjuk bagian perutnya sampai ke arah kaki yang berbalut celana jeans. Dan aku sedikit terkejut ketika pakaian yang dikenakan oleh lelaki ini juga basah akibat tersiram boba yang tumpah itu.
"Pakaian yang aku kenakan juga basah karena minuman yang kamu bawa itu. Jadi jika kamu ngotot memintaku untuk membelikanmu boba, akupun juga minta, kamu membelikan pakaian sebagai ganti pakaianku yang basah ini. Bagaimana? Deal?"
Aku semakin terkejut dong, masa iya aku disuruh untuk membelikan lelaki ini baju ganti? Sungguh sangat tidak sepadan dengan harga boba yang aku minum.
"Dasar lelaki tidak bertanggung jawab. Aku sumpahin kamu jomblo seumur hidup!"
Kesal, kesal, kesal. Itulah yang aku rasakan. Aku berteriak lantang sambil menghentakkan kaki akibat rasa dongkol yang menguasai diri. Aku yang mengira bisa jalan-jalan santai di taman kota sembari menikmati suasana sore hari, eh kenyataannya mood ku tiba-tiba saja hancur karena insiden boba ini.
Dan setelahnya aku melenggang pergi meninggalkan lelaki menyebalkan yang aku lihat dia masih berdiri terpaku di posisinya tanpa sedikitpun bergerak dan beranjak sama sekali.
.
.
.
Hai, aku Amel... Di sini, aku akan memulai kisahku dengan lelaki menyebalkan itu. Sebuah kisah yang nantinya sebagian besar merupakan kisah si penulis cerita saat berada di bangku SMA.
Selamat membaca semua
Benar-benar lelaki tak bertanggung jawab. Awas saja, kalau aku sampai bertemu lagi dengannya. Akan aku cubit perutnya hingga ia memekik kesakitan.
Aku tiada henti mengumpat lelaki itu sambil mengayuh sepeda yang aku naiki. Selepas bertemu dengan si lelaki menyebalkan, aku bergegas ke parkiran untuk mengambil kendaraanku dan saat ini, aku berada di perjalanan pulang masih dengan suasana hati yang dipenuhi oleh kekesalan.
Bagaimana tidak kesal, aku yang bermaksud untuk healing yang terjadi malah pusing tujuh keliling. Boba tidak diganti eh aku malah diminta untuk mengganti pakaian yang ia kenakan karena basah. Bukankah itu sinting?
Haduuhhhh ... sekarang aku harus bagaimana? Jika sekarang aku pulang dalam keadaan pakaian basah seperti ini papa dan mama pasti akan tahu kalau aku diam-diam meminum boba. Bisa-bisa aku dihukum meminum ramuan serjanis (sereh, jahe, jeruk nipis) selama dua bulan berturut-turut karena ketahuan. Dan hukuman itu pasti akan sangat menyiksa bagiku.
Saat ini tidak ada yang dapat aku lakukan selain merapalkan doa, semoga Tuhan menjauhkanku dari amukan papa dan mama. Atau setidaknya pakaian ini segera kering sehingga papa dan mama tidak melihat jejak-jejak aku jajan boba.
Sembari mengayuh sepeda, aku memutar otak untuk mencari cara agar bisa mendapatkan jalan keluar. Aku melihat ke arah sekitar. Di mana berjajar pohon-pohon trembesi di sisi ruas jalan. Meskipun aku tidak hidup di pedesaan namun jalanan di kotaku ini cukup sejuk dan asri.
Ahaaaa .... mengapa aku tidak mampir ke rumah nenek Meri dulu saja? Jika aku mampir ke rumah nenek Meri bukankah aku bisa sekalian menunggu bajuku kering? Oh Tuhan, terima kasih karena Engkau menganugerahiku otak yang begitu encer seperti ini.
Setelah sekian waktu berkutat dengan pikiranku sendiri akhirnya senyum lebar terbit di bibirku. Aku teringat akan satu hal yang aku rasa bisa menjadi jalan keluar dari keadaan ini.
Pada akhirnya, aku mengarahkan laju sepedaku ke arah rumah nenek Meri. Ditambah lagi, sudah lama juga aku tidak menjenguk dan mengunjunginya. Jadi, tidak ada salahnya jika aku bertandang ke rumah beliau bukan? Oke, tekadku semakin bulat untuk bertandang ke kediaman nenek Meri.
Sepuluh menit kemudian, aku tiba di rumah wanita berusia senja ini. Ku letakkan sepeda yang aku naiki di pagar putih dari kayu yang menjadi ciri khas rumah wanita berusia senja ini. Dan aku mulai menjejakkan kaki, menyusuri halaman rumah nenek Meri untuk masuk ke bagian teras.
Keningku sedikit mengernyit kala menyaksikan suasana rumah nenek Meri yang nampak begitu sepi.
Biasanya di sore hari seperti ini, beliau sering duduk-duduk santai di halaman depan, tapi sore ini beliau tidak terlihat sama sekali.
Kemana perginya nenek Meri? Apa karena sudah lama tidak mengunjunginya membuatku tidak mengerti kebiasaan baru yang dilakukan oleh nenek Meri? Namun daripada aku larut dalam spekulasi-spekulasi yang belum tentu kebenarannya, aku pun memilih untuk mengetuk pintu rumahnya.
"Nek ... nenek Meri! Amel datang Nek. Nek ... Nenek!"
Aku menyerukan nama nenek Meri sambil mengetuk pintu rumah beliau. Hening, tidak ada jawaban sama sekali. Aku mencoba untuk mengulang kembali memanggil nama nenek Meri. Tapi sama saja tidak ada sahutan dari dalam sana. Aku membuang napas sedikit kasar, jika sudah seperti ini mau kemana lagi tujuanku.
Aku mengitari tiap bagian rumah nenek Meri. Dari arah teras tidak ada sahutan, aku mencoba untuk ke arah samping yang aku rasa itu adalah kamar pribadi nenek.
"Nek, nenek Meri!"
Lagi, tidak ada sahutan dari si pemilik rumah. Aku hampir menyerah namun aku mencoba untuk ke satu tempat lagi. Ya, bagian dapur.
Sampai di bagian belakang rumah, akupun mendapatkan hal yang sama, tidak ada sahutan sama sekali. Aku menyerah. Aku rasa nenek Meri memang sedang tidak ada di rumah.
Akhirnya aku memilih berjalan ke arah ayunan dari kayu yang berada di bawah pohon mangga sambil memikirkan apa yang harus aku lakukan sekarang. Apakah iya aku harus bersepeda berkeliling kota sampai bajuku ini kering dan tidak meninggalkan bekas boba sedikitpun? Huh, ini semua gara-gara lelaki itu yang hanya membuatku kerepotan seperti ini.
Kudaratkan bokongku di atas ayunan. Perlahan aku ayunkan tubuhku. Mungkin ada baiknya aku tetap berada di rumah ini sampai pakaianku kering. Meskipun si pemilik tidak sedang berada di rumah.
Pikiranku yang melayang entah kemana tiba-tiba terusik setelah kudengar deru suara mesin mobil yang masuk ke halaman rumah nenek Meri. Aku menoleh ke arah sumber suara. Tak selang lama, mobil itu berhenti dan nampak seorang wanita berusia senja keluar dari sana.
"Amel?"
Wajahku berbinar dan aku tersenyum lebar karena orang yang aku nanti akhirnya datang juga. Aku beranjak dari posisi duduk di ayunan dan berlari ke arah nenek Meri.
"Nenek!!!" ucapku sambil berhamburan di pelukan nenek Meri.
Kurasakan nenek Meri mengusap rambut sebahuku. Inilah yang aku sukai dari nenek Meri. Beliau ini selalu memperlakukan aku sama seperti cucu kandungnya sendiri.
"Ya ampun, Nenek tidak tahu kalau kamu akan datang kemari, Nak. Maafkan Nenek ya. Apakah kamu sudah lama menunggu?"
Nenek Meri merenggangkan pelukannya. Ia menyelipkan anak-anak rambutku yang berantakan di belakang telinga. Dan aku menggeleng pelan.
"Belum Nek, Amel baru saja tiba di sini." Aku sejenak menjeda ucapanku dan aku tatap lekat mobil yang ada di dekat sepedaku itu. "Oh iya, Nenek dari mana? Dan pergi dengan siapa?"
Aku sedikit heran karena yang aku tahu, nenek Meri ini hidup sendiri di rumah ini. Namun sekarang, beliau pergi naik mobil dan diantar oleh seseorang? Aku jadi semakin penasaran, siapa orang yang pergi bersama nenek Meri ini? Apakah ia anaknya? Menantunya atau siapa?
"Nenek pergi dengan cucu Nenek yang baru saja pindah dari Surabaya, Nak. Oh iya Nenek kenalkan kamu dengan cucu Nenek, ya. Nenek rasa kalian bisa menjadi teman baik."
Dahiku berkerut kala mencoba mencerna perkataan nenek Meri ini. Menjadi teman baik? Apakah mungkin cucu nenek Meri ini sama-sama perempuan dan sebaya denganku?
Kulihat nenek Meri berbalik badan. Beliau mencoba untuk memanggil sang cucu yang sedari tadi masih berada di dalam mobil.
Aku sedikit keheranan dengan sikap cucu nenek Meri ini. Benar-benar sombong, masa iya sedari tadi ia berada di dalam mobil, sedangkan nenek Meri sudah keluar? Seperti apa sih dia sampai enggan turun dari mobil?
"Sakha .... turunlah, Nenek kenalkan kamu dengan cucu Nenek yang cantik ini."
"Apa sih Nek? Sakha sudah kenal dengan perempuan itu dan menurut Sakha dia tidak cantik tapi menyebalkan!"
Aku terperanjat saat mendengar ucapan cucu nenek Meri yang terdengar begitu tajam di telinga. Ternyata dia seorang laki-laki dan dia bilang apa? Dia mengenalku? Memang aku pernah kenal dia di mana?
Heran, bisa-bisanya dia mengigau di sore hari seperti ini. Dan bisa-bisanya dia mengatai aku menyebalkan? Tahu darimana dia?
"Sakha ... Nenek bilang keluar! Kalau tidak, Nenek sunat lagi kamu!"
Aku sedikit terkikik geli mendengar ancaman nenek Meri. Kira-kira berhasil atau tidak ya ancaman beliau? Namun, tak selang lama aku mendengar lelaki itu membuka pintu mobil. Ia keluar dan buru-buru aku menautkan pandanganku ke arahnya.
"Kamu?!" pekikku.
Betapa terkejutnya aku saat kembali bertemu dengan lelaki yang tidak asing ini. Seorang lelaki menyebalkan yang sudah membuatku basah karena boba di taman kota tadi.
.
.
.
Masih berada dalam mode terkejut, nenek Meri memanduku untuk menuju teras. Nenek Meri mempersilakanku untuk duduk di kursi yang ada di sana.
"Tunggu sebentar ya Mel. Nenek buatkan teh hangat untukmu!"
Aku menganggukkan kepala. "Iya Nek, terima kasih banyak!"
Kulihat nenek Meri berjalan menuju dapur, sedangkan aku dan lelaki yang ternyata bernama Sakha ini hanya sama-sama terdiam, membisu. Sekilas, kulihat lelaki itu sibuk dengan ponsel di tangannya.
Tak selang lama, nenek Meri kembali datang. Kali ini, ada sebuah nampan yang berisikan tiga cangkir teh hangat dan satu piring kudapan.
"Ayo Mel, di minum. Mumpung masih hangat!" ucap nenek Meri mempersilahkan.
"Iya Nek!"
"Kamu juga Kha, minumlah teh hangat ini agar tubuhmu jauh lebih rileks. Sejak pulang dari taman kota tadi, Nenek lihat kamu lebih sering uring-uringan sendiri!"
"Nanti Nek. Sakha masih malas untuk minum!"
Aku hampir saja tersedak mendengar ucapan nenek Meri yang mengatakan jika Sakha uring-uringan setelah pulang dari taman kota. Tapi sudahlah, aku tidak mau memikirkan akan hal itu.
Aku memilih untuk menyeruput teh buatan nenek Meri ini. Entah mengapa teh buatan nenek Meri ini terasa begitu nikmat, padahal di rumah aku juga sering dibikinkan teh oleh mama, tapi rasanya tidak senikmat buatan nenek Meri. Tak ingin menunggu terlalu lama, aku mulai menikmati teh ini perlahan.
Otot-otot yang sebelumnya terasa begitu tegang karena berjumpa lagi dengan lelaki menyebalkan perlahan mulai mengendur dan melemas. Harum aroma olahan daun teh yang berpadu dengan bunga melati ini seakan benar-benar bisa mengembalikan mood ku.
Mood yang sebelumnya begitu berantakan karena pertikaian dengan Sakha, kini seakan menguap begitu saja. Tapi tetap saja, aku masih menyimpan rasa kesal terhadap lelaki ini.
"Ya Tuhan, ternyata kalian tadi sudah bertemu terlebih dahulu? Ahahahaha ... Nenek benar-benar tidak menyangka."
Aku mendengar nenek Meri tertawa terbahak setelah aku menceritakan sekilas tentang pertemuanku dengan Sakha di taman kota. Entah apa yang ditertawakan oleh nenek Meri, padahal aku merasa tidak ada yang lucu. Bahkan kesan pertama yang tertinggal sungguh mengesalkan sekali.
Aku kembali meletakkan cangkir di atas meja sambil menunggu respon apa yang diucapkan oleh lelaki menyebalkan ini. Sakha hanya nampak mengendikkan bahu masih sambil sibuk dengan ponsel di tangannya. Dari suara yang sayup-sayup terdengar, aku bisa menebak jika lelaki ini sedang bermain game cacing.
Ckkckkckkk ... Dasar. Kelihatannya saja garang, tapi mainannya game cacing.
"Iya Nek, gadis ini yang tadi Sakha ceritakan bahwa dia berjalan tidak melihat keadaan sekitar dan tiba-tiba menabrak Sakha."
Sakha berujar dengan santai sembari memainkan ponselnya. Wajahnya terlihat begitu puas saat melihat layar gawai itu. Entah apa yang terjadi, mungkin cacing yang ia mainkan mendapatkan banyak makanan atau mungkin dapat melilit musuhnya. Atau mungkin mendapatkan magnet yang bisa menarik makanan yang begitu banyak dari sekelilingnya.
Sedangkan aku terkejut dong, mendengar ucapan Sakha. Bisa-bisanya ia langsung mengeluarkan kata-kata itu dan menyalahkanku. Padahal bukan seperti itu kejadiannya.
"Apa kamu bilang? Aku yang menabrakmu? Jelas-jelas kamu yang jalan tidak memakai mata. Kamu yang lebih dulu menabrakku. Bukan aku!"
Mendengar aku sedikit berteriak membuat Sakha menggeser pandangannya ke arahku. Lagi-lagi ia tersenyum sinis.
"Berisik!"
"Issshhhhh ... Kamu ini!"
Aku sungguh tidak terima jika diperlakukan sebagai pihak yang bersalah atas tragedi boba sore tadi. Bahkan aku sampai melotot ke arah Sakha sebagai isyarat bahwa aku tidak terima dituduh seperti itu. Karena yang bersalah adalah Sakha, bukan aku.
"Kamu juga jalan tidak memakai mata. Kalau kamu fokus dengan keadaan sekitar, seharusnya kamu langsung menghindar ketika sadar bahwa aku akan menubrukmu. Tapi yang terjadi apa? Kamu malah terus berjalan tanpa melihat ke arah depan!"
"Dasar lelaki, maunya menang sendiri. Jelas-jelas kamu yang salah. Bukan aku. Kalau kamu tahu di depanmu ada orang, seharusnya kamu yang menghindar dong. Kamu pasti juga tidak fokus melihat ke arah depan kan?"
Aku terlihat berapi-api menyalahkan lelaki ini. Bagaimana tidak berapi-api jika emosi dalam diri sudah benar-benar berkobar besar sekali. Bisa-bisanya hanya aku yang disalahkan.
"Tidak bisa. Jelas kamu yang bersalah!"
"Tidak, bukan aku. Tapi kamu!"
Aku tidak ingin kalah berdebat dengan lelaki ini. Biasanya lelaki yang jauh lebih bisa mengalah, ini yang ada justru sebaliknya. Sakha benar-benar terlihat keras kepala seperti para gadis yang sedang PMS yang tidak mau disalahkan.
Kulihat Sakha berdiri dan menunjuk-nunjuk ke arahku. "Kamu yang salah!"
Merasa harga diriku diinjak, aku pun turut bangun dari posisiku. Tak ingin kalah, aku pun ikut menunjuk-nunjuk ke arah lelaki ini.
"Kamu!"
"Kamu!"
"Kamu!"
"Kamu!"
"Kamu!"
Nenek Meri yang melihat adegan saling melempar kesalahan ini hanya bisa tergelak. Berkali-kali wanita berusia senja ini menatapku dan Sakha secara bergantian.
"Hahahaha sudah, sudah, sudah. Kalian ini baru pertama kali bertemu masa terlibat dalam permusuhan. Itu tidak bagus, tahu. Ayo duduk lagi!"
Pada akhirnya, aku dan Sakha sama-sama duduk kembali. Kuhirup udara dalam-dalam dan ku hembuskan kasar. Sungguh sangat menyebalkan lelaki ini.
"Ya gimana tidak terlibat dalam permusuhan, Nek? Cucu Nenek ini yang menyebalkan. Dia yang tidak mau disalahkan!"
Aku berujar untuk membela diri. Masih ingat bukan bahwa dimana-mana wanita itu selalu benar? Dan lelaki lah yang patut disalahkan? Ini yang coba untukku perjuangkan. Bahwasanya wanita itu tidak pernah salah.
"Eh, eh, eh .... tidak bisa. Kamu yang salah. Sekali kamu tetap kamu!"
"Jelas kamu yang salah!" teriakku. Mungkin urat-urat di leherku ini sudah mulai terlihat.
Nenek Meri memijit pelipis. Sepertinya beliau begitu kewalahan menghadapi tingkah kekanakanku dan juga Sakha.
"Sakha ... sudah. Kamu ini lelaki, masa tidak mau mengalah untuk mengakui kesalahanmu?"
Aku bersorak gembira dalam hati. Pada akhirnya nenek Meri membelaku. Ucapan nenek Meri benar-benar bisa membuat Sakha kicep dan berhenti mengoceh lagi.
Aku tertawa girang dan penuh kemenangan di hadapan Sakha. Nenek Meri jelas membelaku karena beliau paham bahwa kaumnya ini tidak patut untuk disalahkan.
Sekilas, aku melirik ke arah Sakha yang kebetulan ia juga tengah menatapku dengan tatapan yang dipenuhi oleh kebencian. Namun bodo amat. Aku tidak perduli. Bahkan aku sempat menjulurkan lidahku sebagai bentuk ejekan kepada lelaki ini. Apapun situasinya, aku tetaplah pemenang karena dibela oleh nenek Meri.
"Tapi Nek, dia yang ...."
"Kamu juga Mel. Jangan terlalu dibuat ribet perkara kecil seperti ini. Daripada kamu ikut ngotot menyalahkan, lebih baik kamu diamkan saja Sakha. Daripada berebut benar ada baiknya kalian berebut salah. Dengan begitu suasana tenang, damai, akan selalu ada di sekitar kita, paham?"
Aku benar-benar terhenyak mendengar ucapan nenek Meri. Senyum yang sebelumnya terbit di bibir, kini tiba-tiba menghilang tak berbekas.
Baru saja aku dilambungkan tinggi oleh nenek Meri karena membelaku, eh tiba-tiba aku terhempas jatuh ke dasar bumi karena nenek Meri juga ikut memberiku wejangan dan nasihat. Akupun hanya bisa tersenyum kikuk dibuatnya.
"Hahaha baru saja bangga karena tidak disalahkan oleh nenek, ternyata kamu juga disalahkan juga. Rasain kamu!"
Aku melebarkan bola mataku. "Kamu!"
"Sudah, sudah. Melihat kalian ribut seperti ini hanya membuat Nenek pusing saja. Sekarang kalian bersalaman. Saling memaafkan."
Aku dan Sakha sama-sama terdiam. Sepertinya kami memang tidak ingin untuk berdamai. Maka dari itu tangan kami sama-sama kami sembunyikan di sela paha.
"Sakha .... Amel .... ayo salaman. Nenek tidak ingin melihat kalian saling bermusuhan lagi. Ayo lekas salaman!"
Meski terasa berat, namun aku mencoba untuk mengulurkan tanganku. Kulihat Sakha pun juga turut mengulurkan tangannya. Dan kamipun bersalaman. Sorot mata kami saling beradu dan sama-sama sinis. Meskipun kami telah bersalaman, namun aku merasa permusuhan ini masih akan tetap berlanjut entah sampai kapan.
.
.
.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!