Di kebun kosong yang sunyi di Bogor malam itu, Ki Sarma Aji berhadapan dengan buruannya.
"Kau takkan bisa lari dariku, manusia jahat... hupp hiyaa!" serunya, melancarkan pukulan-pukulan kilat yang lurus dan terarah. Lawannya bergerak lincah ke kanan dan ke kiri untuk menghindar. Namun, ketika kaki Ki Sarma berputar cepat menuju wajahnya, ia tak sempat mengelak.
Buggg...
"Achhhh..." rintihnya tertahan, terpelanting ke samping dan meraba wajahnya yang nyeri.
"Bangsat kau, Ki Sarma!" geramnya.
"Hahaha... jangan merajuk, manusia laknat. Sebentar lagi kau akan musnah. Hiyaaa!" balas Ki Sarma, kembali melompat dengan kaki kanan terjulur ke depan. Orang itu menangkis dengan menyilangkan tangan di dada, namun benturan keras itu membuatnya terseret mundur sambil menyeringai kesakitan.
"Arghhh..."
Ki Sarma tak memberi ampun. Dengan sekuat tenaga, kakinya kembali berputar mengarah kaki lawan.
"Srett blak..."
Lawan itu terpelanting dan jatuh membentur tanah dengan keras.
"Wahhh... blug... arghhh..." Tubuhnya seketika menggeliat di tanah, merasakan sakit yang luar biasa di punggungnya. Setetes darah segar menyembur dari mulutnya.
"Menyerahlah, makhluk jadi-jadian! Aku tahu kamu predator yang telah memangsa banyak gadis tak berdosa," hardik Ki Sarma dengan suara lantang.
"Dari mana kau tahu, bangsat? Jangan sembarangan menuduh! Aku bukan makhluk jadi-jadian!" bantahnya sengit.
"Sudahlah, jangan mengelak. Cepat ubahlah tubuhmu itu!" desak Ki Sarma. Tiba-tiba, tawa sinis membahana dari mulut orang itu.
"Hahaha... baiklah, Ki Sarma... kau memang manusia bodoh. Tempat ini jauh dari keramaian. Tak akan ada yang menolongmu. Bersiaplah! Kau akan kucabik-cabik dengan cakarku! Hahaha... harrgg... hoarggghh..."
Secara mengejutkan, tubuh orang itu mulai mengalami perubahan mengerikan. Bulu lebat tumbuh dengan cepat di sekujur tubuhnya. Kakinya memanjang, dan kuku-kukunya mencuat tajam bagai duri hitam. Jari-jemarinya pun bertransformasi, mengeluarkan cakar hitam yang menyeramkan. Sementara itu, wajahnya perlahan memanjang, dan gigi-giginya menyeringai tajam keluar dari mulutnya.
Jelaslah sudah perubahan mengerikan itu.
"Serigala Bukit Tenggarong... ternyata kalian sudah berada di pinggir Jakarta. Apa yang kalian rencanakan di Bogor ini?" tanya Ki Sarma dengan nada waspada.
"Harrrggg... harghh... hahaha... Ki Sarma, kamu akan menyesal telah mengejarku sampai tempat ini! Komplotanku sudah berdatangan dari segala penjuru! Hahaha..." jawab serigala jadi-jadian itu dengan tawa menggelegar.
Tanpa menunggu lebih lama, serigala itu menerjang Ki Sarma dengan cakarnya yang mematikan. Serangan itu begitu cepat hingga Ki Sarma sedikit terlambat menghindar. Cakar tajam itu berhasil mengoyak bagian depan bajunya.
"Arghhh, bangsat keparat!" Ki Sarma meraba dadanya. Cakar itu telah meninggalkan seleret luka yang menganga, dan darah mulai merembes keluar.
Dengan sigap, Ki Sarma meludah ke telapak tangannya dan merapal mantra. Kemudian, ludah di telapak tangannya dioleskan pada luka di dadanya. Ki Sarma mengerang menahan perih saat asap tipis mengepul dari luka itu, dan aliran darah pun berangsur-angsur mengering.
"Luar biasa kau, Ki Sarma. Ternyata ilmu pengobatanmu boleh juga. Tapi kau takkan bisa menahan seranganku selanjutnya! Haargggh!" geram serigala itu, kembali melompat dan menyerang dengan cakarnya yang mengerikan.
Namun, makhluk itu terkejut ketika melihat Ki Sarma menghunus kerisnya yang memancarkan cahaya keperakan. Meski begitu, ia tak gentar dan tetap melanjutkan serangannya. Ki Sarma yang telah bersiap segera menangkis cakar itu dengan kerisnya.
"Brettt... tringgg... arghhhh..."
Tiba-tiba, serigala itu meraung kesakitan. Ternyata, cakarnya yang membentur keris itu telah tertebas.
"Menyerahlah," titah Ki Sarma dengan nada tegas, "Kau akan kubawa ke markasku untuk dimintai keterangan."
"Jangan sombong dulu, Ki Sarma! Aku belum mati! Hiyyaaa! Haarggghh!" raung serigala itu, kembali menyerang dengan beringas. Namun, Ki Sarma dengan sigap merogoh sesuatu dari balik bajunya dan melemparkannya ke arah wajah serigala itu. Makhluk itu tak sempat mengelak. Sejumput pasir hitam menghantam wajahnya.
"Arggghhh... apa ini?! Ohh... pasir kawah Gunung Bromo! Bangsat kau, Ki Sarma! Arghh..." erang serigala itu kesakitan, berguling-guling sambil mendekap wajahnya dengan kedua tangannya.
Buih putih tampak keluar dari wajahnya, disertai kepulan asap tipis. Raungan kesakitannya yang luar biasa memecah kesunyian malam.
Dalam waktu singkat, serigala itu terkapar pingsan, tubuhnya perlahan kembali ke wujud manusianya.
"Kurang ajar," gumam Ki Sarma sambil menatap tubuh tak berdaya itu. "Serigala jadi-jadian itu ternyata sangat cepat. Kalau saja aku tidak membutuhkan keterangannya, keris ini sudah menancap di dahinya."
Ki Sarma mengamati bekas cakaran di dadanya. Luka itu sudah mengering berkat mantranya, meskipun tetap membutuhkan perawatan lebih lanjut di markasnya. Ia menyarungkan kembali kerisnya dan mengeluarkan ponsel.
"Benji, cepatlah kemari. Bantu aku mengangkat orang ini ke mobil," perintah Ki Sarma melalui telepon.
"Siap, Bos! Benji meluncur!" jawab Benji dengan sigap.
Tak lama kemudian, Benji tiba di lokasi. Matanya terbelalak melihat seorang pria dengan wajah yang tampak mengerikan.
"Bah... kau apakan orang ini, Bos? Mengapa mukanya jadi mirip bodat (monyet)?" tanya Benji dengan nada heran bercampur ngeri.
"Ah, sudahlah, cepat bantu aku angkut orang ini ke mobil," jawab Ki Sarma tanpa menghiraukan pertanyaan Benji.
"Bah, ngeri kali aku, Bos, sama mukanya. Tapi oke lah. Asyiap!" sahut Benji, meski dengan sedikit keraguan.
Sesampainya di mobil, pria tak sadarkan diri itu dibaringkan di bagian tengah. Mobil pun melaju membelah kegelapan malam menuju sebuah bekas pabrik usang di daerah Cimanggis. Di sanalah Ki Sarma menyewa tempat itu sebagai markasnya.
Di dalam pabrik, terdapat bekas kantor administrasi yang telah direnovasi oleh Ki Sarma menjadi ruangan yang rapi dan bersih. Di dalam kantor itu, terdapat pula sebuah ruangan khusus yang telah diubah menjadi sel berjeruji baja kokoh, dipesan khusus dari seorang empu pembuat keris.
Jeruji itu bukanlah jeruji biasa. Sudah banyak makhluk yang pernah ditahan di tempat itu, mulai dari makhluk kasar jadi-jadian hingga makhluk halus.
Setibanya di markas, Ki Sarma dan Benji membawa pria pingsan itu ke dalam sel.
"Benji, ambil kertas segel di laci pojok itu," perintah Ki Sarma.
"Apa perlu, Bos? Bukannya itu manusia biasa saja, Bos?" tanya Benji ragu.
Tanpa menjawab, Ki Sarma tiba-tiba meniup mata Benji. Benji terkejut dan mengucek matanya.
"Nah, kau lihat sekarang, Benji. Apa yang ada di dalam sel itu?" tanya Ki Sarma.
"Alamak jang... bodat itu mirip anjing pula! Jadi itu bodat apa anjing, Bos?" seru Benji dengan mata terbelalak.
"Serigala jadi-jadian yang berasal dari Bukit Tenggarong," jawab Ki Sarma menjelaskan.
"Bah... ada pula makhluk macam itu, Bos?" Benji masih tak percaya.
"Ya, Benji. Aku sudah menguntitnya sejak lama. Sudah kau ambil segel itu?" tanya Ki Sarma mengingatkan.
"Baik, Bos," jawab Benji, segera mengambil kertas segel yang dimaksud.
Sementara itu, Ki Sarma menyalakan dupa. Kertas segel itu diasapi di atas dupa, memancarkan cahaya redup. Kemudian, Ki Sarma menempelkan segel itu di antara jeruji besi sel. Cahaya segel itu perlahan meredup.
"Jagalah orang ini, Benji. Kau menginap di sini malam ini. Aku akan pulang dan kembali besok bersama Mahendra," kata Ki Sarma.
"Bah! Jangan Mahendra lah, Bos! Orang itu cuma bisa bikin kacau tempat ini nantinya!" protes Benji.
"Hahaha, kau tak usah takut, Benji. Nanti aku yang mengurusnya. Aku yakin makhluk ini tidak mudah untuk diorek keterangannya. Aku pun bukan orang yang terlalu kejam. Nah, Mahendra lah yang cocok," ujar Ki Sarma sambil tersenyum tipis.
"Baiklah, Bos, kalau begitu. Asyiap!" jawab Benji pasrah.
Mentari pagi belum sepenuhnya menghangatkan bumi ketika suara bising motor berknalpot racing memecah keheningan di depan gerbang pabrik. Seorang pemuda tanpa helm mengendarai motor itu.
"Tin tin.tiinn"
Bunyi nyaring klakson itu membuat Benji bergegas keluar untuk melihat siapa yang datang. Mengenali sosok di atas motor, Benji segera membuka gerbang.
Motor itu memasuki area pabrik dan diparkir sembarangan di dekat pintu masuk. Pemuda itu, Mahendra, mengenakan peci hitam yang sedikit miring, kemeja hitam yang dua kancing atasnya terbuka memperlihatkan dadanya, dan celana katun hitam. Penampilannya kontras dengan kulitnya yang putih bersih dan rambutnya yang gondrong sebahu. Wajahnya tampan, namun guratan di dahinya mengisyaratkan watak keras.
Dengan gerakan santai, Mahendra menggulung lengan kemejanya. Dari saku bajunya, ia mengeluarkan sebungkus rokok kretek favoritnya dan menyalakannya dengan korek gas. Asap putih mengepul di udara saat ia turun dari motor dengan langkah angkuh.
"Benji," sapanya sambil menghembuskan asap rokok, "Ni hari Ki Sarma kaga dateng. Jadi gua yang nanganin tu makhluk." Asap rokok itu langsung menerpa wajah Benji, membuatnya terbatuk-batuk.
"Ohok-ohok... wuohok ohok..." Benji berusaha menjauhi kepulan asap.
"Napa lu, Ji? Bengek?" tanya Mahendra tanpa menunjukkan rasa bersalah.
"Bah, kau Mahendra! Kalau bicara, asapnya jangan ke muka kulah! Baru datang sudah buat perkara pulak! Ohok-ohok..." gerutu Benji sambil terbatuk.
"Ah, baru gini doang lu dah bengek. Gimane lu nanti kalo disuruh Ki Sarma ngisep menyan?" ejek Mahendra.
"Tak mau lah aku! Mending aku hisap bau ketekku saja!" balas Benji kesal.
"Udeh, udeh," Mahendra mengibaskan tangannya, "Gua mo liat tu makhluk. Siapin aer garem seember, Ji!"
"Asyiap!" jawab Benji pasrah.
Mahendra melangkah masuk ke dalam pabrik, menuju kantor tempat sel tahanan itu berada. Sementara itu, Benji menyiapkan air garam sesuai permintaan Mahendra.
Sambil terus menghisap rokoknya, Mahendra tiba di depan sel. Ia menarik sebuah bangku dan duduk menghadap tahanannya. Orang di dalam sel masih meringkuk di sudut ruangan, tampak ketakutan.
"Woy, serigala! Bangun luh!" seru Mahendra dengan nada memerintah. Tak ada respons. Benji datang membawa seember air garam dan meletakkannya di samping Mahendra yang sedang mengamati tahanannya. Mahendra kembali menghisap rokoknya dalam-dalam, lalu mengambil air segayung. Ia membacakan mantra lirih dan meniupkan napasnya ke dalam air itu.
"Lu mao bangun, apa gua mao asepin badan lo hah?" ancam Mahendra.
Masih tak ada respons dari manusia serigala itu.
"Wah, lu nantangin!" geram Mahendra.
BYURRR!
Air garam itu mengguyur tubuh tahanan. Orang itu langsung menggeliat kesakitan. Asap tipis mengepul dari tubuhnya.
"Anjinggg! Siapa kau hah?! Arghhhh..." raungnya kesakitan.
"Lah, napa lu yang ngatain gua anjing? Kan lu yang sebangsa anjing!" balas Mahendra sinis, kembali menyiramkan air garam.
BYURRR!
"Huaaaaahhhh.... panassss! Ampun... panasss!" jerit tahanan itu histeris.
"Masih mao kaga lu? Masih seember lagi nih aer,"
ancam Mahendra sambil menyeringai.
"Ampun... jangan siram lagi... ampun..." mohon tahanan itu dengan suara lemah.
"Oke... gua sekarang mo nanya ama lo. Dan lo harus jawab yang bener. Kalo lo jawab ngasal, ni aer bakal gua siram lagi!" kata Mahendra dengan nada mengancam.
"Iya... iya... aku usahakan untuk menjawabnya," jawab tahanan itu dengan susah payah.
"Siape nama lo?" tanya Mahendra.
"Danu, Bang..." jawabnya lirih.
"Nah, Danu. Di mana komplotan lu berada sekarang?" tanya Mahendra lagi.
Manusia serigala itu kembali terdiam, tak menjawab.
"Hmmm..." gumam Mahendra sambil menghela napas.
BYURRR!
"Wuaaahhh.... panasss! Bajingan kau! Hahaha... jangan kira kau akan mudah mendapatkan keterangan dariku! Hahaha..." tawa Danu terdengar putus asa.
BYURRR!
Siraman air garam bertubi-tubi itu membuat kulit Danu mulai melepuh dan mengelupas.
"Wuaahh... panass... arghhhh... kau akan menyesal, keparat! Jeruji ini tak ada gunanya bagimu! Hahaha hoaargh..." raung Danu kesakitan dan penuh amarah.
Seperti malam sebelumnya, tubuh Danu kembali mengalami perubahan mengerikan menjadi seekor serigala.
"Hoargggh..." geram serigala itu dengan mata merah menyala.
Tanpa basa-basi, serigala itu langsung menyerang, menerjang jeruji sel dengan cakarnya. Namun, kejadian tak terduga terjadi. Begitu cakarnya membentur jeruji besi, tubuh serigala itu tiba-tiba seperti tersengat listrik dan terpental keras ke belakang.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!