Udara yang dingin.
Hari dimana badai tak kunjung berhenti.
Lautan darah yang menutupi tanah membasahi tumpukan mayat.
Diiringi oleh raungan guntur yang terus bergantian, dua gadis kecil saling berpelukan di sudut ruangan.
Yang satu tampak berusia sekitar tiga belas tahun, ia memiliki rambut hitam sebahu dengan mata putih yang indah.
Wajahnya yang cantik kini tampak lusuh, bekas tangis juga terlihat jelas dari pipinya yang lembab dan matanya yang merah bengkak.
Dipelukannya, seorang gadis yang lebih kecil dan tampak mirip sedang menangis tanpa suara.
Ia memeluk erat gadis yang lebih besar sambil menggigit bibir merah kecilnya.
Dimatanya yang merah dan penuh air mata, terlihat jelas jejak ketakutan dan kecemasan.
“Kakak...” panggil gadis yang lebih kecil dengan gemetar.
Ia tampak satu tahun lebih muda dari kakak perempuannya, dengan rambut hitam panjang yang digerai dan agak tak terawat.
Mendengar suaranya yang serak namun lembut, gadis yang lebih besar hanya memeluknya lebih erat, menggelengkan kepalanya, namun tidak mengatakan apa-apa.
Tapi, apa yang tidak dapat disembunyikan adalah keberadaan dari api kebencian yang membara di kedalaman matanya.
Terlebih lagi, itu jelas bukanlah kebencian yang biasa, melainkan kebencian yang teramat dalam yang bahkan mungkin sudah terukir dalam darah dan nadinya.
Hanya setelah keduanya terdiam untuk waktu yang cukup lama, gadis yang lebih besar memutuskan untuk berbicara.
“Jangan khawatir Rin, kakak pasti akan melindungimu!”
Mendengar suaranya, ‘Rin’ gadis yang lebih kecil itu tersenyum tipis sambil menangis. Ia kemudian mempererat pelukannya seolah tidak akan pernah melepaskan diri dari kakaknya.
“Terima kasih, kakak.”
Setelah waktu berlalu cukup lama, hari menjadi semakin gelap dan keheningan perlahan mulai datang. Tidak ada tanda-tanda keramaian atau jejak kehidupan di luar sana.
Kemudian gadis yang lebih besar menguatkan tekadnya dan berkata. “Rin, kita harus meninggalkan tempat ini. Tapi sebelum itu, tunggulah kakak sebentar dan jangan pergi dari sini apapun yang terjadi. Aku akan kembali secepatnya setelah menemukan beberapa barang yang bisa digunakan, mengerti?”
Rin terkejut sejenak dan ekspresi enggan terpampang jelas dari raut wajahnya. Namun melihat wajah tegas kakak perempuannya, ia memberanikan diri untuk mengangguk dengan kuat.
Gadis yang lebih besar itu tersenyum dan mengusap kepala adik perempuannya, kemudian memeluknya sekali lagi sebelum keluar dari tempat itu secara diam-diam.
Lalu sampai di luar ruangan, tubuh gadis itu tiba-tiba menegang. Pandangannya sangat bergetar dan keringat dingin membasahi seluruh tubuhnya.
Brukk.
“Hoekk...” gadis itu kemudian jatuh dengan lututnya dan memuntahkan seluruh isi perutnya.
Tidak perlu ditanyakan lagi apa yang tengah terjadi kepadanya. Karena siapapun yang melihat pemandangan tersebut pasti akan mengalami hal yang sama.
Tumpukan mayat, dan dataran yang dipenuhi oleh darah.
Ekspresi yang awalnya dipenuhi oleh tekad mendadak berubah menjadi gelap dan penuh kebencian.
Semua hal yang dia kenal, saat ini telah benar-benar dilenyapkan.
Tidak ada yang tersisa, bahkan bangunan yang dia kenal sejak masa kecilnya.
“Inikah perang? Apakah nyawa seseorang itu memang tidak ada harganya? Sehingga mereka bisa dibunuh seenaknya?” pertanyaan-pertanyaan tanpa jawaban memenuhi kepala gadis itu.
Sangat disayangkan bahwa tidak ada orang disana yang bisa memberikan jawaban untuknya.
“Andai saja mereka memiliki kekuatan, mungkinkah semua penduduk desa akan memiliki nasib yang sama?” setelah menggumamkan pertanyaan tersebut, gadis itu mendapatkan sendiri jawabannya.
“Tentu saja tidak. Jika mereka memiliki kekuatan, keberadaan mereka tidak akan begitu mudah untuk dimusnahkan.” namun ia segera sadar akan kenyataan dan senyum pahit tercetak di sudut bibirnya.
“Hal-hal tidak akan terwujud hanya karena kau menginginkannya. Karena itu, meski tidak memiliki kekuatan yang sangat kubutuhkan, aku masih memiliki nyawa yang bisa kupertaruhkan. Lalu, selama itu ada, aku akan melindungi Rin dengan hal tersebut sebagai taruhannya.”
Berkeliling di beberapa tempat, gadis itu menemukan beberapa barang yang masih dapat digunakan.
Apakah itu pakaian, makanan sisa, dan barang yang masih bisa digunakan. Setelah memutuskan bahwa itu telah cukup, gadis itu membungkusnya dan bergegas ke tempat persembunyian yang sebelumnya.
Sampai di sana dan melihat Rin meringkuk di sudut ruangan, gadis itu akhirnya bisa menghela nafas lega. Ia kemudian dengan cepat menghampirinya dan bertanya. “Rin, kau baik-baik saja? Bisakah kau berjalan?”
“Emm, aku bisa!” Rin mengangguk kuat agar tidak menambah kekhawatiran kakaknya.
Dengan bergandengan tangan, keduanya mulai meninggalkan tempat persembunyian.
Sang kakak memimpin jalan, ia menyuruh Rin menutup matanya saat menuntunnya melalui rute yang agak berbeda. Jelas bahwa dia tidak ingin sang adik menyaksikan pemandangan yang tidak menyenangkan.
Hanya setelah berjalan cukup lama, mereka telah meninggalkan wilayah desa dan sampai di pinggiran hutan.
Itu adalah malam yang gelap. Seandainya tidak ada kejadian buruk yang menimpa desa mereka, keduanya tidak akan berani masuk atau bahkan mendekati hutan di hari yang gelap.
“Rin, mulai sekarang jangan sampai terpisah dari kakak. Mengerti?”
“Emm...” Rin setuju dengan cepat.
Ia kemudian mempersempit jarak dan mulai memegang tangan sang kakak dengan erat.
Anehnya, meski diliputi oleh kesedihan dan ketakutan yang luar biasa, ia langsung menjadi tenang saat merasakan kehangatan dari tubuh kakak perempuannya.
Sungguh rasa nyaman yang tidak dapat dijelaskan.
Rin tersenyum tipis saat bergumam. “Itu benar, apapun yang menunggu kami di masa depan, aku akan baik-baik saja asalkan bersama dengan kakak.”
Baginya, kakaknya adalah segalanya. Asalkan dia ada disisinya, tidak akan ada hal buruk yang akan menimpanya. Itu tidak lain adalah kepercayaan buta dari seorang saudara.
Kalimat tersebut diucapkan dengan suara kecil, namun karena jarak keduanya sangat dekat, sang kakak bisa mendengarnya dengan jelas.
Juga berbeda dari senyum tipis di wajah Rin, ada kecemasan akan ketidakpastian dalam raut wajah gadis yang lebih besar.
Beberapa saat kemudian, mereka berdua telah sampai cukup jauh di kedalaman hutan.
Gadis yang lebih besar berhenti dan meletakkan barang bawaannya di bawah pohon besar yang berdiri kokoh di dalam hutan. Ia kemudian mengalihkan pandangannya kepada Rin dan mengamatinya dari atas ke bawah sebelum bertanya.
“Rin, apakah bajumu basah? Aku membawa beberapa pakaian, kamu bisa menggantinya untuk saat ini.”
Melihat kakaknya membuka barang bawaannya, Rin bertanya dengan sedikit ragu. “Apakah itu baik-baik saja? Bagaimana dengan kakak?”
Sang kakak tersenyum dan menjawab dengan tenang: “Tidak apa-apa kok, aku akan melakukannya nanti. Malam hari akan sangat dingin loh. Ini juga untuk menjaga kesehatanmu.”
Setelah mengatakan itu, sang kakak menyerahkan sebuah pakaian yang seukuran dengan tubuh Rin.
“Terima kasih, kakak.” melihat kekhawatirannya sia-sia, Rin hanya bisa menyetujuinya dengan senyum tipis di wajahnya.
Ia melepas pakaiannya yang basah dan menggantinya dengan yang diberikan oleh kakaknya. Meski sedikit lebih besar dari ukuran tubuh Rin yang mungil, itu masih terasa hangat dan nyaman untuk dikenakan pada malam tersebut.
Sang kakak tidak dapat menahan senyum di wajahnya saat memandangi Rin yang mengenakan baju agak longgar.
Ia bahkan memuji dalam hatinya. “Adikku memang imut...”
Setelah itu dia mengambil beberapa kayu lalu menyusunnya untuk menjemur pakaian basah milik Rin.
“Kita akan beristirahat disini untuk malam ini dan melanjutkan perjalanan besok pagi.”
Mendengar pernyataan tersebut Rin mengangguk menunjukkan persetujuannya.
Ia kemudian menggelar kain yang ada di dalam bungkusan untuk digunakan sebagai alas tidurnya. Disisi lain, sang kakak hanya mengambil sebagian tempat untuk duduk sambil beristirahat.
Mungkin merasa bahwa sang kakak akan berjaga semalaman, Rin meletakkan kepalanya di pangkuan sang kakak dan bertanya. “Kakak, apa kamu tidak akan tidur malam ini?”
“Tenang saja, aku bakal tidur kok nanti.”
“Lalu, apakah besok kita akan baik-baik saja?” saat menanyakan yang terakhir, mata lelah Rin perlahan menutup. Kemudian, tanpa mendapat jawaban dari pertanyaan tersebut, Rin perlahan mulai tertidur.
Memandangi wajah tertidur milik adik perempuannya, mata gadis itu mulai melembut. Ia mengelus kepala Rin dengan lembut saat bergumam. “Apapun yang terjadi, kita akan baik-baik saja.”
Lalu, setelah mengatakan kalimat tersebut, gadis itu juga terlelap dalam tidurnya.
“Seina...” sebuah suara bergema di telingaku.
Itu adalah suara paling lembut dan penuh kasih sayang yang pernah kudengar dalam hidupku.
Namun, mendengarnya sekarang tidak membuatku merasa bahagia sedikitpun, itu hanya membawa perasaan sedih dan rindu nan dalam yang diikuti oleh tumbuhnya benih kebencian dalam diriku.
“Mama...” aku tanpa sadar menggumamkan kata-kata tersebut dan berharap agar sosok yang memanggil namaku benar-benar ada di hadapanku.
Sialnya dalam hati aku sadar, bahwa orang itu telah di bunuh tepat di depan mataku.
“Seina...” suara itu kembali memanggilku.
Namun dibandingkan dengan suara lembut yang penuh kasih sebelumnya, suara kali ini dipenuhi dengan kesedihan dan kekhawatiran yang mendalam.
“Mama...” aku mencoba untuk menanggapi suara tersebut, namun suaraku sedikit tersangkut di tenggorokanku.
Aku tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi dan aku juga tidak tahu apakah kata-kataku sampai kepada suara itu.
Meski begitu, aku mencoba menahan rasa sakit dan sesak di dadaku saat mencoba meneriakkan kembali kata-kata tersebut.
“Seina...” pada panggilan yang ketiga, suara itu berubah menjadi penuh ketidakberdayaan.
Itu jelas suara orang yang sedang sekarat.
Meski begitu, dia terus memanggil namaku.
Entah kenapa, mendengar suaranya yang seperti itu, kesedihan dalam hatiku digantikan oleh kemarahan yang tak terbantahkan.
Aku sangat ingin mencabik-cabik orang yang membunuh ibuku. Aku ingin menyiksanya, membuatnya merasakan sakit yang berkali-kali lipat lebih besar dari yang dia berikan kepada ibuku.
Saat aku merasakan semua kebencian tersebut, ingatan-ingatan pada hari itu kembali diputar di dalam kepalaku.
Hari dimana orang-orang misterius itu muncul di desa, dan menyeret semua orang ke jurang kematian mereka.
Hari dimana kedua orang tuaku mengorbankan nyawanya untuk menyembunyikan kami berdua.
Momen-momen tersebut terlihat begitu singkat, namun terasa sangat lama.
Rasa sakit dan kebencian yang mereka tanamkan dalam diriku, aku tidak akan pernah membiarkannya hilang begitu saja.
“Orang-orang itu, aku akan membunuh mereka! Tak satupun akan kulepaskan. Akan kubunuh mereka semua!” aku berteriak dengan gila saat mengingat momen-momen yang tertanam dalam ingatanku.
Aku yang tak berdaya menyaksikan saat-saat itu, tidak memiliki hak untuk menangisi semua yang terjadi pada hari itu.
Ini adalah harga yang harus ditanggung oleh orang lemah yang berhasil selamat.
Kedua orang tuaku yang dengan senang hati mengirimkan dirinya menuju kematian untuk menyelamatkan aku dan Rin.
Isak tangis bukanlah balasan yang pantas untuk jasa mereka.
Karena itu, aku telah memutuskan satu hal.
Itu untuk menjadi kuat.
Agar aku bisa membalaskan dendam semua orang.
“Benar, aku akan menjadi kuat. Menjadi sangat kuat agar dunia tidak berani meletakkan jarinya untuk mengusikku. Hanya dengan begitu, aku dapat membalas dendam dan melindungi satu-satunya saudaraku.”
Pada saat aku menguatkan tekadku untuk hal tersebut, sebuah suara dengan hawa keberadaan yang sangat kuno berbicara kepadaku. “Gadis kecil, apa kau membutuhkan kekuatan?”
“Siapa?!” aku berteriak tanpa sadar.
Namun suara tersebut tidak terganggu saat menanggapi pertanyaanku. “Kau tidak perlu tahu siapa aku. Sebagai gantinya, aku akan memberitahumu sesuatu. Itu adalah kebencianmu yang telah menarik perhatianku.”
“Kebencianku menarik perhatianmu?”
“Benar. Aku sangat akrab dengan perasaan tersebut. Karena itu, aku merasa harus membukakan sebuah jalan awal untuk dirimu. Bagaimana, apakah kau membutuhkan kekuatan? Jika demikian, aku dapat membantumu!”
Aku mengerutkan kening dalam-dalam.
Namun saat ini, tawaran itu adalah yang paling berharga untukku. Demi memenuhi ambisiku, resiko sebesar apapun aku akan mengambilnya.
“Sebagai gantinya, apa yang harus kulakukan untukmu?”
“Fufu... kau adalah gadis yang cerdas. Tidak sulit, aku hanya ingin kau menjadi pewarisku. Dengan begitu, aku akan memberimu kekuatan untuk membunuh musuh-musuhmu. Bagaimana, bukan tawaran yang buruk kan?”
Aku mengangguk dan menjawab dengan dingin kepada suara tersebut. “Aku tidak tahu apakah itu benar-benar tujuanmu. Namun, jika kau memberiku kekuatan untuk membunuh mereka, aku dengan senang hati akan menerima tawaranmu.”
“Fumu... itu adalah pilihan yang bagus. Kalau begitu kesepakatan telah tercapai!”
Setelah mendengar kalimat terakhir itu, aku tiba-tiba tersentak, dan saat aku mendapatkan kembali kesadaranku, aku mendapati diriku yang baru saja terbangun dari tidurku.
“Mimpi?”
Saat aku bertanya-tanya akan hal tersebut, rasa sakit yang dahsyat tiba-tiba menyerang kepalaku.
"Argghh.."
Aku mengerang kesakitan dan langsung memegangi kepalaku.
Mungkin merasakan ada yang tidak beres denganku, Rin langsung terbangun.
Aku tidak tahu ekspresi seperti apa yang ditunjukkan oleh wajahku, namun aku bisa melihat bahwa dia jelas panik saat melihat keadaanku.
“Kakak, ada apa denganmu?”
Aku jelas mendengar pertanyaan tersebut, namun aku tidak bisa menjawabnya karena harus menahan rasa sakitku saat ini.
“Sial, apa-apaan ini? Kenapa rasanya sakit sekali?”
Saat Seina mengerang kesakitan, apa yang tidak dia ketahui adalah pola urat berwarna merah kehitaman yang tumbuh dibawah rambutnya.
Bahkan itu terus tumbuh hingga membentuk sebuah pola aneh di bagian mata kirinya.
Hanya setelah dua hingga tiga menit, rasa sakit tersebut berangsur-angsur memudar dan aku mendapatkan kembali ketenanganku.
Disisi lain, Rin yang sebelumnya panik juga menghela nafas lega saat melihat keadaanku kembali normal.
“Kakak, apa kamu baik-baik saja? Apa yang terjadi padamu barusan?”
Aku menggelengkan kepalaku dengan lembut dan menjawab dengan sedikit ambigu. “Tidak apa-apa, hanya saja kepalaku tiba-tiba terasa sakit. Maaf telah membuatmu cemas, Rin.”
Rin membuka bibir kecilnya tampak akan mengatakan sesuatu, namun saat kata-katanya akan keluar, itu tersangkut dan ia hanya terdiam disana.
Baru setelah beberapa saat kemudian, ia mengesampingkan pikirannya dan dengan lembut menghiburku.
“Kakak, jangan terlalu memaksakan dirimu!”
Aku tersenyum dan membelai kepalanya. “Gadis bodoh, tenang saja. Aku tidak akan memaksakan diri kok.”
Pagi itu, kami memulai hari dengan penuh kasih sayang.
Atau seharusnya seperti itu—
Namun hutan yang tenang bukanlah tempat yang seaman itu.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!