Diary
Pencuri itu tetanggaku.
Dua tahun bersama, kami jalani dengan penuh kasih sayang. Dua tahun sebelumnya, mata biru indah masih berada disini. Namun, dua tahun setelahnya kasih yang ada tinggal berbalut kenangan.
"Cantik kan? " tanya Mama.
Saat itu aku masih terlelap, mata hazel kebanggaan Mama menelisik. Menerka-nerka jawab.
Aku alihkan pandangan ke arahnya. Cantik. Menawan. Mata biru indahnya membuatku jatuh cinta pada pandangan pertama.
Perawakan anggun khas bangsawan.
Bulu-bulu putih kecoklatan tertata anggun. Kedua sepatu coklat berdiri serasi mengiringi lenggok tubuh yang jenjang.
Mama tersenyum, aku tersenyum. Namun, wajah datarnya tidak ikut tersenyum.
"Bersihkan tubuhmu, Mama tunggu di meja makan. " perintah Mama seraya berjalan diikuti Sang Bangsawan.
Waktu bergulir sangat cepat. Aku bahagia melihat dia bahagia. Kami saling mengukir aksara untuk selalu bersama. Mulanya ia malu-malu. Menurutku. Ketika diajak bicara, ia tidak membuka kata. Kusodorkan makanan kesukaan, ia makan ketika aku tinggalkan. Tak mau dilihat.
Dua bulan bersama, ia mulai mengikis jarak.
Ia mulai tersenyum. Bermanja-manja di pangkuan. Makan bersama, bermain bersama.
Hari-hari berjalan sangat menyenangkan.
"Tidurlah bersamaku. " ajakku saat itu.
Ia tidak mau, memilih kembali ke peraduan yang selama ini ia tempati sendirian.
Sejak saat itu, ia sering meninggalkan rumah. Menghilang, tak tahu bermain dengan siapa.
Aku pun tak ingin terlalu mempedulikannya.
"Aku pamit, dua bulan. Jaga diri baik-baik. Makan yang teratur. Jangan main terlalu jauh. " cicitku padanya. Dua bulan waktu yang dibutuhkan untuk mengikuti Kuliah Kerja Nyata. Aku minta Mama untuk menjaganya selagi aku tak ada.
"Ma, Anis sudah makan?"
"Ma, Anis lagi apa?"
"Ma, hari ini masak apa? Jangan lupa Anis."
"Ma, aku kirim Snack kesukaan Anis."
Dari jarak jauh, aku berusaha untuk selalu memantaunya. Sebulan berlalu, aku mendapatkan giliran pulang ke rumah. Tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan untuk bertemunya.
Bukan main senang, Anis menyambutku. Kami menghabiskan waktu sehari semalam bersama. Mungkin karena rindu, ia terasa lebih manja padaku. Tak apa, aku bahagia melihatnya bahagia.
Esok hari, aku harus kembali lagi ke lokasi KKN. Pamitan kali ini, Anis serasa tidak mau melepaskan kepergianku. Aku pun merasa gelisah meninggalkannya di rumah kali ini.
Malam hari, terjawab sudah kegelisahan.
"Anis melahirkan. Prematur. Kembar tiga! "
Antara bingung, senang, marah, aku meminta izin Ketua KKN agar bisa pulang ke rumah esok pagi.
Ternyata Anis memang melahirkan. Namun, sungguh ironis. Kedua anak meninggal, menyisakan Muezza seorang.
Aku menyambut bahagia, membelai kepala Anis.
"Terima kasih." bisikku seraya tersenyum. Aku bahagia, sedikitpun tidak ada rasa curiga. Walau pernah timbul tanya, siapa ayah dari Muezza.
Dua bulan Muezza tumbuh sehat dan riang. Seperti anak-anak lain, Muezza suka bermain. Namun, entah mengapa Anis murung, seperti menghindar. Anis selalu menyendiri. Meskipun ia tak lalai menyusui Muezza.
Hingga suatu hari, Anis keluar dan pulang dengan kondisi mengenaskan. Tubuh kotor. Tak nampak lagi khas kebangsawanan.
Marah, tubuh langsing itu kuseret ke kamar mandi. Setiap pagi setelah mandi, aku meninggalkannya di teras depan. Membiarkan Anis berjemur. Lalu, bermain bersama Muezza.