"Pokoknya aku minta cerai!"
Napas Nayla menggebu-gebu setelah mengucapkan kalimat keramat itu di depan suaminya. Lelaki yang memakai kaus berwarna putih itu hanya mematung saat istrinya meminta untuk bercerai. Wanita yang berumur tiga puluh satu tahun itu melangkah melewati sang suami, tapi lelaki menarik lengan tangannya.
"Nay, nyebut nay! Aku ngga mau cerai, titik."
Rizky mengikuti langkah wanita yang masih di selimuti amarah. Wanita beranak satu itu pergi ke dapur untuk memasukkan dengan kasar kain kotor mereka ke mesin cuci. Dia menghentikan aktivitasnya sejenak, lalu menghembuskan napas panjang.
"Ngga semua masalah solusinya cerai, Nayla," ucap lelaki yang berdiri di hadapan Nayla.
Nayla menatap sang suami dengan tatapan tajam. Dia meletakkan keranjang pakaian kotor mereka, kemudian melipat kedua tangannya di dada.
"Sadar ngga mas kamu ngomong seperti itu? Ngga semua masalah solusinya pukul tembok, banting pintu kencang, pukul lemari!" tegas Nayla dengan penuh penekanan.
Mereka sudah berumah tangga lima tahun dan di karuniai putri yang menggemaskan, bernama Kiara yang kini berusia tiga tahun. Bagi Nayla, dia tidak pernah masalah jika dia bertengkar atau adu pendapat dengan suaminya, tapi pantang baginya jika bertengkar di hadapan putrinya.
Rizky memang orang yang tempramental sejak pacaran, Nayla berpikir setelah menikah lelaki itu bisa berubah, tapinya kenyataannya sama sekali tidak berubah. Suaminya memang tidak pernah memukulnya sekalipun, lelaki yang lebih tinggi darinya itu melampiaskan emosinya dengan memukul benda atau barang yang berada di sekitarnya saja.
Hingga suatu hari, dia memukul kencang pintu kamarnya di hadapan istri dan putri semata wayangnya. Nayla adalah seorang wanita tegas dan berprinsip, dia benar-benar marah malam itu saat melihat suaminya yang sedang di landa amarah.
"Aku minta maaf, Nay! Oke? case closed." Rizky mengusap wajahnya dengan kasar, dia tidak menyangka istrinya benar-benar meminta cerai darinya.
Wanita yang bekerja sebagai seorang karyawan di sebuah perusahaan besar itu tidak menanggapi ucapan yang keluar dari mulut suaminya. Dia menghela napas berat dan duduk di tepi tempat tidur. Sebenarnya, Nayla tahu apa yang membuat suaminya menjadi tempramental seperti sekarang.
Dulu mereka hidup berkecukupan, sebelum menikah mereka berdua merintis sebuah jasa pemotretan untuk segala acara. Namun, sebuah virus mematikan yang menyerang tanah air kala itu membuat bisnis mereka hancur.
Nayla seorang sarjana ekonomi memutuskan untuk melamar pekerjaan sesuai bidang pendidikannya dan di terima di perusahaan, sedangkan suaminya juga merupakan sarjana ekonomi hanya saja lelaki itu lebih senang berbinis.
Malam hari yang sunyi, ibu anak satu itu ingin memejamkan matanya. Dia mendengar suara pintu terbuka, selanjutnya terdengar langkah kaki suaminya yang mendekati tempat tidur lalu merebahkan tubuhnya.
"Nay? Sayang ... Kamu sudah tidur?" bisik Rizky yang memeluk istrinya dari belakang karena wanita itu tidur membelakangi sang suami.
"Mas aku mau tidur, besok aku harus pergi bekerja," sahut wanita itu dengan tegas.
Nayla tahu jika sang suami meminta haknya, tapi wanita itu sudah mati rasa. Dia sudah tidak bergairah lagi bermesraan dengan sang suami. Wanita itu mendengar desahan kesal yang berasal dari belakang badannya.
***
Keesokan harinya, seperti biasa Nayla bangun paling pagi diantara penghuni rumah kecil ini. Dia menyiapkan makanan untuk suami dan juga anaknya. Dia juga mencuci dan menjemur baju kotor mereka. Setelah semuanya beres, wanita bermata cokelat itu bersiap untuk berangkat ke kantor.
"Mama kerja dulu, Kiara sayang. Nanti Mama bawain jajan, oke? Jangan nakal, nurut sama Papa dirumah ya, nak?"
Setelah memandikan putri semata wayangnya, Nayla berpamitan dengan malaikat kecilnya. Dia juga berpamitan dengan suaminya yang duduk di meja makan. Ibu kandung Kiara itu mengeluarkan sepeda motornya dari garasi, tidak lupa dia menggunakan sebuah helm untuk keselamatan dirinya.
Nayla bekerja seperti biasanya, dia masuk kantor jam delapan dan pulang jam lima sore. Tidak ada kegiatan yang spesial, dia menjadi tulang punggung keluarganya saat ini karena sang suami yang masih memikirkan bisnis selanjutnya.
Untung saja gaji Nayla cukup untuk keluarga kecil mereka selama satu bulan, ada sisa sedikit dia tabung untuk keperluan mendadak.
"Nay? Kau baik-baik saja? Aku memanggilmu dari tadi tapi kamu melamun saja," seru Lisa teman seperjuangan Nayla di kantor.
Nayla melepas kacamatanya lalu menatap wanita yang lebih tua darinya dua tahun itu. "Ada apa mbak Lisa? Aduh maaf ya saya ngantuk."
Lisa menatap temannya itu seolah tidak percaya dengan alasan yang di buat oleh Nayla. "Ada apa? Berantem sama suami?"
Nayla mendengus kesal karena tebakan Lisa sangat akurat. Nayla menceritakan keluh kesahnya kepada wanita yang sudah mengarungi bahtera rumah tangga bersama suaminya selama tujuh tahun lamanya. Dia juga mengatakan kepada wanita yang duduk di sebelahnya itu tentang keputusannya untuk bercerai.
Lisa menatap iba teman kantornya itu, memang tidak mudah menjadi orang tua tunggal. Dia memberikan saran kepada ibu anak satu itu untuk memikirkan hal ini dengan matang tanpa adanya emosi. Lisa juga menyarankan kepada Nayla untul pergi berkonsultasi kepada seorang pengacara keluarga.
"Mungkin saja bisa membantumu menemukan solusi yang tepat, sayang sekali jika harus bercerai," ungkap Lisa mencoba untuk menghibur teman seperjuangannya itu.
Nayla mengangguk pelan, dia memikirkan saran dari wanita yang lebih tua darinya itu. Wanita itu pun mencoba mencari tahu seorang pengacara yang ada di kotanya, seperti saran dari Lisa, dia ingin berkonsultasi dengan seorang yang lebih berpengalaman.
Jam lima tepat, Nayla membereskan meja kerjanya. Wanita itu melangkah sembari mengirim pesan singkat kepada suaminya bahwa hari ini mungkin dia akan pulang terlambat dengan alasan meeting.
Nayla mendatangi sebuah alamat menggunakan sepeda motornya, dia tiba di sebuah kantor pengacara yang biasanya menangani kasus perceraian. Di sana, dia di sambut oleh karyawannya dan menyuruh Nayla untuk mengisi beberapa data pribadinya.
"Silakan masuk, Ibu Nayla."
Karyawan di kantor itu mempersilakan Nayla untuk masuk menemui pengacara. Ruangan itu begitu dingin, lebih dingin dari kantornya. Seorang lelaki mempersilakan wanita itu untuk duduk.
"Bagaiman Ibu Nayla? Ada yang bisa saya bantu?" tanya pengacara yang bernama Baskara.
Nayla tampak gugup berhadapan dengan lelaki yang wajahnya tampan, dia tidak terbiasa menceritakan permasalahannya dengan orang asing. Dia sempat menundukkan kepalanya sebelum memulai ceritanya.
Baskara mendengarkan dengan seksama, sesekali lelaki bermata cokelat itu mencatat poin-poin penting dalam masalah ibu anak satu tersebut. Dengan mata berkaca-kaca, wanita itu menceritakan betapa kecewanya dirinya terhadap sang suami. Yang tadinya dia sangat yakin suaminya akan berubah tapi kenyataan selalu menamparnya dan kini ayah kandung dari Kiara tidak pernah memberikan nafkah kepadanya.
"Jadi, Ibu Nayla ada keinginan untuk menggugat cerai suami, begitu ya?"
Mulut Nayla mengunci untuk beberapa detik sebelum dia mengiyakan pertanyaan pengacara yang duduk di depannya itu.
—bersambung—
Pengacara itu melihat ada keraguan di mimik wajah wanita yang ada di hadapannya itu. Dia mencoba mendalami permasalahan apa yang sudah membuat dia hingga ada keinginan bercerai dari sang suami.
"Atau kalau Ibu Nayla mau, saya bisa antarkan ke psikolog pernikahan. Namun, ibu berserta suami harus datang bersama."
Nayla berpikir keras, wanita itu sudah bisa menebak pasti sang suami tidak ingin pergi ke sana. Dia menundukkan kepalanya, lalu menerima nomor telepon dari psikolog itu. Setidaknya, dia bisa mendapatkan sesuatu datang ke kantor seorang pengacara.
Mereka berbincang sampai Nayla tidak sadar jam sudah menunjukkan pukul delapan malam. Dia menyudahi konseling itu, tidak lupa dia juga berpamitan kepada pengacara yang mungkin seumuran dengan sang suami.
"Ini nomor saya, kalau terjadi apa-apa jangan sungkan untuk menghubungi saya." Baskara mengeluarkan kartu namanya dan di berikan kepada ibu beranak satu itu.
Nayla mengangguk dan meraih kartu nama itu dari tangan kekar itu. "Terima kasih."
Selama di jalan, pikiran Nayla tidak ingin diam. Pikirannya mendesak dia untuk menggugat cerai tapi hatinya berkata lain. Hatinya luluh saat melihat sang putri. Bagaimana jika dia tumbuh tidak mempunyai figur ayah di dalam hidupnya?
Sesampainya di rumah, wanita itu melihat ada dua pasang sandal di depan rumahnya. Dahinya berkerut saat memikirkan siapa yang sudah bertamu di rumahnya itu. Dia melangkah masuk ke rumah, dan melihat kedua mertuanya yang datang dari luar kota.
"Ibu ... Bapak ... Kapan sampai?" Nayla menyalam kedua tangan mertuanya dengan sopan.
"Kamu kok jam segini baru pulang, Nay?" tanya ibu mertuanya.
"Ada rapat Bu, biasanya jam setengah enam juga sudah sampai di rumah kok," sahut ibu Kiara itu dengan senyum paksa.
Nayla masuk ke dalam kamarnya untuk mengambil pakaiannya yang baru karena wanita itu hendak membersihkan dirinya. Setelah itu, dia melangkah ke dapur dan menemui sang suami yang sedang menyeduh kopi panasnya.
"Ibu sama Bapak kenapa ke sini, Mas?" bisik Nayla kepada suaminya.
"Aku yang minta, besok aku ada panggilan kerja. Kan tidak mungkin Kiara ada di rumah sendirian," sahut lelaki yang sedang mengaduk kopi panasnya.
"Kenapa kamu ngga minta tolong sama orang tuaku? Kan mereka lebih dekat rumahnya dari sini," sambung Nayla kesal.
Hubungan Nayla dengan ibu mertuanya terbilang baik, tapi ada kalanya mereka saling menyindir karena ibu kandung suaminya itu selalu mengkritik apa saja yang sudah di kerjakan oleh Nayla. Seolah semua pekerjaan Nayla itu tidak ada yang benar.
Wanita itu juga kecewa dengan keputusan suaminya, seharusnya lelaki itu bisa mengkomunikasikan hal ini dengannya, bukan malah memutuskan sendiri dan memanggil orang tuanya yang berada di luar kota.
"Ibu sama Bapak sudah makan?" tanya Nayla berbasa-basi kepada kedua mertuanya.
"Sudahlah, jam berapa ini kamu baru tanya sudah makan atau belum," ketus ibu mertua Nayla yang bernama Widya.
Nayla langsung terdiam saat mendengar jawaban yang keluar dari mulut dari wanita latihan baya itu. Dia lebih baik diam dan bermain dengan Kiara hingga jam menunjukkan pukul sepuluh malam.
***
Keesokan harinya, Nayla terlambat bangun. Biasanya, dia bangun jam empat pagi untuk membereskan rumah dan memasak untuk keluarga kecilnya. Wanita itu panik saat terbangun dan melihat jam dinding yang ada di kamarnya.
"Jam setengah enam?!" gumam Nayla lalu bangkit berdiri dan melangkah keluar kamar.
Begitu dia membuka pintu kamar, dia terkejut saat melihat rumahnya yang sudah tertata rapi. Wanita itu melihat Kiara yang sudah bermain dengan ayah mertuanya, kakinya melangkah menuju dapur rumahnya dan melihat ibu kandung suaminya yang sudah selesai memasak.
Nayla memutar badannya untuk kembali ke kamarnya mengambil pakaian bersih untuk dia pakai berangkat ke kantor. Saat dia keluar dari kamar mandi, dia sudah melihat suaminya yang bersenda gurau dengan ibunya.
"Nay, makan dulu sebelum berangkat. Ibu masak enak," ajak Rizky.
Nayla mengangguk lalu melangkah pelan menuju ke kamarnya karena jam sudah mepet dan dia bisa terlambat masuk ke kantor.
"Memangnya istrimu ngga enak masakannya kok kamu bilang ibu masak enak?" tanya Widya kepada putranya, wanita paruh baya itu sengaja mengencangkan volume bicaranya agar sang menantu mendengarnya.
Dan berhasil, Nayla memang mendengarnya. Hatinya terasa perih saat sang ibu mertua berbicara seperti itu. Wanita itu merasa tidak di hargai apalagi dialah yang menjadi tulang punggung keluarga kecilnya itu.
Wanita itu mencoba manarik napas dalam agar tenang. Dia tidak boleh menghancurkan suasana hatinya di pagi hari. Nayla memoles wajahnya dengan riasan sehingga membuat wajahnya yang sudah cantik jadi semakin mempesona.
Wanita muda itu memutuskan untuk membawa bekal dari rumah, dia merasa waktunya tidak akan cukup jika dia makan di rumah. Dia mencari tempat bekalnya di dapur dan memasukkan beberapa lauk pauk yang di masak oleh ibu mertuanya.
"Kok kamu bawa banyak banget, Nay? Satu aja, pilih mau ayam, tahu atau tempe, jangan semua satu-satu nanti sayang kalau ngga habis." Nayla terkejut saat ibu mertuanya muncul dari belakang tubuhnya dan berbicara seperti itu.
"Rizky ... Rizky! Sini nak, kamu bilang ke Nayla itu, ingat dia sudah punya suami dan anak jadi tidak perlu dandan menor seperti itu kayak wanita ngga benar aja!"
Ucapan sang ibu mertua benar-benar sudah keterlaluan. Dia tidak pernah kurang ajar kepada kedua orang tua kandung suaminya, tapi mereka tidak pernah sekali pun menghargai perasaan Nayla. Dia juga sudah lelah selama tiga tahun ini bekerja sendirian, membanting tulang demi mencukupi kebutuhan rumah tangganya yang seharusnya di lakukan oleh kepala rumah tangga.
"Ibu, cukup! Ibu sadar ngga omongan Ibu itu sudah keterlaluan?!" ucap Nayla tegas.
Ibu mertua dan suaminya tercengang saat Nayla mulai bersuara dengan sorotan mata tajam. Rizky melangkah mendekati istrinya untuk menenangkan wanita itu. Lelaki itu mencoba untuk menarik tangan Nayla dan membawanya ke dalam kamar.
"Kenapa, Mas? Harus aku lagi yang mengalah? Oh tidak bisa! Omongan Ibu kamu sudah sangat keterlaluan dan kamu masih mau membelanya? Iya?!" Nayla menepis tangan suaminya.
"Nay, kenapa kamu marah? Kan Ibu cuma titip pesan buat kamu biar laki-laki tidak semena-mena sama kamu!" Widya mencoba membela dirinya. "Kamu jadi kurang ajar gini sama Ibu?" lanjut Widya lagi dengan mata berkaca-kaca.
Rizky kembali menarik tangan sang istri dengan kasar, lelaki itu meminta istrinya untuk meminta maaf kepada ibunya dan mengakhiri pertengkaran pagi ini.
"Ngga sudi aku minta maaf ke Ibumu, dan ku peringatkan sekali lagi sama kamu ya, Mas. Aku sudah cari pengacara untuk memproses perceraian kita!"
Emosi Nayla memuncak, wanita itu sudah kehabisan kesabarannya. Di perlakukan semena-mena oleh keluarga suaminya sendiri, di rendahkan dan tidak di hargai. Lebih baik Nayla mengakhiri semuanya.
—bersambung—
"Nay ... Nay! Tunggu dulu." Rizky menahan tangan istrinya yang hendak pergi.
"Apalagi, Mas? Ada kalian hargai aku di sini? Semua yang aku lakukan salah di mata ibu kamu!" seru Nayla.
"Sudah ... Masih pagi ini kenapa sudah ribut-ribut? Kasian Kiara. Sudah Nayla cepat berangkat kerja nanti terlambat." Ayah mertua Nayla menengahi permasalahan ini dan menyuruhnya untuk cepat berangkat ke kantor.
Nayla mengambil tas dan juga kunci motornya lalu pergi dari rumah kontrakannya yang kecil. Sepanjang perjalanan wanita itu menangis. Air matanya terjun bebas membasahi kedua pipinya. Pandangan wanita itu menjadi kabur karena genangan air mata hingga dia tidak bisa melihat dengan jelas.
Wanita itu memutuskan untuk berhenti di pinggi jalan. Tiga menit lagi jam delapan, dia sudah pasti terlambat. Oleh karena itu dia menelepon bosnya untuk mengajarinya jika dia terlambat mungkin terlambat tiga jam dengan alasan keluarga.
Wanita muda itu ingin sekalian menenangkan dirinya. Dia mencari tempat untuk duduk dan melihat ada warung di dekatnya, tapi tiba-tiba sebuah mobil sedan berwarna hitam berhenti tepat di depannya. Nayla sempat berpikir siapa orang di dalam mobil itu, kenapa dia menghalangi jalannya.
Nayla mendapatkan jawabannya setelah kaca jendela itu turun dan melihat pengacara yang semalam dia temui. Lelaki itu menyapa Nayla, sontak membuat wanita itu juga tersenyum membalas senyumannya.
Lelaki yang memakai kemeja berwarna biru langit itu turun dari mobilnya dan menghampiri Nayla.
"Apa yang terjadi?" tanya lelaki itu ketika melihat mata wanita itu yang bengkak akibat menangis. .
Nayla mengusap kedua matanya hingga benar-benar kering. "Tidak Pak, tidak terjadi apa-apa."
Baskara membantu wanita itu menuntun motornya dan memarkirkan ke tempat yang aman, lalu mengajak Nayla untuk masuk ke mobilnya agar mereka bisa berbicara dengan nyaman. Lelaki itu tahu pasti ada yang tidak beres dengan wanita itu.
Benar saja, wanita muda itu langsung menangis hebat saat berada di mobil. Nayla sudah tidak tahan lagi menanggung semua emosi ini sendirian. Dia juga tidak peduli lelaki itu menganggap Nayla seperti apa, wanita itu hanya ingin meluapkan semuanya.
"Maaf ya, Pak, maaf saya membuang waktu Pak Baskara hanya untuk melihat saya yang terlihat menyedihkan ini," kata Nayla, kini dia merasa malu karena menangis di depan pria yang tidak dia kenal.
"Tidak perlu merasa sungkan, Anda klien saya, jadi saya tidak mau sesuatu yang buruk menimpa klien saya," sahut Baskara dengan santai karena lelaki itu memang sering mengalami hal seperti itu.
Nayla mulai menceritakan kejadian tadi pagi, awalnya dia ragu untuk menceritakan hal memalukan itu, tapi lelaki itu adalah pengacaranya, dia harus menceritakan kejadian yang sebenarnya agar mempermudah pekerjaan lelaki yang terlihat tampan saat memakai kacamata itu.
"Tapi dia bersikeras tidak mau bercerai, kalau begitu bagaimana, Pak?" tanya Nayla yang buta akan hukum di negrinya sendiri.
"Kalau dari cerita dari Ibu Nayla, sebenarnya tiga bulan berturut-turut tidak memberi nafkah saja bisa menjadi masalah. Apalagi ini suami Ibu Nayla tidak memberi nafkah selama tiga tahun lamanya. Ini bisa menjadi alasan yang kuat untuk Ibu mengajukan gugatan cerai ke pengadilan," ungkap pengacara itu.
Nayla semakin yakin untuk menceraikan suaminya itu. Wanita itu tidak takut menjanda, lagipula selama ini uang jerih payahnya cukup untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga mereka. Kalau mereka bercerai, sang putri bisa dia titipkan kepada orang tuanya.
"Lalu bagaimana tentang hak asuh anak?" tanya Nayla takut akan berpisah dengan putri semata wayangnya.
"Anak di bawah tujuh belas tahun, hak asuh anak akan jatuh ke tangan ibu," sahut Baskara singkat.
Wanita muda itu bernapas lega setelah mendengarkan penjelasan dari pengacaranya. Nayla sudah merasa tenang setelah berkonsultasi dengan pengacaranya yang sangat mendadak ini. Tidak terasa waktu cepat berlalu dan dia harus kembali ke kantornya.
***
Malam itu, Nayla tidak pulang ke rumah kontrakannya tetapi wanita muda itu pulang ke rumah orang tua kandungnya. Hal ini pasti membuat kedua orang tuanya bertanya-tanya, hanya saja mereka tidak berani bertanya lebih dulu dan menunggu Nayla untuk bercerita dengan sendirinya.
Nayla meraih ponsel dari tasnya dan melihat tiga puluh lima panggilan tidak terjawab dari suaminya. Dia menghela napas berat.
"Bu, Nayla pulang ke rumah ya?" pamit Nayla kepada sang ibu.
"Hati-hati ya, Nay. Salam sayang untuk Kiara dan salamkan untuk suamimu," sahut wanita paruh baya itu.
Rumah kontrakan mereka satu perumahan dengan orang tua Nayla hanya berbeda beberapa blok saja. Sesampainya di rumah, Kiara menyambutnya dengan pelukan hangat dan membuat wanita muda itu tersenyum.
"Nay, coba ayo kita bicarakan semuanya." Ayah mertuanya menyuruh Nayla untuk duduk di ruang tamu dan berbicara dengan kepala dingin.
"Aku tidak mau bercerai, Nayla. Kamu tidak kasihan sama Kiara? Dia masih butuh sosok ayahnya!" ketus Rizky bersikeras tidak ingin bercerai.
"Kalau bisa di bicarakan baik-baik, Nayla maunya bagaimana dengan suamimu. Dan Rizky juga bagaimana dengan istrimu," Ucap Danu, ayah kandung Rizky.
Nayla menatap wajah cantik putrinya, memang benar di dalam tubuh Kiara mengalir deras darah Rizky suaminya. Wanita muda itu terlihat bimbang dengan keputusannya sendiri. Dia hanya tidak tahan jika keluarga suaminya bertindak semena-mena dengannya, terlebih ucapan Ibu mertuanya.
"Baiklah kalau begitu, aku akan menghubungi pengacaraku dan membatalkan proses gugatan," lirih Nayla.
Kedua mertuanya tersenyum lega, terlebih Rizky yang memeluk sang istri dan mencium kedua pipi Nayla. Wanita itu tidak tahu keputusan yang dia bil benar atau salah, yang dia pikirkan hanya masa depan sang anak.
Wanita muda itu melangkah masuk ke kamarnya, dia mengambil ponselnya untuk menghubungi sang pengacara. Namun, lelaki itu tidak menjawab teleponnya. Nayla memutuskan untuk menemuinya besok sore di kantor setelah dia selesai dengan pekerjaannya.
"Jadi bagaimana panggilan kerjamu tadi, Mas?" tanya Nayla kepada sang suami saat mereka hendak tidur.
"Ngga cocok, bosnya sombong banget," sahut Rizky singkat.
Dahi Nayla berkerut tidak mengerti dengan apa yang di katakan oleh suaminya. Dia sendiri merasa aneh dengan suaminya, sampai kapan dia akan berpikiran seperti itu terus menerus. Jika tidak cocok dengan bosnya, dia tidak melanjutkan pekerjaannya kembali.
Waktu cepat berlalu, malam berganti dengan pagi. Sinar matahari mulai menyinari bumi, burung-burung mulai berkicauan membangunkan Nayla dari alam mimpinya. Wanita muda itu lupa, jika hari ini adalah hari minggu.
Dia bisa bersantai dan tidak terburu-buru melakukan aktivitas rumahnya. Nayla dan Ibu mertuanya tidak saling bicara setelah pertengkaran mereka kemarin pagi. Wanita muda itu memilih untuk diam daripada memancing ucapan wanita paruh baya itu yang akan menyakiti hatinya.
"Nay, bantu Ibu dong. Ibu kuwalahan jika harus membereskan rumahmu sendirian," celetuk wanita paruh baya itu dengan mimik wajah kesal.
"Letakkan saja, nanti Nayla yang beresin semuanya kalau Ibu terpaksa bantuin Nayla," sahut wanita muda yang tidak kalah kesalnya dengan Ibu mertuanya.
—bersambung—
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!