Jantung berdetak kencang saat mata melihat dua orang yang paling dipercaya malah menusuk dari belakang. Hati yang bahagia, kini hancur seketika, ketika diri sadar, bahwa ternyata, saat ini diri sedang menerima sebuah pengkhianatan dari orang yang paling ia sayangi.
"Kalian ... kalian pacaran?"
Elsy Juwita. Atau lebih sering di panggil dengan Juwi ini sedang menatap lekat ke arah dua orang yang paling ia sayangi sekarang. Yaitu, kekasih yang paling ia cintai dan teman tersayang yang selama ini selalu menjadi tempat curhat terbaik selama ia hidup.
"Juwi." Keduanya kompak berucap sambil melepas pelukan satu sama lain dengan cepat. Wajah kaget tergambar jelas saat ini.
"Juwi, apa yang kamu lihat tidak sama dengan apa yang sebenarnya terjadi. Kita -- "
"Tidak sama! Oh, aku lupa. Kalian bukan pacaran melainkan selingkuhan!"
Lantang suara Juwita memotong perkataan sahabatnya barusan. Hal tersebut memicu mereka langsung dijadikan pusat perhatian oleh orang lain yang saat ini sedang sama-sama menikmati indahnya sore di taman pinggiran kota.
Flash back on.
Satu jam yang lalu, Juwi dengan bahagia ingin membuat kejutan untuk pacarnya. Dia yang sedang berada di luar kota, pulang tanpa memberi kabar pada Bagas. Bahkan, tanpa mengabari Ayunda, si sahabat karib yang sangat ia percayai selama ini.
Berbekalkan alamat yang bisa ia dapatkan lewat GPS di ponsel milik Bagas, Juwi pun segera mendatangi lokasi Bagas yang terlihat dari ponselnya. Lokasi yang tak lain adalah, taman Indah Danau Asri pinggiran kota. Tempat terindah pertama kali ia jadian dengan pacarnya dua tahun yang lalu.
Kejutan itu ia berikan untuk merayakan ulang tahun Bagas yang ke dua puluh delapan tahun. Dia sangat bahagia. Dengan harapan, tahun ini Bagas akan bersedia menikahinya. Karena kata Bagas, dia baru akan menikah setelah usianya genap dua puluh delapan tahun kelak.
Namun, apa yang matanya lihat sungguh sangat menyakitkan. Bagas sedang bergandengan tangan, lalu berpelukan dengan Ayu, sang sahabat baik.
Berulang kali Juwi meyakinkan apa yang matanya lihat, hingga hampir setengah jam ia diam menjadi pengamat hanya untuk meyakinkan dirinya akan apa yang sedang terjadi. Namun kenyataan tak bisa dia ubah. Dirinya benar-benar telah dikhianati oleh sahabat baik dan pacar tercinta.
Sungguh sangat menyakitkan hal tersebut. Juwi tidak bisa tinggal diam lagi. Dia pun langsung menggerebek dua manusia yang benar-benar tidak punya hati ini.
Flash back off.
Bagas merasa malu akan ulah Juwi yang sudah menjadikan mereka pusat perhatian. Dia pun langsung menghadapi Juwi, lalu memegang erat tangan pacarnya ini.
"Hentikan, Juwi! Jangan bikin malu. Ayo cari tempat untuk kita bicara."
Ucapan itu membuat darah panas Juwi semakin mendidih. Dia tatap tajam wajah Bagas, lalu ia tarik tangannya yang saat ini ada dalam genggaman tangan Bagas.
"Kamu tahu malu, Bagas? Kalau takut malu, kenapa selingkuh, hah!"
"Juwita!"
Untuk pertama kalinya Juwi melihat sosok keras yang menakutkan dari sang pacar. Bagas berteriak dengan nada tinggi di depannya. Pria yang selama ini sangat lembut, kini terlihat sangar dan terlalu menakutkan. Mungkin, sifat lembut itu hanya sebuah bingkai untuk menutupi sisi gelap yang ia miliki. Sekarang, Juwi baru sadar akan hal itu.
Namun, Juwita bukan gadis lemah yang akan tunduk hanya karena sebuah bentakan. Sebaliknya, bentakan itu semakin memancing darah panas yang menyebabkan emosi Juwita naik.
"Kamu bentak aku, Bagas? Kamu bentak aku setelah kamu ketahuan selingkuh?"
"Kamu benar-benar pria bajingan yang tidak punya perasaan. Dua tahun kita pacaran. Aku minta kamu nikahin aku tapi kamu malah meminta waktu. Ternyata, kamu bukan tidak ingin menikah muda. Melainkan, karena kamu memang ingin menjadi pria bajingan yang suka bermain-main dengan wanita."
"Teruntuk kamu wanita yang sama-sama tidak punya perasaan. Kamu sahabat aku. Kenapa kamu jadi selingkuhan pacarku, hah? Jika itu perempuan lain, aku masih bisa terima. Tapi kamu .... "
"Cukup, Juwita! Cukup!"
Semakin tinggi nada suara Bagas, semakin memerah pula wajahnya sekarang. Mungkin, saat ini rasa malunya sudah mencapai ke ubun-ubun. Karena itu dia sudah tidak kuat lagi untuk menahannya.
Saat Juwi ingin mengangkat bibir untuk bicara lagi. Tangan Bagas sigap mendorong tubuh Juwi dengan keras. Alhasil, dorongan yang tiba-tiba membuat Juwita kehilangan keseimbangan. Pagar besi melintang pun tak sanggup untuk menahan berat tubuh Juwi yang datang dengan tiba-tiba. Bukan pagarnya yang roboh, melainkan karena pagarnya yang tidak tinggi. Akibatnya, Juwi kini terjatuh ke dalam danau.
"Aaaah!"
Byur. Tubuh itu masuk ke dalam danau dengan cepat. Sontak, semua yang melihat dibuat panik luar biasa. Tak terkecuali Bagas dan Ayunda.
Sementara itu, Juwi yang sudah merasakan dinginnya air menyentuh kulit. Perlahan, kesadarannya menghilang. Tidak ada suara lain yang bisa ia dengar. Hanya suara gemerincing air yang keras. Entah apa yang terjadi, dirinya juga tidak bisa berpikir dengan jernih.
Beberapa waktu berlalu. Juwi terus merasakan dirinya ditarik ke bawah setelah tubuhnya jatuh ke danau. Hingga akhirnya, sebuah cahaya membuat pandangannya terasa silau. Dirinya yang sebelumnya terfokus dengan bunyi air yang memenuhi gendang telinga. Kini malah dipaksa untuk sadar sekarang juga.
"Hah! Hah! Hah!"
Juwi terbangun seketika. Saat ini, dia sibuk mengatur napas ketika sebuah panggilan berhasil mengalihkan pandangan juga pikirannya dari apa yang sedang ia lakukan.
"Ya Tuhan, Gusti Raden Ayu sudah bangun."
Cepat! Utus penjaga untuk memberikan kabar baik ini pada Gusti Adipati sekarang juga."
Saat itulah Juwita baru sadar kalau dirinya sedang berada di suatu tempat yang asing. Tempat yang sama sekali belum pernah ia datangi selama ia hidup.
Panik, bingung, dan bermacam-macam perasaan lainnya yang sedang mengisi hati juga pikiran Juwi. Dia sendiri tidak bisa mencerna apa yang saat ini sedang terjadi. Dan, apa yang sedang ia rasakan sekarang, dia sendiri tidak bisa mencernanya dengan baik. Yang jelas, dirinya sedang kebingungan sekarang.
Berada di tempat asing tanpa ingatan apapun. Bagaimana Juwi tidak merasa bingung? Bermacam-macam pertanyaan sedang memenuhi benaknya. Tapi tidak tahu, bagaimana dan apa cara yang bisa membuat ia mengerti akan keadaan ini.
Sebaliknya, dia semakin dibuat bingung ketika pelayan yang tadi berteriak menghampirinya. Memanggil dia dengan sebutan aneh, tapi masih memakai nama aslinya.
"Tuhan ternyata sangat baik. Gusti Ayu Juwita sadar dalam waktu yang kurang dari satu setengah hari. Ini sungguh berkah yang sangat luar biasa untuk Gusti, Gusti."
"Apa? Satu ... setengah hari?" Juwi dibuat semakin kebingungan akan apa yang wanita itu katakan.
Benaknya berpikir, kenapa sadar kurang dari satu setengah hari itu dikatakan berkah yang sangat baik? Padahal, itu adalah waktu yang sangat lama.
Namun, belum pula terselesaikan rasa bingung yang saat ini sedang ia rasakan. Pintu dari kamar asing yang sedang tertutup rapat itu seketika terbuka. Dari balik pintu tersebut muncul seorang pria yang berbadan kekar dengan pakaian aneh yang menambah rasa bingung dalam hati Juwita.
Halo ....
Kakakmu kembali adek-adek semua. Setelah sekian purnama hiatus, kini kaka datang lagi. Moga para pembaca kaka ngga lupa sama kakak yah. Dan, moga kalian betah dan terus memberikan kaka semangat biar ngga hiatus lagi.
Untuk karya ini, kaka mohon yang baca ngasi saran. Karena setelah beberapa waktu mempelajari lewat mbah google, kaka masih kurang paham istilah panggilan untuk para bangsawan. Yang ngerti bisa ngasi saran yah.
Dan, harap maklum. Latar tempat, juga waktunya jangan terlalu di pikirkan. Soalnya, kaka ngga juga terlalu paham soal sejarah.
Uh ... Nyesel deh aku. Kenapa dulu ngga kuliah soal sejarah aja yah. Huhuhu ....
Canda kok. Canda. Ya sudah, selamat membaca semuanya. Salam sayang, muach.
Mata Juwita membulat terfokus pada si pria asing. Satu kata yang langsung terlintas dalam benaknya. Tampan. Sangat tampan meskipun wajahnya terdapat bekas memar di bagian mata kanan yang sedikit tertutup rambut.
Pria yang penuh dengan kharisma kepemimpinan yang luar biasa. Aura menakutkan yang sangat kuat. Meski baru pertama melihat, Juwita sudah sangat kagum akan keindahan dari manusia yang ada di hadapannya saat ini.
Namun, tatapan itu buyar ketika wanita pelayan paruh baya yang ada di dekatnya barusan langsung bangun, lalu membungkukkan tubuh untuk memberi hormat pada si pria asing.
"Gusti Adipati agung," ucap wanita tersebut dengan penuh hormat.
Sebaliknya, pria tersebut hanya memberikan anggukan pelan saja. Kemudian, matanya tertuju lekat pada Juwita yang saat ini sedang berusaha mencerna apa yang sedang terjadi.
"Periksa dia tabib."
Satu perintah yang pria itu keluarkan, tanpa menunggu lama lagi, pria tua yang ada di belakangnya sebelumnya langsung maju setelah membungkuk hormat.
"Baik, Gusti Agung."
Melihat pria tua yang disebut sebagai tabib itu mendekat. Juwi langsung bereaksi.
"Tunggu! Tabib? Kenapa harus memeriksa aku? Aku ... baik-baik saja," ucap Juwita dengan seringai canggung yang entah kenapa bisa keluar dari bibirnya.
"Gusti Raden Ayu, meskipun Gusti merasa baik-baik saja sekarang. Tapi tetap saja, Gusti harus diobati dengan baik. Gusti -- "
"Cukup, Emban."
"Tabib, lakukan tugasmu."
Perintah yang pria itu keluarkan langsung dijalankan. Sementara Juwita, dia merasa kalau pria itu memang sedikit menakutkan.
'Ya Tuhan. Aku entah di mana. Tapi tiba-tiba bertemu dengan orang asing yang menakutkan. Beruntung tampan. Kalau tidak, mungkin aku sudah memukulnya.'
'Tunggu! Memukul pria ini? Bagaimana mungkin? Yang ada, aku yang mungkin dia lenyap kan. Oh, Tuhan .... "
Juwita terus bicara dalam hati. Dia sibuk dengan pikirannya sendiri. Sementara tabib yang bertugas memeriksa dirinya, kini sudah pun selesai melakukan tugas.
"Bagaimana, tabib? Apa ada yang mengkhawatirkan dari dia?"
"Tidak Gusti Agung. Ini sungguh anugerah. Gusti Ayu baik-baik saja. Benar-benar berkah."
"Baiklah kalau begitu. Kalian semua bisa pergi sekarang."
"Baik, Gusti." Mereka berucap serentak sambil membungkuk memberi hormat.
Hati Juwita semakin tidak tenang ketika melihat kepergian semua orang yang sebelumnya ada di kamar tersebut. Sementara, pria tampan yang sebelumnya berdiri agak berjauhan, bukannya ikut pergi, tapi malah semakin mendekat.
Tatapan tajam menusuk pria itu berikan pada Juwita. Hal itu membuat hati Juwi malah semakin tak karuan. Tubuhnya pun ikut merinding karena tatapan itu.
"Apakah kamu kecewa karena tidak berhasil bunuh diri, Gusti putri?"
Satu pertanyaan yang membuat semua rasa canggung menghilang seketika. Sebaliknya, tatapan tak percaya pun Juwita perlihatkan. Ia balas tatapan tajam dari si pria asing tersebut dengan tatapan lekat. Namun, belum sempat bibir berucap, si pria malah kembali angkat bicara.
"Apakah sebegitu tidak sukanya kamu berada di istanaku, Putri Juwita Sari? Apakah terlalu besar rasa benci dalam hatimu untuk aku sampai-sampai kamu bertekad untuk menghabisi nyawamu sendiri untuk yang sekian kalinya?"
"Apa?"
"Tunggulah sebentar lagi, Putri. Tunggu sampai semua keadaan membaik. Aku pasti akan membebaskan kamu dari genggamanku. Aku berjanji akan hal itu. Jadi tolong, percaya padaku. Jangan lakukan usaha bunuh diri lagi. Aku pasti akan menepati janjiku."
Juwita yang kebingungan tentu saja dibuat melonggo akan apa yang si pria tampan itu jelaskan. Namun, Juwi bisa merasakan betapa sedihnya pria tersebut saat ini. Karena itu pula, Juwita tidak bisa memilih untuk terus-terusan diam.
"Tunggu. Apa yang baru saja anda katakan? Aku .... "
Juwita seketika menggantungkan kalimatnya ketika melihat wajah terkejut dari pria yang ada di hadapannya saat ini. Bisa Juwi ukur, kalau pria itu benar-benar sedang merasa kaget saat ini.
"It-- itu ... apa yang .... "
'Aish! Kenapa bibir ini susah sekali untuk melepaskan kata-kata sih? Benar-benar bikin kesah aja deh,' kata Juwi dalam hati.
Sementara Juwi berusaha menyusun kalimat yang indah untuk bibirnya keluarkan. Si pria tampan malah beranjak dari tempat ia berdiri sebelumnya dengan cepat. Hal itu membuat Juwi jadi semakin tak karuan.
"Tunggu! Kita belum selesai bicara," ucap Juwita cepat sambil menyentuh tepian kain yang menjuntai dari busana pelengkap yang pria itu kenakan.
Langkah si pria terhenti. Tatapan mata pun beradu. Namun, hanya sesaat saja. Karena si pria dengan cepat mengalihkan pandangannya dari Juwita.
"Trik apa lagi ini, Putri Juwita? Anda tidak perlu bersusah payah memainkan trik lain. Karena apa yang sudah aku ucapkan, tidak akan pernah aku lupakan. Apalagi untuk aku ingkari. Tidak akan pernah."
Juwita yang bingung dengan ucapan si pria lagi-lagi tidak bisa mengeluarkan kata-kata. Alhasil, pria tersebut pergi. Tapi dia malah diam sambil menahan rasa bingung yang memenuhi benaknya sekarang.
Lalu, setelah pintu menghilangkan si pria tampan, rasa kesal pun langsung menghantui hati. Juwita pun marah akan dirinya yang tidak seperti dia yang biasanya.
"Apaan ini? Kenapa aku jadi susah bicara sekarang? Ya ampun .... "
Juwita pun baru menyadari akan apa yang tubuhnya kenakan saat ini. Pakaian adat jaman dulu. Sudah jelas kalau ini bukan pakaian modern. Dia ingat betul dengan situasi saat melihat sekilas ketika omanya nonton film kolosal kesayangan.
"Oh Tuhan ... mimpi ini buruk sekali," ucap Juwita sambil menutup wajahnya dengan kedua tangan.
"Gusti Raden Ayu. Ma-- maafkan saya yang terpaksa meninggalkan anda hanya berduaan dengan Gusti Adipati Agung. Saya pantas dihukum."
Pelayan paruh baya itu datang-tangan langsung berucap. Tak lupa pula ia bersimpuh di depan Juwita dengan wajah penuh sesal.
Tentu saja Juwi dibuat semakin bingung. Dia yang tidak punya ingatan sedikitpun tentang dunia asing ini sangat membuatnya kesulitan untuk memahami situasi yang sedang ia jalani. Sungguh kutukan bagi Juwi sekarang.
"Tu-- tunggu. Bibi, anda harus bangun. Jangan bersimpuh seperti ini."
Duar! Wajah bersalah seketika berganti dengan wajah terkejut. Bagaimana tidak? Juwita yang bersikap lembut, itu tentu membuat si emban alias pelayan setia ini kaget bukan kepalang. Karena pada dasarnya, tuan putri mereka tidak seperti ini orangnya.
"Gu-- Gusti Raden Ayu Putri. Gusti .... "
Juwi paham dengan ekspresi itu. Jadi dia langsung nyengir kuda sambil memperlihatkan wajah manisnya di depan si emban.
"Ha ... itu ... bibi. Bisakah jangan memanggil aku dengan panggilan terlalu berat? Aku merasa sedikit bingung sekarang. Tolong. Panggil aku dengan Gusti Putri saja sudah cukup."
"Tap-- tapi, Gusti .... "
"Anggap saja ini perintah. Bagaimana?"
"Perintah?"
Tentu saja emban itu semakin dibuat kebingungan. Juwita yang sadar langsung memijat tulang hidungnya yang mancing.
'Ah ... Juwi. Kenapa kamu malah meributkan soal panggilan sih? Itu harusnya masalah enteng yang bisa kau urus nanti. Aduh .... Juwita-Juwita.' Juwi berkata dalam hati. Dia cukup kesal dengan keadaan yang saat ini sedang menimpa dirinya. Membuat dia kerepotan harus berbuat apa, dan bersikap seperti apa.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!