Pada sore hari itu, Charlie singgah di sebuah toko kue yang terletak di sebuah jalan yang ramai. Tetapi, sore itu terasa lebih sepi karena hujan yang turun begitu lebat. Langit sore yang biasanya berwarna jingga kemerahan kini berubah menjadi kelabu dan gemuruh suara petir sesekali terdengar.
Air hujan mengalir deras di jalanan, menyapu bersih debu dan daun-daun kering yang tercecer. Di dalam toko kue, suasana cukup hangat dan menenangkan. Rak-rak berisi berbagai macam kue yang menggiurkan, terpajang rapi dan menarik perhatian.
Aroma kue yang baru saja matang dari oven memenuhi udara, menciptakan perpaduan harum yang menggoda selera. Lantai toko yang bersih dan berkilau mencerminkan cahaya lampu yang hangat, menambah kenyamanan di tengah hujan yang mengguyur di luar sana.
Charlie berjalan pelan, menelusuri setiap rak kue sambil mencari kue favorit adiknya yang selama tiga tahun sudah tidak pernah ia jumpai. Dia mengenang kembali kenangan masa kecil mereka bersama, ketika ia dan adiknya sering menikmati kue-kue tersebut di sore hari yang cerah. Setelah beberapa saat, Charlie akhirnya menemukan kue tersebut dan dengan hati-hati memilih yang terbaik untuk diberikan kepada adik tercintanya yang hari ini berulang tahun.
Namun, karena terburu-buru Charlie meninggalkan handphonenya di dalam mobil. Handphone tersebut terus berdering dan panggilan itu berasal dari 'peri kecil'. Charlie menamai adiknya dengan sebutan peri kecil, karena panggilan itu adalah panggilan Alia saat masih berusia lima tahun.
Charlie keluar dari toko kue dengan penuh sukacita, menggenggam erat kantong berisi kue ulang tahun yang akan ia berikan kepada adiknya, Alia. Meskipun langit tampak mendung dan hujan turun dengan lebatnya, tetapi semangat Charlie tidak luntur sedikit pun.
Butiran-butiran air hujan membasahi pakaian dan rambutnya, membuatnya tampak seperti sosok yang baru saja melintasi badai. Tetapi, raut wajahnya tetap cerah, penuh kebahagiaan dan cinta kasih untuk adiknya yang tengah berulang tahun.
Sekilas, kantong kue yang dia pegang terlihat sederhana, tetapi di dalamnya tersimpan kejutan yang akan menggembirakan hati Alia. Kue tersebut berlapis-lapis dengan aneka warna dan hiasan yang menarik, menampilkan keindahan dan pesona yang tak terlupakan.
Setiap lapisan kue memiliki rasa yang berbeda, menciptakan kombinasi yang harmonis dan lezat saat dicicipi. Charlie berjalan menuju mobilnya dengan langkah pasti, tak peduli betapa basah dan dinginnya udara yang menerpa. Sepanjang jalan, tetesan hujan terus mengguyur tubuhnya, tetapi itu tak menyurutkan semangatnya untuk segera menyampaikan kue tersebut kepada adiknya. Ketika tiba di mobil, Charlie segera mengelap wajahnya yang basah kuyup dan menyimpan kantong kue dengan hati-hati di jok belakang, siap untuk diantarkan kepada Alia dan merayakan ulang tahunnya bersama.
Akan tetapi, karena perasaan yang begitu bahagia. Charlie sampai lupa memeriksa handphonenya. Padahal, sang adik sejak dari tadi telah menghubunginya berulang kali. Keduanya, telah berjanji akan bertemu pada malam ini di apartemen sang adik. Apartemen yang dibelikan Charlie untuk Alia pada tiga tahun yang lalu sebelum Charlie pergi berkerja ke luar Negeri.
Charlie memarkir mobilnya di tempat parkiran apartemen yang luas dan tertata rapi. Barisan pohon kecil yang rindang mengelilingi area tersebut, menciptakan suasana yang teduh dan menyenangkan. Lampu penerangan yang menyala di sisi jalan memastikan keamanan dan kenyamanan penghuni apartemen.
Setelah mematikan mesin mobil, Charlie mengambil kue yang baru saja dibelinya di toko kue favoritnya, berbungkus kertas coklat dengan pita merah yang melingkar di sekelilingnya.
Charlie juga mengambil handphonenya yang tertinggal di jok mobil, dengan kondisi layar yang mulus dan bersih. Begitu melihat layar handphone, Charlie mendapati beberapa panggilan tak terjawab dari sang adik. Dia segera merasa khawatir, pertanda ada sesuatu yang penting atau mendesak yang ingin diinformasikan oleh adiknya.
Langkahnya semakin cepat menuju pintu masuk apartemen, seiring kekhawatiran yang terus menggelayut di benaknya, membuat suasana menjadi tegang dan penuh kecemasan.
Langkah Charlie terhenti mendadak, matanya terbelalak saat menyaksikan adegan mengerikan di depannya. Tubuh seorang gadis muda terkulai di tanah, seolah dilemparkan dari ketinggian apartemen yang menjulang tinggi. Tubuh itu jatuh tepat saat Charlie akan berjalan lima langkah menuju pintu masuk apartemen.
Tepat di depan Charlie, tubuh itu terjatuh dengan kejam, menciptakan suara benturan yang mencekam. Seketika itu juga, Charlie menyadari siapa gadis malang itu. Rambut hitam panjang yang dikuncir, wajah polos dan baju yang pernah dilihatnya di lemari Alia, adiknya.
Ketakutan dan kepanikan melanda hati Charlie, darahnya seolah membeku saat melihat tubuh adiknya yang terbujur kaku. Semua keceriaan dan kebahagiaan yang biasa menyertai kehidupan mereka berdua, kini seakan direnggut oleh kejadian yang tak terduga ini.
"Alia!"
"Alia, inikah kamu Alia?!"Charlie memangku tubuh gadis yang baru saja terjatuh dari ketinggian apartemen tempat sang adik tinggal. Napasnya tercekat dan wajahnya memucat pasi. Mata Charlie berkaca-kaca dan tanpa sadar dia mulai meraung kesakitan. Tubuh adiknya, yang baru berusia 21 tahun, tergeletak dengan posisi yang mengerikan.
Darah bercampur dengan debu beton di sekelilingnya. Kepala adiknya yang pecah dan kakinya yang patah membuat Charlie ingin berteriak memanggil orang-orang di sekitarnya. Tetapi saat itu, Charlie tak bisa berkata-kata. Dia hanya bisa merasakan air mata mengalir deras dari matanya, menetes hingga membasahi bajunya.
Wajah adiknya yang tak berdosa, yang masih penuh dengan mimpi-mimpi masa depan, kini terbentur oleh kenyataan pahit. Charlie mencengkeram erat tangan adiknya yang sudah dingin, mencoba merasakan detak jantung yang sudah tak ada lagi. Hatinya meronta, menyalahkan dirinya sendiri karena tak bisa melindungi adik yang sangat ia cintai. Dia berlutut di samping jasad adiknya, menangis terisak-isak sambil berteriak, "Maafkan kakak, adikku!"isak tangis Charlie mengundang penghuni apartemen lainnya, yang saat itu kebetulan sudah jam malam. Charlie terlambat tiba karena jalanan kita begitu macet.
Alia adalah mahasiswa magang yang sebelumnya magang di perusahaan Florist Entertainment.
"Ini salahku! Aku yang mengabaikan panggilanmu!"Charlie terus menyalahkan diri saat sebuah mobil ambulance telah memasuki halaman apartemen tersebut.
Beberapa perawat dan petugas medis datang untuk membawa tubuh Alia masuk ke dalam ambulance. Meskipun, Charlie ingin mencegahnya tetapi itu tak membuat Alia kembali kepadanya. Charlie harus merelakan Alia dibawa oleh perawat dan petugas medis ke rumah sakit. Guna untuk melakukan otopsi terhadap jenazah korban.
Tangan Charlie terkepal dan Charlie menengadahkan kepalanya ke atas menatap kamar di mana biasanya sang adik tinggal. Netra Charlie memerah serta rahang mengerang. Kebencian dan dendam menyelimuti hati Charlie. Semenjak orang tuanya meninggal Charlie hanya memiliki sang adik tetapi setelah Alia pergi kini Charlie hanya bisa menangisi dirinya yang kembali kehilangan orang yang dicintai olehnya.
Suara sirine mobil ambulance yang melengking memecah kesunyian di malam yang gelap, saat mobil itu perlahan meninggalkan area apartemen dengan membawa tubuh lemah Alia di dalamnya. Cahaya lampu darurat yang berputar-putar menerangi sekeliling, seakan menegaskan kondisi darurat yang sedang terjadi.
Apartemen yang biasanya teduh dan tenang kini terasa suram, dengan beberapa penghuni yang keluar dari unit mereka untuk menyaksikan keberangkatan ambulance itu. Kilatan cemas dan simpati tergambar jelas di wajah para penghuni yang melihat keberangkatan Alia, mengetahui bahwa kondisi Alia cukup kritis. Udara malam yang biasanya hangat dan nyaman, kini terasa lebih dingin dan menyesakkan, seolah menjadi cermin dari perasaan mereka yang prihatin dan khawatir.
Sepi dan hening kembali menyelimuti apartemen setelah mobil ambulance menghilang dari pandangan, meninggalkan jejak kecemasan yang mendalam di hati para penghuni. Begitu juga dengan Charlie sang kakak.
______
Jangan lupa subscribe ya🙏 dukung karya fiksi modern milik author ❤️
Alia terbaring lemah di atas ranjang rumah sakit, tubuhnya pucat pasi. Charlie, dengan mata yang sembab dan wajah penuh kekhawatiran, mengikuti perawat yang mendorong ranjang Alia menuju ruang operasi.
Charlie menunggu dengan cemas di luar ruangan operasi. Sebelum dokter itu keluar Charlie tidak bisa duduk ataupun berdiri dengan tenang. Dia terlihat begitu gelisah dan kekhawatiran terpancar sempurna dari raut wajah Charlie.
Pintu ruang operasi terbuka setelah 15 menit kemudian. Charlie langsung menghampiri sang dokter dan bertanya. Dokter itu menggelengkan kepalanya. Charlie mencengkram kuat kerah kemeja sang dokter dengan netra yang memerah. Puncak amarahnya sudah di ubun-ubun.
"Apa maksud, Dokter? Katakan dengan jelas!"pinta Charlie dengan tangan masih mencengkram kuat kerah kemeja dokter tersebut.
Dokter itu berusaha melepaskan tangan Charlie. Dokter itu terlihat begitu tenang meskipun dia tahu Charlie tak akan melepaskannya.
"Saya perlu bicara dengan Anda. Saya harap Anda bisa mengendalikan emosi, Anda. Saya di sini dokter bukan pelaku, jadi tolong hargai profesi saya,"dokter itu berkata dengan tegas dan berlalu pergi. Charlie mengikutinya dari belakang hingga sampai di ruangan dokter tersebut.
Dokter Syahril adalah dokter ahli forensik yang tadi menangani korban di ruang operasi. Dokter Syahril meminta Charlie untuk mengizinkan pihak rumah sakit untuk melakukan otopsi terhadap korban.
"Tidak!"Charlie menolak. Tetapi, Dokter Syahril berusaha untuk membujuknya. Karena, Dokter Syahril sangat yakin jika Alia tak melakukan bunuh diri melainkan dibunuh oleh seseorang ataupun beberapa orang yang terlibat di dalam kasus tersebut.
"Tuan, Anda harus mengizinkan kami untuk melakukan otopsi. Jika tidak, kita tidak akan pernah tahu apa yang terjadi dan dialami oleh korban sebelumya,"ujar Dokter Syahril. Akhirnya, Charlie setuju untuk memberikan izin kepada pihak rumah sakit untuk melakukan otopsi terhadap korban. Bahkan, Charlie menunjukkan identitasnya kepada Dokter Syahril. Agar Dokter Syahril mau membantunya untuk mengusutkan masalah tersebut hingga tuntas.
"Baiklah. Saya setuju,"Dokter Syahril dan Charlie berjabat tangan, kemudian Charlie bangkit dari tempat duduknya untuk meninggalkan ruangan tersebut.
Malam itu, langit tampak mendung dan gelap, menambah kesan mencekam di sekitar apartemen tempat Alia tinggal. Charlie menggenggam erat kunci apartemen adiknya itu, berharap bisa menemukan petunjuk tentang kejadian naas yang menimpa adiknya.
Sesampainya di apartemen, suasana sepi dan sunyi menyelimuti setiap sudut. Charlie menelan ludah ketakutan, tapi tekadnya untuk mencari kebenaran lebih besar dari rasa takutnya. Dengan langkah pelan dan hati-hati, dia membuka pintu apartemen Alia.
Begitu masuk ke dalam kamar, Charlie mengamati setiap jengkal ruangan dengan teliti. Wajahnya tampak pucat dan berkeringat dingin, namun matanya tetap fokus mencari bukti yang mungkin terlewat. Kamar itu terlihat bersih, rapi, dan seolah-olah tak pernah ada kejadian buruk yang terjadi di sana.
Charlie berjalan mendekati jendela yang terbuka lebar, mengingat adiknya yang lompat dari lantai atas apartemen itu. Dia menunduk dan menghela napas panjang, berusaha menenangkan perasaannya yang kacau. Dalam hatinya, dia berjanji akan menemukan kebenaran di balik kematian adiknya, apapun yang terjadi.
Tiba-tiba, Charlie melihat sesuatu yang mencurigakan di sudut ruangan. Sebuah lembaran kertas yang tergeletak di bawah meja. Dengan hati berdebar kencang, dia meraih kertas itu dan mulai membaca isinya. Mungkin saja, inilah bukti yang selama ini dia cari untuk mengungkap misteri kematian adiknya.
Namun, yang Charlie temukan itu hanyalah sebuah catatan nota pembelanjaan di sebuah toko perhiasan. Tetapi, seingat Charlie, Alia tak memiliki uang sebanyak itu untuk membeli sebuah perhiasan senilai ratusan juta untuk dikenakan olehnya. Alia, adalah seorang mahasiswa magang yang masih belajar di sebuah universitas. Nominal di nota itu bukan barang yang sanggup dibeli olehnya. Charlie pun menyimpan kertas itu ke dalam saku celananya. Charlie yakin itu bukan milik adiknya.
Keesokan paginya, atas bantuan Dokter Syahril, Charlie mengadakan acara pemakaman untuk sang adik. Terlihat tak ada yang datang baik dari pihak perusahaan ataupun teman magang yang sama dengan Alia. Pihak kampus pun tak hadir pada acara itu. Jelas-jelas berita kematian Alia karena bunuh diri sudah muncul di halaman utama berita di mana-mana. Sungguh, hal ini membuat Charlie harus berpikir keras untuk mengungkapkan semua hal yang begitu janggal dan tak masuk akal.
Charlie kembali ke apartemen Alia. Dia mengeluarkan kunci miliknya yang di simpan untuk membuka pintu apartemen Alia.
Apartemen tersebut terletak di lantai atas sebuah gedung pencakar langit di tengah kota yang sibuk. Tempat ini seolah-olah menjadi simbol kesendirian Alia di tengah keramaian.
Saat memasuki ruang tamu, suasana hening dan suram menyelimuti setiap sudut. Hanya cahaya redup yang datang dari luar melalui jendela kaca yang besar, menciptakan bayangan yang memanjang di lantai dan dinding. Dinding-dinding apartemen dipenuhi dengan foto-foto kenangan Alia, tetapi kebahagiaan yang tampak di wajahnya dalam foto-foto itu sudah tidak ada lagi di dunia nyata.
Di sudut ruangan, terdapat piano berwarna hitam yang sudah lama tidak tersentuh. Debu menumpuk di permukaannya, menandakan bahwa musik yang pernah mengisi ruangan ini telah lama menghilang. Di kamar Alia, tirai jendela tertutup rapat, memberikan kesan gelap dan tertekan.
Di atas tempat tidur yang masih rapi, tergeletak secarik surat yang menjadi pesan terakhir Alia sebelum dia mengakhiri hidupnya. Di lantai, seutas tali tampak tergeletak, saksi bisu atas peristiwa tragis yang terjadi di apartemen ini.
"Jangan pernah menyesal dan mencari tahu. Ini adalah keinginanku, keinginan ku untuk pergi dan meninggalkan semuanya."
Charlie meremas surat itu. Pesan itu ditulis oleh Alia. Tetapi, terlihat begitu jelas jika itu bukan hasil tangan Alia. Charlie membuka sebuah laci di mana catatan sekolah Alia ditemukan. Charlie menyamakan tulisan di surat dengan di buku catatan sekolah. Sekilas nampak sama jika di perhatikan tetapi nyatanya itu berbeda tak sama persis.
"Pasti ada sesuatu yang terjadi,"gumam Charlie. Lalu, Charlie berusaha menghubungi nomor handphone Alia. Sebuah nada dering muncul di ruang tamu dan Charlie mulai mencari sumber suara itu. Hingga langkahnya terhenti tepat di depan sebuah sofa ruang tamu. Terlihat handphone Alia yang tergeletak di sana.
Charlie tahu betul, jika dia ingin bunuh diri tidak mungkin Alia punya waktu untuk mengisi baterai handphonenya hingga penuh dan terasa begitu jelas. Handphone Alia masih hangat. Sedangkan, kejadian itu tadi malam dan ini sudah waktu menjelang subuh.
Charlie berlari keluar dari kamar apartemen milik Alia dan kini Charlie pergi ke tempat resepsionis di mana para tamu yang datang wajib melapor.
"Permisi, Mbak. Saya mau nanya, apakah sebelumya ada orang yang datang menemui Alia?"tanya Charlie kepada wanita yang bertugas hari itu.
"Mohon maaf, Tuan. Saya semalam tidak di sini. Giliran saya berjaga hanya di jam 04.23, subuh. Hingga pagi hari ini dan belum ada yang datang kemari selain pihak yang berwajib. Tetapi, semalam Mela yang berjaga di sini kebetulan dia sudah mengambil cuti untuk pulang kampung tadi sebelum saya berganti shif,"wanita itu berkata dengan suara gemetar saat melihat raut wajah tegang milik Charlie.
Charlie meremas rambutnya dengan kasar. Tersirat begitu jelas raut wajah yang frustrasi saat mengingat kejadian yang menimpa sang adik. Surat yang ditinggal Alia masih ada di tangan Charlie. Pria ini mengingat sesuatu dan kemudian kembali berlari ke kamar apartemen Alia.
Suara dobrakan pintu kamar apartemen terdengar cukup jelas. Charlie kembali menggeledah kamar tersebut dan mencari tahu sesuatu yang bisa dijadikan barang bukti olehnya.
"Surat ini dituliskan dengan sebuah pulpen dengan tinta bewarna merah. Sedangkan, Alia jarang sekali menggunakan pulpen dengan tinta bewarna merah sejak kecil,"gumam Charlie masih menatap surat itu dengan raut wajah penuh kebencian.
Charlie tak menemukan apapun yang dicari olehnya. Tetapi, Charlie tak sengaja menemukan sebuah jam tangan yang terjatuh di lantai kamar Alia. Jam tangan itu terletak di sisi sudut lemari pakaian Alia.
Charlie membungkuk dan mengambil jam tangan tersebut. Jam tangan mahal yang mungkin hanya bisa dibeli oleh seseorang dengan gaji yang cukup tinggi. Tidak mungkin itu milik Alia.
"Jam tangan cowok? Tidak mungkin milik Alia dan selama ini Alia tak pernah bercerita jika dia punya kenalan seorang pria?"gumam Charlie kemudian yang masih memperhatikan jam tangan bermerk yang ada di dalam genggamannya itu.
Beberapa bukti sudah digenggam oleh Charlie. Sebuah nota pembelanjaan dan juga sebuah surat yang ditinggalkan Alia untuknya. Lalu, sekarang Charlie menemukan jam tangan cowok di kamar adiknya. Charlie sangat yakin sesuatu telah terjadi beberapa hari lalu sebelum hari di mana kematian Alia tiba.
Charlie meletakkan semua barang bukti itu di atas meja belajar Alia dan memeriksanya dengan seksama. Menurut Charlie, Alia bukanlah tipe wanita yang suka membeli perhiasan mewah atau jam tangan mahal untuk dirinya sendiri atau orang lain. Semakin yakin bahwa kematian Alia bukanlah akibat bunuh diri, Charlie merasa bahwa barang-barang yang ditemukannya ini memiliki kaitan erat dengan kematian adiknya. Mungkin saja ada seseorang yang telah mengatur semua ini dan membunuh Alia dengan menyamar sebagai bunuh diri. Kini, tugas Charlie adalah mengungkap misteri di balik kematian adiknya dan membawa keadilan bagi Alia.
Minggu ini terasa begitu berat bagi Charlie, setelah kepergian adik kesayangannya, Alia. Tetapi, dia tak bisa berlarut dalam kesedihan.
Charlie memutuskan untuk mencari tahu misteri di balik kematian Alia. Dengan tekad yang kuat, Charlie berhasil masuk ke perusahaan Florist Entertainment, tempat Alia bekerja sebelum meninggal.
Senin pagi, Charlie mengenakan pakaian rapi dan berangkat ke kantor dengan hati yang berdebar-debar. Begitu sampai di sana, Charlie disambut oleh resepsionis yang ramah.
"Selamat pagi, nama saya Charlie. Saya karyawan baru di sini," ucap Charlie dengan nada gugup.
"Selamat pagi, Charlie! Selamat datang di Florist Entertainment. Saya Lina, resepsionis di sini. Mari, saya antar ke ruang kerja Anda," sahut Lina sambil tersenyum.
Seiring berjalannya waktu, Charlie mulai menyesuaikan diri dengan lingkungan kerja baru. Dia mencoba mencari tahu informasi tentang Alia dari rekan-rekan kerjanya.
Namun, sepertinya tak ada yang tahu banyak tentang Alia. Mereka hanya mengenal Alia sebagai karyawan yang rajin dan pendiam. Suatu hari, Charlie menemukan sebuah buku catatan di laci meja kerja Alia yang tertinggal.
Dia membaca catatan tersebut dan menemukan sebuah kalimat yang mencurigakan, "Saya rasa ada yang tidak beres dengan proyek ini. Saya harus segera menyampaikannya pada atasan." Malam itu, Charlie tidak bisa tidur. Dia terus memikirkan kalimat dalam buku catatan Alia.
Akhirnya, Charlie memutuskan untuk menyelidiki proyek yang dikerjakan oleh Alia. Dia mencari informasi dan berbicara dengan beberapa karyawan yang terlibat dalam proyek tersebut. Setelah mengumpulkan cukup bukti, Charlie menyadari bahwa ada praktik yang tidak etis di balik proyek tersebut.
Dia berpikir bahwa Alia mungkin telah mengetahui hal ini dan ingin mengungkapkannya. Tetapi, sebelum Alia sempat berbicara, dia ditemukan tewas secara misterius. Dengan bukti yang telah dikumpulkan, Charlie bertekad untuk membongkar skandal ini dan mengungkap kebenaran di balik kematian adiknya, Alia. Meskipun perjalanannya masih panjang dan berliku, Charlie tidak akan menyerah demi mencari keadilan untuk Alia.
Selama empat hari di perusahaan Florist Entertainment, Charlie belum cukup memahami masalah di balik kematian Alia. Masih banyak yang janggal dengan kejadian itu.
"Permisi, Pak Nico."Charlie datang menemui Nico selaku manager perusahaan Florist Entertainment.
"Iya, Charlie. Apa ada yang kamu butuhkan?"pria itu menoleh dan tersenyum kepada Charlie. Tak ada yang tahu apa hubungan Alia dengan Charlie. Hanya saja, semenjak kehadiran Charlie di perusahaan itu semua orang seakan kembali mengenang keberadaan Alia karena setiap hari Charlie akan membahas dan bergosip tentang Alia guna untuk mencari tahu keberadaan dibalik kematian sang adik. Tetapi, terlihat begitu jelas beberapa staf karyawan di sana mencoba menyembunyikan kebenaran yang mereka ketahui dari Charlie.
"Pak, apa proyek ini masih berlanjut? Saya melihat sebelumnya proyek ini di tanggung oleh salah satu karyawan magang. Tetapi, di sini...."
"Itu tidak perlu kamu urus lagi, Charlie. Juwita akan bertanggung jawab dengan proyek itu,"Nico menyela ucapan Charlie saat pria itu akan membahas tentang Alia.
"Baik, Pak. Kalau begitu saya permisi dulu,"Charlie berkata sembari berbalik. Tetapi, Nico kembali memanggil dan menghentikan langkah kaki Charlie.
"Tunggu Charlie!"
Charlie berbalik dan menoleh kembali ke arah Nico.
"Ambil dokumen ini dan antar ke ruangan Pak David,"ujar Nico. Charlie mengangguk dan segera membawa dokumen itu pergi dari ruangan tersebut.
Charlie menghela napas dalam-dalam, menguatkan diri sebelum mengetuk pintu ruangan Pak David, CEO perusahaan Florist Entertainment. Dia membawa dokumen yang dititipkan oleh Nico untuk diserahkan kepada Pak David.
Begitu pintu terbuka, Charlie menahan kaget saat melihat foto yang terpajang di dinding ruangan tersebut. Dalam foto itu, Pak David tersenyum lebar dengan jam tangan yang sama persis dengan jam tangan yang Charlie temukan di kamar Alia beberapa hari lalu.
Detak jantung Charlie berpacu, mencoba mencerna informasi ini. Apakah kematian adiknya, Alia, ada hubungannya dengan Pak David? Charlie berusaha menenangkan diri dan melupakan sejenak foto tersebut.
Dia menyerahkan dokumen yang dititipkan oleh Nico kepada Pak David yang tampak sibuk di balik meja kerjanya.
"Terima kasih, Charlie. Katakan pada Nico nanti malam ada rapat jam 19.20, malam. Katakan pada Juwita dan juga Sherli," ucap Pak David tanpa menatap Charlie. Suara Pak David terdengar tenang dan datar, membuat Charlie semakin bertanya-tanya. Setelah keluar dari ruangan Pak David, Charlie terus berpikir keras.
Pikirannya terus menerawang ke sosok adiknya yang meninggal secara mengenaskan beberapa waktu lalu. Apakah ada keterlibatan Pak David dalam kematian adiknya? Seiring waktu berjalan, Charlie semakin yakin bahwa ada sesuatu yang tersembunyi di balik kematian adiknya. Dia bertekad untuk mengungkap kebenaran itu, walaupun harus melawan sang CEO yang memiliki kekuasaan besar di perusahaan tempatnya bekerja. Dengan rasa penasaran yang kian membuncah, Charlie mulai mengumpulkan berbagai informasi mengenai Pak David dan hubungannya dengan Alia.
Setiap petunjuk yang ditemukan semakin menguatkan dugaan Charlie bahwa sang CEO memang terlibat dalam kematian Alia. Tetapi, Charlie tahu bahwa mengungkap kebenaran ini tidak akan mudah. Dia harus berhati-hati dan bersabar, sekaligus mempersiapkan diri menghadapi risiko yang mungkin muncul akibat keberaniannya mengungkap rahasia besar ini.
Jam 19.20, malam. Banyak karyawan Florist yang sudah pulang. Hanya tertinggal beberapa orang saja di sana. Charlie melihat adanya Nico dan Juwita yang sedang berbicara di koridor perusahaan. Tak lama, muncul Sherli wanita yang dikenal sebagai senior yang dihormati banyak karyawan Florist.
Namun, ketika Charlie akan pergi meninggalkan kantor. Rifki tak sengaja menabrak Charlie yang membuat dua orang itu terjatuh.
"Rifki!"pekik Charlie yang terkejut. Awalnya, Charlie hanya fokus melihat ke arah Nico dan yang lain sehingga tak memperhatikan Rifki yang tiba-tiba muncul.
"Ma-maaf, Charlie. Aku tak melihatnya,"ucap Rifki dengan gugup. Pria berkaca mata itu menjadi pria yang pendiam dan tak banyak bicara. Penampilannya yang cupu membuat Rifki dijauhi oleh karyawan yang lain.
"Tak masalah. Apa kau ingin pulang? Aku juga mau pulang. Ayo, kita pulang sama!"ajak Charlie. Tetapi, Rifki menolaknya.
"Tidak apa-apa Charlie. Aku bisa pulang sendiri,"Rifki menjawab, serta menyembunyikan pulpen berwarna merah yang ada di tangannya.Hal itu, menarik perhatian Charlie. Kening Charlie berkerut dan terus menatap ke arah Rifki yang sudah berlalu pergi meninggalkan Charlie di depan ruangannya.
"Charlie, kamu belum pulang?"seseorang menegur Charlie yang membuat pria ini menoleh dan tersenyum kepada tiga orang yang kini berdiri di depan Charlie.
"Baru saja mau pulang,"jawab Charlie dengan sedikit senyuman. Tiga orang itu lantas berpamitan sama Charlie untuk menemui Pak David yang kini sudah berada di ruang rapat.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!