Cerita ini adalah lanjutan dari ceritaku dengan judul "Brondong In Love".
Setelah lebih dari dua belas tahun lamanya, akhirnya Dia menjejakkan kakinya, di tanah kelahirannya, demi menghadiri pernikahan ulang kakak tirinya.
Selama ini, dia sengaja pergi dari negara ini, untuk mengobati patah hatinya, bagaimana tidak, hubungannya dengan cinta pertamanya ditentang habis-habisan oleh maminya, karena pacarnya pernah menusuk perut kakak tirinya, memang cukup fatal, tapi pacarnya punya alasan melalukan hal itu, apalagi kalau bukan karena cemburu, dia salah paham, melihat kedekatannya dengan kakak tirinya.
Salah satu supir Daddy tirinya menjemputnya di bandara, "Pak Pri, bisa antar Bella ke Pangadegan dulu," pintanya.
"Baik non," sahut Pak Pri dibalik kemudi.
Bella Shofia menatap pemandangan yang dilaluinya, ibu kota banyak berubah, jalan yang lebih tertata, juga beberapa gedung baru. Dia rindu kota ini.
Sejam lebih, mobil yang ditumpanginya, sampai ditempat tujuannya, sebuah rumah berpagar hitam, yang menghadap ke arah rel kereta Jakarta-Bogor.
Rumah yang dulu, pernah dikunjunginya saat SMA, ada banyak perubahan, baik cat ataupun model atapnya.
Bella terdiam cukup lama, mengamati rumah pacar pertamanya. Dia ingat sebelum kejadian penusukan itu, dia diterima dengan baik oleh keluarga Billy, ibunya bahkan membuatkannya kue nastar favoritnya.
Saat itu, rasanya bahagia sekali, dia dan Billy saling mencintai, sayangnya karena kelalaiannya, tak menjelaskan tentang kedekatannya dengan Olsen, membuat Billy cemburu dan menusuk sahabatnya sendiri.
Kamila marah besar saat mengetahui putra tiri kesayangannya, menjadi korban penusukan yang dilakukan oleh pacar putri kandungnya, bahkan Kamila sendiri yang melaporkan Billy pada polisi, sehingga lelaki itu masuk di penjara.
Walau berakhir dengan kesepakatan damai, atas permintaan Olsen, tapi Ibu dari Billy dan Kamila sudah terlanjur terlibat dalam pertengkaran hebat.
Sejak itulah hubungan Bella dan Billy ditentang habis-habisan, dan akhirnya mereka menjalin hubungan secara diam-diam.
Hingga Billy lulus dari bangku SMA, orang tuanya mengirimnya ke luar pulau, tentu dengan tujuan menjauhkan dua sejoli itu.
Bella menghela napas, "Kita kembali pak," pintanya pada supir.
Tapi baru hendak melaju, pagar rumah itu terbuka dari dalam, terlihat Billy sedang merangkul wanita hamil dan seorang balita laki-laki, keluar dari sana.
Bella bisa melihat senyum kebahagiaan dari wajah keluarga kecil itu, tanpa dia sadari, air matanya luruh.
Dia memang pernah mendengar informasi, jika Billy menikah empat tahun lalu, dengan wanita yang dijodohkan orang tuanya.
Entah mengapa hati Bella, rasanya tidak rela, apa semudah itu Billy melupakannya? Padahal dia hingga empat belas tahun ini, tak bisa melupakan laki-laki itu, usai mereka putus secara paksa.
Mobil yang ditumpanginya semakin menjauh, tapi mata Bella tak bisa lepas dari lelaki yang hingga saat ini masih terpatri dalam hatinya.
Rasanya sakit sekali, dadanya sesak, dia patah hati kembali, karena lelaki yang sama.
Dulu Bella sempat mengharapkan keajaiban, bahwa suatu saat orang tua masing-masing akan melembut hatinya, agar dia dan Billy bisa bersama, tapi kini dia harus menelan pil pahit, dia tak akan mungkin bersama cinta pertamanya.
Mulai sekarang dia harus merelakan cinta pertamanya, dia harus menguburkan perasaan itu dalam-dalam, jangan sampai dia merusak kebahagiaan orang lain.
***
Bella disambut dengan hangat, keluarga yang belasan tahun dia tinggalkan, rumah yang sempat dia tempati selama tiga tahun, pasca maminya menikah lagi, usai menjanda belasan tahun lamanya, karena papinya meninggal saat Bella masih dalam kandungan.
Dia memang sempat mendengar keluhan maminya, tentang Daddy tirinya yang dengan tega berbuat kejam pada Olsen dan keluarga kecilnya, hingga maminya pergi dari rumah dan mengajukan gugatan cerai, tapi pada akhirnya, mereka kembali bersama.
"Mami udah minta pelayan, siapin kamar kamu, setelah kamu bersih-bersih dan istirahat, kita makan sama-sama, tadi ibu Emi sudah kirim rendang, untuk kita makan malam," kata Kamila padanya,
Bella bisa melihat kesibukan para pekerja EO menghias halaman samping rumah, untuk dijadikan tempat akad sekaligus pesta sederhana antara mbak Hasya dan Olsen.
"Oliver mana mi?" tanyanya pada Kamila, dia menanyakan adiknya, hasil pernikahan maminya dengan Rudolf.
"Itu dia, adik kamu itu udah terlanjur akrab sama anak-anaknya Olsen, jadi dia nggak mau balik ke rumah ini,"
"Memangnya mereka nggak disini?" tanya Bella heran, bukankah harusnya mereka berada di rumah, mengingat acara akan dilakukan esok hari.
"Mereka di rumah Emil, kamu ingat teman Abang Olsen, yang cindo itu loh,"
Bella mengingat kembali sahabat-sahabat kakak tirinya, yang dikenalnya, Julian anak ibu Emi, pengusaha katering, Andre si anak IPS yang satu kelas dengan Billy dan terakhir Emiliano, lelaki cindo bermata sipit yang terkenal player saat dirinya SMA.
Seingatnya, banyak teman-teman sekelas bella yang mengagumi sosok yang lebih mirip oppa korea.
"Kok bisa dirumahnya Bang Emil, mi?" tanya Bella bingung.
Kamila mulai menceritakan, jika selama ini, Hasya memalsukan kematiannya, pasca Olsen koma dan dibawa ke Amerika oleh pamannya, selama itu pula, Hasya dan Emil hidup bersama mengurus ketiga anak sekaligus.
"Oh, tapi kok bisa mbak Hasya nikahnya sama Abang Olsen lagi, bukannya sama bang Emil yang sudah hidup lama bersama mbak Hasya?" tanyanya heran, bagaimana bisa dua orang berbeda jenis kelamin, yang hidup belasan tahun bersama, tak ada perasaan khusus.
Keduanya duduk sejenak di sofa ruang keluarga, dari sana mereka bisa melihat halaman samping rumah, "Mami pernah tanya, katanya sejak kematian Novi istrinya, Emil seperti mati rasa, bukan tanpa usaha, Emil bahkan pernah mencoba menyewa jal*Ng, tapi dia justru jijik dan tak berhasrat,"
"Impoten gitu maksudnya?" tanya Bella tak percaya.
Kamila menaikan bahunya, "Mami aja heran, kok bisa playboy bisa tobat, aneh banget, kayak nggak masuk logika,"
"Sudahlah, mungkin saja saking cintanya pada mendiang istrinya, sehingga bang Emil kayak gitu, kita doain yang terbaik,"
Kamila setuju dengan ucapan putrinya, "Emil ayah yang baik buat anak-anak Hasya sama Olsen loh, sehingga mereka tumbuh dengan baik, mami kagum sama dia,"
Setelah berbincang tentang hubungan Kamila dan Rudolf, Bella yang baru saja menempuh perjalanan jauh, meminta ijin untuk beristirahat di kamar.
Tak banyak berubah dari kamar yang ditempatinya dulu, hanya beberapa furniture yang diganti, Bella segera memasuki kamar mandi, dia akan membersihkan diri terlebih dahulu, agar nyaman saat tidur nanti.
Mengenai koper, nanti saja dia membereskannya, kini dia butuh istirahat, dia mengalami jet lag.
Dia merebahkan tubuhnya diatas ranjang, tatapan matanya tertuju pada langit-langit kamarnya, dia menghela nafas, dia harus bisa mengikhlaskan cinta pertamanya, meski tau ini sulit.
Meskipun debaran itu masih ada, bahkan memikirkannya saja, membuat jantungnya berdetak lebih cepat.
Bella lebih memilih memejamkan matanya, berharap usai bangun nanti, dia bisa melupakan segalanya.
Jangan lupa tinggalkan jejak
Sudah hampir empat belas tahun berlalu, tapi aku masih belum bisa merelakan kepergian mu, aku merindukanmu, aku masih berharap jika kamu hanya pergi sebentar, dan suatu saat akan kembali, mendengar suaramu menyapaku, senyuman cantikmu dan pelukan hangat mu.
Tapi kenyataannya, hingga saat ini kamu tak jua kembali, aku merindukanmu, benar-benar merindukanmu, sampai rasanya aku ingin menyusul mu.
Tapi jika aku menyusul mu, bagaimana dengan sesuatu yang kamu tinggalkan? Buah cinta kita, putri cantik kita, yang senyumannya sangat mirip dengan mu.
Terkadang, aku berandai-andai, seandainya dulu aku tak membiarkanmu untuk mengandungnya, mungkin hingga saat ini, kamu masih berada di sampingku.
Ah..., Rindu ini membuatku sesak, rasanya sulit hanya sekedar bernapas, apa yang harus aku lakukan?
Sebagian orang yang mengenalku mengatakan agar aku mencari penggantimu, tapi hatiku sudah mati, terkubur bersama jasadmu di bawah sana.
Sering kali aku mencuri waktu, menghampiri tempat peristirahatan mu, hanya untuk berbagi cerita, tentang keseharian ku, berharap agar kamu bisa mendengarnya.
Aku sudah pernah merasakan kehilangan, tapi saat kehilanganmu, rasanya gairah hidupku juga telah hilang, andai tak ada buah cinta kita dan sahabat baik mu, mungkin aku telah menemanimu di alam sana.
Setiap aku datang ke tempatmu, tak terasa air mataku luruh, hingga detik ini aku tak bisa melupakanmu, aku merindukanmu, andai bisa aku ingin kamu kembali, aku ingin memelukku, dan membisikan kata cintaku padamu, sebanyak yang kamu mau.
Dering telpon berbunyi, aku melihat siapa gerangan yang menghubungiku, tertera nama bunda dari putri kita, dia sahabatmu, dia penyemangatku, aku menjulukinya malaikat tanpa sayap.
"Kamu lagi dimana? Kenapa nggak pulang-pulang?" Aku bisa mendengar nada kekhawatiran dari dia.
"Aku lagi pergi sebentar bund, Ada apa?" tanyaku. Aku melihat jam di ponselku, pukul setengah enam sore, aku melihat langit, yang mulai berwarna oranye, selalu seperti ini, saat aku mengunjungi kamu, waktu seolah cepat berlalu.
"Mil, kenapa kamu seolah menghindari aku? Apa kamu tidak setuju aku menikah? Kalau iya, aku akan batalkan saja, ya!"
Aku tau dia tengah gusar, besok malaikatku akan menikah ulang dengan suaminya, yang belasan tahun terpisah karena suatu hal, lelaki itu teman baikku saat SMA.
"Aku nggak menghindar bund, aku lagi sibuk, kamu tau bukan, aku harus menjalani dua pekerjaan sekaligus," Aku berbohong, aku tak mau dia tau, jika aku masih hampir setiap Minggu mengunjungi mendiang sahabatnya, bisa-bisa dia menangis terus-menerus, akan sulit bagiku untuk menenangkannya.
"Bohong, barusan aku telpon Andre, tapi kamu nggak di kantor, jadi dimana kamu sekarang?" Aku lupa tidak memberitahu sahabatku sekaligus yang membantuku mengelola perusahaan peninggalan papi ku.
"Aku lagi cari angin di taman dekat kantor, sebentar lagi aku akan ke sana," Aku berbohong pada dia, aku harap dia percaya dan jangan banyak bertanya.
"Jam berapa kamu pulang? Aku mau tunggu kamu,"
"Entahlah, tergantung kondisi jalan, bunda tau bukan, Jalanan Jakarta tak bisa diprediksi,"
"Kalau gitu aku tunggu hingga kamu pulang,"
Dia mengakhiri panggilannya, mungkin kesal, beberapa hari ini, aku sengaja menghindarinya.
Bagaimana tidak, aku membohonginya, tentang kehamilannya, demi membantu sahabatku untuk kembali menikah dengannya.
Aku meminta salah satu asistenku yang tengah hamil muda, meminjam perutnya untuk aku USG, seolah dia tengah hamil.
Hidup seatap bersama, selama belasan tahun, membuatnya tau betul berbagai ekspresi ku, salah satunya saat aku sedih, karena merindukan sahabatnya, atau saat aku berbohong, soal aku yang kembali mengunjungi club' malam, demi membuktikan milikku masih bisa tegak atau tidak, dia benar-benar tau.
Aku melihat bunga Lili, yang aku letakan di atas pusara istriku, aku selalu membawanya, setiap aku datang, walau aku tau, itu hal yang sia-sia, karena mendiang istriku tak mungkin bisa mencium wanginya atau menikmati indahnya.
"Sayang, besok sahabat kamu akan menikah lagi dengan suaminya, aku harap setelah ini, dia lebih bahagia, walau sejujurnya aku merasa kehilangan, aku harap kamu setuju dengan keputusanku, dan mengenai putri kita, kamu tenang aja, dia bilang akan tetap mengurusnya dengan baik,"
Sudut mataku mulai gatal, sepertinya air mataku akan kembali tumpah, "Putri kita diperlakukan sama dengan kedua putra kembarnya, kamu jangan khawatir, sahabat kamu benar-benar menjalani perannya dengan baik,"
Air mataku mulai mengalir, aku mulai terisak, dan suaraku mulai bergetar, "Aku berterima kasih, karena kamu memberikan putri dan sahabat kamu buat aku, sebagai teman hidupku yang terasa berat tanpa kehadiran kamu,"
Aku menyeka air mataku, dengan sapu tangan pemberian mu, ada inisial nama kamu dan aku di sana. Aku ingat kamu menyulamnya dengan tangan mu sendiri, sebelum kamu pergi, "Aku pulang dulu ya! lain kali aku akan kembali, mungkin dengan membawa putri kita,"
Aku mencium pusara yang tertulis namamu, seraya membisikkan ungkapan cintaku yang takan pernah ada habisnya untukmu.
***
Aku baru sampai rumah warisan papi, menjelang tengah malam, aku sengaja pulang sangat terlambat, berharap Hasya sudah tidur, tadi aku mampir dulu ke kantor menemui Andre, yang tengah disibukan dengan berkas di meja kerjanya.
Aku ingat dulu Andre, sempat memusuhiku, karena diantara kami berempat, hanya dia yang berada di jurusan IPS saat SMA, dia kesal karena aku tak mau diajak bersamanya.
Tapi sepeninggal Olsen yang dibawa ke Amerika oleh pamannya, kami kembali akrab dan menghabiskan waktu bersama, jika ada waktu luang.
Aku baru saja membuka pintu rumah, alangkah terkejutnya aku, mendapati wanita dengan gaun putih menatapku dengan tajam sambil berkacak pinggang.
"Kenapa baru pulang? Jam berapa ini? Bukankah aku sudah bilang untuk pulang cepat? Kamu sengaja menghindari aku? Aku buat salah apa sama kamu?!"
Aku mengorek telingaku dengan jariku. Astaga, hanya dia yang berani mengomeli ku, bahkan mendiang mami dan istriku saja tak pernah mengomel seperti itu.
"Emiliano, kamu nggak mau jawab pertanyaanku?"
"Ini aku mau jawab bund, kamu ngomong nggak mau berhenti," sahut ku, "Lagian kenapa kamu belum tidur, kamu besok harus didandani, supaya terlihat cantik didepan suami kamu,"
Dia berjalan ke arah dapur, tentu aku harus mengikutinya, kalau tidak, bisa-bisa dia mengomel hingga subuh.
Dia menyeduh wedang jahe untukku, hal yang rutin selalu dia lakukan, jika aku pulang terlambat, dia menyodorkan cangkir bening berisi cairan berwarna cokelat padaku.
Aku duduk di stoll, lalu meminum perlahan sembari menghirup aroma wangi jahe, rasanya enak sekali.
Dia duduk disebelah ku, aku bisa mendengar helaan nafasnya, "Kenapa bund?" tanyaku, aku sedikit khawatir, tentang kesehatannya.
"Aku mau batalin pernikahanku, aku kayak nggak yakin deh,"
Aku melebarkan mataku, aku menoleh menatapnya, "Kenapa? Apa alasannya? Jangan bercanda,"
"Tapi aku bimbang Mil, bagaimana dengan anak-anak? Aku takut Olsen menuntut ku untuk mengikutinya ke Amerika,"
Ah.... Aku lupa soal ini, aku menyetujui permintaan Olsen untuk membantunya kembali pada istrinya, tanpa membahas soal anak-anak.
"Kamu mau, jauh dari anak-anak?"
Aku menggeleng, Jelas itu tak mungkin, ketiga anak itu adalah penyemangatku. Bagaimana bisa aku dipisahkan dari mereka?
"Aku juga nggak mau pisah dari mereka, jadi kemanapun aku pergi, aku akan membawa mereka,"
Aku melotot lalu menggeleng, "Mana bisa begitu, mereka juga anakku ,"
Astaga kami bertengkar memperebutkan anak-anak, bagai mantan suami istri yang tengah bersengketa di pengadilan, memperebutkan hak asuhnya.
"Mil, kamu lupa, di akta kelahiran ketiga anak itu, aku adalah ibunya, aku ibu mereka secara hukum, bahkan aku kepala keluarga untuk mereka,"
Aku lupa soal itu, ya ampun, bahkan putri kandungku telah resmi jadi anak dari wanita di sebelahku, apa yang harus aku lakukan? Menuntut secara hukum, akan sangat sulit, dan harus melewati prosedur yang rumit.
Aku jadi dilema, aku memijat kepalaku yang mulai berdenyut, aku pusing, aku berusaha menenangkan diriku, "Kita bahas besok mbak, aku coba ngomong sama Olsen,"
"Oke," dia turun dari stoll, "Ingat ya Mil, anak-anak akan selalu bersamaku di manapun aku berada,"
Aku melihat kepergian wanita dengan gaun berwarna putih itu, menuju kamar yang bersebelahan dengan kamarku.
Aku menenggak sekaligus wedang jahe yang mulai dingin, sepertinya aku tak akan bisa tidur malam ini, aku harus menemui sahabatku.
Jangan lupa subscribe
Akad nikah antara Hasya dan Olsen berlangsung khidmad, dengan Emil dan Ardi yang merupakan sepupu dari pihak mempelai perempuan, bertindak sebagai saksi.
Acara hanya dihadiri keluarga dan teman kedua mempelai, juga mantan rekan kerja dulu.
Banyak ucapan selamat dan doa yang mengalir untuk si empunya acara, kebahagiaan terlihat jelas pada sang mempelai laki-laki, akhirnya setelah sekian lama, dia bisa kembali bersama dengan wanita yang sempat tak dikenalinya, akibat insiden belasan tahun lalu.
"Mukanya biasa aja dong, kayak nggak rela banget lihat partner hidup balik ke lakinya," Sindir Andre, sembari menyodorkan desert berbahan dasar cokelat.
Emil tersenyum kecut, "Gue cuman lagi mikir, setelah ini hidup gue gimana ya? Gue biasa bareng mbak Hasya, dan sekarang gue sendiri bersama anak-anak," Dia menerima desert pemberian sahabatnya, dia menyuapkan sedikit ke mulutnya sendiri.
Andre terkekeh, "Telat Lo mikirnya, harusnya dari awal Lo nikahin aja mbak Hasya," dia seolah ingin mengejek sahabatnya.
Emil mendengus kesal, "Lo pikir nikah, cuman perkara sama-sama ngurus anak dan rumah, terus urusan kasur gimana? Masa gue punya bini tapi nggak bisa ditiduri," Dia ingat pernah mencoba dengan Hasya, sekedar berciuman, tapi baru saja hendak menempel, keduanya kompak langsung menjauh, bagaimana akan melanjutkan tahap berikutnya, jika sekadar ciuman saja, mereka sama-sama canggung?
Andre akhirnya meledakan tawanya, dia tak percaya, mantan player seperti Emiliano, bisa puasa tidak menyentuh wanita selama belasan tahun, dia ingat dulu, yang mengenalkannya pada kenikmatan duniawi adalah lelaki cindo itu.
"Si Bangsat malah ngetawain," makinya dengan suara pelan, dia tak ingin anak-anaknya tau, kata-kata kasar yang dia lontarkan.
Andre mendekat, dia membisikan sebuah rencana. "Terus kalau anak-anak gue pada nanya, gue jawab apa?" tanya Emil.
"Bilang aja urusan bisnis sama gue, mumpung Lo masih cuti," jawab Andre.
Emil mengajukan cuti selama tiga hari, pada rumah sakit tempatnya bekerja sebagai dokter kandungan.
"Tapi Lo yang pamitin, terutama sama mbak Hasya, dia tuh bisa bedain, gue bohong atau nggak,"
Andre mengangguk setuju, "Lo juga, jangan bilang ke Juli, bisa berabe kalau Melia ngadu ke Fenita." Pacar barunya masih ada hubungan saudara dengan istri Julian.
Emil berdehem, lalu salah satu anaknya memanggilnya, itu Nuha, "Gue ke sana dulu ya, anak gue panggil,"
Tanpa menunggu jawaban dari Andre, dia beranjak menuju putrinya, yang kini tengah bersama Kamila.
"Ada apa sayang?" tanya Emil lembut, dia merangkul pundak putrinya, seraya mencium keningnya, Nuha mengenakan kebaya sage seragam dengan Kamila dan Bella.
"Ayo kita foto keluarga dulu," ajak Nuha.
Hasya dan Olsen duduk berdampingan, sedangkan Kamila dan Rudolf mengapit kedua mempelai, Bella dan Emil berdiri dibelakang mempelai, sedangkan keempat remaja itu mengapitnya.
Fotografer memberikan kode agar mereka tersenyum, dan beberapa kali suara kamera menangkap gambar mereka.
Selesai berfoto, Asher mengajak Emil menjauh untuk berbicara, mereka berada di dekat di dekat gazebo.
"Ada apa, Ash?" Tanya Emil heran.
"Pi, setelah ini, kita tinggal di mana?" Tanya remaja bermata hitam itu.
"Maunya Asher di mana?" Tanya Emil balik, dia belum sempat mendiskusikannya dengan ketiga remaja itu.
"Mau aku sih, tetap di rumah Papi dan masuk sekolah lagi," jawabnya.
"Kamu nggak ikut bunda sama ayah?"
Asher menggeleng, "Aku lebih betah di rumah Akong, dekat dengan pantai, dan aku malas menyesuaikan diri dengan lingkungan baru lagi,"
"Bagaimana dengan yang lain?"
Asher menaikan bahunya, "Terserah mereka, yang jelas aku mau ikut papi aja,"
Emil pikir Asher yang pernah diselamatkan oleh Olsen, akan memilih dengan ayah kandungnya, tapi nyatanya, dia justru memilihnya.
"Kita diskusikan dengan bunda dan saudara kamu yang lain, setelah bunda pulang dari bulan madu bersama ayah, bagaimana?"
Asher mengangguk, remaja itu menghembuskan nafasnya kasar, "Apa jika papi menikah, papi akan meninggalkan kami?" tanyanya tiba-tiba.
"Untuk saat ini, papi tidak ada rencana untuk menikah, bukankah kamu tau, papi sibuk bekerja dan papi juga tak memiliki pasangan,"
Asher bernafas lega, "Kadang aku rindu suasana rumah kita di Sukabumi, saat kita hanya berlima,"
Emil merangkul pundak putranya, "Kita bisa mengunjunginya diakhir pekan,"
"Bagaimana kalau besok? Bukankah papi masih ada cuti dua hari lagi?"usul Asher.
Emil tersenyum, "Papi coba tanya om Andre dulu, apa ada pekerjaan mendesak atau tidak, jika tidak ada, kita bisa menginap semalam di sana,"
"Bolehkah Oliver ikut?"
Emil mengangguk, "Tentu saja,"
Pesta baru berakhir pukul tiga sore, para tamu mulai meninggalkan rumah itu, hingga menyisakan keluarga saja.
***
Baru saja Emil keluar dari kamar mandi, ponselnya berdering, dia pikir itu Andre, tapi yang tertera di layar justru Hasya, bukankah seharusnya mereka sedang malam pertama?
"Iya bund, ada apa?" Sapanya pada si penelpon.
"Kamu bohongi aku, Emiliano?" Banyak kata-kata terlontar yang bisa Emil dengar, tapi dia lebih memilih menjauhkan ponselnya, bukannya mengarungi malam indah bersama suami, Hasya malah mengomel padanya,
"Udah ngomelnya, bund?" Usai Omelan itu reda, Emil bertanya.
"Kamu jahat banget bohongi aku, sekarang ini aku menstruasi, hamil apanya, jahat kamu,"
"Maaf Bund, suami bunda yang minta, sebagai sahabat yang baik, aku hanya membantunya, memangnya aku salah di mananya?"
"Tapi nggak bohong juga,"
Emil masih bisa mendengar dengusan kesal dari seberang sana, "Oke aku minta maaf, jadi sekarang aku tutup telponnya ya! Aku mau pakai baju dulu, abis mandi," tanpa menunggu jawaban dari seberang sana, dia mengakhiri panggilannya, dan mulai mengenakan pakaian miliknya.
Baru saja selesai mengancingkan kemejanya, ada pesan masuk dari Andre, yang mengatakan, jika lelaki itu akan berangkat dari apartemennya menuju tempat mereka janjian malam ini.
Emil segera memakai celana panjang, dan memakai jam tangan, tak lupa dompet juga ponsel, lalu bergegas keluar kamar yang ditempatinya, di rumah keluarga Blade, dia memang diberi satu kamar untuk beristirahat.
Tapi baru saja dia keluar kamar, dia mendapati adik tiri sahabatnya, juga melakukan yang sama, "Mau kemana Lo?" tanya Emil menyelidik, apa lagi melihat penampilan gadis itu, yang mengenakan dress hitam tanpa lengan dengan panjang hanya sampai setengah paha.
"Eh bang, ini aku mau anu, em...."
Emil bisa melihat raut wajah gugup dari gadis itu, bak maling kepergok, "Gue bukan Abang Lo, kalau ngomong yang jelas, mau kemana Lo?" tanyanya sinis.
"Em... Ini aku mau ketemu temen," jawab Bella gugup.
Emil melihat pergelangan tangannya, waktu menunjukan pukul setengah sebelas malam, "Jam segini mau ketemu temen? Nggak salah Lo?" tanyanya lagi, "Apa lagi dengan penampilan kek gini?" Emil menunjuk dengan dagunya.
Bella terdiam menunduk, Emil tau gadis itu berbohong padanya, "Anak cewek keluyuran malem-malem, neng ini bukan Milan yang Lo bisa bebas kemanapun dan jam berapapun, apalagi Lo punya nyokap masih kolot, masuk Lo!"
"Aku bukan anak-anak koh, aku wanita dewasa yang bebas melakukan apapun semau aku," umur Bella sudah kepala tiga, bagaimana masih dibilang anak-anak?
"Ya udah gue aduin ke mami Lo," Emil melangkah menuju kamar Kamila, tapi baru beberapa langkah, tangannya ditahan.
"Jangan koh, aku mohon, aku hanya ingin mencari hiburan, aku lagi patah hati," akhirnya Bella menjawab jujur.
"Itu urusan Lo, mau patah hati atau nggak, tapi Lo nggak perlu keluar segala, apalagi dengan penampilan kayak gini, mau jadi cewek nggak bener Lo!" Sedari jaman SMA, dia sedikit ketus dengan adik tiri sahabatnya.
Emil tau, Kamila sangat menjaga anak perempuannya, bagaimana tidak, meski terpisah jauh, tapi akan ada orang-orang yang menjaga dan mengawasi Bella.
"Koh, aku mohon, sekali ini aja, aku benar-benar butuh hiburan,"
Melihat gadis itu memasang wajah sedih, Emil tak tega, sehingga dia mengiyakan permohonan wanita itu, "Tapi Lo mesti jaga diri baik-baik, gue nggak mau diomelin nyokap Lo,"
Bella mengangguk antusias, seraya berterimakasih.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!