Jam 7 pagi cuaca kota Cirebon sudah panas dan gerah.
Memang begitulah hawa kota Cirebon, namun kota ini selalu menjadi kota penuh kenangan.
Seperti biasanya setiap pagi Melati Sekar Wangi atau biasa dipanggil Mela sudah siap membuka pintu toko besi "Darma Jaya".
Toko besi itu milik kakak ibunya yang Mela panggil dengan sebutan Wak Haji Darma.
Haji Darma adalah seorang pemilik toko bangunan yang cukup terkenal di kota Cirebon.
Letak tokonya dipinggir jalan raya Cirebon - Bandung, tepatnya di kecamatan Plumbon.
Mela bekerja di toko Haji Darma sudah lebih dari 7 tahun, dari awal tidak paham apapun sampai dia menguasai segala hal.
Dari harga semen, pasir, cat, batu bata, paku dan sebagainya.
Tak jarang karena sudah terlatih, maka bisa memberikan saran untuk pembeli apabila ada yang menanyakan untuk luas tanah sekian meter, butuh batu bata berapa banyak atau butuh semen berapa sak. (Hitungan penggunaan semen)
Dia bisa memberikan saran jumlah penggunaan bata dan semen apabila ada pelanggan yang baru mau memulai pembangungan.
Kebetulan sarannya selalu lumayan tepat sasaran perkiraan untuk kebutuhan pelanggannya.
Dan dia juga yang sekarang menjadi koordinator toko, hampir semua urusan toko menjadi tanggung jawabnya.
Mela sejak lulus SMA bekerja di rumah Wak Haji Darma, walau terhitung keponakan tetapi keluarga Wak Haji tidak memperlakukannya sebagai keponakan melainkan sama saja dengan pegawai lainnya.
Hanya saja dia diberikan kamar yang mungil di halaman belakang dekat gudang. Kamarnya berdampingan dengan kamar mandi dan di depan kamar mandi ada dapur kecilnya. Dan kamar itu menempel dengan dinding belakang paviliun milik Haji Darma. Dan paviliun tersebut berada di sayap kiri halaman besar toko besi Wak Haji.
Istri Wak Haji Darma yaitu Supriatin dan biasa Mela memanggilnya Wak Atin inilah yang sikapnya keras kepada Mela.
Sesungguhnya dia kurang suka dengan kehadiran Mela sejak awal, namun karena Mela adalah keponakan suaminya maka mau tak mau harus diterima.
Dan konsekuensinya adalah Mela tidak mempunyai hak istimewa, dia sama saja dengan karyawan lainnya.
Inti yang membuat Wak Atin tidak suka kepadanya adalah karena menurutnya Mela selalu lebih menarik dibandingkan Wiwit putrinya.
Sebenarnya Wiwit mempunyai kulit lebih putih tapi dia harus bermake up tebal agar tampak cantik, sementara Mela yang wajahnya selalu polos malah lebih menarik.
Sesungguhnya Mela sudah jenuh bekerja disini, tapi mau bagaimana lagi masih ada 2 adik lelakinya yang harus dia biayai.
Ayahnya meninggal karena kecelakaan ketika dia lulus SMA dulu. Padahal sewaktu masih ada ayahnya kehidupan mereka cukup lumayan karena ayahnya pegawai kecamatan.
Di hari yang naas itu ayahnya ditugaskan untuk mengambil berkas di kantor kabupaten. Padahal ayahnya pengemudi sepeda motor yang baik. Namun waktu itu ada seorang pemuda mengemudikan sepeda motor besar dengan kencang. Dan kemungkinan juga sambil mabuk, sehingga tak bisa menguasai kendaraannya.
Dan tak ayal terjadilah kecelakaan besar itu. Ayahnya tertabrak sepeda motor sehingga kepalanya membentur trotoar jalan, lalu seketika itu juga meninggal dunia.
Sementara pengemudi motor besarpun terpelanting dan menabrak pohon besar di seberang jalan.
Beruntung pihak keluarga penabrak mau memberikan sedikit santunan untuk biaya pemakaman dan lainnya.
Juga memberi sedikit modal untuk ibu berjualan.
Sementara menurut berita yang Mela dengar si penabrak juga mengalami koma dan kakinya cacat.
Karena ayah dulu masih pegawai honorer maka tidak ada uang pensiun yang bisa kami dapatkan.
Padahal ditahun itu sedang ada pemutihan untuk pegawai honorer yang sudah lama bekerja akan diangkat menjadi pegawai negeri tetap.
Namun naas 3 bulan sebelum ayahnya diangkat, sudah harus menghadap sang Khalik.
Otomatis harapan Mela bisa kuliah pupus sudah, lalu ibunya minta tolong kakaknya untuk mempekerjakannya di toko besi milik kakaknya di kota.
Pemikiran ibu kalau bekerja di rumah Wak Darma tidak perlu sewa kontrakan juga bisa makan bisa ikut keluarga Uwak.
Jadi lumayan hemat bisa buat bantu biaya sekolah kedua adiknya Rahman dan Wahyu.
Namun pada kenyataan memang tempat tinggal diberi, hanya jauh dari layak.
Makan pun diberi jatah, hanya tak selayaknya untuk seorang keponakan.
Rahman adik keduanya Mela sekarang sudah menjadi sekuriti di sebuah bank swasta. Setelah lulus SMA dia ikut pelatihan sekuriti dan sudah mendapatkan penempatan disana.
Sehingga lumayan 2 tahun belakangan ini beban Mela sedikit berkurang.
Maka diapun memutuskan melanjutkan studi kuliah kelas karyawan mengambil jurusan akuntansi.
Sedangkan adik bungsunya Wahyu saat ini masih SMK Farmasi dan kelas 3 menjelang kelulusan.
Dan itu cukup menyedot tabungan dan lainnya karena cukup banyak biaya yang harus dikeluarkan untuk kelulusannya.
Kemarin Mela mencoba mengajukan pinjaman kepada Uwaknya dan sudah pasti pengajuan seperti ini harus melalui menteri keuangan mereka yaitu Wak Atin.
Dengan segala segan dan berat hati dan mempertaruhkan harga diri, mau tak mau Mela harus melakukannya karena memang kebutuhan untuk kelulusan adiknya jauh lebih penting.
"Jadi begitu Wak Atin, Mela mohon bantuannya untuk pinjaman uang tersebut dan nanti pembayaran dipotong dari gaji Mela seperti biasa 10 kali," Mela mengajukan pinjaman sambil menunduk tak berani mengangkat wajahnya.
"Tiap tahun pinjam, selalu begitu. Makanya kalau pilih sekolah pakai perhitungan, ini malah pilih di SMK Farmasi segala. Sudah tahu masuk sekolah seperti itu bakalan keluar biaya banyak. Nekat kamu tuh," kata Wak Atin dengan ketusnya.
"Sira kuh beli nelipak dewek. Wis weru susah maksa nang awak bae". (Bahasa Cirebon \= Kamu tuh tidak mengaca diri. Sudah tahu susah malah memaksakan diri)
Mela hanya diam, dia memang yang menyekolahkan adiknya di sana. Besar harapan dia adik bungsunya bisa mempunyai kehidupan lebih baik kelak.
"Ya sudah begini saja, itu paviliun sebelah kamu beresin. Cari penyewa, siapa tahu ada peminat. Wak pasang harga 7,5 juta per tahun tidak kurang lagi. Nanti yang 5 juta untuk adikmu. Sudah tidak usah pinjam tapi kamu usaha biar tempat itu ada yang menyewa".
Sontak Mela mengangkat wajahnya dan mengucapkan terima kasih kepada Wak Atin.
Memang Wak Atin kalau bicara pedas, tapi terkadang dia juga banyak baiknya.
Entah apa yang membuat beliau selalu ketus kepadanya selama ini, Mela tidak ambil pusing.
Baginya selalu menilai orang dari sisi positif jauh lebih baik. Jangan banyak prasangka buruk terhadap orang lain.
Hidup harus dibuat enjoy.
"Lets enjoy the music...eh...
enjoy the life"
Paviliun yang dimaksud Wak Atin adalah yang terletak di sebelah halaman toko kami.
Letak berseberangan dengan toko hanya dipisahkan oleh jalan masuk dari pintu gerbang.
Toko ada di sayap kanan, dan paviliun ada di sayap kiri. Rumah tinggal Wak Haji Darma tepat dibelakang toko.
Dan kamar mungil Mela berada di belakang paviliun.
Namun kalau dari kamar Mela mau ke paviliun harus berputar dulu jalan ke depan. Karena tidak ada jalan tembus.
Berbeda dengan toko dan rumah Wak Haji ada jalan tembusnya yang menghubungkan rumah dan toko.
Halaman rumah besar sekali sekitar 800 meter persegi.
Sehingga di bagian belakang banyak stock barang berupa batu bata, genting, semen dan lain-lainnya, juga ada gudang besar.
Kalau Mela keluar kamarnya menuju toko harus menyeberang halaman tersebut.
Dan tidak ada penutup atas di antara kedua sayap bangunan, jadi kalau hujanpun Mela harus ke toko atau sebaliknya, sambil harus berhujan-hujanan.
Saking perhitungannya Wak Atin, di kamar mungilnya Mela ada alur listrik sendiri dengan sistem token, sehingga kalau pulsa token habis maka Mela harus isi pulsa token listrik sendiri.
Yah bisa dianggap mirip rumah kontrakan kecil, tapi tidak bayar. Semuanya serba sendiri bahkan pompa air pun sendiri.
Untung di paviliun juga ada sumur air jadi saluran air ke kamar mandi Mela itu berbagi jatah dengan paviliun.
Untuk makan Mela mendapat jatah 2 kali makan, siang dan malam.
Itupun menu berbeda dengan keluarga Uwaknya.
Jarang bertemu dengan yang namanya ayam goreng, paling mewah telur balado. Selain itu pertemuan di piring setiap hari tidak jauh dari tahu, tempe dan kangkung atau bayam.
Makanya Mela dulu ikut cicilan kompor gas kecil untuk masak mie instan sendiri bila dirinya lapar.
Mela memandang paviliun yang ada di halaman seberang toko lalu masuk ke halamannya.
Di depan paviliun ini ada halaman yang bisa digunakan sebagai tempat parkir bila penyewa nanti membawa kendaraan.
Lalu Mela mengeluarkan kunci dan membuka pintu depan. Langsung tercium hawa lama tidak ditempati.
Memang terakhir yang menyewa adalah seorang dokter dari kota Jakarta yang ditugaskan di puskesmas dekat sini.
Dan sekarang sudah hampir 3 bulan kosong karena dokter tersebut ditugaskan lagi ke kota lain.
Dulu beliau menempati paviliun ini selama hampir 3 tahun. Dan selama itu pula Mela dekat dengan dokter tadi.
Namanya dokter Harsono, orangnya baik dan kocak. Dia suka minta tolong kepada Mela misalkan malam hari kelaparan minta dibuatkan mie instan. (Padahal dokter loh tapi doyan mie instan...hihihi)
Atau kadang minta dibuatkan teh manis atau kopi.
Dan dokter Harsono inilah yang menyemangati Mela untuk kuliah lagi. Dia menyarankan ambil kelas karyawan, cari yang jadwalnya tidak menggangu jam kerja.
Setelah ditimbang-timbang maka Mela setuju, dan dokter Harsono pula yang membantu mencarikan kampus yang tepat untuknya.
Melihat kedekatan mereka dulu, jelas membuat Wak Atin sangat iri hati. Dipikirnya Mela menutup kesempatan untuk Wiwit anaknya mendapatkan jodoh seorang dokter.
Padahal Mela sama sekali tidak ada hati kepada dokter Harsono, dia menganggapnya kakak sendiri. Begitupun dokter Harsono menganggapnya adik, dan Mela juga tahu dokter sudah punya tunangan.
Mela memeriksa setiap sudut paviliun itu. Sebuah rumah kecil ukuran 45 meter persegi, ruang tamu kecil, ada 2 kamar tidur, 1 kamar mandi dan dapur kecil.
Semuanya masih dalam keadaan baik tidak ada yang bocor, hanya mungkin harus di cat ulang.
Lalu Mela menyampaikan kepada Wak Atin perihal di cat ulang tersebut.
Dengan wajah dingin Wak Atin menjawab," Ya wes luru bae cet sisaan ning gudang. Di enggo bae kuwen kang ana, engko jaluk tulung ning Mang Didi kang ngecete".
(\=Ya sudah cari saja cat sisa di gudang. Pakai saja itu, nanti minta tolong Mang Didi yang mengecat nya)
"Inggih Wak, mengkine kangge ongkose Mang Didi e pripun?"tanya Mela.
(\=Baik Wak, maaf ongkos Mang Didinya bagaimana)
"Ya wes deweke bae kang bayar jeh. Masa a Wawak maning bae. Yong beli sepira iki. Menggawe cet mengkonon paling sedina pragat. Sira kuh arepan tak pai duwit tapi beli gelem rugi setitik bae gen".
(\=Ya sudah kamu yang bayar dong. Kan tidak seberapa ini. Kerja mengecat begitu paling sehari selesai. Kamu tuh mau dikasih uang tapi tidak mau rugi sedikit juga.)
Mela hanya bisa mengiyakan sambil hatinya terkadang luka. Cara bicara wak Atin tak pernah halus sekali saja kepadanya. Selalu ketus dan kasar.
Dia mencari sisa cat tembok di gudang belakang. Kebetulan ada beberapa cat tembok yang memang kalengnya rusak tidak layak dijual, selain itu juga memang ada sisa-sisa bekas dulu mengecat ulang rumah Wawak.
Mela juga memanggil Mang Didi pegawai toko dan beliau bersedia mengecat paviliun hari minggu nanti.
"Mang tapi warnanya tidak sama begini bagaimana yah?"tanya Mela.
"Wes nok kalem bae, mengko mamang sing ngatur warna e. Misal Kamare ijo daun, Kamar mandie biru, dapure emping. Setuju bli?"Mang Didi memberikan Mela saran sambil setengah bercanda.
*nok itu panggilan kepada anak gadis yang artinya nona atau non.
(\=sudah non tenang saja, nanti mamang yang mengatur warnanya. Misalkan kamarnya hijau daun, kamar mandi biru, dapurnya pink. Setuju tidak?)
"Ya wes nok tenang bae apa jare mamang sih, sing penting hasile apik nok".
(\=sudah non tenang saja kata mamang sih, yang penting bagus hasilnya non)
Melapun akhirnya setuju dengan ide Mang Didi, dan merekapun berjanjian hari minggu pagi nanti pengerjaannya.
Tepat di hari minggu pagi, mang Didi sudah datang lalu melihat ke dalam paviliun.
Kemudian dia mencoba mencari beberapa cat sisa yang warnanya hampir sama dengan sebelumnya.
Hampir seluruh ruangan dulunya di cat warna coklat muda, dan kebetulan cukup banyak dari kaleng penyok warna yang hampir serupa.
Akhirnya minggu malam menjelang isya selesai juga pengecatan paviliun tersebut.
Mela harus keluar uang dari kocek pribadinya sekitar 350 ribu rupiah untuk membayar upah, cemilan dan makannya siMang Didi.
Padahal bagi Mela uang sebesar itu sangat berarti sekali tapi demi mendapatkan 5 juta untuk keperluan adiknya, maka dia pun ikhlas dalam mengeluarkannya.
Lalu dia memasang pengumuman di depan pagar,
"Disewakan Paviliun beserta isi lengkap, hubungi toko sebelah".
Anton duduk terdiam sambil memegang surat tugas terbaru dari Departemen Kesehatan Kota Bandung.
Surat tersebut berisi penunjukan dirinya mulai minggu depan harus segera mengisi kekosongan dokter umum di puskemas Jamblang Kabupaten Cirebon.
Hal itu membuatnya lemas dan serasa hilang gairah. Bukan karena penugasannya, tetapi Kota Cirebonnya.
Ada sekelumit kisah kelam masa lalu dalam hidupnya yang berhubungan dengan Kota Cirebon.
Namun entah mengapa permainan kehidupan mengharuskannya kesana.
Bila dia menolak tentu akan mempersulit langkahnya untuk suatu saat dia membuka praktek atau klinik sendiri.
Harus menjalani sekitar 7 tahun penempatan di berbagai daerah, maka baru dia bisa mengajukan permohonan membuka klinik sendiri.
Dia terlambat lulus dulu karena suatu kecelakaan di Cirebon, dia harus kehilangan kaki kirinya karena suatu kecelakaan di Cirebon.
Kadang kata Cirebon seolah mimpi buruk baginya. Tapi kenyataan berbicara dia harus kembali kesana dan tidak untuk sebentar saja.
Kemarin dia sudah bicara dengan kedua orangtua dan kakak perempuannya. Tapi semua malah mendukung, mereka menyemangati agar Anton tidak terbelenggu mimpi buruk.
Bahkan kakak iparnya yang seorang psikolog menyarankan sesuatu yang ditakuti justru harus berani untuk dihadapi.
Setelah Tahajud dan berdzikir, akhirnya Antonpun merasakan bahwa Allah pasti punya rencana untuk dirinya dan biarlah dia mengikuti kehendak Allah atas penugasan ini.
Semalam dia di kirimkan SMS oleh tim pengurus penugasan untuk menghubungi dokter Harsono yang sebelumnya bertugas disana. Perihal tempat tinggal yang sebelumnya ditempati oleh dokter Harsono.
Hari senin pagi dokter Harsono sedang bersiap untuk praktek di suatu Puskesmas di kota Serang Banten.
Beliau sebelumnya bertugas di Kabupaten Cirebon selama hampir 3 tahun. Namun ada rotasi sehingga beliau dipindahkan ke Serang Banten.
Saat ini di Kabupaten Cirebon tepatnya di Puskesmas Jamblang kekurangan tenaga medis karena dokter Harsono pindah tugas.
Rencananya dalam waktu dekat ada dokter pengganti dari Bandung bernama dokter Anton Wiharja.
Pagi itu dokter Anton Wiharja menghubungi dokter Harsono melalui telepon genggamnya.
"Selamat pagi, dengan dokter Harsono?" tanyanya.
" Ya betul, maaf dengan siapa dan ada yang bisa saya bantu?"jawab dokter Harsono sambil bertanya balik ingin tahu siapa yang tiba-tiba menghubunginya.
"Maaf mengganggu, saya dengan dokter Anton Wiharja yang akan bertugas di Cirebon," jawab Anton.
" Oh iya, salam sejawat dokter Anton, bagaimana dokter Anton ada yang bisa saya bantukah?".
"Ya dokter Harsono salam sejawat, begini saya mau minta informasi untuk tempat tinggal yang sebelumnya dokter tempati. Apakah punya nomor kontak pemiliknya, saya rencana lusa akan ke Cirebon untuk survey kebetulan sedang cuti, jika cocok semuanya mungkin segera bisa saya tempati karena senin depan harus segera tugas disana".
" Oh ada, iya tempatnya untuk saya sih kemarin ini lumayan bagus. Sederhana sih. Tapi kalau misal dokter Anton bawa keluarga mungkin terlalu kecil".
"Oh saya belum menikah, jadi saya memang akan sendiri nanti".
"Hmm begitu yah, baik nanti saya kirimkan nomor yang bisa dihubungi yah. Saya tanyakan siapa dulu siapa tahu masih kosong tempatnya".
"Baik terima kasih dokter Harsono, saya tunggu konfirmasinya. Selamat bertugas".
Dan pembicaraanpun diakhiri.
Lalu dokter Harsono mencari nama di kontak teleponnya dan muncul nama Mela.
Lalu diapun menghubungi Mela.
Pagi itu Mela sedang memeriksa catatan kontra bon yang harus dibayarkan hari itu dan juga nota-nota lainnya.
Tiba-tiba lacinya bergetar, lantas dia mengintip siapa yang menghubunginya.
Saat melihat nama yang tertera di telepon genggamnya, matanya sontak berbinar dan segera menyahutnya.
" Assalamualaikum dokter, apa kabar, kirain lupa sama Mela. wah sombong yah engga pernah telepon atau chat Mela lagi nih," Mela dengan cerianya menyahut teleponnya tersebut.
"Walaikumsalan, ini saya lagi telepon kamu. Masa sombong. Kamu juga sombong engga mau kontak saya duluan".
"Hahahaha....takut dok nanti disangka pelakor".
"Hahahah...bisa saja kamu tuh yah. Memang engga berubah kamu tuh yah suka ngasal aja".
"Eh Mela, paviliun sudah ada yang mengisi lagi atau masih kosong?"tanya dokter Harsono.
" Wah balik lagi kemari nih dokter?" Goda Mela.
"Serius nanya nih, buat yang gantiin saya nanti".
"Masih kosong dok, baru kemarin di cat ulang sama mang Didi".
"Oh oke sip deh, nanti aku kasih nomor kontakmu kepadanya yah".
"Siap dok, terima kasih".
"Eh, Mela...siapa tahu jodohnya kamu loh..hahahah".
"Kebiasaan deh dokter tuh, ngejek Mela saja deh".
"Kok ngejek, yah siapa tahu saja, kan jodoh rahasia Allah nok".
" Dasar dokter, oke deh Mela tunggu orangnya dan tunggu juga undangan dokter loh".
" Hahaha...Siap Mela, tapi janji yah harus datang kalau aku nikah. Nanti kamu bawa dokter itu yah...hahahah".
Dan mereka berduapun tertawa dan saling menggoda lagi. Akhirnya telepon diakhiri dan kembali kepada pekerjaan masing-masing.
Dokter Anton Wiharja baru saja selesai menandatangani surat tugas di Departemen Kesehatan Kota Bandung.
Dan saat sedang menunggu surat pengantar untuk keberangkatannya ke Cirebon dia mendapat chat dari dokter Harsono.
H: Salam sejawat dokter Anton, ini kontak chat saya. Tadi saya sudah menghubungi pengurus paviliun dan ternyata masih kosong juga kondisi baru selesai di cat.
A : Alhamdulillah, terima kasih atas bantuannya dokter. Apakah saya boleh minta nomor kontak pengurusnya?
H : Oh iya ini, 0812345678xx namanya Mela.
A : Baik dokter sekali lagi terima kasih.
H: Sama-sama
Setelah chat berakhir, dokter Anton menyimpan nomornya Mela dan menghubunginya.
"Selamat siang dengan ibu Mela?"tanyanya.
"Ya selamat siang, benar saya Mela. Maaf dengan siapa?" Mela bertanya balik.
"Maaf bu, saya dengan dokter Anton yang akan melihat tempat yang dulu ditempati dokter Harsono. Saya mendapat kabar katanya masih kosong yah".
"Oh iya memang masih kosong, kapan rencana akan kemari yah pak?"tanya Mela lagi.
"Kebetulan saya cuti, jadi rencana besok pagi saya akan menuju Cirebon untuk survey lokasi".
"Oke baik pak, begini saja nanti setelah tiba di Cirebon bisa hubungi saya lagi saja yah. Nanti saya berbagi lokasinya".
"Baik bu Mela terima kasih".
Kembali pembicaraan berakhir, Mela bahagia sekali dia berharap calon penyewa bisa cocok. Harapannya besar untuk mendapatkan uang tersebut.
" Nanti sore aku bersihkan lagi paviliun agar besok calon penyewa nyaman melihatnya".
"
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!