Seoul, malam hari. Di perumahan elit UN Village yang terletak di daerah Hannam-Dong, Seoul.
Gadis itu tengah mengemasi pakaiannya, memasukkan ke dalam koper.
"Kamu beneran harus pulang?" celetuk seorang pria yang berjalan menghampirinya.
"Hm," jawab gadis itu, menoleh sekilas lalu kembali melanjutkan aktivitasnya.
"Gis, pikirkan baik-baik," kata pria itu.
Gadis itu menghentikan kegiatannya, lalu berbalik menghadap pria yang berada di belakangnya.
"Ini kesempatan aku Kriss, kamu tahu bukan ... aku bosan di kurung di sini!" tukas gadis itu, kembali berbalik memunggungi pria yang bernama 'kriss'.
"Baiklah, tapi lo musti jaga diri di sana," ucap Kriss, mengelus kepala gadis itu.
Namanya Gabriella gista andromeda. Anak konglomerat, calon pewaris Meda group.
Tak terasa waktu berjalan begitu cepat, kini Gista sudah melangkahkan kakinya keluar dari bandara. Dia tak sendiri, di belakangnya ada beberapa pria berseragam hitam dengan kaca mata hitam yang berjalan tegap mengikutinnya.
"Selamat siang Nona," sapa seorang pria yang berdiri di depan mobil sembari membungkukkan badan.
"Kunci!" seru Gista, mengulurkan tangannya ke depan pria itu.
"Tapi Nona ...." Pria itu langsung mengatupkan bibirnya saat Gista melotot, mengintimidasi sopir itu.
"Kalian taruh di bagasi," kata Gista. Menyuruh para bodyguard-nya memasukkan barang-barang ke bagasi.
"Nona, saya mohon jangan nanti Tuan bisa marah," kata sopir itu, mendekati kaca jendela kemudi.
"Ssssuuutt!" Gista meletakkan telunjuk di bibirnya. "Berisik!" Gista menyeringai ketika melihat pintu bagasinya tertutup, dia langsung menancap gas—melesat meninggalkan para bodyguard-nya yang panik.
Gista tergelak melihat mereka menyerah mengejar mobilnya yang terus melaju dengan kecepatan tinggi.
Lamborghini Veneno Roadster itu terus melaju di jalanan ibu kota. "Yuhuuuuuuuuuu," teriak Gista, merasakan sensasi angin kota kelahirannya.
Sepuluh tahun Gista meninggalkan kota ini, karena papanya membuang dia ke Korea. Gista tak menyia-nyiakan kesempatan, mobilnys terus melaju dengan kecepatan di atas rata-rata. Mengabaikan umpatan dan makian dari para pengendara.
Gista melotot saat sebuah motor yang baru saja melintas menyenggol kaca spionnya.
"Sial!" Gista langsung menancap gas, melajukan mobilnya lebih cepat lagi—mengejar motor itu.
Keduanya saling salip menyalip, bahkan Gista sama sekali tak takut jika mobilnya lecet saat bersenggolan dengan mobil lain.
"****!" umpat Gista memukul stir mobil saat dia terjebak lampu merah, sedangkan motor tadi sudah melesat.
Gista menoleh ke belakang, lalu dia menyeringai. Kenekatan luar biasa, Gista menerbos lampu merah padahal dari arah berlawanan tengah lampu hijau.
Alhasil bunyi klakson memekik telinga, kekacaun tak terelakan. Gista tak peduli, dia langsung memacu mobilnya mengejar pengendara motor tadi.
Senyumnya seketika terbit ketika melihat motor di depannya. Dia menambah kecepatan menyamai laju motor itu.
"**** you man!" Gista mengacungkan jari tengahnya kepada pengendara itu.
Sayang saja dia tak bisa melihat wajah dibalik helem fullface itu. Gista berdecak ketika motor itu sengaja melaju di depannya secara ugal-ugalan.
"Menarik," gumam Gista, dia menginjak pedal gas. Mobilnya seketika melesat, dia berniat menabrak motor itu dari belakang.
"Shit!" umpat Gista, ketika motor itu justru berbelok.
Gista menoleh ke arah motor itu, orang itu mengacungkan jari tengahnya. What!
Gista kembali menoleh ke depan. "OMMO!!" pekiknya ketika mobilnya menabrak deretan mobil yang sedang berhenti di depannya.
Hari pertama di Jakarta, dia sudah membuat ulah. Entah, apa yang akan ia dapatkan setelah ini?!
Penasaran?
Gista duduk di depan meja polisi. Sedari tadi ia diinterogasi oleh beberapa polisi yang berwajah garang dan menyebalkan!
Namun tak ada satupun pertanyaan yang dijawab Gista. Dia duduk dengan tenang, menyandarkan punggunnya dengan kedua tangan dilipat di depan dada.
"Jawab!" Habis sudah kesabaran polisi itu sampai menggebrak meja.
Namun tak sedikit pun Gista terlihat gentar, dia tetap tenang.
"Nama kamu siapa?" Polisi itu mengatur napasnya, berusaha sabar. Bagaimana pun yang dia hadapi ini seorang gadis, dia tidak mungkin menggunakan kekerasan.
"Nama, woy nama!" Polisi lain, mengetuk meja depan Gista.
"Gabriell," jawab Gista, lalu memalingkan wajah ke samping.
"KTP atau SIM?" Polisi itu menyodorkan tangannya ke depan Gista.
Gista memutar bola matanya. "Gak ada!"
Gista memejamkan mata karena terkejut, polisi itu tiba-tiba menggebrak meja setelah mendengar jawaban Gista.
"Gak punya KTP, gak punya SIM ...." Polisi itu berdecak sambil geleng-geleng kepala. "Terus kenapa kamu bisa bawa mobil. Jangan bilang ... kamu nyuri mobil itu!"
Gista mendengkus, apa-apaan mereka main tuduh sembarangan. Gista melotot ketika salah seorang polisi merebut tasnya.
"Woy!" pekik Gista.
"Diam, duduk!" Polisi itu melotot, menginteruksi Gista agar kembali duduk.
"Dan, ada paspor," kata polisi yang menggeledah tasnya.
Komandan mereka mengecek paspor Gista, dia tercengang melihat tanggal lahir Gista. "Kamu benar kelahiran 2004?"
Gista memutar bola mata. Harus banget gue jawab! "Apa saya terlihat setua Anda?" celetuk Gista.
"Yang sopan!" bentak polisi lain.
"Peduli amat," gerutu Gista.
Ucapannya berhasil memancing kemarahan para polisi, namun komandan mereka menginterupsinya agar semua tenang.
"Permisi."
Semuanya menoleh ke pintu, pria berjas hitam, dengan kaca mata dan rambut klimis—memasuki ruang interogasi.
"Selamat siang, perkenalkan saya Mr.Kim kuasa hukum saudari Gabriella Gista Andromeda," kata pria itu mengulurkan tangan, lalu disambut oleh komandan polisi.
"Mari kita bicarakan di ruangan saya," ucap komandan polisi itu, mereka berjalan ke ruangan yang ada di samping ruang interogasi.
Gista menunggu cukup lama hingga Mr.Kim kembali bersama komandan polisi.
"Saudari Gista anda dibebaskan, jangan ulangi kesalahan lagi. Kamu belum cukup umur untuk mengendarai mobil, jadi lain kali jangan diulangi," ujar komandan polisi.
Tentu saja itu membuat tanda tanya besar pada petugas polisi yang lain. Gista bangkit, menatap sinis petugas-petugas itu.
"Dari tadi kek, buang-buang waktu gue!" Ucapan Gista memancing emosi para polisi, namun komandan polisi kembali menginterupsi mereka agar mengabaikan hal itu.
Semua itu terjadi karena tim Elit yang berada di bawah naungan Meda Group.
William Andromeda. Nama papanya ternyata berpengaruh besar, pengusaha kaya raya dengan berbagai bisnis. Dari mulai kesehatan, bursa saham, tambang, pusat perbelanjaan, properti dll.
Tak heran jika semua masalah dengan mudah terselesaikan. Ketika segala sesuatu berada di genggaman tangan.
—————
Ruangan besar, dengan dekorasi modern. Di mana terdapat aquarium besar, ditambah beberapa lemari buku. Bukan hanya itu ada meja kerja, beserta sofa mewah di depannya.
Gista duduk di sofa itu, menyandarkan punggung. Dia tampak tak peduli dengan orang-orang yang tengah menatapnya, dia justru asyik memainkan permen karet di mulutnya.
"Mr. kim, apalagi yang di perbuat bocah ini?!" Suara bariton itu begitu menggelegar, memenuhi ruangan.
Gista masih tenang, dia begitu tak acuh meski pembahasan ini tentang dirinya.
"Nona Gista menabrak beberapa mobil yang sedang berhenti di lampu merah," kata Mr.Kim.
"Dasar pembuat onar!" celetuk wanita paruh baya yang duduk di depan Gista.
"Dasar ular betina, PARASIT!!" balas Gista.
"Kamu ...." Wanita itu geram, ia berdiri siap melayangkan pukulan pada Gista. Namun suara bariton itu menginterupsinya.
"Ros!"
Wanita itu langsung memberengut kesal, dia kembali duduk tapi mulutnya terus menggerutu. Gista tersenyum sinis.
"Mulai besok kamu gak boleh bawa kendaraan sendiri, dan kamu harus ikuti semua peraturan di rumah ini atau ...."
"Atau apa?" sela Gista, menatap pria paruh baya yang berwajah garang. "Atau aku akan di asingkan kembali ke tempat itu!" Gista berdecih, papanya memang tidak pernah berubah. Dia masih pria yang sama, pria yang menbuang anaknya sendiri.
"Gista!" bentak papanya.
"Gak ada lagi 'kan? Aku capek mau tidur." Tanpa menunggu jawaban Gista langsung bangkit, berjalan keluar sembari menutupi mulutnya yang menguap.
"Anak itu!" Rosalin sangat geram dengan anak tirinya itu, dia berdecih menatap sinis kepergian Gista. "Kenapa si Mas? Kenapa kamu bawa pulang lagi anak itu!" Rosalin menatap tajam suaminya.
"Jaga bicaramu! Bagaimana pun Gista adalah putriku!" Pria itu menatap punggung Gista yang tak lagi terlihat.
Gista melangkah menuju kamarnya diantar oleh salah satu pelayan. Dia terus mengedarkan mata, melihat ke sekeliling rumahnya. Tempat ini sudah banyak yang berubah, tak ada lagi peninggalan sang mama. Bahkan foto-foto mereka saat kecil pun tak ada, semua sudah berganti.
Gista berhenti melangkah, dia menatap figura besar yang terpasang di dinding. Tatapannya datar, menatap foto keluarga itu. Papa dan sang mama tiri, bersama ketiga anaknya.
"Non Gista."
Suara pelayan menyadarkan Gista dari lamunannya, dia segera menghampirinya.
"Ini kamar Non Gista, jika butuh apa-apa bisa panggil saya," kata pelayan itu.
Gista hanya mengangguk, lalu dia segera masuk setelah pelayan itu pamit undur diri. Gista berjalan memasuki kamarnya. Tempat berjuta kenangan yang tertinggal, dia bersyukur tempat ini tak berubah.
Gista berjalan ke dinding, tangannya menyentuh lukisan yang terpajang di sana.
"Mama," lirih Gista, air matanya menetes membasahi pipi. "Gista pulang Ma."
———————
Gista berjalan menuruni tangga, dia berdecak karena pelayan itu terus memanggilnya berulang kali. Bahkan mereka sampai bolak balik ke kamarnya, mengusik tidurnya.
"Jam berapa ini?"
Gista mengabaikan suara bariton papanya, dia menarik kursi lalu duduk.
Sedangkan di hadapannya, ada tiga orang yang tengah menatapnya dengan ekspresi tak terbaca.
"Gista!"
Gista menoleh ketika suara sang papa kembali menginterupsinya. "Gak perlu pake towa, aku denger kok!" kata Gista, lalu ia kembali menatap ke depan matanya bertemu dengan tiga saudara tirinya.
Yang pertama, Tristan william Andromeda. Pria yang memiliki tatapan tajam sama seperti papanya. Umurnya berbeda jauh dengan dia, terpaut lima tahun.
Kedua, Valery Rosalin Andromeda. Gadis dengan wajah jutek, dan tatapan mengintimidasi tak beda jauh dari sang mama. Umurnya terpaut dua tahun dengan Gista.
Ketiga, Farel william Andromeda. Cowok itu satu tahun di bawah Gista. Tapi tunggu ... kenapa dia senyum-senyum pada Gista.
"Kenapa lo? Sawan!" celetuk Gista.
Farel menggeleng, menampilkan senyum lebarnya. Gista mengerutkan kedua alisnya, apa yang salah dengan otak adik tirinya itu.
"Gue ngefans sama lo."
Gista menaikkan alisnya. "Ngefans?" Farel langsung mengangguk, namun segera di sikut Valery. Gadis itu melototi Farel.
"Pa," panggil Valery, menatap papanya. "Harus banget aku satu sekolah dengan dia!" Tunjuk Valery pada Gista.
Gista memutar bola mata, memangnya dia pikir Gista mau satu sekolah dengannya.
"Val, jangan membawa pembahasan itu di sini. Ini meja makan bukan meja debat!" tegur papanya.
Gadis itu merengut, bibirnya terus berkomat kamit. Gista tak begitu peduli, ia duduk dengan tenang menikmati makanannya.
Jika sebelumnya dia terbiasa mengendarai mobil sport, tidak dengan sekarang. Papanya mengutus sopir untuk mengantarkan Gista. Sedangkan Valery, dia bebas memakai mobil mana pun yang ada di garasi.
"Sudah sampai Nona," kata Mr.Kim.
Gista turun, gadis itu mengenakan seragam SMA Pelita. Sekolah elit swasta yang berada di pusat Ibukota. Banyak mata yang memperhatikannya, terlebih dia mengenakan kaca mata hitam dan sepatu boots warna hitam.
Bugh
Gista menggeram ketika tubuhnya terpelanting, karena bola yang mengenai kepalanya. Dia menoleh ke lapangan.
"Bawa sini bolanya!" teriak salah seorang cowok yang berada di tengah lapangan.
Pandangan Gista beralih pada bola di sampingnya. Dia menyeringai, mengambil bola itu dan bangkit. Matanya menatap para cowok yang menanti bola mereka.
Mata mereka seketika membulat, ketika suara nyaring itu terdengar betepatan dengan Gista yang berjalan pergi.
Mereka menganga menyaksikan apa yang baru saja Gista lakukan. Gadis itu melempar bola ke ruang BK, hingga kaca jendelanya pecah.
Hari pertama masuk sekolah setelah libur semester. SMA Pelita pagi ini cukup heboh, karena insiden kaca pecah.
Beberapa siswa dipanggil ke ruang Bk, terutama para senior yang tadi main basket dilapangan.
Tujuh orang siswa itu akhirnya keluar setelah mendapat peringatan keras dari guru paling killer se-Pelita. Bukan hanya itu bahkan mereka dihukum membersihkan toilet sehabis pulang sekolah. Tidak tanggung-tanggung selama seminggu mereka menjalani hukuman itu.
"Gue gak bakal maafin tuh cewek!" celetuk salah seorang dengan wajah jutek.
"Sial, banget tuh cewek! Dia yang lempar kita yang dihukum!" sahut yang lain.
"Kita musti bikin perhitungan sama tuh cewek! Saiko, emang!" timpal cowok di sebelahnya.
"Gimana kalo kartu merah?" kata cowok yang berada di barisan paling belakang.
Sontak saja mereka semua berbalik menatap cowok itu. Yang tengah menaikkan sebelah alisnya, dengan seringai mengerikan.
"Setuju!"
"Gak masalah."
Dan pembahasan selesai, ketika suara dari pengeras suara menginterupsi. Semua siswa dikumpulkan dilapangan. Kegiatan upacara sekaligus pembukaan MOS. Sejauh ini semua berjalan dengan tenang, hingga tiba di bagian sambutan kepala sekolah.
Gista berdecak, sedari tadi dia terus menghentak-hentakan kaki. Bahkan dia terus menggerutu karena kepala sekolah terus berbicara hampir setengah jam lebih.
"Arghh ...." erang Gista, mulai kesal karena tak ada tanda-tanda kepala sekolah akan menyudahi pidatonya. "Pak kalo ngomong jangan pake narasi sepanjang jalan tol, ini kaki saya udah gemeteran berdiri!" teriak Gista.
Semua anak, bahkan guru-guru sampai tercengang. Mereka melongo mendengar teriakan Gista yang begitu lantang.
Gista menoleh ke sekitar, karena semua anak menatapnya dengan ekspresi heran. "Apa?" Gista berdecak, merasa risih diperhatikan.
"Kamu! Maju ke depan!" Suara bariton kepala sekolah membuat Gista berjengit mundur saking terkejutnya.
Dan disinilah Gista, berdiri di depan tiang bendera. Bukan hanya dihukum, dia juga jadi tontonan para murid. Banyak anak yang berbisik membicarakannya. Bahkan terdengar selentingan mengenai insiden kaca pecah.
"Bagus Gista, hari pertama lo udah bikin ulah!" gumam gadis berambut panjang, yang sedang memperhatikan Gista dari lantai dua.
"Lo kenal Val?" sahut temannya.
"Oh, gak!" jawab Valery.
"Kirain, kantin yuk," ajak temannya lalu keduanya pergi.
Hampir setengah jam Gista berdiri di sana, keringat mulai bercucuran di dahi. Terik matahari begitu menyengat kulit putihnya.
"Lo kuat Gista," gumam Gista, berusaha menyemangati diri sendiri.
Gista menundukkan kepala sejenak, sinar matahari begitu menyengat menyilaukan mata. Kepala Gista mulai berdenyut. Tensi darahnya rendah, tak memungkin baginya bertahan terlalu lama berdiri.
Gista menghela napas panjang, lalu kembali mendongak. Namun tiba-tiba ia dikejutkan dengan sesuatu yang terjatuh dari atas. Gista refleks mundur, matanya melebar seketika.
Gista mengerjapkan mata berulang kali. Darah segar itu mengalir menyentuh ujung sepatunya. Dia membungkam mulutnya, saat pekikan histeris begitu berdengung di telinganya.
"ADA YANG BUNUH DIRI!!"
——————
Gista keluar dari ruang kepala sekolah, setelah hampir setengah jam diinterogasi oleh petugas polisi. Dia berjalan gontai, tatapannya kosong meski langkahnya terus maju ke depan.
Rasanya seperti dejavu.
Gista segera masuk ke toilet membasuh wajahnya berulang kali. Dia mencengkram wastafel, jantungnya masih berdegup kencang. Bayangan kejadian tadi masih berputar-putar di kepalanya.
Darah segar yang mengalir dari kepala yang pecah ... Gista langsung merasa mual, dia berkumur berulang kali. Berusaha menepis bayangan mengerikan itu dari kepalanya, namun justru semakin teringat jelas.
Gadis itu membelalakan mata, menatap ke atas gedung. Gista mendongak lalu netranya tanpa sengaja melihat sekelibatan orang di atas sana. Tapi dia tak ingin berspekulasi sendiri, itu sebabnya dia tak mengatakan hal itu pada polisi.
"Gue gak nyangka kak Alisya memilih bunuh diri kaya gitu!"
"Gue juga, mungkin dia depresi karena jadi target ALASTOR! Ditambah bulian dari Qween, tambah jadi ...."
Gista menoleh ke arah segerombolan cewek yang memasuki toilet. Mereka mengatupkan bibir ketika melihat Gista di dalam. Tak ingin mendengar lebih banyak, dia memutuskan keluar. Bertepatan dengan bel istirahat.
Gista melangkahkan kakinya ke kantin. Dia membeli minuman dingin, menyegarkan tenggorokannya yang kering.
Suasan kantin begitu ramai, bahkan topik pembahasan mereka tak beda jauh dengan para gerombolan cewek tadi. Semua membicarakan kasus bunuh diri itu. Gista berdecih, merasa sial sekali harus melihat orang mati di depan matanya langsung.
Dia menyeruput es jeruknya, hingga tiba-tiba matanya teralihkan pada sosok gadis yang duduk di depannya tanpa permisi.
"Hai," sapa gadis itu. Gista tak menjawab dia hanya memperhatikan gadis itu dengan intens.
"Lo keren!" seru gadis itu. Gista menaikkan sebelah alisnya, menatap heran gadis itu. "Kenapa?" tanya gadis itu ketika melihat Gista tak bereaksi.
Gista tak menyahut, dia hanya merasa aneh saja dengan gadis di depannya. Gadis itu tampak cuek, bahkan dia makan dengan tenang tak peduli dengan tatapan tak suka dari Gista.
"Gue Zee, lo?" Gadis bernama Zee itu mengulurkan tangannya pada Gista.
Tapi Gista justru menatap aneh uluran tangan gadis itu.
"Nama lo Gista 'kan," ucap gadis itu sembari menarik kembali tangannya, karena di abaikan oleh Gista. "Hebat lo, baru pertama masuk udah bikin gempar se-Pelita."
Gista mengernyitkan dahi, dia tak mengerti maksud ucapan gadis itu. "Maksud lo?"
"Oh, lo bisa ngomong juga. Gue kira bisu!" Zee terkekeh, sedangkan Gista memutar bola matanya jengah dengan gadis itu.
"Terserah!"
Gista tak lagi menggubris Zee, meski gadis itu terus berceloteh. Dia asik memainkan sedotan es jeruknya. Hingga suara pekikan histeris, mengalihkan fokusnya.
Gista menatap ke arah pintu masuk kantin. Segerombolan anak cowok masuk. Disambut pekikan histeris dari cewek-cewek se kantin, kecuali dirinya dan gadis aneh di depannya.
Gista terdiam, ketika tatapannya terkunci dengan salah satu cowok di gerombolan itu. Mata itu ....
Gista merasa tak begitu asing dengan mata biri cowok itu. Tapi siapa? Pikirannya terus berkelana, berusahan mengingat-ingat kepingan memorinya. Namun suara Zee menbuyarkan pikirannya.
"Lo harus hati-hati sama ALASTOR?" bisik gadis itu, membuat kening Gista berkerut.
ALASTOR? WHY?
Gista tak menyahut, dia tidak peduli. Meski rasa penasaran muncul dalam benaknya. Namun dia lebih memilih diam, mendengarkan Zee yang masih berbicara sampai mulutnya berbuih.
"Buat lo!"
Gista mendongak, begitupun Zee. Mereka menatap salah satu cowok yang berdiri di depan mereka. Cowok berkaca mata tebal, baju seperti jojon dan rambut klimis persis Cecep.
"Siapa? Gue?" beo Gista, menunjuk dirinya sendiri. Cowok itu mengangguk. "Dari siapa?" tanya Gista, matanya menatap bungkusan kado di meja.
"Dari ... buka aja." Cowok itu langsung berbalik, pergi begitu saja.
Gista hanya menatap bungkusan itu, enggan membukanya. Dia heran siapa yang memberinya kado. Padahal dia tidak sedang ulang tahun.
"Buka aja, dari pada penasaran," celetuk Zee.
Gista awalnya tak mau, tapi benar apa kata Zee. Lebih baik dia membukanya, dari pada mati penasaran.
Meski ragu dia membuka bungkusan kado itu. Gista menaikkan sebelah alisnya, menatap heran isi kotak itu.
"Apa isinya?" tanya Zee yang terlihat sangat kepo.
Gista mengambil kartu itu, lalu mengangkatnya. Menunjukkan pada Zee. Gadis itu seketika melotot melihat apa yang dipegang Gista, dia mundur.
"WOY!! ADA YANG DAPET KARTU MERAH!!" teriak salah satu cowok.
Gista mengerjapkan mata, ketika semua anak panik dan menjauh darinya.
Ada apa ini?
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!