NovelToon NovelToon

Cinta Di Ujung Senapan

Bhadrika Braja Perkasa

Lembayung sore menggantung elok di langit cakrawala, biasnya terlukis indah nan acapkali menarik atensi sesiapa. Berwarna keoranyean kontras dengan sapuan legam yang kian lama kian menenggelamkan wujudnya.

Sore hari di markas pusat TNI AL nampak begitu riuh para taruna tengah berseru menyanyikan mars korps marinir.

..."Bergerak serentak,...

...Pantang mundur sejejak...

...Itulah pedoman kita...

...Di bawah kibaran bendera dan panjimu...

...Ayo terus bergerak maju...

...Tunjukkan beranimu...

...Perlihatkan perkasamu...

...Dengan semangat baru...

...Lautan terjaga daratan sentosa negara...

...Sejahtera...

...Jalesu bhumyamca jayamahe...

...Itulah semboyan marinir yang jaya!"...

Gemuruh para taruna itu dengan penuh semangat dan kompak di sertai gerakan yang seiras.

Apel sore hari ini hampir selesai, selepas melaksanakan kegiatan rutin dalam rangka menerapkan Peraturan dinas dalam PDD khas TNI AL, prajurit pelatih pusat latihan pasukan pendarat Puslatpasrat melaksanakan ronda penutup jelang libur akhir pekan.

Ronda penutup ini rutin dilaksanakan menjelang weekend tepatnya pada hari Jumat setiap minggunya. Ronda penutup dipimpin Letda Marinir dan diikuti anggota Provos, Bintara utama Bama dan Bintara dinas jaga badis yang melaksanakan pemeriksaan sarana prasarana seperti ruangan ruang kerja, aliran listrik, air, gudang beserta alat-alat kelengkapan lainnya untuk memastikan keamanannya selama ditinggal Weekend.

Bendera telah di turunkan, para taruna serta perwira yang saat itu tengah mengikuti upacara meninggalkan barisan, pertanda jika kegiatan apel penutupan kegiatan hari ini telah usai di laksanakan.

Tak terkecuali sesosok Laksamana Muda yang sedari tadi terlihat begitu mencolok dari pada marinir lainnya. Fisiknya yang nampak sedikit berbeda karena tinggi tubuhnya yang mencapi 190cm, terpaut jauh dari standart tinggi badan tentara lainnya, serta auranya yang dominan ugal-ugalan, tidak sedikit pasti mencuri perhatian lawan jenis dan sesama jenis sekalipun.

Bagaimana tidak? Bahunya yang begitu lebar, postur tubuh yang begitu tegap serta kokoh, menjelaskan bagaimana tubuh itu begitu kekar nan perkasa. Dan jangan lupakan kulit legam madunya serta paras tegas yang begitu memikat.

Sosok itu adalah seorang Laksamana muda Bhadrika Braja Perkasa. Seorang Laksda termuda dengan prestasi yang luar biasa. Di usianya yang masih menginjak 34 tahun, beliau sudah di angkat menjadi perwira tinggi karena kinerja serta pengabdiannya kepada negara yang begitu loyal.

Namun, berbanding terbalik dengan prestasinya sebagai apatur negara. Braja memiliki kisah cinta yang minim atau lebih tepatnya terkesan begitu kurang. Diusianya yang sudah bisa dikatakan matang nan juga sukses, Braja masih belum memiliki tambatan hati.

Sosoknya yang begitu disiplin, dingin dan juga irit bicara. Acap kali membuat sesiapa saja kesulitan untuk menjalin sebuah komunikasi dengannya. Tanpa terkecuali Ibu serta Adiknya sendiri.

Melangkahkan kakinya menuju ruangannya, Braja langsung mengambil tas kerjanya yang tersimpan rapi di atas meja. Kebiasaannya yang selalu disiplin akan segala hal begitu terlihat hanya dengan sekedar melihat ruangan kerjanya.

Barang yang selalu tertata rapi, ruangan yang bersih serta letak barang yang tak pernah berubah sesuai tatanan pria itu. Membuatnya acap kali mendapat decak kagum dari sesama perwira atau bawahannya.

Melirik jam di atas meja konsol yang sudah menunjukkan pukul 6 petang, ia segera bergegas untuk kembali ke kediamannya. Menaiki sebuah mobil range rover hitam garang, Braja memacu kendaraannya dengan pelan melewati pos penjagaan.

"Tin ... Tin ...." ia menekan klakson mobilnya sebagai kode untuk menyapa taruna yang tengah bertugas.

"Pulang, Dan?" seru taruna tersebut.

Braja hanya mengangguk singkat serta seulas senyum tersungging tipis.

"Baik, Dan. Hati-hati di jalan," ujarnya dengan bersikap hormat terhadap atasannya tersebut.

Sesudah melewati gerbang, ia segera memacu kendaraannya sedikit cepat. Perjalannya menuju kerumah dari markas pusat biasanya dapat ia tempuh hanya dengan waktu 30 menit. Namun, melihat lalu lintas jakarta saat weekend menjelang, yang tersohor akan kepadatannya, dapat di pastikan jika ia bisa melampaui 1 jam lamanya.

Menghembuskan nafas panjang, Ia meraih kancing atas seragamnya untuk ia buka, bermaksud agar sedikit banyak bisa mengurangi rasa jengah ketika macet melanda.

~

Di dalam sebuah hunian elit di kawasan Jakarta. Indira serta Darmi tengah sibuk menyiapkan makan malam. Di bantu oleh seorang gadis muda berparas ayu yang belum lama ini tiba di tempat itu, suasana rumah tersebut terasa lebih hangat nan juga hidup.

Rumah besar yang di kelilingi oleh tembok-tembok tinggi serta pepohonan lebat akan buah. Membuat hunian tersebut terkesan asri nan sunyi layaknya tak ada kehidupan, terlebih karena penghuni nya yang sibuk di luar rumah dan jarang menyibukkan diri di dalam rumah.

"Mbok, ayamnya udah mateng kan?" ujar Indira memastikan hidangannya siap tepat waktu.

"Sudah, Bu. Ini tinggal bikin sambelnya saja," saut Mbok Darmi, seorang wanita renta yang telah lama bekerja untuk keluarga tersebut.

Mengulas senyum puas, Indira mengambil beberapa bahan yang sudah mereka siapkan untuk membuat sambal.

"Ranti," panggilnya pada sesosok gadis yang sedari tadi sibuk berkutat di cucian piring.

"Dalem, Bu." sautnya dan berangsur mendekat ke arah majikanya Budenya tersebut.

"Sini, kamu bantu saya bikin sambal. Biar nanti kamu pinter bikinnya."

Mengangguk patuh, ia tersenyum manis mendengar ajakan sang majikan yang begitu ramah.

Ranti yang notabennya baru saja tiba beberapa jam lalu di tempat ini, entah mengapa merasa begitu nyaman nan betah. Kota Jakarta yang di gadang-gadang sebagai kota tersibuk penuh polusi, nyatanya tak ia temukan di tempat budenya bekerja ini. Mungkin karena kawasan yang mereka tinggali salah satu kawasan elit dengan suasana asri pepohonan serta minim polusi, jadi terasa begitu sejuk tak jauh berbeda dengan di desa. Meskipun dalam tanda kutip, gaya hidup serta bangunan di keduanya berbanding terbalik.

Ranti memotong beberapa cabai dan juga pelangkapnya.

"Kamu udah lulus sekolah?"

"Sudah, Bu."

"Terus, kesini mau kerja dimana?" tanyanya di sela kegiatan mereka.

Melirik sekilas ke arah budenya, Ranti kemudian menjawab pertanyaan tersebut dengan begitu sopan nan hati-hati.

"Kerja di mana saja Bu, yang penting halal. Kerja jadi pembantu di sini pun, saya juga mau kok Bu."

Mendengar jawaban yang terkesan begitu lugu nan apa adanya, seketika Indira terkekeh pelan.

"Ya jangan dong, kalau jadi pembantu. Kamu masih muda, Nanti ibu bantu cariin kerjaan di tempat anak Ibu ya."

Mendengar ucapan majikannya barusan, seketika Darmi menghentikan pekerjaannya.

"Jangan, Bu! Tidak usah, nanti malah merepotkan den Braja," tolaknya pelan penuh rasa sungkan.

"Gak apa-apa lah Mbok, Braja pasti mau dan bisa kok. Sekali-sekali saya bantu Mbok Darmi, hitung-hitung balas budi karena Mbok udah jaga keluarga saya selama ini."

"Jangan bicara seperti itu, Bu. Saya senang dapat ikut keluarga Ibu, kalau pun tidak di beri upah saya juga tetap bertahan di sini," ucapnya bersungguh-sungguh karena merasa begitu bersyukur dapat bergabung di keluarga ini.

Terhitung sejak Braja masih kecil hingga sosok itu telah tumbuh dewasa sampai sekarang. Mbok Darmi selalu mengikuti kemanapun keluarga mereka pergi.

Sosok sang ayah yang tak lain juga perwira TNI, membuat keluarga mereka sering berpindah tempat karena penugasan. Sampai halnya sang kepala keluarga Perwira Perkasa berpulang ke sisi tuhan. Mbok Darmi dengan tubuh rentanya tetap setiap mengikuti.

Terenyuh mendengar ungkapan tersebut, Indira seketika berdehem singkat menepis perasasan haru yang dapat ia tebak ujung-ujungnya akan berakhir tangis sedu.

Bertepatan dengan hal itu, tiba saja suara deru mobil terdengar memasuki pekarangan rumah.

"Nah, itu Braja udah pulang. Mbok, ambil alih sambel ini yaa! Ranti, kamu bantu Ibu, panggilin Caca di atas ya Nak."

Mendengar ucapan tersebut, lantas Ranti segera membasuh tangannya dan bergegas naik ke lantai atas. Berjalan cepat menaik tangga dan berbelok hingga esensinya tak terlihat.

Bertepatan dengan itu sesosok pria bertubuh tegap nan gagah, membuka pintu tepat saat gadis itu tak terlihat.

"Assalamualaikum," serunya berat namun terdengar begitu teduh.

"Waalaikumussalam," saut para penghuni rumah yang mendengarnya.

Seketika Indira melesat ke depan dan menyambut kedatangan anaknya.

"Macet ya?" tanya sang ibu to the point, begitu melihat paras anaknya yang tampak begitu letih.

"Iya, Bu," Braja menjawab seraya menggapai jemari sang ibu dan menciumnya.

"Saya mau langsung ke atas dulu."

"Loh, Mas! Kamu nggak makan dulu? Ibu udah masak ayam bakar kesukaan kamu loh,"

"Nanti saja saya turun, Bu. Ibu siapkan saja di atas meja, nanti pasti saya makan." timpalnya dengan begitu santun dan tak mengurangi kadar kesopanannya. Ia berlalu segan meninggalkan ibunya.

Mendengar penuturan itu, lantas Indira hanya mengangguk pasrah dengan senyum teduhnya. Tak di pungkiri acap kali ia selalu kepikiran akan nasib sang putra. Di usianya yang sudah tak muda lagi, dia masih setia melajang. Tak sedikit, ia juga sudah mengenalkan para gadis cantik nan berwawasan. Namun, hasilnya seperti yang sudah-sudah.

Braja selalu menolak dan beranggapan jika dirinya masih belum menemukan sosok yang tepat.

Beranjak naik meninggalkan ibunya. Ada sepasang netra lentik yang sedari tadi memperhatikannya dari sela pintu. Tanpa sepengetahuan sosok itu, Braja yang saat itu baru saja sampai di lantai atas, telah mendapati keberadaannya.

Hanya saja, pikirnya sosok itu adalah adik perempuannya yang sering kali berlaku usil ketika dirinya baru saja tiba. Padahal sosok itu adalah sosok lain yang sebentar lagi akan merecoki hari-harinya kedepan.

...................🍁🍁🍁...................

"Ini adalah karya pertamaku tentang seorang Apatur negara. Mohon maaf jika di beberapa part ada yang tidak sesuai, kembali lagi ini hanyalah sekedar novel recehan penghibur waktu luang. Ku mohon kalian berkenan medukungku dengan like serta komen akan bab ini. Terimakasih 🙏🤗

Siapa kamu? Ularrr!

Pukul 11 malam, selepas bangun tidur Braja turun ke ruang makan untuk mengisi perutnya yang berteriak minta asupan. Jarang-jarang ia melakukan hal ini, kebiasaannya yang selalu disiplin akan segala hal, secara tidak langsung mengharuskannya untuk makan malam tepat waktu dan tak lewat dari jam 7.

Tapi berbeda seperti biasanya, karena dirinya yang tertidur pulas selepas membasuh diri, Braja sampai lupa waktu. Namun, teringat akan janjinya kepada sang ibu beberapa waktu lalu perihal makan malam. Braja lantas turun ke bawah dan menepati ucapannya jika ia akan menghabiskan apa saja yang telah ibunya siapkan di atas meja makan.

Di ruang makan, sunyi senyap nan juga gelap terasa mendominasi kala itu, di tambah lagi pendar cahaya lampu yang menyorot sendu layaknya di film horor semakin membuat suasana terkesan sintrung.

Tak terusik akan hal itu, Ia melangkahkan kakinya ke arah dapur dengan santai. Tubuh tegap itu berjalan dengan begitu lihai di tengah kegelapan, seperti sudah hafal setiap letak benda sekalipun tanpa penerangan.

Derap kakinya tak terdengar, deru nafasnya pun terdengar samar. Tanpa menambah sedikit pencahayaan, ia menarik sebuah kursi makan yang berjejer rapi di sisi tubuhnya. Namun, belum sempat ia menggapai benda tersebut. Suara benda berdecit serta pekikan seorang gadis yang terdengar asing di indera pendengarannya menarik atensinya.

"Awww!" pekiknya.

Kontan ia segera melangkah gesit dan menangkap sekelibat bayangan yang tertangkap netranya.

"Siapa kamu?" serunya tajam seraya menggapai sosok itu.

"Ahh, lepas. Sakit," keluh gadis itu merasakan sakit di jempol kakinya karena terbentur kaki meja serta pergelangan tangannya yang di genggam erat oleh pria itu.

Tak menghiraukan protes dari gadis tersebut. Braja tetap memegang erat sembari menarik tubuhnya untuk menyalakan lampu di sudut ruangan. Dan seketika terpampanglah, sesosok gadis muda berparas ayu yang jika di lihat dari parasnya, usianya tak jauh berbeda dengan adiknya.

Menatap tajam sosok asing yang berada di hadapannya. Sekali lagi ia bertanya dengan tatapan lekat yang menghunus tajam.

"Sekali lagi saya tanya, siapa kamu?" tanyanya dengan bariton gahar nan juga tegas.

Menatap tajam sosok di hadapannya, Braja tentu tidak bodoh, ia sudah tau jika sosok yang berada di hadapannya saat ini bukanlah seseorang yang berbahaya. Terkesan bodoh dan juga sama saja cari masalah jika ada seseorang yang berani masuk ke dalam tempat tinggal seorang perwira di tengah malam begini, apalagi dengan tangan kosong tanpa senjata satu pun.

Namun, karena keberadaanya yang asing serta kemunculannya yang terkesan mengendap-ngendap. Braja tetap menaruh curiga pada gadis itu.

Berbeda dengan Braja yang menatapnya tajam. Sebaliknya, Ranti malah terpaku dengan sorot yang enggan berkedip, merasa terpesona ke arah pria di hadapannya serta meringis nyeri memegang pergelangan tangannya.

"Sa-saya ... Ranti," jawabnya terbata.

Braja yang mendengar itu seketika memincingkan sorotnya enggan bergeming, merasa tak puas akan jawaban gadis itu.

Sementara Ranti yang menangkap gestur wajah masih menuntut jawab lantas, mengulangi ucapannya.

"Saya keponakannya Mbok Darmi dari desa," lanjutnya di sertai ringisan samar sarat akan takut.

Braja lantas melepaskan genggamannya sedikit kasar. Ia kemudian berdiri angkuh di depan gadis itu sembari menatapnya barang putus.

"Maaf, saya tidak sopan masuk ke dapur tengah malam. Perut saya lapar, Pak," cicitnya dengan kepala tertunduk menahan malu sekaligus takut.

Braja yang mendengar itu seketika mendesah singkat.

"Kalau ingin mengambil makanan, ya ambil saja. Tapi jangan lupa menyalakan lampunya terlebih dahulu. Jangan mengendap-ngendap dengan gelagat seperti pencuri, semua orang bisa salah paham jika melihat kamu seperti itu" tuturnya datar yang entah mengapa terdengar seperti tuduhan untuk gadis di hadapannya.

Kontan Ranti yang mendengar itu, memanyunkan bibirnya dengan bahu yang merosot lesu.

Berlalu acuh, melewati gadis di hadapannya. Braja beranjak ke meja makan dan menyantap makanan yang beberapa waktu lalu telah di siapkan oleh ibunya. Tak perduli dengan sosok mungil di sebelahnya, yang saat ini mati-matian merutuki akan kecerobohannya.

Ganteng tapi ketus!

~

Pagi harinya saat cahaya jingga masih menelisik malu. Seorang Braja telah siap dengan outfit olah raganya. Ia berdiri meregangkan otot-ototnya di pekarangan rumah. Celana sport pendek serta kaos hitam polos, melekat erat di tubuh kekarnya. Berpadu padan dengan sepatu kets hitam, ia berlari kecil kesana kemari sebelum mengayunkan kakinya keluar rumah.

"Maaass! Tunggu akuu!" seru seorang gadis muda dari arah balkon. Gadis itu tak lain adalah Caca, adik satu-satunya yang mempunyai usia terpaut jauh dengannya. Postur tubuhnya nya yang gempal dengan tinggi badan yang berbanding terbalik dengan Braja sering kali membuatnya menjadi bahan olokan.

Oleh karena itu, gadis tersebut kini bertekad merubah gaya hidupnya dengan rajin berolahraga serta mengurangi asupan micin sesuai anjuran sang kakak. Hidup sehat, body goal pun di dapat! Hahahaha...

Tapi, lain lagi ceritanya kalau dirinya sedang galau. Di pastikan seharian penuh ia akan menghabiskan waktunya berselonjor ria sembari menghabiskan makanan micin yang tak sedikit jumlahnya. Wkwkwkwk ....

Melirik sekilas ke arah balkon, Braja tak menggubris seruan adiknya. Sesuai janji yang sedah mereka buat, jika pukul 5 tepat gadis itu tidak turun, maka ia akan meninggalkannya sendiri tanpa mau menunggu.

Dan seperti sekarang, memasang earphone di kedua telinganya serta topi hitam yang menutupi surai yang terpangkas rapi. Braja berlalu pergi tanpa menghiraukan gadis itu.

Caca dengan kecepatan penuh, bergerak gesit yang jika di lihat lebih mirip bola bekel yang memantul tak beraturan. Hanya mencuci muka tanpa mandi serta menggunakan Hoodie besar dan juga celana training, ia bergegas menyambar sepatu sekenanya dan berlari keluar.

Di lihatnya Braja yang sudah tidak ada, seketika ia mendengus kesal sembari berlari.

"Bisa-bisanya Mas ninggalin aku! Gak sayang apa yaa sama adeknya yang gemoy satu ini!" gerutunya sebal dengan bibir manyun 5 centi.

Berbeda dengan dua orang yang tengah berlarian di luar sana. Di dalam rumah, Darmi serta Ranti tengah sibuk bersih-bersih. Di rasa bagian dalam sudah selesai, Ranti beralih ke pekarangan dan menyapu dedaunan yang rontok dari semua pohon. Ia menyapu memutari semua bagian.

Berdiri dengan tubuh sedikit mencondong kedepan seraya kedua tangan yang berada di pinggang. Ia mendesah lega sekaligus lelah.

"Ini rumah kok besar banget, sampe sakit pinggangku! Padahal, baru aja nyapu sekali," desahnya merasa letih.

Mendongkak ke atas sembari memperhatikan pepohonan yang terkena bias cahaya pagi. Samar-samar ia melihat dan baru sadar jika pohon-pohon yang sedari tadi mengitarinya, nyatanya berbuah lebat.

Dengan decak kagum serta sorot yang berbinar dahaga, ia melangkah ke salah satu pohon dan memperhatikannya.

"Kalau di desa jarang-jarang ada pohon ini, selalunya cuma pohon mangga sama jambu air. Tapi kalau ini..." matanya berbinar menatap pohon kelengkeng di hadapannya. "Pasti laris di serbu maling, hihihi..." lanjutnya di sertai riingisan lebar menahan tawa.

Sejurusnya, Ranti langsung naik ke batang pohon. Tak perlu waktu lama, ia sudah berada di atas dan memetik buah tersebut. Asik memetik buah, Ranti menjatuhkan beberapa tangkai kelengkeng ke tanah. Dirasa buah yang ia ambil sudah cukup, ia berancang-ancang untuk turun, sebelum kemunculan seekor ular pohon mengejutkannya hingga ia refleks berteriakk.

"Ulaaarrrr!"

"Mbokkk!"

Darmi yang saat itu tengah sibuk di dapur seketika panik kala mendengar seruan keponakannya tersebut. Ia kemudian berlari panik ke asal suara.

"Mbokk Darmi .... Tolongg ... Ada ularrrr!"

"Ya allah, Ranti!" seru Mbok Darmi terkejut kala melihat keponakannya menungging di atas pohon.

"Hwaaa ... Mbokk! Tolongin mbokk!"

Bingung harus meminta tolong kepada siapa karena kondisi rumah yang sedang sepih, Mbok Darmi hanya berputar-putar seperti jaranann.

Sementara saking paniknya, Ranti terus beringsut menjauh ke dahan pohon yang rantingnya lebih kecil dan hampir tak mampu menahan bobot tubuhnya. Sambil terisak Ia tidak sadar jika sendal jepit yang sedari tadi dia pakai, tau-tau sudah jatuh dan menimpa kepala seseorang.

Melihat ular tersebut yang terus merambat mendekat, wajahnya berubah pias tak mampu berucap. Lantas, saat itu juga ia meluncurkan tubuhnya ke bawah. Tak perduli dengan patah tulang, gagar otak atau hati remuk redam sekalipun. Ranti menjatuhkan diri dari ketinggian pohon yang lumayan.

"Bismillah hirrohman nirrohim!" teriaknya membaca kalimat basmallah seraya menjatuhkan diri.

...................🍁🍁🍁...................

Tragedi sendal jepit

Tetapi, setelah beberapa lama memejamkan mata, Ranti tak merasakan hantaman keras apapun di balik punggungnya. Sebaliknya, ia malah merasakan dekapan hangat nan kuat serta aroma maskulin yang menguar lembut hingga, tunggu-tunggu!

Saat Ranti membuka mata seraya menggerak-gerakkan sedikit lubang hidungnya, raut wajah terkejut nan terkesan garang memenuhi seluruh atensinya.

Hingga, sejurusnya suara seseorang menyahut.

"Ya allah Ranti ... Den Braja!"

Apaa! Duh ... Mampus akuhh!

~

Malu, mungkin itu yang di rasakan Ranti kali ini. Tapi ketimbang malu ia lebih merasa takut, terhitung sudah kedua kalinya ia tertangkap basah oleh majikannya tersebut, apalagi dalam situasi yang membagongkan!

Berkali-kali ia mendesah panjang seraya meremat surainya. Ia berguling kesana kemari di atas ranjang karena merasa begitu malu hingga berharap ia di tenggelamkan.

Apalagi, mengingat tadi dia sempat menjatuhkan sendal jepit kesayangannya di kepala pria itu. Bisa di bayangkan pasti sorotnya melotot tajam menahan amarah dengan otot yang menyembul keluar. Haishh ... Sungguh sial!

"Kenapa juga, harus Pak Braja!"

Andai saja Mbok Darmi tidak memberitahu perihal tragedi sendal jepit, mungkin dirinya tak kan setakut ini hingga mengurung diri di dalam kamar. Beda cerita kalau adegan tentang dirinya yang di tangkap dan di dekap dengan begitu hangat oleh tubuh kekar sang majikan. Kalau yang itu rezeki namanya! Hihihi ... Harus selalu di kenang dan di impi-impikan.

Jangan bilang Ranti terlalu lebayy, saya yakin kalian pasti juga begitu.

Mau bagaimana lagi, dia masih gadis normal. Melihat paras tampan sang majikan yang melebihi kadar normal di tunjang dengan postur tubuh yang aduhai, masyaallah .... auranya sungguh ugal-ugalan. Membuat raga ini serasa ingin di timang-timang.

Menepuk pelan pipinya sendiri. "Aihh ... Jadi ngebayangin yang iya-iya," celetuknya di sertai tawa cekikikan, merasa geli akan bayangkan encumnya.

"Tok ... Tok ..."

"Ranti! Ayo keluar, sarapan dulu."

Terdengar seruan dari balik pintu. Ia kontan sedikit terhenyak mendengar seruan lantang sang bude, Ranti lantas segera beranjak dan keluar kamar. Namun sebelum itu, ia menyempatkan diri untuk menyisir surainya dengan jari kiranya terlihat berantakan.

Pun, kalau di pikir-pikir dirinya sudah terlalu lama mengurung diri, merutuki kecerobohannya sendiri. Meskipun, terhitung Masih sekitar 10 menit sihh.

"Iya Mbok!" menyaut segera.

Ranti Berlari dan membuka pintu dengan tergesa. Ia berjalan mengekor di belakang Darmi, selama melangkah ke ruang makan Ranti tak sekalipun berani menengadah atau sekedar menoleh kedepan. Sampai tau-tau jempol kakinya kembali menubruk kaki meja hingga berdecit. Ia barulah berhenti sembari meringis ngilu.

"Aduhh!" pekiknya untuk kesekian kali.

Berbeda dengan dirinya yang manahan sakit, tiga orang yang sedari tadi duduk di meja makan malah terkekeh samar haha hihihi melihat perilakunya, tapi tidak dengan sosok kekar yang duduk di ujung meja. Ia hanya melirik sekilas tanpa ekspresi.

"Nduk, makanya hati-hati." Tegur Mbok Darmi mengingatkan.

Mengangguk singkat karena merasa tidak enak telah membuat majikannya menunggu, Mbok darmi menarik salah satu kursi untuk sang keponakan.

"Gak apa-apa, udah santai aja," ujar Bu Indira mencairkan ketegangan. "Ayo kita makan!" Ajaknya kepada seluruh penghuni ruangan.

"Terimakasih, Bu!" ucap Ranti penuh keseganan. Sedangkan Indira hanya menimpalinya dengan senyum manis yang terpatri.

Duduk satu meja dan sarapan bersama-sama dengan majikan budenya. Ranti merasa begitu canggung nan segan. Nasi di atas piring yang porsinya jauh lebih sedikit dari biasanya, kini terasa nampak menggunung hingga susah ia habiskan.

Ranti meraih sendok di atas piring, Suap demi suap ia telan dengan susah payah. Sampai-sampai Mbok Darmi yang duduk tepat di sebelahnya menatap heran. Tumben-tumbennya ini anak makan malas-malasan, tidak seperti kemarin. Tadi malam saja seingatnya ia sampai tertangkap basah Den Braja saat mengendap-ngendap mengambil makanan. Padahal sebelum itu, Ranti sudah makan dengan porsi yang lebih dari cukup.

Meneguk satu gelas penuh air putih, Braja yang berada di ujung meja langsung beranjak berdiri dan berlalu meninggalkan meja makan. Hingga seruan ibunya yang tiba-tiba seketika menghentikan pergerakannya.

"Mas, tunggu!"

Menoleh datar, Braja bertanya dengan sikap tenang seperti biasanya.

"Iya, ada apa Bu?"

"Bisa duduk sebentar!"

"Tentu."

Kembali ke kursinya, Braja menegapkan duduknya seraya menatap datar ke arah ibunya. Sedikit tatapan sumir namun terlihat samar nampak sekilas di parasnya yang garang. Hanya praduga, ia mengira ibunya kali ini akan membicarakan tentang kandidat calon istri seperti yang sudah-sudah. Tetapi melihat ada sosok asing yang ikut dalam obrolan kali ini, sepertinya ada perihal lain yang akan di sampaikannya.

"Ibu mau minta tolong sama kamu, tolong berikan pekerjaan untuk keponakan Mbok Darmi di tempat kamu."

"Uhuukkk!" Ranti yang tak menduga akan ucapan barusan, seketika tersedak nasi hingga menarik perhatian semua orang di meja itu, tak terkecuali Braja yang melirik nya sekilas.

"Ehh, pelan-pelan kamu makannya," gumam Mbok Darmi hampir tak terdengar. Ia pun sama, juga tak menduga dan merasa tidak enak atas ucapan Bu Indira barusan.

Bergeming, seraya beradu pandang dengan ibunya. Braja tetap bersikap tenang tak beriak.

"Kenapa harus di tempat kerja Braja, Bu? Apa tidak bisa di tempat lain? Di tempat saya tidak bisa main masukin sembarang orang," jelasnya datar.

"Tapi kamu kan seorang perwira Mas, masa masukin satu orang aja gak bisa," sanggah Bu Indira tak mau kalah.

"Bukan begitu Bu, hanya saja di tempat Braja ada aturan serta ketentuan yang harus di terapkan untuk menjaga keamanan serta kepentingan negara, jadi tidak sembarang orang bisa masuk kesana," pungkasnya panjang lebar sesuai dengan kenyataan yang ada.

Dan entah mengapa, begitu mendengar penuturan tersebut. Sedikit rasa tidak nyaman merambat samar di dalam hati Ranti.

"Mungkin Pak Braja enggan membantuku karena aku yang sembrono," batin Ranti pesimis dan tak berani beradu pandang dengan pria tersebut meskipun hanya sekilas.

"Tapi kan kamu seorang Laksda, masa gak bisa masukin seorang aja. Taruh lah dia di bagian bawah saja, yang penting hitung-hitung Ranti ada pengalaman kerja di tempat yang bagus," desaknya lagi dan masih kekeuh akan permintaannya.

"Kerja di bagian apa aja, mau kan Nak?" lanjutnya lagi seraya bertanya kepada gadis tersebut.

Terhenyak kaget karena pertanyaan yang tiba-tiba. Ranti hanya mengangguk samar seiras dengan ekspresi lempengnya.

"Hahh?"

"Huum," sautnya ragu.

Menggaruk pelipisnya yang tidak gatal, Ranti merasa begitu canggung dalam situasi ini. Sementara Darmi yang sedari tadi ingin bersuara, seketika terdiam kala mendapat delikan tajam dari sang majikan. Maksudnya supaya tidak ada drama bantah-bantahan lagi.

Sejenak Braja menarik nafas dalam seraya menatap sebentar ke arah gadis itu. Sampai, pria itu membuka mulut dan berkata.

"Lusa kamu ikut saya. Jam 5 tepat kamu sudah harus siap, lewat dari waktu tersebut kamu saya tinggal."

Beranjak berdiri nan melenggang pergi dengan sikapnya yang acuh tak acuh. Semua orang yang berada di meja makan sontak mendesah lega dan tersenyum lebar.

"Alhamdulillah!" seru mereka bersamaan.

"Kan, apa saya bilang. Braja pasti bisa bantu." seru Bu indira membanggakan diri.

"Tapi ingat lohh, jangan sampai telat! Kalau Mas bilang jam 5 berarti 15 menit sebelum waktu itu kamu harus udah siap. Jangan sampai meleng! Mas paling gak suka sama orang yang gak disiplin," celetuk Caca tiba-tiba, mengingatkan akan dirinya yang sering kali meleng jika berurusan dengan kakaknya satu itu.

Ranti seketika tergelak mendengar ucapan Caca barusan, di tambah dengan raut wajahnya yang bertutur begitu serius tanpa mengada-ngada. Kontan membuat senyumnya yang beberapa saat lalu merekah kembali meluruh lesu.

Matilah aku, setelah ini pasti hidupku tidak akan sedamai seperti hari-hari sebelumnya.

"Bismillah, Ranti. Bismillah!"

...----------------🍁🍁🍁----------------...

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!