Suara gaduh barang-barang yang dibanting itu terdengar dari lantai dasar. Deny hanya memantau pertengkaran itu dari anak tangga paling atas. Tak ada niat melerai atau mencampuri urusan pertengkaran orang tuanya. Kejadian macam ini memang bukan lagi hal baru. Ini terjadi nyaris tiap hari. Ketika mama dan papanya baru pulang kerja, justru mereka pulang dengan membawa pertengkaran.
Deny mendengus, mungkin dampak buruk jika orang tuanya kerja di kantor yang sama adalah perdebatan masalah pekerjaan yang sampai dibawa pulang.
“Aku muak terus seperti ini, Mas! Mending ceraikan saja aku!”
Deny tersentak. Ia melongokkan kepalanya ke bawah. Mama dan papa tampak saling melempar tatapan sengit. Hal ini memang sering terjadi, tapi belum pernah mama sampai berani mengatakan tentang perceraian. Deny pikir, pertengkaran mereka sudah biasa, Deny pikir mama dan papanya ingat jika mereka masih memiliki anak.
Deny menuruni anak tangga menuju lantai dasar. Di ruang tamu, Deny lebih jelas mendengar pertengkaran itu. Bahkan membuat hati Deny lebih nyeri saat mendengar papanya berteriak, “terserah jika itu maumu!”
Perceraian? Deny membatu. Tubuhnya gemetar. Sungguh, Deny tidak pernah berpikir jika orang tuanya sampai berpisah. Selama ini, meski memiliki orang tua lengkap, Deny tak pernah merasa diperhatikan. Mereka sibuk sendiri, kerja siang malam.
“Urus secepatnya. Aku sudah nggak tahan hidup sama kamu.”
“Kamu pikir aku seneng sama kamu? Nggak pernah, Mayang! Sama sekali!”
“Deny biar ikut sama aku.” Putus mama. Tapi saat itu papa menggeleng, wajahnya begitu angkuh saat menyungging senyum. “Deny sudah besar. Dia boleh memilih, lagipula kamu mana bisa ngerawat Deny? Dari kecil dia cuma minum susu botol.”
Tak terima dicibir, mama menunjuk wajah papa. “Diem kamu, Mas! Kamu sendiri apa bisa ngedidik Deny? Jangankan ngasih waktu luang buat ngajak dia jalan-jalan. Ngambil rapor Deny pun kamu nggak pernah, kan?”
Papa terpingkal saat menerima serangan balasan dari istrinya. “Mayang… Mayang…” papa tertawa dengan gaya menyindir. “Bukannya semua itu juga kewajiban seorang ibu, ya? Harusnya kamu nggak perlu repot-repot kerja. Aku sudah penuhin semua kebutuhan kamu, kan?”
“Kamu jangan egois gitu, dong. Deny tanggung jawab bersama. Lagian kenapa aku nggak boleh merintis karier yang udah kubangun susah payah?”
Deny dengan muka datarnya mengamati pertengkaran itu dengan duduk di sofa ruang tamu. Sungguh, remaja itu berpikir mama dan papanya sangat tidak tahu malu. Memperdebatkan hak asuh anak di depan anak sendiri, terlebih kedua orang itu tidak ada yang patut dijadikan teladan. Saat keduanya masih sibuk berdebat, dengan tanpa beban Deny berdiri dari duduknya. Kedua tangannya terselip di masing-masing saku celana.
“Kalian mau cerai?” tanya Deny. Barangkali, mama dan papa baru tersadar jika ada Deny di antara mereka. Papa berdeham, lantas mengatakan. “Kembalilah ke kamarmu, Deny.”
Deny berdecak. “Mama sama papa apa nggak capek tiap hari ribut mulu?” Deny memandang mama dan papanya bergantian. “Aku yang denger aja capek.” Dengusan keluar dari mulutnya. Deny sempat melihat kedua orang tuanya tersentak mendengar penuturannya. Deny tak berniat bersikap kurang ajar, tapi orang tuanya sendiri yang memaksanya berkata demikian.
“Deny, maafkan kami…” Mama tertunduk, malu sekaligus merasa bersalah. Namun Deny hanya meresponnya dengan tawa hambar. Kejadian seperti ini memang seringkali terjadi, mama minta maaf setelah pertengkaran hebatnya dengan papa. Tapi percuma saja, setelahnya pasti akan terjadi pertengkarang yang lain. Namun, Deny pikir mama masih lebih baik daripada papa yang selalu memajang wajah angkuh tanpa rasa bersalah.
“Kalau kalian bercerai, lebih baik masukkan aku ke panti asuhan,” cetus Deny spontan. Seketika tamparan keras papanya yang menyapa hamparan pipinya. Permukaan wajah Deny yang putih berubah merah, ini adalah pertama kali papanya main tangan. Bukan hanya Deny, mama pun sangat terkejut melihat sikap suaminya.
“Kamu apa-apaan, Mas?” Mama mendorong tubuh papa menjauh dari Deny. “Tega kamu mukul anak sendiri?”
“Anakmu itu kurang ajar!” ungkap papa, terlihat sangat marah. Deny tak acuh. Ia memang merasakan sakit di sudut bibir sebelah kirinya, tapi Deny terlihat tak begitu peduli. Wajahnya masih datar, menatap papanya yang masih mengepalkan kedua tangan.
“Kamu pikir untuk apa ada panti asuhan di negeri ini? Untuk menampung anak yatim piatu. Kamu pikir orang tuamu sudah mati, ha?” Papa berteriak, di depan wajah Deny.
“Bagiku, kalian memang sudah lama mati!” jawab Deny, tanpa ragu. Saat itu pula tangan besar papa terangkat, siap menghempaskan tamparan lagi di wajah Deny. Namun mama lebih dulu menahan tangan itu sebelum menyakiti anaknya.
“Jangan, Mas!” teriak Mayang. Ia menghempaskan tangan suaminya dengan kasar. Inilah yang tak disuakinya dari sosok Hardy, mudah sekali main tangan. Padahal berapa kali mama mewanti-wanti, jangan sampai menyakiti Deny secara fisik. Kondisi Deny baru saja membaik belakangan ini.
“Belain terus aja! Bikin Deny jadi ngelunjak.”
Deny menghela napas. Sepertinya ia tak sanggup lagi mendengar perdebatan orang tuanya. Deny lebih memilih keluar dari rumah untuk menenangkan diri. Ketika papanya berteriak, “mau ke mana kamu?”
Deny tak berniat menjawab pertanyaan bernada bentakan itu. Ia tetap membuka pintu dan membantingnya dengan keras. Ia hanya membutuhkan ketenangan, yang sama sekali tidak pernah ia temukan di rumah.
Harusnya tadi Deny membawa jaket. Malam hari di kota Batu masih begitu dinging. Beberapa kali Deny mengusap lengan ketika angin berembus menerobos kemeja putihnya. Deny menyusuri jalanan menuju alun-alun kota, tak ada tujuan pasti sebenarnya. Ia hanya butuh waktu untuk merenung. Jadi, saat ia menemukan kursi panjang di taman, Deny segera duduk di sana. Menyandarkan punggung pada sandaran dan menghela napas berkali-kali.
Langit sangat gelap, namun purnama tampak jelas. Kalau saja ada suara lolongan serigala, mungkin akan terkesan seperti film horor yang biasa ditontonnya. Deny tersenyum dan merasa itu sangat konyol. Di jaman modern ini, ia sama sekali tidak percaya dengan hantu-hantu.
“Milikmu terjatuh.”
Deny terperanjat. Sosok gadis berambut panjang yang terurai mendadak berdiri di depannya dengan wajah yang datar. Tanpa sadar napas Deny tersengal, sangat terkejut dengan kedatangan orang asing yang tiba-tiba itu. Sepertinya tadi tidak ada orang, pikir Deny saat gadis itu mengulurkan sapu tangan ke arahnya.
“Ini bukan milikku,” tandas Deny cepat. Ia mulai bisa mengontrol dirinya, meski banyak pertanyaan masih memenuhi kepalanya. Salah satunya pertanyaan, “kamu siapa?” Deny bertanya bukan karena modus ingin berkenalan. Deny hanya penasaran, mengapa gadis itu terlihat sangat mengerikan. Wajahnya sangat putih, cenderung pucat. Terlebih rambut panjangnya dibiarkan terurai melewati pundak.
“Bukan milikmu ternyata…” gumam gadis itu. Bukannya menjawab pertanyaan Deny, gadis itu justru pergi begitu saja. Deny mencoba menahan, tapi urung. Ia hanya merasa tidak punya urusan dengan gadis itu.
Suara dering ponsel mengalihkan perhatian Deny. Ia merogoh saku celana dan melihat nama mama di layar ponselnya. Deny tak acuh, ia mengusap layar untuk menolak panggilan itu dan menyimpan kembali ponselnya. Namun belum sampai satu menit, panggilan itu datang lagi. ponselnya menjerit sangat keras sekali, sampai-sampai membuat Deny tidak tahan jika terus mengabaikannya.
“Halo!” sahut Deny pada akhirnya, ketika ia mengangkat panggilan dari mama.
“Kamu di mana?” suara mama terdengar spontan.
“Meskipun di neraka mama nggak bener-bener peduli, kan?” Cibiran itu membuat Mayang geram, andai Hardy mendengarnya, pasti murka sudah.
“Deny!” suara Mayang terdengar meninggi.
“Apa?” sahut Deny tak kalah jutek.
“Pulang.”
“Aku lebih suka di luar, nggak denger kalian bertengkar.”
“Kamu nggak akan tahan lama-lama di luar. Cuaca dingin sekali. Cepat pulang.”
“Aku malas pulang.” Deny hampir mengakhiri sambungan telepon, namun mamanya lebih dulu mengatakan, “mobil mama ada di sebelah alun-alun. Mama sudah lihat kamu.”
Deny sontak mengedarkan pandang, tak berapa lama ia menemukan sedan silver terparkir di tepian jalan. Deny mendengus, jaman sekarang memang serba canggih, mama dengan mudah menemukannya dengan bantuan ponsel pintarnya pasti. Tapi sayangnya, Deny sama sekali tidak berniat pulang dengan mama. Sesekali, Deny ingin melihat orang tuanya benar-benar mengkhawatirkannya.
“Ayo pulang…” Suara mama kembali terdengar. Dengan gerakan cepat, Deny mengusap layar ponselnya untuk mengakhiri sambungan telepon, lantas menyimpan kembali ponselnya ke saku celana. Deny melihat mamanya turun dari mobil, namun percuma saja, Deny tidak ingin pulang bersama mama. Ia bergegas pergi. Dengan langkah setengah berlari, Deny mengabaikan panggilan mama yang berteriak memintanya kembali.
Deny hanya menoleh sekilas ke belakang. Mamanya masih berteriak. Suaranya melengking, membuat Deny mempercepat langkahnya tanpa fokus pada jalanan dan, brak! Tubuhnya terhuyung saat tanpa sengaja menabrak seseorang. Deny menatap seseorang yang ditabraknya, berniat meminta maaf.
“Maaf, aku nggak—“ kalimatnya terhenti saat sosok yang ditabraknya mengangkat kepalanya. Anak-anak rambut yang semula menutupi wajahnya mulai tersibak, menampakkan wajah putih pucat dengan lingkar hitam di sekitar matanya. Deny tanpa sadar berteriak, “Hwaaaa…”
Deny begitu terkejut ketika tatapan mata hazel sosok gadis menyeramkan itu terlempar ke arahnya. Tatapan yang begitu beku, mengalirkan rasa dingin yang menjalar di tubuh Deny, membuat bulu kuduknya berdiri. Dengan ludah yang tertelan berkali-kali, Deny melangkah mundur, namun tumitnya menyandung sesuatu dan membuatnya terjatuh.
“Auh…” keluh Deny, ia mencoba bangkit berdiri. Matanya masih was-was mengamati sosok gadis misterius yang sudah melangkah pergi. Rambut panjangnya bergerak-gerak tertiup angin ketika melangkah. Deny bergidik, bulu-bulu kuduknya masih meremang. “Itu tadi… penampakan atau…”
Teb!
Deny terlonjak ketika bahunya ditepuk. Ia kontan menoleh ke belakang yang melihat mamanya berdiri di dengan wajah lelah. “Ayo pulang,” perintah Mayang.
“Mama ngagetin aja, sih?” Deny mendengus, namun saat bersamaan juga merasa lega.
“Kamu kebanyakan bengong,” balas Mayang, lalu menyampirkan sweater di bahu Deny. “Kamu bisa masuk angin.”
Deny buang muka. Tak peduli andaipun ia benar-benar masuk angin. Setidaknya, Deny merasa diperhatikan ketika sakit.
Menginjakkan kaki di rumah, entah kenapa membuat Deny jengah. Apalagi sambutan papanya yang tak lagi menyenangkan. Pria itu mencibir ketika Deny baru melewati pintu ruang tamu. “Kayak anak kecil aja pake ngambek.”
Deny melirik papanya dengan tatapan sinis, tapi tak mengatakan apapun. Ia melepas sweater-nya, lalu menyampirkannya di bahu dan melangkah menuju tangga. Saat itu papa tersenyum mengejek. “Jangan kabur-kaburan segala, emang bisa apa kamu kalo nggak ada mama sama papa?”
Deny menoleh, matanya memicing kesal. Sweater di bahunya ia tarik, dan melemparkannya sembarangan dengan penuh kekesalan. Setelahnya, ia percepat langkahnya menaiki anak tangga. Saat itu, Deny menangkap sosok tua bi Halimah mengambil langkah yang berlawanan dengannya, yakni menuruni anak tangga dengan menenteng tas besar di tangannya. Pandangan Deny terfokus pada tas besar di tangan bi Halimah.
“Mau ke mana, Bi?” tanya Deny. Baginya, bi Halimah bukanlah sebatas pembantu. Wanita sepuh itu mempunyai peran lebih dari mama. Dari kecil, Deny mengenal bi Halimah sebagai pengasuhnya—pengganti mama. Bahkan bi Halimah yang selalu datang saat mengambil rapor di sekolah.
“Maaf, Aden…” Bi Halimah meletakkan tas besarnya pada lantai anak tangga. Tangan kanannya mengusap bahu Deny yang sering dipanggilnya dengan sebutan, ‘le’ yang berarti anak laki-laki. “Bukan maunya bibi ninggalin Aden, ya. Tapi bibi nggak punya pilihan.”
“Bibi mau ke mana?” tanya Deny. Mulai khawatir jika pengasuhnya sejak kecil itu akan pergi. “Baliknya cepet kan, Bi?” wajah Deny memelas. Di bawah, Mayang mengamati Deny dan bi Halimah. Keakraban mereka kadang membuat Mayang merasa gagal. Ia memalingkan pandangannya pada Hardy yang menyesap kopi. Lelaki itu hanya bergeming saat Mayang menatapnya.
“Mulai sekarang, bibi pindah ke desa, Aden… anak bibi bilang kalau bibi terlalu tua buat kerja.”
“Mulai sekarang bibi nggak perlu kerja. Cuma temenin aku di sini.” Deny menggengam pergelangan tangan bi Halimah, erat. Deny mulai membayangkan hidupnya tanpa bi Halimah, sama saja dengan sendiri. Makan hanya mengandalkan pizza yang dipesan via telepon, lalu termenung sendiri di rumah besar yang tak ada penghuni lain. Toh, mama dan papa lebih sering menghabiskan waktu di kantor.
“Bi Halimah mau pergi, Deny! Jangan paksa buat tinggal,” sahut papa santai. Entah kenapa papa sama sekali tidak menghalangi bi Halimah pergi.
“Bibi kemarin sudah pamitan sama tuan.” Mata bi Halimah menatap Deny dengan iba. Remaja itu sudah seperti anaknya sendiri, begitu berat meninggalkan Deny sebenarnya.
“Sudah, Den. Nanti papa cari pembantu lain.”
Deny tak menyahut. Baginya, tak ada seorang pun yang bisa menggantikan posisi bi Halimah. Jika sekarang Deny hanya bisa membiarkan bi Halimah pergi, itu karena Deny tak ingin egois. Deny pun ingin melihat bi Halimah menentukan pilihannya sendiri.
Deny tak mengantar bi Halimah saat tukang ojek yang menjemput wanita itu sampai di depan rumah. Deny hanya bergegas menuju kamar, menyebalkan juga rasanya kehilangan. Tadi, bi Halimah sempat berpesan agar Deny mendengar apa kata papa dan mama. Jangan sampai membangkang dan jadi anak berbakti.
Deny mengintip dari jendela kamar, ketika motor yang membawa bi Halimah pergi, melewati jalanan perumahan Seville hingga sosoknya tak terlihat lagi.
Deny nyaris lupa jika tidak ada bi Halimah lagi. Saat membuka tudung di ruang makan, Deny baru sadar jika tak ada makanan apapun di sana. Deny tertunduk, ia sangat lapar. Terpaksa menelpon restoran cepat saji agar mengirim sarapan pagi untuknya.
Tak sampai sepuluh menit, pesanan datang. Setelah melunasi pembayaran, Deny langsung membawa ayam dan nasinya menuju ruang makan. Deny duduk dengan tenang, mengunyah nasinya saat keributan itu lagi-lagi terjadi. Mama dan papanya berdebat meski keduanya beriringan menuruni tangga. Suara keduanya begitu kacau sampai-sampai Deny tidak tahan lagi mendengarnya.
Kedua orang dewasa itu saling menyalahkan, saling mengumpat. Seakan keduanya tidak pernah saling mencintai sebelumnya. Bahkan keduanya masih bertengkar ketika memasuki dapur. Sebenarnya, siapa yang berniat sarapan? Mama dan papa sama sekali tak menghentikan perdebatan meski Deny belum menghabiskan sarapannya saat itu.
Mungkin Deny sudah kehabisan kesabaran saat ia melempar piringnya hingga benda itu pecah berkeping-keping. Nasi dan ayam yang baru disantap sebagian itu tersebar ke penjuru arah. Mayang dan Hardy tersentak.
“Kalau mau ribut, silakan!” Nada suara Deny meninggi. Dadanya bergemuruh oleh amarah. Ia hanya ingin ketenangan. Tapi di rumahnya, tak ada seharipun tanpa pertengkaran kedua orang tuanya.
Tindakan Deny yang terlampau frontal itu telak membuat Hardy naik darah. Ia menghampiri Deny, nyaris menamparnya lagi andai tak dihalangi oleh Mayang.
“Jangan selalu belain anak nggak tau diri ini.” Hardy berteriak saat Mayang terus menahan lengan suaminya agar tak sampai lepas kendali.
“Jangan berani nyentuh Deny!” teriak Mayang. Tangan besar Hardy menghempas, menjauhkannya dari cengkeraman Mayang. Deny masih bergeming. Dan perdebatan lagi-lagi terdengar.
Pagi ini, barangkali bukan cuma Deny yang terganggu dengan pertengkaran orang tuanya, tapi juga para tetangga. Sebenarnya, bukan sekali dua rumahnya didatangi para tetangga yang merasa terganggu dengan keributan ini, tapi dua orang tua itu mungkin sudah tidak tahu malu.
Suara dering ponsel mendadak membuat kedua orang tuanya mendadak menghentikan pertengkarang mereka. Saat itu, Mayang dengan sigap meraih ponsel di saku jasnya dan berdeham. Dari ekspresinya, Deny dapat menyimpulkan bahwa itu pasti dari rekan kerja mamanya.
Deny mendengus, kalau bicara dengan rekan kerja saja bisa sopan dan sangat lembut. Deny memang tidak suka dengan sikap papanya yang kasar, tapi jika mama bisa memulai bersikap baik pada papa, mungkin pria itu tidak akan terus menerus bersikap kasar seperti sekarang.
Sialnya, setelah panggilan dari rekan bisnis mama itu berakhir, keributan itu masih terus berlanjut. Entah apa yang sebenarnya mereka ributkan. Terlalu banyak yang dibahas, sampai hal kecil pun bisa jadi bahasan yang tak ada ujungnya.
Muak dengan keributan itu, Deny kembali meraih gelas di meja, lantas melemparnya ke lantai hingga meninggalkan suara pecahan yang nyaring.
“Mulai kurang ajar kamu, Den!” bentak Hardy.
Deny tersenyum mencibir. “Kalian nggak pernah peduli, kan? Ada atau nggak ada anak, nggak penting bagi kalian.”
Hardy benar-benar murka dibuatnya. Kali ini, tidak ada yang mampu menghalangi tangan kanan Hardy untuk menampar wajah Deny. Suara tamparan itu membuat Mayang menyesak. Ia melihat ada darah yang mengintip di sudut bibir Deny. Pemuda tanggung itu meringis merasakan nyeri di sudut bibirnya, ia mengusap darah itu singkat dan kembali mengangkat wajah untuk menemukan gurat penuh kemarahan pada muka papanya.
Kedua tangan Hardy mencengkeram bahu Deny, lalu mengguncangnya keras. “Untuk siapa lagi kami kerja keras siang malam kalau bukan untuk kamu?” Tatapan mata Hardy begitu marah. Namun ini bukan lagi hal yang mengerikan. Deny sudah terlalu sering melihat papanya mengamuk seperti banteng yang melihat bendera merah.
Deny sama sekali tak mengatakan apapun sebagai respon. Namun napasnya tersengal. Hardy meremas bahunya makin keras, napasnya pun menderu saat mengatakan, “biaya hidup dan sekolahmu itu tidak murah. Bahkan ketika kamu SMP kami terlilit banyak hutang demi membuatmu tetap bertahan hidup. Kalau tahu kamu tidak suka kami seperti ini, baiknya dulu sekalian saja kamu mati.”
“Mas!” Mayang berteriak. “Kamu apa-apaan?”
Deny terbelalak. Kenangan ketika masa lalu itu berputar kembali. Ia memang hanya anak penyakitan dulu—mungkin sampai sekarang. Kalau fisiknya terlalu lemah sampai harus bolak-balik keluar masuk rumah sakit, itu bukan mau Deny. Kalau pun saat itu Deny harus mati, ia tidak keberatan. Sama sekali.
“Aku nggak masalah kalaupun harus mati,” tandas Deny dengan nada datar. Ia menyingkirkan kedua tangan papa yang mencengkeram bahunya, lalu menambahkan, “setidaknya nggak perlu denger kalian ribut tiap hari.”
“Deny—“ Mayang hendak mengatakan sesuatu, namun Deny lebih dulu meninggalkan dapur. Melangkah cepat menuju kamarnya. Ia hanya butuh mandi dan berbenah diri sebelum berangkat ke sekolah. Beberapa kali Mayang mencoba mengajak Deny bicara, tapi Deny enggan mendengar apapun dari wanita itu. Remaja itu membawa motor ninjanya keluar dari gerbang. Saat itu, sosok gadis yang melintas di depan gerbang menarik perhatian Deny. Gadis dengan rambut panjang, sebatas punggung. Gadis itu mengenakan baju yang sama seperti kemarin. Kemeja putih longgar, dan celana jins yang sudah usang. Wajah gadis itu masih sama pucatnya seperti semalam. Dan rasa ngeri yang menjalari Deny, masih sama seperti sebelumnya.
Deny mencoba mengabaikan gadis itu dan melesatkan motornya menuju sekolah. Deny melirik ke arah spion, dari sana remaja itu bisa melihat wajah gadis itu yang sebagian tertutupi oleh rambut panjangnya. Melihat itu, bulu kuduk Deny langsung meremang.
***
Deny urung melanjukan motornya ke sekolah saat melewati kolam pemancingan ‘Randu Alas’. Kolam pemancingan itu ada di sekitar desa Ngrangin, yang mengarah menuju sekolah. Setelah memarkir motornya di parkiran, Deny memasuki pemancingan itu. Dulu, ketika SD Deny sering main ke sini ketika libur sekolah.
Tiap akhir pekan, bersama mama dan papa. Sebelum keduanya punya pekerjaan yang menyita banyak waktu seperti sekarang.
“Nggak bawa pancingan, Nak?” seorang bapak menyapa. Deny menggeleng. Ia memang tidak berniat memancing. Ia datang hanya karena merindukan harinya yang dulu. Ia yang sekarang benar-benar sendiri. Mungkin benar kata papa, harusnya mereka membiarkan Deny mati saja dulu.
Deny tersenyum miris. Mengingat kata-kata papanya itu membuat hatinya seperti disayat. Sangat menyakitkan.
Deny meninggalkan pemancingan sebelum perasaannya makin kacau. Sebelum ke sekolah, ia menyempatkan diri mampir ke apotek. Ia butuh pil tidur. Belakangan ini ia mengalami insomnia.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!