Merpati adalah lambang kesucian cinta. Yin dan Yang lambang keharmonisan, keseimbangan hidup.
Hujan rintik rintik, angin sepoi sepoi membelai rambut bumi dan seluruh isinya agar tertidur lelap. Tapi tidak bagi pasangan suami istri yang tengah berseteru di teras rumahnya yang mewah.
Elama tidak berkutik lagi ketika mendengar amarah Alan Morales yang menggelegar. Kata katanya begitu menusuk hatinya. Namun Elama tidak ingin hidup miskin. Mau tidak mau terpaksa mengukuti keinginan Alan dan keluarganya untuk memberikan bayi mereka hasil hubungan di luar nikah ke sebuah panti asuhan.
"Elama, aku tahu ini sulit. Tapi kita harus melakukannya." Alan kembali membujuk istrinya. Kali ini Alan bicara lebih lembut dari sebelumnya.
"Tapi Alan, dia putri kita, hasil buah cinta kita," ucap Elama menatap sedih wajah putri kecilnya yang masih merah.
"Aku tahu, tapi ini untuk sementara." Alan mengambil bayi dalam pangkuan Elama lalu menggendongnya. "Kita tidak punya waktu, selagi masih malam. Tidak ada orang yang akan tahu." Alan menarik tangan Elama tapi wanita itu menepisnya.
"Aku tidak bisa!"
Alan tersenyum sinis menatap istrinya tanpa punya perasaan. "Oke, kita cerai!"
Mata Elama melebar mendengar kata Cerai. "Apa? cerai? tidak, tidak!"
"Jadi? bagaimana?" tanya Alan sekali lagi.
Elama tercenung, haruskah ia membuang putrinya? dosakah? tapi ia tidak mau di ceraikan dan hidup susah lagi, ia teringat sahabatnya yang tinggal di jakarta juga. "Rahma.." ucap Elama pelan, namun jelas terdengar oleh Alan.
"Rahma?" Alan mengulang nama yang di sebutkan Elama.
Elama menganggukkan kepala, "ya, dia sahabatku, mungkin dia bisa menyelesaikan permasalahan kita." Elama tersenyum.
"Baiklah, ayo kita kesana sekarang juga." Alan berjalan turun dari teras rumahnya di ikuti Elama. Pria itu tidak ingin membuang waktu, meski di luar tengah hujan. Mereka langsung masuk ke dalam mobil dan melajukannya menuju rumah yang dimaksud Elama.
"Apa kau yakin, dia bisa membantu kita?" tanya Alan lagi, ia tidak mau di repotkan jika harus mondar mandir.
"Aku yakin dia mau, setahuku dia tidak punya anak dan hidup sendirian." Elama meyakinkan suaminya, dia sendiri tidak ingin putrinya terlantar di panti asuhan.
"Bagaimana kau yakin?" tanya Alan lagi dengan tatapan fokus kedepan.
"Dia sahabatku."
***
Rahma, seorang janda muda hidup sendirian di rumahnya yang berukuran kecil di tengah tengah megahnya kota Jakarta. Tengah duduk di teras rumah menikmati secangkir kopi. Tubuhnya yang ringkih terbalut baju hangat yang sudah usang dan bolong bolong. Ia berdiri dari duduknya saat melihat sebuah mobil alphard di ujung jalan. Rumahnya memang tidak memiliki halaman. Tapi dari tempat duduknya ia bisa melihat mobil mewah itu dari gang sempit di depan rumahnya. "Siapa itu?" ucapnya pelan, tangannya memeluk tubuhnya sendiri karena cuaca yang dingin, ia memperhatikan satu orang wanita dan satu orang pria dewasa tengah menggendong sosok mahluk mungil menggunakan payung.
"Elama?!" ucapnya pelan. Penampakan wanita di ujung gang sempit itu semakin jelas terlihat wajahnya.
"Rahma."
"Elama? kau menemuiku?!" Rahma tersenyum mengembang rasanya tak percaya, wanita yang sudah menjadi sahabat sejak sekolah dulu datang menemuinya. lalu ia memeluk Elama sesaat. Matanya melirik ke arah Alan dan bayi dalam gendongannya.
"Ayo duduk." Rahma mempersilahkan Elama untuk duduk. Tapi wanita itu menolaknya membuat Rahma alisnya bertaut bingung menatap keduanya. "Kenapa?"
Elama menundukkan kepala sesaat, lalu melirik ke arah Alan yang menganggukkan kepala. "Aku datang kesini, untuk minta bantuanmu."
"Bantuan? aku tidak punya apa apa Elama." Rahma tersenyum samar menatap Elama.
"Bukan uang.." sahut Elama cepat.
"Lalu?" Rahma semakin bingung.
"Aku titip bayiku," Elama mengambil bayi dalam gendongan Alan.
"Bayimu?" Rahma menautkan kedua alisnya masih tidak mengerti. Bukankah mereka baru satu minggu menikah? bagaimana mungkin punya bayi?
"Iya Rahma." Elama menundukkan kepala sesaat.
"Maaf Elama, aku tidak bisa."
"Tapi-?"
"Elama, dia putrimu.." potong Rahma.
Alan yang sedari tadi mendengarkan, akhirnya angkata bicara. "Sudah ku bilang, lebih baik kita ke panti asuhan." Pria itu menarik tangan istrinya dengan kasar lalu menyeretnya dengan paksa.
Elama menoleh ke arah Rahma dengan tatapan penuh harapan. "Aku mohon..tolong aku."
Rahma terdiam, ia tidak mengerti dengan jalan pikiran sahabatnya. Rela membuang putrinya sendiri demi harta. "Tunggu! Rahma mengambil payung yang tergeletak di bawah meja lalu berlari menyusul mereka sembari memegang payung, " berikan bayimu padaku."
"Rahma.." mata Elama berkaca kaca menatap ke arah Rahma. "Kau mau membantuku?"
"Tidak, aku hanya kasihan dengan bayinya," ucap Rahma ketus.
"Terserah apa katamu," sela Alan.
Rahma melirik ke arah Alan sesaat dengan tatapan benci. Hidupnya memang sulit, tapi ia beruntung memiliki suami yang baik hingga akhir hayatnya.
"Terima kasih.." Elama memberikan bayinya ke pangkuan Rahma.
"Aku akan mentransfer uang setiap bulannya untuk putri kami," ucap Alan dengan nada angkuh.
"Tidak perlu, aku masih mampu untuk membiayainya." Rahma menatap keduanya.
"Oya? kau mampu?" sindir Alan.
Rahma berjalan lebih dekat dengan Alan. "Aku memiliki segalanya, cinta..kasih sayang." Rahma tersenyum sinis menatap Alan. "Hidupku miskin..tidak dengan jiwaku."
Alan memalingkan wajahnya mendengus, "halah, simpan kata katamu." Alan melangkahkan kakinya mendahului Elama.
Rahma menggelengkan kepala menatap punggung Alan, lalu beralih menatap Elama. "Hidupmu tidak seberuntungku Elama."
Elama menganggukkan kepala, ada bulir air mata jatuh di sudut matanya. "Aku tahu, tapi aku capek hidup miskin." Elama mengusap air matanya dan berlalu begitu saja menyusul Alan yang sudah menunggu di mobil. Rahma hanya diam memperhatikan punggung Elama. Apakah harus seperti itu Elama? demi hidup kaya? siapa yang tidak ingin hidup kaya berlimpahan materi? Rahma terkadang memimpikan itu. Tapi membuang putri sendiri demi harta?
Rahma menarik napas dalam dalam, lalu mengalihkan pandangannya pada bayi itu.
"Sayang, sekarang kau jadi anak Ibu." Rahma tersenyum menatap bayi tersebut dan mencium keningnya sesaat. Rahma melirik ke arah ujung jalan, mobil mereka sudah tidak ada lagi di ujung gang itu. Rahma melangkahkan kakinya masuk ke dalam rumah.
***
Sepuluh tahun berlalu sejak pertama kali Rahma memutuskan untuk mengangkat bayi Elama menjadi putrinya. Ia tumbuh menjadi anak yang cantik meski gayanya sedikit tomboy. Rahma hanya mampu menyekolahkan putri angkat yang ia berinama Anna hanya sampai kelas 6 tingkat dasar saja. Ia tidak memiliki cukup uang untuk membiayai sekolah Anna. Meskipun hidup mereka pas pasan kadang kekurangan, Anna tidak pernah mengeluh atau menuntut.
Anna memilih keliling komplek perumahan elit atau jalan raya untuk memungut botol plastik bekas. Untuk di jual, dan uangnya Anna gunakan membeli makanan dan obat untuk Bu Rahma yang tengah sakit keras. Tidak adanya uang untuk pengobatan, membuat kondisi Rahma semakin buruk.
Suatu pagi, Anna baru saja hendak mengambil kantong di dapurnya. Ia mendengar Bu Rahma memanggilnya dari arah kamar. Dengan langkah tergesa gesa, Anna mendatangi kamar Bu Rahma.
"Ibu.."
Bu Rahma membuka matanya perlahan lalu ia tersenyum samar menatap wajah Anna. Tangannya terulur memegang jari jemari mungil Anna. "Nak, ibu mau bicara sebentar."
"Ada apa Bu.." Anna menggeser duduknya, ia menatap sedih wajah Rahma yang semakin pucat, napasnya mulai lambat.
Bu Rahma terdiam sesaat, lalu ia mengatakan jika Rahma bukanlah Ibu kandungnya. "Iya Nak, kau masih punya orang tua."
Anna yang masih polos dan tidak mengerti urusan orang dewasa, anak itu terlihat tegar dan tersenyum lebar memperlihatkan giginya yang putih dan rapi. "Mereka di mana Bu?" tanya Anna.
"Mereka tidak tinggal di sini, Anna" ucap Rahma terbatuk batuk. "Elama dan Alan, itu nama orangtuamu."
"Apa Ibu cantik?" Anna tersenyum membayangkan bagaiamana rupa Ibunya. "Bagaimana dengan Ayah?"
Rahma terdiam, tangannya mengusap lembut rambut Anna. "Dia..?"
"Apa Bu?" Anna menatap tajam wajah Rahma, sudah tidak sabar menunggu jawaban Rahma.
"Dia baik sayang, wajahnya mirip kamu." Rahma mengusap matanya yang basah oleh air mata.
"Kalau begitu, aku mau kumpulin uang. Nanti buat ongkos ke rumah Ibu sama Ayah! mata Anna berbinar menatap Rahma.
Rahma tersenyum samar, ia khawatir tidak memiliki cukup waktu untuk menunggu Anna dewasa. Tapi jika sekarang di ceritakan juga percuma. Anna masih kecil dan tidak tahu apa apa. Rahma tidak ingin membuatnya sedih.
"Ibu kenapa menagis?" tangan mungil Anna menyeka air mata di pipi Rahma yang mulai terlihat keriputan dan matanya cekung terdapat lingkaran hitam.
"Tidak apa apa sayang," ucap Rahma pelan.
"Aku kerja dulu ya Bu!"
"Baiklah Nak, hati hati di jalan." Rahma mengusap rambut Anna dengan lembut.
Anna menganggukkan kepala, ia berjalan keluar rumah dengan kantong plastik di tangannya. Sepanjang jalan Anna menundukkan kepala. Sesekali ia menendang batu kerikil di jalan.
"Aku punya orangtua?" gumamnya pelan. Tersungging senyuman di bibirnya. Sepanjang jalan Anna mengkhayalkan wajah Ayah dan Ibunya. Memeluk, memberikan boneka yang bagus untuk Anna dan pakaian yang bersih seperti anak anak seusianya.
Anna menarik ujung kaosnya yang berwarna pudar, lalu tertawa kecil. "Ibu pasti belikan aku baju bagus." Anna kembali melangkan kakinya, di setiap tapak kakinya yang kecil menorehkan mimpi tentang pertemuannya dengan kedua orangtua yang akan menyayanginya seperti anak yang lain. Langkah kaki tanpa beban memungut setiap botol plastik kosong yang ia temui di setiap tong sampah atau tepi jalan raya, yang di buang srmbarangan oleh segelintir orang yang tidak memiliki etika.
Anna, gadis kecil kembali pulang dengan riang gembira sambil menyeret karung berukuran sedang yang sudah di penuhi botol plastik, sesekali terdengar nada siulan dari bibirnya yang mungil. Menyapa setiap bertemu dengan teman sebayanya meski tidak ada sapaan balik dari mereka.
Sesampainya di rumah, gadis kecil itu meletakkan barang bawaannya di halaman rumah. Lalu ia masuk ke dalam rumah untuk membersihkan diri. Sesaat menengok ke kamar Rahma untuk memastikan wanita itu baik baik saja. Setelah itu, ia masuk ke dalam kamar mandi. Setiap guyuran air ke tubuhnya, Anna membayangkan bagaimana rupa kedua orangtuanya. Bagaimana rasanya di peluk, di sayang, di belai dan di belikan pakaian bagus dan berbagai mimpi lainnya. Ia tertawa kecil, berputar sambil bersenandung. Entah lagu apa yang ia nyanyikan.
"Ibu, Ayah, kapan kalian menjemputku?" tanyanya pada diri sendiri. Entahlah, dia tidak tahu kapan mimpinya akan terwujud. Tapi gadis kecil itu yakin, suatu hari nanti Yang Maha Kuasa akan mempertemukan mereka entah bagaimana caranya.
Sepuluh tahun berlalu, waktu terus berputar. Sang waktu tidak pernah menunggu. Seorang gadis duduk bersila di depan pusara, ia menundukkan kepala sembari mencabut rumput di sekitar dengan raut wajah murung. Sepuluh tahun sudah Rahma meninggalkan Anna sendirian hidup terkatung katung tanpa tempat tinggal. Rumah satu satunya milik Rahma terjual untuk biaya pengobatan. Namun nyawa Rahma tidak dapat tertolong.
Kini masa lalu tinggal kenangan, masa depan hanyalah angan angan. Dua puluh tahun sudah gadis kecil itu berubah menjadi dewasa. Semua harapan, dan impian nyaris hilang dalam pikirannya. Hari ini, inilah kenyataan hidup Anna.
Pakaiannya yang lusuh dan tak terawat, rambutnya yang panjang di ikat sembarangan menggunakan topi terbalik. Celana Jeans sobek sobek di sekita lutut layaknya anak punk. Pandangannya ia alihkan pada batu nisan yang terukir sebuah nama 'Rahma'.
"Meskipun kau bukan Ibuku, tapi selama hidupmu kau telah memberiku cinta yang tak pernah kudapatkan dari Ibuku sendiri." Gadis itu mengusap ukiran nama di batu nisan berkali kali.
"Bu, maafkan aku yang tidak bisa membalas cintamu padaku," ucapnya pelan. Bulir air mata hampir saja jatuh dari sudut netranya. Buru buru Anna mengusapnya dengan telapak tangan.
"Aku merindukanmu, Bu.." ucap Anna lirih.
"Anna! pekik seseorang dari arah belakang.
Gadis itu menoleh lalu berdiri, " Tasya?" ucapnya menatap gadis di tepi jalan yang menggunakan gaun selutut berwarna merah dengan belahan dada terbuka tengah berdiri di samping mobil.
"Anna, ayo cepat!" Tasya melambaikan tangan padanya.
Anna mengalihkan pandangannya ke batu nisan. "Bu, aku pergi dulu, besok aku kembali lagi." Anna tersenyum getir, Lalu ia balik badan melangkahkan kakinya mendekati Tasya.
"Heh, ngapain kau kesini!" seru Anna menatap horor Tasya.
"Aku ada perlu," ucap Tasya menarik tangan Anna.
"Apa sih?!" Anna menautkan kedua alisnya menatap Tasya sahabatnya anak tunggal seorang pengusaha kaya. Pertemuan mereka di awali saat Tasya hendak di rampok oleh sekumpulan geng motor. Sejak saat itu, Tasya meminta Anna untuk menjadi sahabatnya.
"Aku ada tawaran menarik buatmu." Tasya membukakan pintu mobil lalu meminta Anna untuk masuk ke dalam. Anna hanya diam mengikuti apa yang di inginkan sahabatnya itu. Ia masuk ke dalam mobil di ikuti Tasya ikut masuk dan duduk di sebelah Anna.
"Tawaran menarik apa? tanya Anna malas, dengan tatapan lurus ke depan.
"Gini, gini." Tasya menggeser duduknya. "Dari pada kau ngamen keliling kota Jakarta, dan juga tidak punya tempat tinggal. Gimana kalau kau ikut aku?"
"Kau ini, bicara saja langsung ke intinya." Anna menatap jengah Tasya.
"Kau kan jago karate, kau juga sudah biasa hidup di jalanan. Gimana kalau kau kerja padaku?
"Kerja apa?" tanya Anna masih belum mengerti maksud ucapan sahabatnya.
"Kau jadi bodyguard, gimana?" Tasya menaikkan dua alisnya menatap Anna penuh harap. "Gini, gini..aku tahu, kalau kau tidak suka merepotkan orang lain. Aku bayar tiap bulan, ya..itung itung buat ngekos atau makanmu tiap hari?"
Anna tercenung sesaat memikirkan ulang tawaran Tasya, tidak ada salahnya juga ia menjadi bodyguardnya Tasya. "Oke, aku setuju!"
Tasya menepuk tangannya sendiri tersenyum lebar. "Nah! gitu dong!" kemudian Tasya membuka tasnya ia mengambil sepuluh lembar uang pecahan seratus ribu lalu di berikan pada Anna.
"Apa ini?" Anna menatap uang di tangan Tasya.
"Ini sebagai tanda jadi kalau hari ini, kau sudah resmi menjadi bodyguardku."
"Baiklah, aku setuju." Anna mengambil uang dari tangan Tasya lalu menciumnya sekilas.
"Muach! rejeki nomplok!" Anna tertawa lebar menatap Tasya.
"Ok, sekarang kita ke mall. Aku belikan kau pakaian yang cocok buatmu." Anna mengangkat kedua bahunya melirik sesaat ke arah Tasya yang melajukan mobilnya.
Tak butuh waktu lama, mereka telah sampai di halaman mall, Anna dan Tasya keluar dari pintu mobil langsung masuk ke dalam mall dan memilih beberapa potong kaos, jaket dan celana jeans yang akan di gunakan Ann.
Anna tersenyum samar menatap pakaian di tangannya. Ia teringat tentang Ibuyang telah merawatnya sejak masih bayi, dia sudah lama meninggal sejak Anna masih berusia 10 tahun. Rahma terkena penyakit kanker hingga menggerogotinya dan tidak mampu bertahan karena tidak ada biaya untuk pengobatan. Berbagai cara Anna lakukan untuk kesembuhan Rahma. Hingga ia jual rumah satu satunya.
Sebelum Rahma menghembuskan napasnya yang terakhir, ia hanya memberikan dua buah nama pada Anna kalau mereka adalah orang tua kandungnya, 'Elama dan Alan' Selain itu, Ibu yang telah merawatnya tidak memberikan informasi lain hingga Anna sendiri tidak tahu harus mencari kemana orang tua kandungnya dan wajah mereka pun Anna tidak tahu.
"Hei! malah bengong!" seru Tasya menepuk bahu Anna. Membuatnya berjengkit kaget.
"Ah sial!" sungut Anna.
"Ayo kita makan dulu." Tasya menarik tangan Anna menuju restoran yang ada di dalam mall tersebut.
"Hai sayang!" sapa Tasya pada seorang pria yang menggunakan setelan jas berwarna biru.
"Sudah lama nunggu? oya, kenalkan nih sahabatku sekaligus bodyguard." Tasya tersenyum pada pria itu.
"Rangga," pria itu mengulurkan tangan pada Anna.
"Kau sudah tahu namaku dari dia," ucap Anna membalas jabatan tangan Rangga. Anna menarik tangannya kembali. "Aku di luar saja."
"Eh kau mau kemana? kita makan bersama." Tasya menahan tangan Anna.
"Tidak, aku belum lapar. Kalian saja." Anna berlalu meninggalkan sahabatnya.
"Tomboy amat tuh cewek," ucap Rangga lalu ia duduk dan memesan makanan.
"Dia hidup sebatang kara," ungkap Tasya.
"Oya?"
Tasya menganggukkan kepala, ia sendiri tidak tahu banyak tentang Anna. Gadis itu sangat tertutup soal pribadinya. Berbeda dengan Tasya yang cerewet dan periang.
"Dia tinggal di mana?" tanya Rangga lagi penasaran.
"Dia tidak punya tempat tinggal, aku pernah menawarkan tapi dia menolak." Tasya mengambil minuman segar yang ada di atas meja.
Rangga menganggukkan kepala, "gadis yang mandiri," ucapnya dalam hati.
***
Sementara itu Anna yang berada di halaman mall, ia menyingkir dari keramaian dan memilih duduk di halte yang tak jauh dari mall. Matanya menatap sekitar jalan raya, lalu ia mengeluarkan sekotak rokok di dalam sakunya, ia ambil satu batang rokok dan menyalakannya. Selama hidup di jalanan ia tidak perduli lagi penilaian orang yang memperhatikannya. Kadang Anna tersenyum sinis saat melihat tatapan mata orang lain padanya dengan tatapan benci. Gadis yang merokok pasti setiap orang akan menilai negatif dan Anna tidak perduli itu.
"Elama..." gumamnya pelan. Nama ibu kandung yang ia tahu dari Bu Rahma. Tapi tidak ada petunjuk wajahnya seperti apa dan bagaimana. Berkali kali ia mendesah kecewa saat mengingat kalau ternyata dirinya memiliki orangtua kandung. Tapi entah ada di mana mereka dan seperti apa Anna sama sekali tidak tahu. Anna tidak tahu pasti alasan kedua orangtuanya meninggalkannya sejak bayi bersama Rahma.
Ia membuang rokoknya yang hampir habis ke jalan raya. Ia tertawa kecil, "bodoh! buat apa memikirkan orang tua yang telah membuang anaknya sendiri," ucap Anna dengan nada kecewa. Perlahan ia bangun dari duduknya, dengan kedua tangan ia masukkan ke dalam saku celana. Dengan langkah pelan dan santai menuju halaman mall.
"Anna!" seru Tasya.
"Maaf, kalian sudah lama menungguku?" ucap Anna tertawa kecil, lalu membenarkan topinya.
"Kau meninggalkan pakaianmu di dalam. Nih.." Tasya memberikan dua kantong berisi pakaian Anna.
"Ah iya..maaf." lagi lagi Anna tertawa kecil.
Rangga yang berdiri di belakang Anna tersenyum melihat tingkah Anna. "Sepertinya, aku menyukainya," ucap Rangga dalam hati.
"Ayo kita pulang.."
Anna menganggukkan kepala, lalu ia membuka pintu mobil dan duduk memperhatikan Tasya tengah melambaikan tangannya pada Rangga. Lalu Tasya membuka pintu mobil duduk di sebelah Anna.
"Kekasihmu?" Anna menoleh ke arah Tasya.
"Iya." Anna menganggukkan kepalanya.
Seharian Anna mengikuti kemanapun Tasya pergi, di awali bertemu dengan teman teman nongkrongnya. Di lanjutkan bertemu dengan Rangga kekasihnya. Wara wiri kesana kemari membuat Anna sedikit kewalahan dengan sikap Tasya yang selalu memaksa dan susah di beritahu layaknya seorang adik yang merajuk pada kakaknya. Namun ada yang berbeda dari hari sebelumnya yang Anna rasakan. Ada perasaan asing menyeruak ke dalam dadanya saat ia menjadi bodyguard, ia menjaga Tasya layaknya adiknya sendiri, sikap Tasya yang kekanak kanakan kadang membuat Anna kesal tapi suka di repotin olehnya.
Anna duduk tersenyum sendiri mengingat tingkah Tasya, ia lepas topi yang melekat di kepalanya lalu di letakkan di atas meja.
"Aku datang!"
Anna menoleh ke arah Tasya, di tangannya membawa nampan berisi minuman segar dan cemilan. Selama ini Tasya hidup sendirian di rumahnya yang besar hanya di temani dua asisten rumah tangganya. Sementara kedua orangtuanya yang pengusaha tinggal di Hongkong. Sesekali mereka menjenguk Tasya. Hingga gadis itu merasa kesepian.
"Di minum." Tasya meletakkan minuman rasa leci ke hadapan Rhea. Lalu ia duduk di kursi berhadapan dengan Anna.
"Kau tidak kesepian tinggal di rumah sebesar ini sendirian?" tanya Annamatanya memperhatikan sekitar dalam rumah lewat kaca jendela.
"Menurutmu? tentu saja aku kesepian," sungutnya menundukkan kepala.
Anna mengalihkan pandangannya pada Tasya raut wajahnya berubah murung. "Ada apa? kau baik baik saja?" tanyanya.
Tasya tengadahkan wajahnya menatap Anna, "Papa dan Mama, dua hari lagi datang ke Indonesia."
"Lalu? kenapa kau murung?" Anna menautkan kedua alisnya menatap Tasya.
Tasya mengangkat kedua bahunya, "tidak apa apa, eh..ayo di minum.."
"Iya nanti." Anna menatap tajam ke arah Tasya, ia melihat kesedihan di mata gadis itu, tapi ia tidak tahu apa yang menyebabkannya sedih. Dulu ia sempat berpikir jika saja orangtuanya ada di sisinya dan tidak perlu susah susah untuk bekerja demi sesuap nasi. Mungkin hidupnya akan bahagia layaknya orang lain. Tapi melihat Tasya dan kemewahannya sepertinya Anna harus berpikir ulang.
"Hei! bengong!" seru Tasya menggebrak meja, membuat Anna berjengkit kaget.
"Ah sial!" rutuknya.
Tasya tertawa terbahak bahak melihat raut wajah Anna yang cemberut. Tanpa ia sadari darah segar mengalir dari hidung Tasya.
"Ta, Tasya?" perlahan berdiri mendekati Tasya.
"A, apa?" Tasya menautkan kedua alisnya menatap Anna.
Anna menunjuk hidungnya sendiri dengan telunjuk. "Ini.."
"Appa?" Tasya mengusap hidungnya sendiri yang terasa basah. "Da, darah?" ucapnya tertawa samar.
Anna mengambilkan tisu karena darah di hidung Tasya terus mengalir, "pakai ini.."
Tasya mengambil tisu di tangan Anna lalu mengusap hidungnya. Namun darahnya terus mengalir. Anna mulai panik, ia merogoh saku celananya menelpon Rangga dan memberitahu keadaan Tasya. Setelah selesai menelpon, ponsel ia masukkan ke dalam saku celana. "Tasya, kita ke rumah sakit."
"Aku tidak mau.." sahut Tasya pelan.
"Tidak, pokoknya kau harus ke rumah sakit. Ayo cepat!" Anna mengangkat tubuh Tasya yang mungil lalu menggendongnya. Setengah berlari Anna menuju mobil lalu ia turunkan Tasya. "Tunggu sebentar." Anna membuka pintu mobil lalu memaksa Tasya untuk masuk ke dalam mobil dan menutupnya kembali. Ponsel Anna berbunyi, sembari berjalan ia mengangkat telpon dari Rangga. Ia memberitahu kekasih Tasya untuk menyusulnya ke rumah sakit. Lalu ia membuka pintu mobil.
"Tasya, bertahan ya." Anna melirik sesaat ke arah Tasya, wajahnya terlihat pucat.
***
Anna duduk di kursi ruangan di mana Tasya tengah di periksa Dokter. Ia meremas pelan tangannya. Ada rasa khawatir di dalam hatinya melihat kondisi Tasya. Anna tengadahkan wajahnya menatap ke lorong rumah sakit, nampak Rangga berjalan tergesa gesa menghampirinya.
"Bagaimana keadaan Tasya?" tanyanya dengan tatapan ke pintu ruangan.
"Masih di periksa," jawab Anna lalu berdiri menatap Rangga tajam. "Apa sebelumnya dia selalu begitu?"
Rangga mengalihkan pandangannya pada Anna dan menganggukkan kepala. "Ya ."
Anna mengusap wajahnya dengan kasar, "Ya Tuhan, dia sakit apa?"
"Kanker hati." Rangga menjelaskan penyakit yang di derita Tasya. Selama ini gadis itu kesepian dan butuh orangtuanya ada di sampingnya. Bukannya tinggal terpisah demi harta dan popularitas yang hanya di kejar orangtua Tasya. Bahkan penyakit putrinya sendiri mereka tidak tahu.
"Deg!"
Apa bedanya hidup Tasya dengan dirinya? Anna menundukkan kepala sesaat, lalu ia berjalan mendekati pintu ruangan. Ia memalingkan wajahnya menatap Rangga yang terlihat gelisah berjalan mondar mandir.
"Kenapa kau tidak mengatakan pada orang tuanya?"
Rangga menoleh ke arah Anna, "aku sudah mengatakannya."
"Lalu?"
Rangga mengangkat kedua bahunya, "sekarang orangtuanya bangkrut."
Anna menautkan kedua alisnya menatap Rangga. "Bangkrut? Tasya tidak cerita."
Rangga menghela napas panjang, "entahlah."
Suara pintu ruangan di buka mengalihkan perhatian mereka berdua. Seorang Dokter keluar dari pintu ruangan. "Bagaimana Dok?" tanya Rangga menatap ke arah Dokter yang menangani penyakit Tasya.
"Harus di rawat sampai kondisinya stabil."
"Baik Dok, terima kasih." Rangga menganggukkan kepala, lalu ia membuka pintu ruangan di susul Anna dari belakang.
Rangga duduk di kursi, sementara Anna berdiri di samping Rangga. "Tasya.."
Tasya menoleh ke arah Rangga lalu beralih menatap Anna. "Hei, kenapa kalian sedih? aku baik baik saja kok."
Rangga tengadahkan wajah menatap Anna sesaat, "siapa yang sedih, aku lapar tahu.." ucap Rangga tersenyum lebar.
"Itu?" Tasya menunjuk ke arah Anna
"Aku?" Anna menunjuk dadanya sendiri.
Tasya menganggukkan kepala. "Iyalah kau, masa hantu," sungut Tasya.
"Oh, aku hanya pusing. Aku alergi dengan rumah sakit." Anna menjepit hidungnya dengan kedua jari.
"Ih, norak!" gerutu Tasya sembari tertawa. Rangga ikut tertawa samar untuk menyembunyikan kesedihannya begitu juga Anna
"Ck!" Anna berdecak. "Aku keluar ya, pusing." Ia menepuk keningnya sendiri.
"Ya sudah," sahut Tasya tersenyum.
Anna berjalan mendekati Tasya mengacak rambutnya sesaat. Lalu ia beranjak pergi meninggalkan ruangan. Gadis itu terus berjalan menyusuri lorong rumah sakit dengan tatapan kosong, tanpa terasa langkahnya sudah sampai di luar gerbang. Ia mengedarkan pandangannya lalu berjalan menuju warung kopi yang tak jauh dari tempat ia berdiri.
"Bu, kopi hitam satu."
"Tunggu bentar Neng," sahut penjual kopi. Anna duduk di kursi menghadap jalan raya, dengan satu kaki di angkat ke kursi, ia keluarkan kotak rokok di saku celananya.
"Kopinya Neng." Penjual kopi meletakkan segelas kopi di atas meja.
"Terima kasih Bu." Anna mengambil satu batang rokok lalu ia nyalakan. Tangannya mengangkat gelas kopi lalu menyecapnya perlahan. Rasa pahit dan manis menjadi satu di lidah, di tambah aroma kopi menenangkan penikmatnya.
Gelas kopi ia letakkan kembali di atas meja, menghisap dalam dalam rokoknya. Di sudut bibirnya terukir senyum sinis. Entah ia harus bersyukur dengan hidupnya yang tidak jelas atau merutuki keadaan. Mengingat sahabtanya harus terbaring di atas ranjang rumah sakit. Kurang apa dia? kemewahan? orangtua? lengkap semua sudah Tasya miliki. Sementara dia? kembali gadis itu tersenyum sinis sesekali terbatuk kecil karena asap rokok. Anna membenci hidupnya bahkan ia benci dirinya sendiri. Mengapa harus di lahirkan jika tidak di inginkan? begitu burukkah memiliki putri seperti dirinya? Ahh! Gadis itu berkali kali mendesah. Ia tidak mengerti apa yang di pikirkannya. Bahkan dengan hidupnya sendiri.
Lamunannya buyar saat dua wanita menatapnya dan tersenyum mencemooh. Anna balas menatap tajam dua wanita itu.
"Brak!! tangannya menggebrak meja membuat dua wanita itu berjengkit kaget.
" Apa liat liat!" seru Anna melebarkan matanya.
Dua wanita itu begidik lalu buru buru meninggalkan warung kopi. "Ih amit amit," rutuk salah satu wanita itu.
Anna tertawa kecil menatap punggung dua wanita itu, ia hisap dalam dalam rokoknya yang hampir habis. Lalu ia lemparkan ke jalan raya. "Berapa Bu?" Anna berdiri
"5000 saja Neng," sahut penjual kopi mendekati Anna.
"Ini, terima kasih ya Bu." Anna memberikan uang pecahan sepuluh ribu lalu di berikan pada penjual kopi. "Kembaliannya ambil saja Bu." Ia ngeloyor begitu saja meninggalkan warung kopi.
Gadis itu berjalan santai menyusuri tepi jalan raya, sembari mengikat rambutnya yang berantakan. Langkahnya terhenti saat melihat Rangga tengah duduk di taman rumah sakit. Anna memutar arahnya lalu mendekati Rangga.
"Kau sedang apa di sini?" tanya Anna sembari duduk di sebelahnya.
"Kau sendiri?" Rangga menoleh menatap wajah Anna cukup lama.
Anna hanya menggelengkan kepalanya, lalu menoleh ke arah Rangga yang tengah menatapnya. "Kenapa kau melihatku seperti itu? ada yang aneh?" Anna menautkan kedua alisnya.
Rangga mengalihkan pandangannya pada bunga matahari yang baru saja mekar. "Kau cantik, seperti bunga itu." Tunjuk Rangga ke arah bunga.
"Ah, kau bisa saja." Anna tertawa kecil.
"Wajahnya biasa saja, tapi dia menarik," ucap Rangga dalam hati.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!