NovelToon NovelToon

Pernikahan Paksa Berakhir Bahagia (Menikahi Gadis Amnesia)

1 : Penghakiman yang Begitu Keji (Revisi)

“Gunduli kepala mereka, jika mereka tetap tidak mau mengakui kesalahan mereka! Bisa-bisanya mereka berzin.a di lingkungan kita!” ucap warga menggebu-gebu penuh amarah.

Suasana yang belum sempat tenang dan memang masih riuh, menjadi makin tak karuan. Batu terus dilempar ke arah mobil, mengenai kedua sejoli yang masih ada di dalamnya. Balok kayu juga masih dihan.tamkan sekuat tenaga ke mobil, agar kedua sejoli di dalamnya segera keluar. Termasuk palu bahkan benda taj.am lainnya yang nyaris mere.mukkan mobil mewah tersebut.

Entah ibli.s apa yang merasuki warga. Hingga mereka menghakimi Hasan dan gadis amnesia yang bersamanya, dengan sangat keji. Hanya karena warga memergoki Hasan dan gadis tersebut tengah berpelukan di dalam mobil bersuasana gelap. Kedua sejoli itu dituduh akan melakukan zi.na. Ditambah lagi, keduanya tidak bisa menyerahkan kartu identitas.

“Hasan! Kita harus keluar! Kaca-kaca mobil bisa melukai kita lebih dari ini! Fatalnya ... fatalnya mata kita bisa jadi buta!” ucap si gadis amnesia yang sekadar nama saja, belum punya.

“Enggak! Kita pergi saja! Berurusan dengan silu.man berwujud manusia seperti mereka, percuma!” tegas Hasan yang wajah dan punggung kedua tangannya sudah penuh darah. Belum lagi luka lebam di wajah bahkan lebih, akibat lemparan batu tiada henti dari kerumunan warga di luar mobil mereka.

“Kita beneran cukup minta maaf—” Si gadis amnesia mendadak tak bisa melanjutkan ucapannya. Sebuah palu menerobos kaca bagian depan mobil yang sepenuhnya pecah. Palu tersebut mengenai dahinya.

Hasan yang tak sengaja menyaksikan lemparan palu dan membuat dahi gadis di sebelahnya leb.am membiru, langsung kebas. Hasan benar-benar marah. Saking marahnya, ia sampai tidak bisa berkata-kata. Namun, dadanya bergemuruh. Darah di dalam tubuhnya seolah didihkan. Hasan menatap marah mereka-mereka yang ada di luar sana. Terlebih di sebelahnya, sang gadis yang sekadar nama saja belum ia ketahui, berlinang air mata kesakitan tanpa disertai suara.

Dalam sekejap, tubuh Hasan keluar dari mobil. Namun karena keputusan Hasan tersebut juga, tubuh si gadis juga diseret keluar.

Waktu seolah berputar dengan sangat cepat. Penghakima.n terus terjadi. Padahal karena terlalu menahan sakit, kedua sejoli yang mereka haki.mi, jadi sampai tidak bisa untuk sekadar bersuara.

Di tengah keriuhan main ha.kim sendiri di sana, ada pemuda yang sengaja mengambil dompet maupun ponsel Hasan. Pemuda itu diam-diam membuka dompet panjang milik Hasan, kemudian mengambil semua uang bahkan kartu kredit maupun ATM. Selanjutnya, setelah kembali melempar masuk dompet tersebut ke dalam mobil, si pemuda memutuskan pergi.

Setelah melangkah jauh dari TKP, si pemuda sengaja membuang KTP milik Hasan ke salah satu drainase terdekat.

Padahal niatnya, Hasan akan menggunakan KTP dan juga isi dompetnya untuk meredam masa. Namun, masa yang sangat anarki.s membuat Hasan tidak bisa untuk sekadar memulai. Warga terlalu sibuk menuntut tanpa benar-benar memberi Hasan kesempatan.

Tak lama kemudian, bukan hanya mobil Hasan yang rem.uk setelah diam.uk warga. Karena Hasan juga terluka parah. Si gadis amnesia yang dituduh menjadi pasangan zin.a Hasan, juga nyaris dibotaki. Beberapa bagian kepala si gadis sudah cepak setelah rambut panjang hitamnya dicukur pak.sa.

Padahal, alasan kedua sejoli itu bersama juga bukan disengaja. Alasan mereka bersama karena kecelakaan lalulintas yang sebelumnya keduanya alami. Hasan tak sengaja menabrak si gadis dan membuat si gadis mengalami amnesia total. Keduanya yang tidak saling kenal, tengah saling menguatkan satu sama lain melalui pelukan. Hasan berjanji sekaligus bertekad mencari identitas si gadis bagaimanapun caranya.

“Kita nikahkan saja agar kita tidak menanggung dosa akibat perzin.ahan mereka. Jangan lupa, 40 rumah dari lokasi perzi.nahan akan turut menanggung dosa bahkan kesi.alan akibat perzi.nahan! Jangan sampai kita juga mengalaminya!” ucap salah satu dari mereka.

Usul salah satu pemuda barusan langsung disetujui mereka di sana dan hampir semuanya merupakan laki-laki dewasa.

Hasan yang mulutnya saja penuh darah karena lukanya memang sangat parah, menjadi kerap menghela napas pelan. “Tolong ambilkan dompet dan ... juga ponsel saya di dalam mobil. Biarkan saya menghubungi keluarga saya. Saya mohon. Saya akan memberikan identitas saya!”

Hasan sadar, maju dan mundurnya langkah yang ia lakukan, percuma. Kini, satu-satunya yang ia harapkan ialah orang tuanya. Hasan ingin meminta tolong kepada orang tuanya yang memang bukan orang biasa. Hanya saja, kenyataan ponselnya yang tidak ada, dan dompetnya pun kosong, benar-benar membuat Hasan ingin mati saja. Karena akibat kenyataan tersebut juga, semuanya menganggap Hasan sebagai pembohong.

“Nikahkan kami saja. SUDAH NIKAHKAN KAMI SAJA! NAMUN BENAR DAN TIDAKNYA TUDUHAN KALIAN, SEMOGA KALIAN APALAGI ORANG YANG KALIAN SAYANGI, TIDAK MERASAKAN APA YANG KAMI RASAKAN SEKARANG!” tangis si gadis amnesia yang wajahnya masih bersandar ke aspal.

Hasan dan si gadis amnesia memang sama-sama meringkuk nyaris tengkurap di aspal jalan kompleks terbilang sepi. Mereka tak hanya diha.kimi, tapi juga menjadi tontonan. Ponsel-ponsel canggih menyoro.t mereka, mengabadikan apa yang menimpa mereka. Hanya saja selain dalam keadaan paling hi.na, mereka juga disebut sebagai “pasangan zi.na yang terpergok”.

Demi menyelamatkan nyawa satu sama lain, kedua sejoli itu menerima untuk dinikahkan paksa. Meski keduanya yang jadi menangis tersedu-sedu tidak yakin, apa yang akan terjadi selanjutnya?

Lantas, pernikahan seperti apa yang akan keduanya miliki jika alasan mereka menikah saja karena fitnah yang begitu keji?

“Dasar manusia tak bermoral!” kecam warga kepada Hasan dan gadis amnesia.

Nelangsa, marah, dan sangat kecewa, itulah yang Hasan maupun sang gadis amnesia rasa. Dalam diamnya, keduanya benar-benar tak menyangka. Bahwa di era yang sudah serba modern seperti sekarang, masih ada oknum yang menjadikan agama dan norma sebagai alasan untuk menghakimi. Dengan sangat keji mereka melakukannya, tanpa benar-benar memberi korbannya kesempatan untuk membela diri.

2 : Hasan yang Terpaksa Berbohong (Sudah Revisi)

“Sebut saja namanya Cinta. Dia amnesia, sementara alasan kami bersama karena saya yang menyebabkannya mengalami amnesia. Saya tak sengaja menabraknya ketika dia mendadak menyebrang jalan tujuan saya.” Karena telanjur muak, Hasan memutuskan untuk mempersingkat kebersamaan di sana.

Nama Cinta Hasan pilih untuk gadis amnesia yang bersamanya. Gadis amnesia yang memintanya menyerah. Calon pasangan yang rela dinikahkan paksa dengannya, daripada mereka merega.ng nyawa dengan sia-sia.

“Cinta ...?” batin si gadis amnesia yang masih duduk di sebelah Hasan.

Mereka sudah digiring ke rumah RT setempat. Hasan dan gadis amnesia yang akhirnya dipanggil Cinta, didudukkan di bangku kayu, dan siap dinikahkan.

Pernikahan pun terjadi meski Cinta belum mengetahui identitasnya. Sementara Hasan juga mengaku sebagai orang kampung yang kebetulan bekerja sebagai seorang sopir, di Jakarta.

“Aku terpaksa berbohong. Aku belum bisa mengungkap identitasku sekarang. Aku benar-benar belum siap dengan semua ini. Apalagi sekadar identitas gadis yang kunikahi saja, aku belum tahu. Aku tidak mau, hubungan kami membuat dampak fatal terhadap keluarga khususnya orang tuaku. Maaf banget yah, Ta. Namun perlu kamu tahu, nama mamaku juga Cinta. Aku memberimu nama itu karena kamu juga tak kalah istimewa dari mamaku!” batin Hasan.

“Andai ternyata saya sudah memiliki suami, ... bahkan saya sudah memiliki keluarga kecil, apakah kalian mau bertanggung jawab?” tanya Cinta yang kemudian menunduk pasrah. Tak beda dengan Hasan, Cinta juga merasa sangat terpukul. Sungguh bukan hanya fisiknya saja yang babak belur. Karena mentalnya juga. Cinta merasa sangat tertekan bahkan stres. “Lebih baik aku mati! Aku ingin mati saja daripada aku harus menjalani hidup apalagi pernikahan paksa seperti ini!” batin Cinta yang memang berniat untuk bunu h diri secepatnya.

Selembar uang dua puluh ribu yang Hasan temukan di kantong sisi celana kanan levis hitamnya, menjadi emas kawin pernikahan pak.sa Hasan dan Cinta. Sungguh kejadian yang sangat miris, tapi diam-diam, Cinta memiliki rencana untuk melaporkan apa yang mereka dapatkan, ke polisi.

“Iya ... ketimbang aku mengakhiri hidupku, lebih baik aku balas dendam. Aku harus memperjuangkan keadilan untuk diriku sendiri. Aku harus membuat mereka sadar, bahwa main hakim sendiri seperti sekarang ini tidak dibenarkan!” batin Cinta yang mendadak berubah pikiran.

“Kalian bilang, kalian tidak punya tujuan? Kalian bisa menempati salah satu kontrakan di sebelah,” ucap pak RT dan masih disaksikan oleh warga yang sempat merun.dung Hasan maupun Cinta.

“Tidak perlu Pak. Nanti kami cari tempat lain saja sambil cari kerjaan.” Tak ada kata terima kasih yang Cinta ucapkan. Karena pada kenyataannya, ia memang sangat marah.

Cinta segera memapah Hasan. Meski tubuh Hasan jauh lebih besar sekaligus lebih tinggi darinya. Juga, Cinta yang terluka tak kalah parah, Cinta berjuang untuk segera pergi dari sana. Agar ia bisa segera memperjuangkan keadilan untuknya dan Hasan.

“Kenapa kita enggak menerima tawaran mereka saja? Aku capek banget. Rasanya beneran sudah enggak sanggup. Beneran kayak mau mati. Sakit banget,” ucap Hasan.

Sekadar bersuara saja, Hasan hanya bisa menghasilkannya dengan suara yang sangat lirih. Hasan menangis karena rasa sakit luar biasa dari setiap luka-lukanya.

“Bertahanlah sebentar lagi. Bertahanlah karena aku akan melakukan apa yang aku bisa. Kita harus melaporkan ini ke polisi!” Cinta juga sudah nyaris pingsan.

“Kita enggak punya uang, sementara lapor ke polisi butuh uang!” balas Hasan.

“Aku pastikan, mereka tetap akan menangani kita. Bahkan meski kita tidak punya uang!” tegas Cinta yakin seyakin-yakinnya.

Cinta dan Hasan masih menelusuri jalan kompleks. Mereka nyaris menuju jalan raya. Hanya saja, seolah Tuhan sengaja makin menguji tekad mereka, hujan deras mendadak turun.

“Bertahan ... bertahan lah demi keadilan untuk kita. Agar aksi main hakim sendiri tidak terjadi lagi! Cukup kita saja yang merasakannya, jangan sampai yang lain!” isak Cinta yang sebenarnya juga sudah ingin menyerah.

Mendengar Cinta sampai tersedu-sedu. Tubuh Cinta sudah gemetaran hebat, demam, tapi masih berjuang memapah Hasan. Kenyataan tersebut membuat hati seorang Hasan tersentuh.

“Gadis ini ... hatinya mulia sekali. Sepertinya, sebenarnya dia juga bukan orang sembarangan,” pikir Hasan. Tiba-tiba saja, Hasan juga jadi merasa bersalah karena biar bagaimanapun, dia sudah berbohong mengenai identitasnya.

Kegigihan Cinta dalam memperjuangkan keadilan untuk mereka sambil terus memapah Hasan, menjadi kekuatan tersendiri untuk Hasan. Karena kenyataan tersebut juga, Hasan menguatkan diri. Malahan beberapa saat kemudian, justru Hasan yang menggendong Cinta.

Berjuang, berjuang, dan berjuang, akhirnya mereka sampai di teras sebuah kantor polisi. Teras yang di dalam ruangannya masih terbilang ramai. Hasan terbanting, begitu juga dengan Cinta yang digendong. Keduanya sama-sama nyaris sekarat. Kedua mata sayu mereka nyaris terpejam.

“T—olong!” Kata itu terus terlontar dari bibir Hasan maupun Cinta.

“Kami mohon, ... kami mohon tolong kami!”

Sampai akhirnya polisi keluar dari dalam kantor polisi, mereka berdatangan dan langsung memberikan pertolongan.

***

Keesokan harinya, Hasan dan Cinta akhirnya sama-sama siuman. Keduanya berada di sebuah ruang rawat yang sama. Keduanya ada di ranjang rawat yang bersebelahan.

Suasana masih gelap khas malam, ketika mereka melihatnya dari jendela yang tak tertutup gorden.

“Aku percaya, bahwa sebentar lagi, warga itu akan mendapatkan balasan setimpal. Harusnya mereka kapok dan tidak asal main hakim sendiri lagi,” ucap Cinta dengan suara masih lirih. Ia berangsur duduk.

Sedih dan kecewa masih Cinta rasa. Cinta masih kehilangan semangat hidup. Ia bahkan tak berniat memperjuangkan jati dirinya yang amnesia. “Karena jika aku memang masih memiliki keluarga. Jika mereka benar-benar peduli, ... mereka pasti akan mencariku. Sementara sejauh ini, aku sudah satu minggu lebih bersama Hasan,” batin Cinta.

Kendati hati dan mental Cinta sudah sangat rapuh, Cinta tidak menunjukkannya kepada Hasan. Karena ketika di hadapan Hasan, Cinta akan berusaha menjadi wanita tangguh. Sekadar menangis saja, Cinta tidak akan melakukannya.

“Nama mamaku Cinta. Aku sengaja memberimu nama itu karena aku yakin, kamu juga wanita luar biasa seperti mamaku,” ucap Hasan yang kemudian berterima kasih kepada Cinta.

“Terima kasih banyak karena sudah menjadi wanita tangguh yang istimewa. Ayo, kita lanjutkan perjuangan kita dalam memperjuangkan keadilan. Agar, ... agar orang-orang seperti mereka, tak lagi main hakim sendiri,” ucap Hasan kali ini terdengar manis bahkan di telinganya sendiri.

Cinta yang sudah berhasil duduk, menunduk loyo dan membiarkan air matanya jatuh. “Aku berhak menangis. Dan aku percaya, aku juga akan mendapatkan keadilan itu,” batinnya optimis.

Melihat Cinta justru menangis, hati Hasan seolah teriris. “Hei ...?” panggil Hasan lembut.

Dengan air mata berlinang membasahi pipi, Cinta menatap Hasan. Kenyataan yang justru membuat kesedihan seorang Cinta menular kepada Hasan. Kedua mata Hasan berembun dan perlahan benar-benar basah.

“Aku mohon jangan menangis. Sampai kapan pun. Apa pun yang terjadi, ... aku akan selalu bersamamu. Aku akan melakukan yang terbaik! Kita pasti bisa bahagia!” lembut Hasan lagi.

Sikap Hasan yang mendadak menjadi manis malah membuat dada Cinta sesak. Cinta merasa sangat nelangsa karena Cinta belum bisa percaya kepada laki-laki yang telah menjadi suaminya.

Selalu sama-sama. Hasan akan selalu melakukan yang terbaik. Bahkan Hasan akan membahagiakannya. Benarkah? Bukankah sekadar kenal saja, mereka belum? Mereka sungguh tak lebih dari orang asing yang dipaksa bersama dalam pernikahan.

3 : Pelukan Penenang (Sudah Revisi)

Ketika akhirnya pihak kepolisian datang, Cinta dan Hasan segera membuat laporan. Mengenai aksi main hakim sendiri yang mereka alami. Kendati demikian, polisi tetap menyikapi dengan tegas.

“Yakin, kalian tidak melakukan tindakan a.susila seperti yang menjadi alasan warga marah?” tegas polisi yang memang menyikapi merek dengan galak.

“Kami masih berpakaian lengkap. Memang tidak terjadi apa pun. Jika Bapak polisi tidak percaya, mereka ada bukti video karena mereka merekam kejadian saat kami dihakimi!” tegas Cinta masih sangat emosional. “Kami juga akan dengan senang hati mengikuti prosedur yang berlaku!”

“Bukan hanya kami yang terluka parah. Karena mobil saya juga remuk, Pak. Kami sungguh ingin menuntut keadilan. Kami bisa meminta bantuan viral dari masyarakat luas. Agar kasus main hakim sendiri seperti yang kami alami, tak lagi dijadikan budaya untuk menyelesaikan masalah.” Hasan sengaja turut berkomentar.

Satu hal yang Hasan sayangkan. Selain Jakarta memang bukan wilayah dirinya tinggal, ia juga tak hapal kontak siapa pun. Karena jangankan nomor ponsel orang tuanya, sekadar password akun sosial medianya saja, Hasan sering lupa. Fatalnya, ponsel, dompet, dan KTPnya juga hilang.

“Sepertinya aku kualat, efek aku sudah berbohong telah sengaja merahasiakan identitasku!” pikir Hasan jadi menyesali kebohongannya.

Setelah mengisi segala keperluan laporan dibantu oleh polisi, Hasan dan Cinta kembali hanya berdua. Keduanya masih serba canggung bahkan meski mereka sudah menjadi suami istri. Tak semata karena alasan mereka menikah, tapi juga kenyataan Cinta yang memang amnesia. Semua kenyataan tersebut membuat Hasan maupun Cinta bingung bersikap. Baik Hasan maupun Cinta khawatir, Cinta justru merupakan pasangan bahkan istri orang.

“Kamu beneran enggak ada kontak buat hubungin keluarga kamu?” tanya Cinta menyikapi Hasan dengan serius.

Hasan menggeleng sambil mengembuskan napas panjang melalui mulut. “Bentar, ... aku tetap belum siap mengungkap identitasku!” batinnya sambil menahan napas.

“Terus, mengenai hubungan kita?” lanjut Cinta yang memang membutuhkan kepastian. Ia menatap pria tampan di sebelahnya yang wajahnya masih babak belur parah. “Kamu, ... bukan suami orang, kan? Atau setidaknya, memang sudah punya calon?” Namun hati kecil Cinta ingin, mereka tetap bersama. Bahkan meski Hasan belum bisa mencintainya. Sebab, Cinta telanjur tidak punya siapa-siapa kecuali Hasan.

“Kenapa hatiku begitu menginginkanmu? Kenapa aku begitu cepat ketergantungan kepadamu? Apa karena sejak siuman dan aku amnesia, kamu satu-satunya yang aku punya? Apalagi selama itu juga, kamu mengurusku tanpa jeda,” pikir Cinta.

Ditodong pertanyaan seperti tadi, ditambah ekspresi Cinta yang terlihat sangat sedih. Kedua mata Cinta kembali basah, dan suaranya pun berat khas orang menangis. Iya, hati Hasan langsung tidak tega. Hati Hasan mengatakan dengan tegas, bahwa ia tidak akan pernah meninggalkan Cinta.

“Sebisa mungkin, aku tidak akan pernah membuatmu kesepian. Terlebih di kehidupanmu yang sekarang, dunia ini menjadi teramat asing bahkan ... kejam!” Hasan tidak bisa untuk tidak menitikkan air mata karena lawan bicaranya sudah langsung tersedu-sedu. “Itu kan yang kamu rasakan sekarang? Amnesia yang kamu alami, membuatmu kamu sangat kesepian?”

Bukan hanya air mata Cinta yang berjatuhan. Karena ingus Cinta pun iya. Cinta merasa sesak luar biasa di tengah tatapan beratnya yang sesekali menatap Hasan. Apalagi sampai detik ini, tatapan Hasan masih cenderung fokus kepadanya.

“Masalahnya ....” Cinta tak kuasa melanjutkan ucapannya, tapi ia jadi menatap Hasan penuh kesedihan.

“Apa ...?” balas Hasan, belum bisa menyudahi air mata kesedihan sekaligus penyesalannya. Hasan tidak tahu, kenapa kebersamaan mereka membuatnya merasa makin berdosa, setelah kebohongan yang ia lakukan kepada Cinta?

“Kalau aku ... kalau aku justru istri orang?” isak Cinta. “Atau setidaknya, ... aku sudah terikat dengan orang lain?” Cinta merasa serba salah.

Kenyataan Cinta yang tak hanya amnesia total. Melainkan sampai terluka parah. Rambut panjang indahnya tak karuan bahkan sebagian kepalanya botak. Wajah Cinta juga babak belur. Kondisi Cinta yang jadi sangat mengenaskan itu membuat Hasan tidak bisa untuk lepas tanggung jawab begitu saja.

Hasan yang bergerak saja masih sangat terbatas, sengaja menghampiri Cinta. “Aku benar-benar minta maaf. Namun aku pastikan, kamu enggak sendiri. Aku beneran akan selalu sama kamu. Kita jalani saja, dan aku janji, meski sekarang kita suami istri, aku tidak akan menuntut apa pun, apalagi sampai memaksa kamu!” ucap Hasan sambil memeluk Cinta yang masih duduk.

Ucapan Hasan barusan benar-benar membuat Cinta merasa sedikit lebih tenang. Karena rasa tersebut juga, Cinta membalas pelukan Hasan. Pelukan yang makin lama makin erat. Juga, pelukan yang membuat Cinta merasa makin tenang bahkan nyaman.

Akan tetapi, nyatanya bukan hanya Cinta yang merasa lebih baik akibat pelukan yang mereka jalani sekarang. Karena hal yang sama juga Hasan rasakan. Hasan merasa jauh lebih damai. Seolah semuanya memang terasa lebih mudah. Meski sebenarnya, Hasan juga masih bingung arah.

Ini mengenai Hasan yang tidak tahu wilayah Jakarta karena Hasan memang asli orang Cilacap Jawa tengah. Fatalnya, Hasan juga tidak hafal kontak ponsel orang terdekatnya. Namun, Hasan hafal alamat rumah orang tuanya, maupun alamat saudara-saudaranya yang di Jakarta.

“Andai aku minta bantuan dipulangkan ke rumah ke polisi karena aku memang tidak punya biaya. Apakah mereka akan mengabulkannya?” pikir Hasan masih memeluk sekaligus berpelukan dengan Cinta.

Setelah kehilangan dompet dan semua ATM maupun kartu kredit bahkan ponselnya, Hasan memang tidak punya uang sepeser pun. Jadi, meminta bantuan ke polisi menjadi satu-satunya cara agar Hasan maupun Cinta keluar dari penderitaan mereka.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!