“Malam ini jangan ke mana-mana ya… Om Bas sama tante Meisy mau ke sini,” ucap si mama.
Mama Lina meletakkan di meja makan sebuah piring berisi risoles yang terlihat menarik karena warna coklat keemasannya. Mama lalu duduk di di hadapan Melody.
“Oh ya? Tapi aku ada dinner nanti,” Melody mulai menikmati omelet, sarapan wajibnya.
Mama Lina sedikit mengangkat keningnya, risoles di tangan batal disuapkan ke mulut.
“Dengan Max?” Mama bertanya dengan nada tak suka.
“Iya ma, siapa lagi… ini weekend ma, udah seminggu gak ketemu,” Melody menjawab santai walau matanya bisa menangkap ekspresi mamanya.
“Tapi nanti kamu dicariin loh, tante Meisy udah kangen sama kamu,” Mama Lina berkata kemudian setelah terdiam menyimpan kecamuk hatinya sendiri. Dia tidak menyukai kekasih anaknya. Entah kenapa sejak awal hatinya tidak sreg saat mengenal Max, mungkin ini berasal dari intuisi seorang mama.
“Kapan mereka pulang? Nanti aku sempetin ketemu deh,” Melody menghentikan suapannya.
“Dua hari aja di sini Mel, besok udah balik, mereka merasa terhutang gak dateng waktu papa meninggal, baru sekarang mereka bisa…”
Melody terdiam, sedih masih terasa setiap kali menyinggung kepergian sang papa, ini memasuki bulan ketiga mereka ditinggalkan.
Om Bastian adalah teman dekat papa, tinggal di kota berbeda dan hubungan mereka begitu dekat serasa saudara.
“Ya udah… titip salam aja dulu ma."
Mama menatap resah wajah Melody.
“Mel… Max itu… temperamental ya? Baru pacaran udah seperti itu, mama takut jika hubungan kalian semakin serius, wataknya akan seperti apa?” Suara kekuatiran tidak mungkin ditahan lagi.
“Emang sih karakternya suka meledak-ledak, tapi mama gak usah khawatir, dia baik kok,” bantah Melody.
“Mana bisa, udah tahu sifat dia? Mama takut suatu saat dia kasarin kamu, dia main tangan,” tepis sang mama.
“Gak lah mama, jangan over thinking gitu... kan kalau cinta kita harus mau menerima baik buruknya… malah bagus udah kelihatan aslinya, aku juga bukan manusia sempurna kok,” Melody mengakhiri argumen dengan suara rendah.
Mama Lina mengeluh dalam-dalam, segitu cintanya putrinya sampai buta seperti ini, selalu mengabaikan perasaan tidak suka yang dia ungkapkan. Apa yang dilihat putrinya?
Baginya Max tidak punya sopan santun saat datang ke rumah ini, dia bersikap terlalu bebas sampai berani naik ke kamar putrinya. Bahkan pembantu rumah tak segan dia marahi hanya karena bi Nah salah membuatkan minum.
Banyak sikap yang kurang patut bahkan kurang ajar yang membuatnya sebagai mama dongkol. Baru berstatus pacar sudah terlihat banyak hal yang tidak baik bagaimana jika telah menikah?
Si mama tidak pernah memilih-milih latar belakang pacar Melody, membebaskan anaknya berpacaran dengan siapa yang disukainya. Tapi, dengan umur Melody sekarang dia mulai mempertimbangkan apa yang terbaik untuk putri.
Nalurinya dengan keras memperingatkan bahwa itu bukan Max, kali ini dia harus menggunakan otoritasnya sebagai orang tua.
“Max gak baik orangnya, Mel… mama merasakan itu,” sakit hati juga setiap menyuarakan kegelisahannya mengenai pria pilihan anaknya, seperti tidak didengarkan.
“Aku yang merasakan dia baik atau gak, aku nyaman dengannya kok… aku sayang dia, itu cukup ma, mama jangan menolak lagi ya, demi kebahagiaanku,” Melody bersikukuh.
Mama Lina mengatupkan bibirnya, rasa tidak suka dan rasa khawatir masih jelas terpancar di raut wajahnya.
Mama Lina memandang putrinya, hanya tertinggal mereka berdua sekarang setelah anak tertuanya lalu suaminya diambil oleh pemilik kedaulatan atas hidup manusia.
Putrinya menyinggung soal kebahagiaan, tentu dia harus berada paling depan untuk menyokong kebahagiaan putrinya.
Tapi mata batinnya seperti bisa melihat jauh lebih banyak tentang Max dibanding putrinya, sorot mata Max seperti menunjukkan suatu sisi sifatnya yang disembunyikan.
Tapi cinta begitu menutupi mata putrinya, semua tentang Max begitu ditoleransi Melody.
Mama mendesah dengan risau, percuma mengeluhkan tentang kekasih anaknya, selalu saja Melody akan membelanya, jadi dia memutuskan bertindak mengabaikan perasaan anaknya kali ini.
“Malam ini mama minta kamu di sini, keterlaluan jika Max tidak mau ngerti, dan kamu terlalu buta tidak bisa melihat mana sikapnya yang bisa ditoleransi mana yang tidak!” Suara mama penuh wibawa.
“Yaa… mama tahu sendiri Max temperamennya kayak apa,” kesal Melody.
Sejak awal pacaran mama tak punya penilaian yang bagus tentang Max. Pelampiasan kekesalannya dia mengacak-acak omeletnya yang masih setengah dengan wajah ditekuk.
“Ini permintaan mama, harusnya dia bisa menghormati keinginan mama pacarnya kan? Kalian punya banyak waktu lain untuk bertemu. Om Bastian dan tante Meisy belum tentu bisa datang lagi dalam waktu dekat… kapan lagi kamu bisa bertemu mereka,” tegas sang mama.
Mama Lina bersikeras tentang keinginannya, ada tujuan lain malam ini.
Max tidak suka apa yang sudah jadi planning terus harus mendadak berubah. Rasa kesal semakin merajai hati Melody, kenapa mama jadi menjengkelkan? Terus bagaimana membujuk Max yang sudah bisa diduga akan semarah apa.
“Apa Max akan marah?” Mama bertanya tepat apa yang dia pikirkan, mata seorang mama melihat gurat takut muncul sekilas di wajah putrinya.
“Gak usah ditanya lagi, mama,” Melody menjawab dengan suara memelas.
“Apa sikap Max yang seperti itu tidak mengganggumu? Kamu punya alasan kan?” Mama masih menahan tatapannya.
“Mengganggu sih, aaaku…” Melody cemberut tidak meneruskan kalimatnya setelah paham ekspresi dan kalimat mamanya ke arah mana.
“Katanya kamu nyaman dengan sikap-sikapnya? Apa kamu belum sadar juga kamu suka tertekan dengan sikap egois Max?” Mama melempar kalimat telaknya.
“Bukan seperti itu ma, maksudku…” Melody tidak bisa menyanggah sang mama.
Mama Lina menyimpan senyum kemenangan, satu yang dia syukuri, putrinya masih selalu menunjukkan rasa hormat padanya.
"Zeff ikut dateng," sekarang mama lanjut dengan sebuah tujuan yang lebih penting.
Melody tentu ingat anak om Bastian, perasaan jadi sedikit membaik. Setidaknya malam ini ada seseorang yang akan membantu dia menghilangkan galau memikirkan reaksi Max padanya.
Zeff orangnya asyik. Bibir sedikit tersenyum, lama tidak pernah berjumpa, seperti apa Zeff sekarang?
"Mama ada fotonya yang sekarang, bentar mama kirim ke kamu deh," mama sambil senyum.
Mel mengambil ponselnya dan memperhatikan foto yang dikirim mama, seorang pria yang sedang tersenyum begitu lebar hingga matanya menyipit di kedua ujungnya. Fitur wajah yang tidak asing, bahkan terlalu familiar.
“Anya? Serius ini dia?” Melody memelototin foto di ponselnya.
“Iya… ganteng kan sekarang?” Mama tersenyum penuh makna.
“Iya, sih… berubah gitu… tapi maksud mama apa?” Melody menatap mamanya menyelidik makna dibalik senyum mama, mendadak curiga, kenapa mama harus mengirimkan foto si Anya padanya, dan gaya senyum mama sekarang mengandung sesuatu. Dia hafal mimik mama yang seperti itu.
“Ada keinginan menjodohkan kalian… nanti malam kami akan membahasnya lebih dalam… itu tujuan mereka datang,” Mama Lina memilih jujur, itu lebih mudah diterima Melody.
“What??? Ma?? Ihhh gak ahhh. Aku udah punya Max, ma! Jangan aneh dong, kenapa malah jodohin aku dengan si Anya sih?” Cerocos Melody dengan suara campuran marah, gusar, jengkel juga kecewa.
Astaga??? Mamanya dirasuk dengan pikiran apa? Dari mana datangnya ide konyol ini?
“Mama sedang menawarkan pilihan yang lain. Zeff lebih baik dibanding Max, Melody. Mama ingin membuatmu menyadari itu sebelum kamu menyesal,” kali ini mama berkata dengan mimik serius.
Dalam hati mama Lina berharap setelah putrinya bertemu Zeff, akan ada sesuatu yang terjadi, berharap Zeff mampu mengubah perasaan putrinya, membuka mata putrinya bahwa ada pria yang lebih baik. Ini juga cara dia menguji cinta putrinya sekuat apa untuk Max.
Pernah dia menyerah pada pilihan putrinya. Tapi ketika Meisy sahabatnya menelpon dan mengungkit tentang hal itu, segera dia setuju, ini satu-satunya cara putrinya terlepas dari Max.
Walau nyata penolakan Melody sekarang, tapi tidak ada mama yang secara sengaja menjerumuskan anaknya ke hal yang salah. Dia wajib meluruskan pikiran dan keinginan anaknya yang bisa berdampak pada masa depannya.
Jika toch nantinya perjodohan ini tidak berhasil terpaksa dia akan mengikuti saja apa yang digariskan oleh pemilik kehendak dan hidup manusia. Ada janji dalam hati tidak akan menganggu jika Zeff tidak berhasil membuat putrinya berubah, tapi dia tidak mengucapkan janjinya, menyimpan itu untuk nanti.
Seorang mama yang tahu bahwa putrinya sedang marah, kecewa dan sedih, semua nampak di wajahnya, akhirnya tidak tega terlalu memaksa, dia harus sedikit memberi anaknya kebebasan...
"Mama tidak akan memintamu putus dari Max sekarang, tapi mama memintamu cobalah jalan dengan Zeff, dan bandingkan mereka berdua," lembut sekarang suara sang mama.
"Mama sadar gak sedang menyuruh aku selingkuh? Mama nyakitin aku!!”
Suara tinggi Melody mengudara hingga keluar rumah sepertinya, sangking kesalnya Melody nyaris teriak, rasanya mau menangis sekarang. Kontras dengan reaksi anaknya mama Lina tetap tenang.
Tiba-tiba Melody memikirkan sesuatu.
“Ahh belum tentu juga si Anya mau dijodoh-jodohin kan, gak mungkin juga dia gak punya pacar…” Melody seperti berkata pada dirinya sendiri, sangat berharap Zeffanya sepaham dengannya.
“Zeff setuju kok, justru dia antusias dengan perjodohan kalian,” mama menimpali putrinya.
“Hahhh???? Si Anya setuju?” Kali suara besar Melody menggema di ruangan makan itu.
“Iya,” singkat mama Lina.
Ini puncak emosinya, Melody berdiri dari tempat duduknya dan meninggal meja makan, berjalan dengan menghentakkan kakinya, rasa marahnya perlu pelampiasan, semarah-marahnya dia pada mama, Melody tidak mungkin bersikap tidak hormat dengan mengasari mamanya.
“Jangan buat mama malu, ingat kebaikan om Bastian dan tante Meisy padamu dulu, Melody!”
Kalimat terakhir mama terdengar sebelum Melody naik tangga menuju kamarnya di lantai dua. Kalimat perintah yang menandaskan bahwa Melody tidak bisa lagi membantah sang mama.
Pagi-pagi moodnya sudah hancur seperti ini. Perjodohan hanyalah satu dari upaya mama yang konsisten menolak Max, pasti akan ada tindakan lain sesudahnya. Melody tahu persis siapa mamanya.
Zeff dan orang tuanya memang bukan orang asing, dan hubungan Melody dengan Zeffanya lebih dekat dibanding hubungan Melody dengan para sepupunya.
Terakhir bertemu si Zeff sekitar enam tahun yang lalu, sebelum mereka sekeluarga pulang ke kota asal mama oleh karena sakit papa mulai parah.
Mama Lina tidak mungkin berubah jika sudah menjadi tujuannya, di balik kelembutan dan kasih sayangnya yang besar, mama adalah sosok yang teguh hati. Papa saja sering tidak berdaya jika mamanya sudah membuat keputusan, termasuk keputusan pindah ke kota mama ini.
Hanya Zeff harapannya, dia harus membuat Zeff sepakat dengannya, perjodohan memperkossa hak azasi.
.
🐧
Hi...
Perjodohan? Ide basi tapi sangat disukai para orang tua, bayi para artis saja sudah dijodoh-jodohkan. Jadiiii, semoga kalian suka ide basi ini versi Aby 😁
Bukan sebuah momen yang dinantikan juga karena keterpaksaan harus ikut menyambut tamu, maka Melody hanya menggunakan blouse katun longgar warna hitam dan celana longgar hitam.
Sama sekali tidak ingin tampil cantik, wajah polos tanpa bedak serta rambut panjangnya hanya dicepol tanpa disisir di belakang, sengaja seadanya saja.
Dan hati gadis ini sedang galau karena Max sang kekasih marah dan menonaktifkan ponselnya. Di tengah upaya menghubungi Max bi Nah mengetuk pintu…
“Non Mel, diminta ibu turun… tamunya udah dateng…”
"Uhh," Melody mengeluh pendek dalam gusarnya.
Mamanya mengulang-ulang soal kebaikan Om Bastian dahulu waktu mama dan papanya tour ke tanah suci, Melody mengalami kecelakaan jatuh dari motor saat dibonceng Henry pacarnya waktu SMP. Melody tidak memakai helm dan mengalami gegar otak dan luka-luka yang lumayan parah.
Dalam keadaan tidak berdaya di rumah sakit om Bastian dan tante Meisy lah yang merawat dirinya hingga orang tuanya pulang.
Hubungan dekat membuat dia seperti anak perempuan bagi mereka, jadi tidak mungkin tidak mengacuhkan kehadiran mereka di rumah ini.
Melody turun, dari ujung tangga suara tante Meisy sudah terdengar. Melody melangkah hampir tidak berbunyi hingga di ruang keluarga.
Yang tertangkap matanya mamanya sedang bercakap seru dengan om Bastian dan tante Meisy, dan si Zeff duduk dengan dua siku bertopang pada pahanya sambil memainkan ponselnya.
Mama yang duduk menghadap ke arahnya segera bersuara...
“Mel… udah ditanyain Meisy loh, dari tadi,” mama sambil senyum dengan tangan bergerak meminta putrinya lebih mendekat.
Tante Meisy dan om Bastian serentak menoleh ke belakang, senyum segera merekah di wajah mereka bahkan tante Meisy berdiri sambil mengembangkan dua tangan dan saat Melody lebih dekat, tante yang punya kulit eksotik karena berasal dari bagian Timur negara ini segera memeluk Melody.
“Sayang, tante kangen banget,” tante Meisy mencium dua pipi Melody.
“Aku juga tante,” Melody menjawab formal.
Sesaat matanya memandang ke arah Zeff, pria itu tidak teralihkan dari ponselnya, tidak ada sikap menyambut Mel, melirik dirinya saja tidak.
“Melody…” Om Bastian menarik lembut tangan Melody lalu memeluk dengan erat dan saat melepaskan tubuh Mel tangan om Bastian segera mengusap kepalanya.
Melody tersenyum membalas wajah sumringah om Bastian dan tante Meisy yang terlihat sangat senang bertemu dengannya.
“Kamu ternyata secantik ini sekarang, sayang,” tante Meisy kembali meraih tangan Melody.
“Ahh, biasa aja tante… kayaknya aku gak berubah deh…” Melody menjawab lebih ramah sekarang.
Kehangatan om Bastian dan tante Meisy menyusupkan sedikit damai di hatinya, galau sedikit tergantikan dengan ungkapan sayang yang dia rasakan dari mereka.
“Zeff? Kamu tidak menyapa Melody?” Tante Meisy meminta perhatian putranya.
Zeff mengangkat muka menatap Melody satu detik, “hai…” sapa Zeff pendek dan datar saja tanpa senyum lalu kembali fokus pada ponselnya.
Melody mengernyitkan dahi. Gitu doang?
“Zeefff??” Suara tante Meisy naik dan bertambah tekanannya.
Zeff mengerling tak acuh.
“Kenapa diam aja, Zeff? Kamu pura-pura tidak mengingat Melody, atau apa sih?” Tante Meisy berkata sebal melihat sikap putranya.
“Ingat kok, tadi diajak ke sini untuk ketemu si Melow ini aja kan… udah ketemu, apalagi?” Zeff menjawab maminya dengan ketus.
Melody tersenyum senang, membaca gelagat Zeff, sepertinya dia tidak menyukai bertemu Melody, sangat mungkin Zeff tidak menyukai ide perjodohan sebenarnya, sama sekali tidak terlihat antusias seperti kata mamanya sebelum ini.
Maka saat para orang tua sudah berpindah ke ruangan yang lain, pastinya sengaja meninggalkan mereka berdua saja, Melody tanpa sungkan duduk di samping Zeff.
Melody merasa tidak pada tempatnya untuk menjaga jarak, karena ingin mendapatkan pengakuan verbal dari Zeff untuk menolak rencana orang tua mereka.
Hati menjadi semakin tenang sekarang karena tidak akan ada kejadian dia harus putus dari kekasih tersayang, tidak akan sanggup dia melepaskan Max, sudah cinta secinta-cintanya.
“Hai… Anya, senang deh bisa ketemu, kamu ngapain?” Melody ikut melongok ke ponsel Zeff.
Zeff menggeser posisinya dan sedikit menjauhkan ponselnya karena kepala Melody begitu dekat dengan lengannya. Zeff hanya mendelik, nyata sekali dia tidak menyukai keakraban yang dimulai oleh Melody.
“Main game?” Melody kembali melongok, kali ini sengaja menempelkan pipinya di lengan Zeff, pura-pura bodoh.
Bukannya tidak membaca ketidaksukaan Zeff, sebaliknya justru ingin membuat Zeff semakin jengkel, ide konyol itu harus runtuh malam ini saja.
“Pindah! Apa sih nempel-nempel, murahan banget,” Zeff mendengus dengan sorot mata tajam menyertai terarah di wajah Melody
Kalimat merendahkan bernada ketus si Zeff membuat Melody emosi. Tapi misinya masih butuh lebih banyak sikap jengkel si pria tampan ini, yaa Melody harus mengakui Zeff yang sekarang nilai ketampanannya di atas Max, mamanya memang benar tentang ini.
“Ya ampun Anya, sok jaim kamu ahh,” Melody memukul pelan lengan Zeff sambil meredam emosinya.
Zeff tak menggubris.
“Anya… kamu gak cocok deh dengan ekspresi cool seperti ini, gak banget Anya,” rajuk Melody, masih ingat persis karakter Zeff yang humoris dan periang dan selalu menyenangkan.
Dan segera mimik Zeff yang datar dengan aura dingin membuat Melody tertawa.
“Aku gak suka ya, Anya Anya! Jangan sok akrab!” Zeff melirik tajam konsisten bersikap ketus.
“Hah? Bukannya emang kita dulu kayak gini?” Melody agak terperanjat, matanya membulat.
“Itu dulu, sekarang beda!” Zeff berkata penuh penekanan setiap katanya, dan ekspresi dingin semakin kental. Zeff berpindah ke tempat duduk lain terlihat sengaja menjauh, terbaca raut jijik di ekspresi cowok itu.
“Astaga Anya… apa bedanya dulu dan sekarang, kita saling kenal dan saling tahu,” hati Melody mulai ciut, jangan-jangan Zeff memang telah berubah.
“Zeff! Sebut namaku dengan benar… dan silahkan menyingkir jauh-jauh sana, aku gak butuh ngomong atau kenal kamu! Paham??”
Melody tersentak, Zeff bersikap sangat dingin dan kasar, benar-benar berubah jauh dari Zeff yang dia ingat.
Meskipun dia ingin membuat Zeff jengkel, tapi hatinya sedikit sakit karena dulu Zeff dan dirinya berteman baik dan begitu dekat, ternyata ada perasaan sedih di dada saat Zeff menolak itu sekarang.
“Ya udah,” Melody bangkit dan meninggalkan Zeff dengan wajah cemberut. Dia juga harus menetapkan batas yang sama dengan cowok itu, tidak akan ada sikap akrab lagi ke depannya…
Kamu jual aku beli! Melody membatin.
Sambil melangkah ke arah ruang makan, Melody antara lega karena jika Zeff bersikap seperti barusan, dia tidak perlu susah-payah maka rencana orang tua akan gagal dengan sendirinya.
Tapi jika mau jujur, terlepas dari konteks perjodohan ada bagian hatinya yang kecewa Zeff menjaga jarak, kecewa dengan sikap dingin Zeff.
“Hahahaha…”
Suara tawa yang tiba-tiba pecah di belakang Melody membuat Melody memutar lehernya, si pria tampan itu sedang terkikik senang sambil menatap Melody, segera rasa heran muncul dalam raut wajah Melody.
“Apa sih? Aneh deh?” Melody berkata gusar, hanya mereka berdua yang ada di sini, dan si Zeff sedang memandang padanya.
Apa yang membuat dia tertawa seperti itu?
Melody telah terlanjur menarik garis di antara mereka, makanya Melody melangkah pergi memilih tidak mengacuhkan alasan Zeff tertawa.
Tapi tubuh Melody sedikit tersentak, ada rangkulan tangan Zeff mampir di pundaknya. Melody memandang dengan gusar dan terheran-heran. Zeff masih saja tertawa.
“Kamu lucu, Melow… bener-bener lucu, ” Zeff berkata kemudian, dua bibirnya masih tertarik melebar tanda tawa belum hilang sepenuhnya.
“Kamu kesambet ya? Jadi aneh,” sergah Melody, berhenti dan melepaskan rangkulan Zeff sambil menatap tanpa kedip.
“Hahahaha… kena kamu Melow,” Zeff terlihat sangat hepi bisa mengusili Melody.
Cowok ini normal kan ya?
Rasa heran belum pergi hingga Melody menahan tatapannya masih memandang Zeff yang benar-benar berhasil memperdaya Melody.
Zeff segera mengendalikan dirinya, cukup sudah bersikap jahil pada Melody, tersenyum kalem sekarang, dengan sikap tubuh yang lebih tenang.
"Apa kabar kamu, Melow?” Sambungnya kemudian, kali ini dengan sikap yang menyenangkan, tersenyum hingga ujung matanya menyipit.
“Gila kamu… aku pikir beneran kamu gak sudi kenal aku lagi,” berkata manyun, Melody belum benar-benar pulih, Zeff berhasil ngeprank dirinya.
“Haha, pengen tahu aja gimana reaksimu kalau aku bersikap seperti itu… eh udah melow aja,” Zeff kembali tertawa, tapi kali suara tawanya terdengar kalem, dan fiturnya wajah yang terbentuk terlihat sangat menarik.
Ahhh… Melody menggeleng mengibaskan perasaan aneh akibat beberapa detik menikmati ekspresi Zeff yang tertawa padanya.
“Sumpah, aku kena mental, Anya! Iseng banget sih?” Melody memukul lengan Zeff mengalihkan rasa asing yang menyusup.
Kelakuannya dibalas Zeff dengan satu sentilan di dahinya, tidak terlalu kuat tapi membuat Melody kembali kaget.
“Omaigat Anya, kenapa lagi?” Melody mengusap jidatnya dengan dua jari.
Zeff kembali menyentil jidatnya.
“An…” Bibir Melody ditutup lima jari milik Zeff. Melody mundur sehingga tangan Zeff menggantung di udara.
“Melow… stop memanggil aku dengan cara itu… itu nama perempuan!” Zeff protes.
“Hahaha… namamu terlalu feminin dan selamanya aku akan memanggilmu dengan cara itu… toch kamu juga memanggilku Melow," tawa lepas Melody di sela kalimatnya.
Zeff menatap pasrah, masih ingat semarah apapun dia Melody tidak pernah menggubris, makanya dia kemudian meniru dengan menambahkan huruf w pada Melo.
Tak sadar, keduanya kemudian asyik menceritakan banyak hal. Melody lupa misi awalnya untuk membuat Zeff jengkel, lupa tentang niat untuk menolak perjodohan mereka.
Ketika selesai makan malam, belum ada tanda-tanda keluarga om Bastian akan berpamitan. Mungkin karena lama tidak berjumpa, pengalaman hidup masing-masing belum semuanya diceritakan.
Kembali Melody menemani Zeff di ruang keluarga, kali ini sikap mereka berdua lebih santai dan tentu saja lebih akrab.
“Kamu masih berduka ya karena kepergian om Yan?” Zeff bertanya simpatik. Dia dan orang tuanya tidak bisa datang waktu sahabat papanya berpulang.
“Yaa… masih. Belum lama kak Nada pergi ehh papa nyusul… masih sedih sih, udah gak ada papa sama kakak,” Melody menjawab sendu.
“Tuh ada pengganti papamu, papiku sayang banget sama kamu, ada aku juga bisa jadi kakak buatmu,” tangan Zeff mengacak pelan puncak kepala Melody.
Melody terpana, begitu menyenangkan mendengar ucapan Zeff. Melihat itu Zeff ganti menyentil jidat Melody.
“Apa sih, diusap aja kek, sakit Anya…”
“Haha, biar tampang sedihmu hilang…”
“Emang sejelas itu?”
“Iya, dan kamu terlihat jelek. Kamu masih menggunakan pakaian hitam juga, suram banget,” ujar Zeff bersimpati dan sekaligus meledek Melody.
Oh, padahal maksudnya memilih warna ini agar dia tidak terlihat menarik malam ini. Melody jadi ingat tentang apa yang paling penting malam ini.
“Anya… kita…”
Kalimat Melody terpotong dengan bunyi suara ponsel Zeff.
Karena duduk berdekatan Melody dapat melihat id pemanggil, Mine, ini menunjukkan sesuatu, Melody bisa langsung menebak itu siapa.
Zeff menjawab panggilan…
“Babe…”
“Aku tungguin loh dari tadi, kok kamu gak menelponku?”
“Kan udah aku bilang ada urusan keluarga, nanti aja aku telpon ya, bye…”
.
Melody tersenyum, mendengar sapaan Zeff pada si penelpon.
Haha dia ternyata punya pacar.
Yakin sekarang bahwa ide perjodohan sudah kehilangan fondasinya.
.
🐧🐧
.
Hai hai dear readers, senang bisa menulis lagi. Pa kabarnyaaa?
.
Masih di ruang keluarga Melody…
“Pacar ya? Gitu doang ngomongnya? Gak kangen apa? Ini kan malam minggu?” Melody memberondong Zeff dengan pertanyaan yang mengandung rasa penasarannya.
“Kepo,” pendek Zeff lagi-lagi menyentil jidat Melody. Melody menghindar, tapi tangan Zeff terlalu panjang dan kali ini bertenaga sehingga meninggalkan rasa sakit.
“Aduuh, tapi emang aku kepo, ini penting," ujar Melody sambil menekan-nekan area jidatnya sementara Zeff hanya mengangkat setengah bibirnya.
“Penting??” Zeff masih dengan senyum tipisnya.
Pikirannya berjalan dengan baik, bahwa Melody berbeda menyikapi rencana orangtuanya, mendapat sedikit bocoran dari tante Lina yang meminta dia ikut membujuk Melody, maka Zeff menetapkan sikap bagaimana akan menghadapi Melody.
“Iya sangat penting, Zeff. Aku...”
“Tumben kamu menyebut namaku dengan bener, seterusnya jangan diubah lagi Melody,” potong Zeff tidak mengacuhkan kalimat Melody.
"Denger dulu Anya!" Melody melotot kalimatnya dipotong Zeff. Dia mengubah cara duduknya, melipat satu kaki menghadap Zeff. Ini pembicaraan serius.
“Anya lagi, aku sentil juga kamu, baru dibilangin,” Zeff menggerutu. Tangan Zeff yang terangkat segera digenggam Melody, Zeff membiarkan.
“Kamu pasti punya pacar, masa sih seganteng ini jomblo, dan aku senang banget,” Melody berkata dengan senyum lebar.
“Apa hubungannya denganmu aku punya pacar… bisa sesenang itu?” Zeff bertanya walau dia tahu apa yang tersirat di balik pernyataan Melody.
“Iya dong aku senang… aku juga punya pacar, jadi kita sama-sama punya alasan untuk menolak keinginan orang tua menjodohkan kita berdua,” Melody mengatakan dengan kepala digoyangkan menjadi lucu dengan senyum lebarnya.
Dia tahu Melody punya kekasih, dan dia kebetulan mengenal kekasih Melody, dan ini salah satu yang menjadi alasan dia setuju bahkan menginginkan perjodohan ini.
Zeff memandang lekat wajah cantik Melody, memperhatikan setiap detil ekspresi di wajah itu. Lalu…
“Tapi aku malah senang kita dijodohkan, aku gak menolak itu kok,” suara tenang Zeff terdengar kemudian.
“Ohhhh maigat, Anya?? Jadi bener kata mama, kamu setuju???” Mata Melody bulat penuh, shock juga mendengar langsung Zeff setuju ide norak ini.
“Iya,” singkat saja jawaban Zeff dan masih setia memandangi wajah Melody.
“Anyaaaa Kok gitu sih? Ini salah Anya, kamu harus menolak juga!”
“Apanya yang salah? Orang tua kita menginginkan kita berdua menikah dan aku rasa itu baik buatku. Kenapa harus menolak sesuatu yang baik? Aku pikir ini bagian dari sikap baktiku pada orang tuaku yang sudah membesarkanku,” serius Zeff.
Melody melepaskan tangan Zeff dengan kasar karena kesal. Ternyata Zeff ada di pihak para orang tua, tidak bisa diajak menjadi sekutu menolak rencana gila mereka.
Ternyata dia berdiri sendiri sekarang. Seandainya papa dan kak Nada masih ada, pasti ada yang akan berpihak padanya.
Mulai sedih, orang lain sedang menancapkan kekuasaan pada hal paling penting dalam hidupnya seolah dia lumpuh bisu dan tuli dan tidak memiliki hak untuk didengarkan.
Dan yang paling menyebalkan, cowok di depannya ini kenapa sejak tadi senyum tipis dan bersikap tenang dan tanpa kedip tetap menahan tatapan yang begitu menguasai? Terus kegantengannya seperti berkilau dengan tampang bodoh itu?
Melody terintimidasi oleh aura Zeff.
Melody menggeleng kecil mengibas pikiran liar yang coba masuk, dia harus berjuang hingga titik keringat terakhir. 💪
“Zeff, come on, ini masalah hidup dan matiku, kamu gak boleh menerima perjodohan ini, yaaa?” Melody memasang muka lebay demi memohon belas kasihan.
“Kamu gak akan mati kali menikah denganku, yang ada hidup kamu makin terjamin,” Zeff sedikit mencibir, sisanya gemas melihat tampang Melody.
“Zeeefff, kita gak saling cinta, aku cintanya sama Max dan kami juga udah merencanakan pernikahan.” Melody sengaja menganti panggilannya dengan warna suara manjanya dalam rangka membujuk Zeff saja.
Tapi, tentang rencana menikah dengan Max, dia terpaksa berbohong, membujuk Max untuk menikah saja itu persoalan nanti.
Zeff termangu sejenak.
“Cinta gak membuat pernikahan bertahan selamanya, paling lama tiga bulan kamu akan merasa paling bahagia karena menikah dengan orang yang kamu cinta, dan setelahnya orang yang kamu paling cinta bisa aja berubah menjadi orang yang kamu paling benci,” Zeff dengan kalimat bersayapnya mengurung pandangan Melody.
“Apa sih, dangkal amat cara kamu memandang cinta, kasihan amat pasanganmu… tapi jangan samakan denganku dong… aku hanya akan menikah dengan orang yang aku cintai. Ayolah Zeff dewasalah…” Melody masih bernada merayu Zeff.
Zeff konsisten tersenyum tipis saja dan konsisten tidak memindahkan fokus pandangannya, dia sepertinya menikmati ekspresi Melody.
Melody jengah ditatap-tatap, jangan-jangan ada sesuatu di wajahnya? Jari telunjuknya coba mencari sesuatu di pipinya. Zeff tergelak.
Melody mulai putus asa, kalimatnya mental semua. Hati nih cowok terbuat dari metal kah? Ini keputusan seumur hidup, mereka berdua tidak boleh salah memilih pasangan.
Zeff mengernyit, tersentil dengan kata dewasa. Jadi harus dewasa ya? Ok.
“Pernikahan hanya butuh pikiran waras menyikapi realita serta komitmen untuk bersama, Melody. Cinta hanya pemanis saja,” tekan Zeff dalam tatapan serius sekarang.
“Astaga Anya, cinta dibilang pemanis, emang ekstrak buah gitu… sirup kali… cinta itu yang mengikat dua orang sehingga bisa berkomitmen pada pernikahan,” Melody akhirnya mulai emosi, ternyata dia benar-benar tidak bisa membujuk Zeff dan tidak sejalan dengan pikiran Zeff. Dia juga tidak suka makan buah... 😚
Zeff memandang Melody dengan kepala dimiringkan, lama tidak berjumpa dengan Melody, ekspektasinya jauh dari kenyataan, dia pikir akan bertemu Melody yang anggun dan manis. Ternyata Melody masih sama, sifatnya tidak sesuai umur, suka sekali mendebat orang lain.
Tapi jujur, sejak tadi memperhatikan wajah itu, sesuatu menyusup dan semakin meyakinkan dirinya bahwa perjodohan ini sangat menyenangkan.
"Zeffffffff?"
Melody menutup muka dengan jarinya lalu membanting kepalanya di atas pahanya sendiri tak dapat menahan kesal yang sekesal-kesalnya, menghindari juga tatapan lekat Zeff yang membuat dia merinding.
Posisi Melody yang telungkup seperti itu justru membuat Zeff mengulurkan tangan, tak tahan untuk mengusap-usap rambut panjang yang gak di sisir yang sekarang terurai cepolannya.
Hahaha, dia berantakan sekali.
Melody tak menyadari membiarkan Zeff melakukan itu malah merasakan sesuatu, ini aneh rasanya menolak dijodohkan tapi tidak menolak sentuhan orang yang dijodohkan dengannya.
“Kamu pernah dengar kan orang yang mengaku cinta, bucin bertubi-tubi tapi pernikahan mereka hanya sebentar, cinta gak pernah cukup Melody… cinta hanya perasaan sentimentil yang akan cepat memudar ketika realita hidup begitu keras,” Zeff ingin mengajak Melody membicarakan dengan lebih dewasa, mengikuti permintaan gadis itu tadi.
Melody meluruskan lagi punggungnya, usapan Zeff terlepas.
“Ya ampun, kok aku jadi ngeri ya mendengar prinsipmu… mindsetmu kayak gitu makin gak mau aku dijodohkan denganmu… pokoknya aku menolak kita dijodohkan, aku gak mungkin menghianati Max,” suara Melody setegas pendiriannya untuk hal itu.
Zeffanya mengangkat sedikit dua keningnya, Melody tidak bisa diajak diskusi apalagi dikasih pencerahan, dia sedang emosi terutama di hatinya Max masih berkuasa penuh. Zeff memaklumi.
“Dan aku, akan meneruskan perjodohan kita, kita lihat nanti siapa yang akan berubah,” timpal Zeff bernada misterius.
“Aku gak akan berubah, Anya. Silahkan kamu dengan ilusimu," balas Melody sambil mengangkat lehernya dan menegakkan bahunya serta membusungkan dada, sebuah pernyataan sikap siap menyerang lawan.
Zeff tertawa, emang bisa kamu selucu ini ya?
"Kasihan sekali pacarmu, emang kamu mau ngomong apa ke dia soal ini?” Tiba-tiba penasaran soal pacar Zeff.
Lagi Zeff termangu.
“Simple aja... kita udahan, aku udah punya calon istri,” Zeff mengatakan kemudian sambil mengangkat bahu disertai ekspresi santai.
“Astaga??? Sadis amat??? Jangan-jangan kamu memang gak punya perasaan, mainin cinta orang… amit-amit aku nikah sama kamu," Melody meradang.
“Aku punya perasaan Melow, tapi untuk membangun kehidupan masa depanku, aku memilih bersikap logis dan realistis… dan kamu adalah pilihan realistis.” Zeff coba menjelaskan sedikit isi kepalanya, ingin menepis pendapat Melody barusan.
“Ya ampun, amit-amit aku nikah sama orang yang gak menghargai cinta. Aku gak, cinta itu sangat penting buatku. Kita gak sama, jadi jangan paksa aku,” pungkas Melody dengan muka garangnya.
Zeff kembali menanggapi dengan senyumnya, “amit-amit terus… entar bucin sama aku…”
“Iiih… jauuuh,” Melody membuang muka dengan geram.
Para orang tua menghampiri mereka, terdengar sedang berpamitan satu dengan yang lain. Tante Meisy datang lebih mendekati Zeff dan Melody.
Pembicaraan di antara mereka serius tapi tetap saja mengamati apa yang dilakukan dua anak mereka, sejauh pengamatan terlihat kompak, berharap urusan ke depan lancar-lancar saja.
Terlebih sudah disepakati bahwa rencana itu akan segera direalisasikan.
Para orang tua datang dengan pengumuman....
"Kami udah sepakat, kalian nikahnya empat bulan dari sekarang,” tante Meisy mewakili para orang tua mengatakan dengan gamblang tentang hasil pembicaraan mereka.
“Hahh???” Melody terlonjak dari kursi, tidak bisa mengontrol suaranya, benar-benar kaget karena niat orang tua justru sudah sejauh itu. Gilaaaa. Apa sedang kiamat sekarang?
“Itu malah kelamaan mami… aku maunya secepatnya,” Zeff menjawab mantap sambil berkedip sekali pada Melody.
Jika tidak ada orang tua mereka mungkin Melody sudah menjitak kepala Zeff.
“Hahaha… anak mami udah gak sabaran ya… iya deh, nampaknya kita harus mempersingkat waktu, Lina. Zeff memang gak mau ribet orangnya… Melody setuju aja kan?” Tante Meisy mengatakan dengan senyumnya seolah tidak menyadari reaksi Melody.
“Iya… Mel juga tidak macem-macem orangnya… mereka cocok sih,” mama Lina cepat-cepat mengatakannya saat melihat bibi Mel hendak mengatakan sesuatu.
Alamaakkk, Melody hanya bisa menatap semua orang dengan semua rasa kesal tegangan tinggi yang terkumpul di ubun-ubun terutama pada Zeff. Kasar Melody menarik tangan Zeff lalu meninggalkan ruangan itu, Zeff mengikuti dengan senyum, paham sebenarnya sudah sekesal apa Melody itu.
Di teras depan Melody menghentakkan secara kasar tangan Zeff. Semarah-marahnya dia tapi tetap saja Zeff yang jadi penentu, mama Lina gak akan bisa dilawan, jadi bicara dengan Zeff adalah satu-satunya cara untuk membatalkan rencana gila ini.
Melody mengatur napasnya agar tidak segera menumpahkan kemarahannya sekarang, dia harus meminta pengertian dari Zeff.
“Sia-sia kamu menolaknya jika udah menjadi urusan mami dan mamamu, dan gak usah berusaha membujukku… karena aku sama dengan mereka,” Zeff lebih dahulu berucap.
Kenapa cowok ini sepertinya meremehkan urusan sebesar ini? Seperti apa rumah tangga mereka jika dimulai tanpa cinta?
“Tapi aku gak mau dipaksa Zeff… tolong mengertilah,” Melody mengatakan dengan suara penuh tekanan menahan desakan emosi, sekarang bahkan ingin sekali dia mencakar wajah ganteng Zeff.
“Aku harus memaksamu, Melody, aku punya alasan menerima perjodohan kita, ” Zeff menatap lekat mata Melody.
Melody menyerah malam ini, bahunya turun bersama dua tangannya yang terasa lunglai, emosinya benar-benar terkuras, dia kalah dalam debat soal perjodohan. Harus bagaimana lagi mengatakannya?
"Ini gak akan berhasil,” usaha terakhir seorang Melody.
“Jangan menilai sesuatu di awal… dan keputusanku gak akan berubah… aku akan menikahimu Melody Christania,” tegas Zeff.
Melody menaikkan tangan di pinggang rampingnya, hanya bisa memandang putus asa melihat tekad pria di depannya sudah bulat. Saat melihat ekspresi yakin Zeff, Melody meninggalkan Zeff begitu saja.
Zeff hanya menatap punggung lesu Melody, pikiran yang datang adalah semakin bertekad untuk meneruskan perjodohan ini.
Zeff menatap sepenuh hati hingga bayangan Melody menghilang dengan sebuah doa, bahwa Melody akan mengerti nantinya.
.
🐧🐧
.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!