NovelToon NovelToon

Di Antara Kita

Prolog

“Dek, ada yang nelpon!” teriak Angga sambil melihat sebentar ke atas meja sebelum kembali menatap layar TV LCD di depannya, tidak berminat untuk mengangkat.

Enggy sedikit mendongak, menjauhkan pandangannya dari wadah blender dan menegok ke arah Angga yang sebagian tubuhnya terlindung sofa.

“Siapa Bang?” tanya Enggy tanpa berniat untuk beranjak.

Tidak ada sahutan. Nada dering Sparking Melody itupun sudah tak terdengar lagi. Enggy kembali ke kegiatan awalnya, memasukkan halusan buah alpukat ke dalam dua buah gelas. Satu untuknya dan satu lagi untuk laki-laki bertubuh cukup berisi yang sedang asyik menonton di ruang keluarga, kemudian meletakkan blender yang sudah digunakan tadi ke dalam bak pencuci piring.

“Dari siapa, Bang?” tanya Enggy lagi.

Angga menoleh ke samping, matanya lantas menangkap sosok gadis berkaos putih dan bercelana katun sebatas lutut dengan dua gelas berwarna hijau kekuningan yang ada di tangannya.

“Riezka. Tapi nggak Abang angkat,” jawab Angga cuek dan fokus lagi dengan adegan-adegan kocak di depannya.

“Dasar!” sahut Enggy seraya menggeleng-geleng.

Enggy meletakkan kedua jus alpukat itu di atas meja, sedikit menggeserkan salah satunya mendekati posisi Angga yang tampak begitu menikmati aksi-aksi dari film yang diunduhnya kemarin. Enggy mengambil ponsel androidnya yang tergeletak di atas meja di samping toples kacang atom, ingin memastikan ucapan Angga. Memang ada satu panggilan tak terjawab. Dari Riezka, teman sepermainannya sejak bangku SMP hingga sekarang.

Tepat setelah Enggy meletakkan kembali ponselnya, tidak berniat untuk menghubungi balik gadis berkacamata itu, ponselnya kembali bergetar. Masih dengan si penelepon yang sama.

“Ya, Riez? Ada apa?” ucap Enggy setelah kata ‘Halo’ terdengar dari suara Riezka.

“Sudah lihat foto yang di grup Line?”

“Belum. Koutaku habis. Memangnya kenapa?” jawab Enggy sambil melirik ke arah Angga yang sedang menyeruput jus yang telah dibuatnya, dengan diselingi kekehan kecil tatkala menangkap adegan lucu dari tokoh Abimana Aryasatya, Vino G. Bastian, dan Tora Sudiro.

“Kamu harus lihat sekarang!”

“Besok ajalah, di sekolah. Aku sedang malas keluar untuk beli kouta.”

“Ini—“

“Memangnya kenapa? Urgent banget, ya?”

“Ya, urgent banget! Ini menyangkut hidup dan matimu!” tukas Riezka dengan terburu-buru, pelafalannya terucap tidak jelas, Enggy hampir tidak bisa memahami.

“Jangan lebay deh!” cibir Enggy spontan. Cewek itu memang selalu berlebihan menanggapi sesuatu yang—mungkin saja—sepele. “Sebenarnya ada apa sih? Aku jadi penasaran,” tambahnya sambil mengambil gelas dan menyeruput jus alpukat yang belum sempat dicobanya.

“Sebaiknya kamu keluar, beli kouta sekarang! Atau kamu bisa hotspot pake HP Bang Angga dan kamu bisa lihat sendiri.”

Enggy menghela napas sejenak. “Nggak usah berbelit-belit, kamu—”

“Foto itu fotomu,” potong Riezka cepat.

“Maksudmu apa, Riez?” tanya Enggy yang mulai binggung dan semakin penasaran.

“Foto itu fotomu,” ulang Riezka.

Enggy sekarang tak menyahut. Ingin menunggu kelanjutan yang terlontar dari gadis itu.

“Dan di foto itu, kamu bugil.”

“APA??? BUGIL???” teriak Enggy lantang yang seketika membuat Angga terbatuk-batuk keras, tersedak jus yang baru saja masuk ke dalam mulutnya.

PLEASE VOTE-NYA!

PLEASE VOTE-NYA!

PLEASE VOTE-NYA!

PLEASE VOTE-NYA!

PLEASE VOTE-NYA!

PLEASE VOTE-NYA!

JANGAN LUPA COMMENT, FAVORITE, DAN LIKE-NYA!

TERIMA KASIH SUDAH MEMBACA KARYA-KARYAKU. TERIMA KASIH 😄😄😄

Peribahasa 1 Air Susu Dibalas dengan Air Tuba

Air susu dibalas dengan air tuba, artinya suatu tindakan kebaikan dibalas dengan tindakan kejahatan.

“Berangkat dengan siapa nanti, Dek? Dengan anak Pak Jordi, ya?”

Enggy langsung mendelikkan matanya. “Apaan sih, Bang?!”

“Anak Pak Jordi? Maksudmu Rantung, Bang?” tanya Robby, satu-satunya sosok paruh baya berkacamata di ruangan itu seraya menurunkan koran yang sudah selesai dibacanya.

“Iya, Yah,” angguk Angga antusias sambil cengar-cengir.

“Kalau dengan dia, Ayah setuju Dek,” timpal Robby yang ikut cengar-cengir.

“Apaan sih, Yah! Aku—”

Kalimat Enggy kontan terpotong tatkala suara klakson bergema, mengalihkan perhatian gadis itu, juga kedua laki-laki dewasa yang sekarang memasang seringai mengoda. Bahkan Angga tampak juga menaik turunkan kedua alisnya.

Enggy sekali lagi meneguk susu coklatnya sebelum bangkit dari kursi, menggantung tas selempangnya dan terakhir mengambil tangan kanan sang ayah, menyalami untuk berpamitan dan menepuk pundak Angga dengan kuat. Dari mana sih laki-laki berambut ikal ini tahu? Ah, pasti dia membuka ponselku lagi tanpa izin lagi. Dasar Kepo!

Saat tubuhnya sudah berada di depan teras, senyum di bibir Enggy kian merekah ketika kedua maniknya menangkap laki-laki berseragam putih abu-abu dengan sepeda motor sport berwarna hijau yang sedang dinaikinya. Enggy segera berlari-lari kecil, ingin cepat menghampiri sosok bernama lengkap Rantung Salinas itu.

“Sudah lama?”

Rantung menggeleng, “Belum kok.”

“Berangkat sekarang?”

“Ayahmu ada?” Tidak mendapat respon apa-apa, justru muncul kernyitan-kernyitan kecil di dahi Enggy, Rantung cepat-cepat menambahi, “Aku ingin berpamitan.”

Enggy menoleh ke belakang, memandang ke arah jendela rumah yang gordennya tampak sedikit bergoyang-goyang. Benar seperti tebakannya. Ayah dan Abangnya pasti sedang mengintip. Dasar kepo akut!

Tatapan Enggy beralih ke jam tangannya. Jam tujuh kurang sepuluh menit. Sebentar lagi bel sekolah akan berbunyi.

“Besok aja, Ntung. Takut telat nanti.”

“Oke deh,” ucap Rantung sambil menyerahkan helm yang khusus dibawanya hari ini, demi menjemput Enggy yang telah berubah status menjadi kekasihnya sejak sehari yang lalu.

“PJ! PJ! PJ!” seru Riezka heboh dan Enggy baru saja meletakkan tas selempang Jansport hitamnya di atas meja.

“Pagi-pagi jangan mulai deh!” celetuk Enggy meskipun raut sumringah terus terpancar.

“Pokoknya aku minta Pajak Jadian. Titik!”

“Oke. Oke. Nanti aku traktir bakso Pak Tarmin.”

“Sip. Sip. Aku mau dua mangkuk,” ujar Riezka dengan sedikit tertawa yang dibuat-buat dan menunjukkan dua jarinya. “Tapi aku nggak nyangka kalau akhirnya kalian jadian juga, setelah cukup lama hanya berstatus TSK, alias Teman Satu Kompleks,” imbuhnya dengan sedikit menerawang ke kejadian beberapa tahun yang silam, saat pertama kali Enggy memperkenalkannya kepada Rantung.

“Aku juga nggak nyangka, Riez. Malam itu tiba-tiba aja dia ngajak makan di luar. Aku kira setelah makan, kami akan langsung pulang seperti biasanya. Tapi dia ngajak singgah dulu ke taman kompleks dan akhirnya gitu deh, dia nembak aku. Cintaku ternyata nggak bertepuk sebelah tangan,” Enggy mengulang lagi kisah cerita malam itu padahal dia sudah menceritakannya.

“Tapi....” Riezka sebenarnya tak ingin membahas ini. Hanya saja dia penasaran. “Tapi apakah berita itu benar Nggy, kalo Rantung adalah mantan Vio?” tanya Riezka sambil memandang ke arah jendela kelas yang menampakkan lalu-lalang beberapa siswa-siswi SMA Plus Pekanbaru.

Bertepatan saat Enggy ikut memalingkan kepala, saat itupula matanya menangkap sosok gadis yang namanya baru saja disebutkan tadi. Vio dikenal sebagai primadona SPP—singkatan dari SMA Plus Pekanbaru—yang memiliki wajah cantik dengan bulu mata lentiknya. Tak hanya terkenal dengan parasnya, dia juga dikenal sebagai gadis yang pintar. Dia pernah memenangkan beberapa perlombaan yang diadakan di Universitas-universitas di Riau.

Dan benar kata pepatah, tak ada manusia yang sempurna. Ada beberapa gosip tak enak yang beredar. Postur luar Vio tidak seindah kelakuannya. Sering terdengar kabar kalau dia suka bertengkar dan melakukan bullying. Tak hanya itu, beredar pula kalau dia suka mengerjai cewek-cewek yang kedapatan menyukai Rantung. Laki-laki yang memiliki tubuh jangkung itu memang merupakan salah satu cowok yang banyak disukai cewek-cewek SPP.

“Menurutmu gimana, Nggy?”

“Hah? Apa?” tanya Enggy yang tiba-tiba gagal fokus.

“Menurutmu apakah Rantung dan Vio memang pernah pacaran?”

Enggy sedikit mengedikkan bahu. “Entahlah, aku nggak tahu. Dia nggak cerita.”

“Kalau perkiraanmu?” Riezka kembali bertanya, masih belum puas.

“Mungkin saja.”

“Apakah sekarang kamu takut?”

“Takut?” ucap Enggy dengan mengkedutkan kening. “Takut apa?”

“Apakah kamu nggak takut kalau Vio dan gengnya akan membulimu?”

Kini mata Riezka mengarah ke arah dua bangku yang ada di depan mereka, bangku sebelah kiri dekat dinding yang sudah kosong hampir tiga bulan ini. Yang kata orang-orang, merupakan salah satu korban dari tindakan kasar Vio dan teman-temannya, hingga akhirnya gadis bertubuh mungil itu memutuskan untuk pindah sekolah. Riezka memang tidak pernah menyaksikan aksi bullying itu secara langsung, namun dia cukup mempercayai, apalagi saat melihat bagaimana sikap Vio yang sok berkuasa di sekolah.

“Seperti yang terjadi dengan Yulia,” sambungnya, mimik raut Riezka mendadak sendu.

“Nggak ada yang perlu ditakutkan. Sesama siswa memiliki hak dan kewajiban yang sama di sekolah, baik itu kakak kelas ataupun adik kelas. Dan sudahlah, jangan membahas ini lagi,” jawab Enggy tak acuh.

“Aku hanya—”

“Temanmu yang dari Australia itu jadi pindah ke sini?” tanya Enggy ketika tiba-tiba teringat dengan ucapan Riezka kemarin, mencoba mengalihkan topik yang menyangkut gadis berambut lurus sepinggang itu.

“Jadi kok. Tadi pagi dia udah masuk ke sini kok. Kelas XI IPS 3,” balas Riezka dengan sedikit memperbaiki posisi duduknya, diikuti Enggy yang juga ikut memperbaiki posisi duduknya.

Mereka mulai membuka tas masing-masing, mengambil sebuah buku paket beserta buku dan alat tulis. Bu Rina yang mengampu sebagai guru Fisika kelas XI baru saja memasukki kelas, dan sudah saatnya Enggy dan Riezka menjalani tugas sebagai seorang siswa.

“Terima kasih, Pak,” ucap Enggy saat Pak Tarmin memindah dua mangkuk bakso pesanannya dari baki ke atas meja.

“Sama-sama, Neng,” sahut Pak Tarmin sebelum membalikkan badan, hendak beranjak ke gerobaknya dan kembali membuatkan pesanan yang lain.

Dimasukkan beberapa tetes kecap dan saos ke dalam mangkuk. Mengaduk-aduk sebentar sebelum mencicipinya sambil melihat ke arah utara kantin, menampakkan sosok Riezka yang sedang berbincang-bincang dengan laki-laki berwajah blasteran. Yang menurut perkiraan Enggy, cowok itu pastilah teman Riezka yang dari Austarlia itu.

Mata Enggy kini beralih menggelilingi ke seluruh pelosok kantin, mencari-cari sosok jangkung yang kemarin telah resmi berstatus sebagai pacarnya. Tapi tidak ada tanda-tanda keberadaan Rantung.

Sekarang mata Enggy kembali memandang ke arah utara kantin, menampakkan Riezka dan sosok diketahui bernama Andreas itu yang sedang berjalan menuju mejanya.

“Ini yang nama Enggy, Riez?” tanya Andreas ketika dia dan Riezka telah berdiri di depan Enggy.

Riezka hanya mengangguk singkat, segera duduk dan menggeserkan mangkuk bakso ke hadapannya.

Andreas mengulurkan tangannya. “Aku Andreas, teman masa kecilnya Riezka dan baru pindah ke SPP hari ini.”

“Enggy.” Enggy menyambut uluran itu.

“Aku ikut duduk di sini, ya?” izin Andreas dengan memamerkan senyum lebar.

Riezka tiba-tiba mendelik tajam.“Jangan tebar pesona! Enggy nggak akan mempan.”

“Aku kan hanya usaha,” tukas Andreas tanpa malu-malu menatap Enggy dengan mata berbinar, menunjukkan ketertarikan pada gadis berambut sebahu di depannya.

“Cih, dasar playboy!” decih Riezka tak suka, sementara Enggy hanya diam saja, tidak menunjukkan reaksi apa-apa atas lontaran itu. “By the way, Rantung ke mana? Nggak makan di sini?” Riezka sedikit celingak-celinguk.

“Mungkin makan di kedai Bukde Ririn.”

“Siapa Rantung?” tanya Andreas mendadak penasaran.

“KEPO!” celetuk Riezka sebelum memasukkan satu buah bakso ke dalam mulutnya.

“Jadi siapa Rantung?” tanya Andreas lagi, masih ingin tahu.

“Pacar Enggy,” jawab Riezka.

Tiba-tiba Andreas memegang dada kirinya, sedikit ***-remas seragamnya.

“Aduh, Adek patah hati Bang!” tukasnya dengan memasang mimik sedih, dia menjadi teringat dengan guyonan yang sering didengarnya sejak menginjak kaki di Indonesia, dan sekarang dia mendadak ingin mempraktekkannya.

“Nggak lucu! Dan jangan lebay deh! Dasar upil!” sewot Riezka.

“Dasar cebol!” balas Andreas tak terima.

Enggy yang sejak tadi hanya menjadi pendengar, mau tak mau sedikit tertawa. Interaksi di depannya benar-benar sangat menarik. Riezka dan Andreas terlihat sangat akrab. Seperti kakak dan adik. Seperti dirinya dan Angga. Namun selang beberapa detik kemudian, tawa kecil itu tiba-tiba menghilang dan berganti dengan raut terkejut.

Enggy merasakan kepalanya basah, sebagian mengalir mengenai wajah. Didengarnya pula suara cekikikan merendah. Saat Enggy memaling muka ke belakang, matanya menangkap sosok tubuh semampai, yang sedang memegang sebuah gelas kaca dengan kedua temannya yang menatap dengan raut menghina.

“Ups, sorry! Nggak sengaja.” Vio mengucapkannya dengan nada yang dibuat-buat diikuti seringai mengejek.

“Kamu nggak apa-apa?” tanya Riezka dan Andreas serempak.

Riezka dan Andreas saling berpandangan sebentar sebelum berdiri dari tempat duduknya masing-masing. Mereka segera menghampiri Enggy. Riezka mengelap-ngelap cairan oranye itu, membersihkan wajah dan rambut Enggy dengan tisu yang diambilnya di atas meja.

Sedangkan Andreas hanya melihat saja dengan tatapan khawatir. Dan sekonyongg-konyong Enggy bangkit, berjalan ke arah meja di sebelahnya, mengambil gelas kaca dengan cairan berwarna sama yang tidak tahu siapa pemiliknya. Dia berjalan tergesa-gesa menuju Vio dan kedua temannya yang sedang bercakap-cakap sambil terkekeh kecil.

BYURRR! Enggy menumpahkan cairan itu tepat di kepala Vio.

“SIALAN!” teriak Vio menggelegar murka.

“Air susu dibalas dengan air susu dan air jeruk dibalas dengan air jeruk,” lantang Enggy dengan tatapan tajam.

Baru saja kakinya melangkah mendekati Riezka dan Andreas yang sudah memasang wajah khawatir akut, Enggy merasa helai-helai rambut sebahunya ditarik ke belakang hingga membuat kepalanya mendonggak ke atas, menatap langit-langit kantin yang dihinggapi beberapa sarang laba-laba. Dan sekarang kulit kepalanya mulai terasa sakit.

STOP PEMBULLYINGAN DI SEKOLAH!!!

MOHON LIKE, COMMENT, DAN FAVORITE-NYA!!!

APAKAH DI SEKOLAH TEMAN-TEMAN MASIH DIBERIKAN MATERI PERIBAHASA? SILAKAN DIJAWAB YA!

Peribahasa 2 Kalah Jadi Abu, Menang Jadi Arang

Kalah jadi abu, menang jadi arang, artinya Pertengkaran akan merugikan kedua belah pihak (sama-sama rugi)

Enggy meringis. Tarikan di helai-helai rambutnya sangat menyakitkan. Vio menariknya dengan sangat kuat, begitu penuh tenaga. Enggy pun tak mau kalah, sebisa mungkin berusaha melepaskan diri dan mencoba mengambil helai-helai panjang rambut Vio. Jemarinya menarik dengan penuh tenaga pula. Kedua gadis muda itupun mulai saling tarik-menarik. Saling jambak-menjambak.

Suasana kantin yang memang selalu riuh di jam-jam seperti ini, kini semakin hiruk-pikuk. Bak pasar malam. Anak-anak SPP bahkan sekarang membentuk lingkaran, menonton adegan langka yang sangat jarang terjadi di kantin sekolah. Tidak ada yang berniat untuk melerai. Justru sorak-sorakan penyemangat untuk terus melanjutkan adegan brutal itu kian menggema.

Riezka sebenarnya ingin menghentikan pertikaian di depannya, setidaknya menolong Enggy yang tampak kesulitan dengan sikap kasar Vio, tapi dia tak memiliki cukup keberanian. Bahkan sekarang tubuhnya sedikit bergetar, menatap ngeri adegan cek-cok di depannya, hingga tak menyadari sosok Andreas yang masuk ke dalam kerumunan, dan kejadian sapuan tangan itu terjadi begitu cepat, membuat suasana hiruk- pikuk itu seketika mendadak sunyi. Seperti kuburan saja.

Pipi Andreas sekarang terasa sangat panas. Dia sangat yakin kalau pipi kirinya pasti berwarna kemerahan. Tak menyangka gadis bernama Vio itu memiliki kekuatan yang cukup besar dengan tubuh kurusnya. Suara aduan telapak tangan Vio dengan pipinya bahkan mampu meredam suara kegaduhan yang ada. Niatnya hanya ingin memisahkan mereka. Tak mengira akan mendapatkan tamparan salah sasaran yang cukup menyakitkan seperti ini.

“Andreas!” pekik Enggy ketika menyadari sosok laki-laki bule yang sudah berada di tengahnya dan Vio. “Kamu nggak papa?” Tangan Enggy refleks memegang wajah Andreas, ingin memastikan kondisi laki-laki yang baru dikenalnya beberapa menit lalu, dan sedikit merasa bersyukur karena bukan dirinya yang menerima pukulan itu. Pasti menyakitkan, tambahnya membatin.

Andreas sedikit menyungging senyum. “Nggak papa kok.”

“Yakin?”

“Aku laki-laki. Pukulan ini nggak seberapa,” jawab Andreas meskipun sekali-kali dia meringis tatkala jemari Enggy menyentuh bekas lima jari yang menghiasi wajahnya.

Vio menyeringai sinis. Matanya meneliti saksama laki-laki bermata coklat muda yang baru pertama kali dilihatnya. Ganteng. Itu penilaian pertama yang diimpresikannya untuk Andreas. Matanya kini berpindah ke sosok Enggy yang menatap khawatir. Benak Vio mulai bertanya-tanya. Siapakah dia? Apakah hubungan mereka? Lalu bagaimana dengan Rantung?

Belum sempat lontaran tanya keluar dari mulut Vio, sosok bertubuh tambun dalam balutan kerudung merah datang dengan tatapan nyalang. Para siswa yang tadi membentuk lingkaran langsung membubarkan diri tanpa diperintah, begitupula dengan Riezka. Dia tidak ingin masuk ke dalam daftar hitam Bu Neneng, guru yang dicap sebagai guru tergalak di SPP. Ada beberapa rumor juga yang tersebar tentang beliau, kalau namamu sudah tertulis dibukunya, alamat masa SMA-mu akan suram. Ah, masa SMA memang tempatnya rumor-rumor aneh beredar!

“Kalian bertiga, ikut Ibu ke kantor. SEKARANG!!!” ucap Bu Neneng dengan mendelik tajam dan menekan kata terakhirnya.

Saat Enggy masuk ke dalam kelas, Riezka seketika berdiri dan berlari-lari kecil mendekati Enggy yang sedang memasang wajah masam. Sebelah tangannya memegang secarik kertas beramplop putih. Riezka tak perlu menebak apa isinya. Dia sudah pernah melihat beberapa kali karena rasa keingintahuannya dulu. Jordan, teman sekelas mereka yang terkenal badung sering mendapatkannya. Dia meletakkan begitu saja di bawah kolong meja tanpa pernah membawa pulang. Suatu hari setelah selesai piket kelas, karena rasa penasaran yang begitu menggebu, akhirnya Riezka dengan berani mengambil kertas itu dan mengintip isinya.

“Kamu nggak papa, Nggy?”

Enggy tak memberikan respon, masih jengkel gara-gara surat di tangannya. Kaki Enggy terus bergerak menuju bangku ketiga dari pintu, mendudukkan tubuhnya dengan malas dan merebahkan kepalanya di atas meja. Tiba-tiba Pusing. Kepalanya mendadak berdenyut-denyut.

“Nggy!”

Enggy sedikit mendongak saat mendengar suara yang sedemikian familier. Matanya menangkap sosok berwajah oval yang datang mendekat. Riezka yang juga menyadari kedatangan Rantung segera berdiri, berniat memberikan bangkunya sekaligus privasi untuk mereka. Enggy dan Rantung pasti butuh bicara. Secara tidak langsung, Rantung juga ikut andil atas pertengkaran Enggy dengan Vio karena dialah pokok masalahnya.

“Terima kasih,” ucap Rantung sebelum Riezka beranjak terlalu jauh sambil menempati kursi kayu itu. Kedua matanya mulai memindai. Tampak cemas. “Kamu baik-baik saja, Nggy? Tadi aku dengar kalo kamu bertengkar sama Vio.”

Enggy kembali merebahkan kepalanya, menghadap ke arah dinding, mendadak malas melihat wajah si jangkung ini. Dinding polos berwarna kuning pudar di depannya terlihat lebih menarik. Mendengar nama Vio, rasa dongkolnya semakin menjadi-jadi apalagi nama itu keluar dari mulut Rantung.

“Enggy!” panggil Rantung dengan memegang pundak Enggy yang membelakanginya. “Nggy!” Sekali lagi Rantung memanggil. “Kamu sakit? Aku antar pulang, ya?!” tambahnya saat Enggy masih tak menyahut.

Enggy masih tak berhasrat untuk membuka mulut. Rasa kesal ini masih menumpuk. Hingga bel berbunyi tanda istirahat sudah berakhir, Enggy masih tidak mengeluarkan sepatah katapun. Pandangannya masih menghadap dinding, seolah dinding itu benar-benar sedap di pandangan mata daripada wajah Rantung.

“Aku ke kelas dulu, ya?! Nanti aku tunggu di parkiran. Kita pulang bareng.”

Rantung berharap Enggy kini menoleh. Tapi sepertinya gadis itu sedang dalam mood yang benar-benar buruk.

“Aku ke kelas sekarang, ya?!” Sekali lagi Rantung berpamitan, masih berharap kalau gadis itu mau sedikit menggubrisnya.

Namun harapan tetap harapan yang kadangkala tidak selalu terkabul. Enggy masih betah dengan pendirian, masih tertarik dengan dinding berwarna kuning pudar yang mewarnai hampir keseluruhan ruang kelas. Dan Rantung kembali berharap di dalam hati, kejadian hari ini tidak merusak hubungan mereka yang baru terjalin beberapa hari. Semoga.

Bel keenam berbunyi. Tanda kalau proses ajar mengajar siswa-siswi SMA Plus Pekanbaru hari ini telah selesai. Enggy dengan lunglai memasukkan peralatan sekolah ke dalam tas. Keadaan emosionalnya masih belum membaik. Dia juga masih belum bersuara dan Riezka yang duduk di sebelahnya juga ikut sengap.

Setelah memastikan kalau tidak ada barang yang tertinggal di kolong meja, Enggy meraih tasnya dan mulai bergerak mendekati sosok jangkung yang ternyata telah menunggu di depan pintu sejak lima menit yang lalu. Dia kira cowok itu akan menunggu di parkiran, seperti perkataannya tadi, mengingat lokasinya bersebelahan dengan gedung jurusan IPS.

“Pulang sekarang?”

Enggy mengangguk pelan.

“Mau langsung pulang atau—”

“Pulang aja,” sela Enggy dengan sedikit melangkahkan kaki menjauh.

“Oke,” sahut Rantung sambil mensejajarkan gerak kaki mereka.

Selama menempuh ke parkiran siswa, Enggy dan Rantung lalui dalam kebungkaman, bak mereka begitu menikmati suasana yang tidak biasa ini. Bukannya cuek, Rantung hanya ingin membiarkan gadis di sampingnya ini sedikit tenang. Pertengkarannya dengan Vio pasti membuatnya syok, apalagi dia sempat melihat amplop putih yang ditujukan khusus untuk orang tua Enggy.

Rantung menyerahkan helm berwarna merah kepada Enggy sebelum menaiki sepeda motor hijaunya, kemudian membantu Enggy untuk menempati boncengan yang cukup tinggi. Perlahan suara gemuruh seperti angin ribut mulai terdengar, dan sedikit demi sedikit posisi dua pasang anak muda itu kian menjauh dari area SMA Plus Pekanbaru, mulai membelah jalanan-jalanan besar Pekanbaru.

Masih tidak ada suara yang terdengar. Enggy dan Rantung masih memilih menutup mulut. Tetap membisu. Padahal biasanya ada saja hal yang mereka bicarakan, dari tingkah Pak Nasir yang merupakan guru olahraga mereka yang sering membuat lelucon garing, hingga hal-hal menyangkut keluh-kesah kehidupan sehari-hari mereka. Enggy ternyata masih begitu dongkol, terutama saat mengingat pertikaiannya dengan Vio yang saling menjambak di kantin tadi.

Hanya satu hal yang disesali Enggy atas kejadian itu. Mengapa Bu Neneng selaku guru BK harus memberikan surat panggilan untuk orang tuanya, mengapa tidak memberinya hukuman saja. Dia rela harus membersihkan kamar mandi asalkan tidak melibatkan ayahnya.

“Bisakah kita ke taman kompleks sebentar?” ucap Enggy ketika sepeda motor Rantung baru saja memasuki gerbang perumahan Panam Wahana Mandiri.

Enggy tiba-tiba menjadi malas untuk pulang ke rumah apalagi saat membayangkan wajah kecewa ayahnya saat menerima surat itu, dan juga ada beberapa pertanyaan yang harus ditanyakan ke Rantung nanti. Ada yang ingin dipastikan.

“Ya,” jawab Rantung sambil berbelok.

Motor Rantung berhenti di samping sebuah pohon mangga dekat pagar pembatas. Enggy turun dari boncengan, mendekati kursi kayu yang memang sengaja diletakkan di sana. Setelah mengunci stang motornya, Rantung pun ikut duduk di samping Enggy.

“Kamu pernah pacaran dengan Vio?” tanya Enggy memecahkan keheningan yang ada sejak mereka duduk.

Rantung sedikit melebarkan matanya. Sedikit terkejut.

“Jadi?”

Rantung memundurkan tubuhnya ke belakang hingga punggungnya menempel dengan kursi kayu. Menyandar. Matanya menatap ke atas, memandang awan-awan yang terlihat kehitaman.

Pancaran mata Rantung menunjukkan keragu-raguan. Jujur atau bohong.

“Jadi kamu memang pernah pacaran dengan Vio?” tanya Enggy sekali lagi.

Kepala Rantung terangguk. “Dulu.”

“Kapan?”

“Saat kelas dua SMP.”

Hening lagi. Sunyi. Suasana taman sore itupun seolah mendukung. Tak banyak orang-orang kompleks perumahan yang datang mengisi sisi-sisi taman. Hanya terlihat beberapa anak kecil yang sedang berlari-lari dan ada sebagian bermain jungkat-jungkit. Penjual asongan pun tak tampak nangkring di pinggir-pinggir jalan. Tak satupun ada.

“Dulu Vio tidak seperti itu. Dia gadis yang baik dan juga ceria. Tapi semenjak kedua orang tuanya berpisah, mendadak sikapnya berubah. Mungkin sebagai bentuk pemberontakkannya.” Rantung yang masih menatap langit-langit, bak sedang menyelami masa-masa beberapa tahun silam.

“Lalu kenapa kalian putus?” lagi-lagi Enggy bertanya. Penjelasan Rantung masih belum memuaskannya, terutama hatinya.

“Sejak perceraian kedua orang tuanya, dia berubah menjadi posesif dan terlalu mengekangku. Awalnya aku biasa-biasa saja, menganggap kalau sikapnya hanya untuk menarik perhatianku saja, tapi lama-kelamaan aku mulai jenuh apalagi saat dia mulai melarangku bertemu dengan teman-temanku, termasuk teman laki-lakiku,” jelas Rantung sambil sedikit menghela napas.

“Apakah kamu masih menyayanginya?”

Rantung mengalihkan pandangannya dari langit, kini matanya menatap lembut ke arah Enggy. Tangan kanannya mulai terangkat ke atas, mendarat ke kepala Enggy dan mengacak-acak poni cewek itu.

Enggy tak merespon. Tidak juga mencoba menghindar. Hanya bergeming.

“Sejak putus dengan Vio, sejak itupula perasaan sayangku itu sudah nggak ada,” ujar Rantung yang sekali lagi mengacak-ngacak poni Enggy. “Sekarang aku hanya menyayangi perempuan bernama Enggy Marsella Handoyo, anak dari Pak Robby Handoyo di perumahan kompleks Panam Wahana Mandiri nomor 30 E,” sambungnya dengan cengar-cengir lebar.

Namun Enggy masih tak bereaksi. Tetap bergeming. Biasanya kalau Rantung sudah mengeluarkan kata-kata yang menjurus ke arah gombalan seperti ini, dia pasti sudah tersipu-sipu malu. Bahkan saking malunya, dia tak berani untuk menampakkan wajahnya yang pasti sudah kemerahan.

“Bagaimana dengan Vio?” Kembali Enggy bertanya.

“Maksudmu?”

“Apakah Vio masih menyayangimu?”

“Aku nggak tahu. Tapi...,” Rantung tampak ragu-ragu untuk melanjutkannya, takut menjadi bumerang. “Tapi sejak kami putus, memang beberapa kali dia pernah mengajakku balikan. Sebulan sebelum kita jadianpun, Vio kembali memintaku untuk menjadi pacarnya.”

“Oh,” respon Enggy singkat, ekspresi wajahnya tidak menunjukkan apa-apa, tidak terlihat reaksi yang berlebihan saat kalimat-kalimat itu terlontar.

Tiba-tiba gerimis-gerimis kecil melanda. Rantung spontan berdiri, begitupula dengan Enggy. Jemari Rantung segera menggenggam tangan Enggy, hendak mengajak beranjak mendekati sepeda motor sport-nya. Tapi Enggy lantas melepaskannya, menarik menjauh jemarinya. Raut wajahnya masih sama, tak terlihat ekspresi apa-apa, hanya pancaran matanya justru tampak berbeda. Tampak binar-binar kesedihan dan kekecewaan di sana.

Sementara Rantung mengenyitkan alis. Merasa aneh.

“Sebaiknya kita break dulu,” lirih Enggy hampir tak terdengar.

“Hah?” sahut Rantung.

“Kita break dulu.”

Sekali lagi alis Rantung mengernyit lebih dalam. “Hah?!”

“Sebaiknya kamu selesaikan dulu urusanmu dengan Vio.”

“Aku sudah nggak punya urusan apapun lagi dengannya,” tukas Rantung sambil sedikit menggerakkan kakinya, mendekatkan ke arah Enggy yang tidak tahu sejak kapan sudah membuat jarak yang cukup besar.

“Menurutku tidak seperti itu. Kalian sepertinya masih mempunyai urusan yang belum selesai. Karena kalo nggak, dia pasti nggak akan mengejar-ngejarmu lagi seperti ini. Dan sampai urusan kalian berdua belum clear, sebaiknya kita break dulu,” ucap Enggy sambil membalikkan badannya, rintik-rintik kecil itu sepertinya akan menderu deras.

Hanya beberapa langkah kakinya bergerak, Enggy merasa lengannya ditarik dan spontan tubuhnya berbalik.

“Aku nggak mau. Aku nggak mau kita break, atau apapun itu,” tolak Rantung dengan napas memburu. “Kasih aku alasan yang logis!” imbuhnya dengan setengah membentak, dia benar-benar tak terima dengan keputusan sepihak Enggy.

Enggy mencoba melepaskan cengkraman Rantung dan akhirnya menyerah saat pegangan itu tetap tak terlepas, justru kian erat.

“Kamu tahu kenapa sebagian orang nggak bisa move on setelah mereka putus?”

Rantung hanya diam. Tidak berniat untuk memberikan tanggapan apa-apa. Namun keningnya tidak bisa untuk tidak berekasi, mengerut.

“Karena sebagian orang mungkin masih mengenang kenangan indah mereka. Padahal sepenuhnya bukan karena itu, tapi karena salah satu dari mereka masih memberikan harapan dan salah satunya siap menerima harapan,” ujar Enggy sebelum menghempaskan pegangan Rantung, membalikkan badan dan langsung berlari.

TERIMA KASIH SUDAH MEMBACA. JANGAN LUPA LIKE, VOTE, DAN COMMENT! SHARE KE TEMAN-TEMANMU JUGA YA

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!