"Gak tahu malu! Lo gak ngaca? Lo itu jelek, gendut, item lagi! Bisa-bisanya mimpi mau jadi pacar Alder."
"Heh, Jasmine! Nama Lo emang cakep, tapi sayang muka bengep!"
"Gak punya kaca? Gue beliin mau?"
"Mending Lo belajar sumo, dari pada ngayal jadian sama Alder!"
"Nama aja cakep Lo, muka kaya ulet keket!"
"Gue kasih duit buat beli kaca, mau? Kasian amat hidup Lo!"
Suara sumbang itu terus terlontar dari banyaknya murid yang mengelilinginya, melemparnya dengan kertas bahkan dengan botol air mineral kosong.
Seperti pendemo yang tengah menyuarakan pendapatnya, begitu pun dengan orang-orang itu. Mereka terus mengatakan pendapat mereka tentang Jasmine, gadis berkaca mata, dengan rambut pendek, sangat pendek.
Gadis bernama Jasmine itu meremas jati jemarinya sendiri, ia sesegukan menahan tangis. Di tatapnya sekeliling, semua orang menghujatnya. Tak ada satu pun di antara mereka yang menaruh belas kasih padanya.
Apa salahnya? Kenapa dia selalu jadi bahan olokan dan bulan-bulanan teman-teman sekolahnya. Ia bahkan hanya punya satu teman sejak ia sekolah di sana dua tahun tiga bulan lalu. Dan temannya itu kini hanya diam, menatapnya dengan iba tanpa berani menolong. Mungkin tak ingin bernasib sama dengan Jasmine.
Kata orang jatuh cinta itu indah, tapi Jasmine justru merasa rendah. Setelah jatuh cinta, ia terbiasa mendapat hujatan, olokan, hinaan dan perlakuan kasar lainnya. Apa yang salah dengannya? Bukankah cinta itu tak pernah salah? Atau ia salah melabuhkan perasaan pertamanya ini pada pemuda bernama Alder Lirio?
Baru dua hari yang lalu ia di siram air, entah siapa yang menyiramnya dari lantai atas ketika ia tengah duduk di teras bawah menyaksikan Alder bermain basket. Dan hari ini ia kembali mendapat kejutan dari pemuja setia Alder.
Dan lihatlah, Alder bahkan tak sedikitpun menaruh rasa kasihan padanya. Saat semua orang menyerangnya, pemuda itu hanya meliriknya sekilas lalu pergi. Padahal mereka-mereka yang menyerang Jasmin mengatas namakan Alder.
Herannya, tak ada satu guru pun yang mampu menghentikan kebar-baran murid-muridnya. Entah bosan, atau takut pada kekuasaan keluarga Alder.
Karena kejadian seperti ini terus berulang sejak Jasmine duduk di kelas 1, sejak dirinya memproklamirkan cintanya pada Alder.
Dulu, meski Jasmine jauh dari kata sempurna, ia mempunyai keberanian dan tingkat kepercayaan diri yang tinggi. Karena itu Jasmine berani menyatakan perasaannya pada Alder.
Dan entah siapa yang menyebarkan hal itu, hingga semua penghuni sekolah tahu bahwa Jasmine menyatakan perasaannya pada aset sekolah tertampan bernama Alder Lirio.
Namun sekarang, karena seringnya mendapat serangan seperti ini, tingkat kepercayaan dirinya terus terkikis hingga kabur kocar kacir entah kemana.
Keberaniannya pun ikut tunggang langgang entah kemana, membuatnya tak berani menengadah, tak berani melihat, tak berani bicara dan tak berani mendengar.
Mereka bisa menyerangnya tanpa sebab, padahal Jasmine tak lagi berani menunjukan rasa sukanya pada Alder.
"Nangis aja bisanya! Coba Lo belajar sumo, seenggaknya Lo bisa lawan kita," teriak gadis cantik bernama Lily.
Jasmine tak tahan mendengar semua cacian itu, jika boleh meminta pada Tuhan, bisakah ia tuli untuk sementara waktu? Sampai mereka puas menghujat dan membubarkan diri.
Kaki bergetarnya mencoba melangkah, ia ingin pulang saja. Biarlah ia membolos, rasanya tak punya muka untuk melanjutkan sekolah. Namun mereka justru seperti merapatkan barisan, Jasmine tak di biarkan pergi.
"Mau kabur Lo? Ngompol dulu, baru kita kasih jalan!"
Jasmine semakin sesegukan, ia memberanikan diri menatap Oryza, pemuda berkacamata tebal yang memproklamirkan diri sebagai sahabatnya, tapi pemuda itu justru menunduk menghindari tatapannya.
Baiklah, ia sendirian. Tak di inginkan di tempatnya berpijak, tak di sadari kehadirannya, apa lagi yang lebih menyakitkan dari itu?
Jasmine pun berlari dengan tenaga yang sudah coba ia kumpulkan kembali. Membelah kerumunan yang terdengar menyorakinya dan meneriakinya.
***
"Kasih mama alasan, Nak. Kenapa tiba-tiba kamu mau pindah?" Tanya Dahlia, mama dari Jasmine itu terkejut saat putrinya tiba-tiba pulang, padahal masih jam sekolah.
Jasmine yang tengah terisak dengan posisi tengkurap memeluk guling pun beranjak duduk. Wajahnya yang kumal tampak semakin kacau.
"Pokonya aku mau pindah aja, Ma. Kalau perlu kita pindah rumah aja sekalian, aku gak kuat..." Lirih gadis gembul itu.
Ada apa? Kenapa Jasmine terlihat begitu tertekan? Karena selama ini, Jasmine tak pernah bercerita apapun pada Dahlia. Mengenai tekanan-tekanan yang ia dapat di sekolah, beban mental yang perlahan rusak karena omongan teman-temannya, juga rasa percaya dirinya yang terus terkikis habis.
"Mama akan turuti apapun keinginan kamu, tapi kasih mama alasan yang kuat, Nak. Kenapa kamu nangis kaya gini? Ada apa sebenarnya? Cerita nak," bujuk Dahlia. Tangan lembutnya terus mengusap air mata yang tak berhenti menetes dari mata sendu Jasmine.
"Aku malu, Ma. Aku jelek," Cicit Jasmine. Mamanya bahkan sangat cantik, tapi kenapa kecantikan perempuan itu tak menurun padanya?
"Siapa yang bilang? Kamu putri mama yang paling cantik," Dahlia mencoba menenangkan Jasmine, tapi kalimat yang ia ucapkan justru semakin membuat Jasmine menangis.
"Jangan bohong, Ma. Cantik menurut Mama sendiri, Mama bahkan lebih cantik dari aku. Mereka bilang aku gak tahu malu, gak tahu diri. Aku ini jelek, gendut, hitam Ma. Mama jelas bohong!"
Dahlia terkejut, baru kali ini Jasmine mengeluhkan tentang dirinya sendiri. Karena di hadapannya, Jasmine kerap ceria, percaya diri dan tak pernah mendengar omongan orang.
"Ada apa sebenarnya, Nak? Apa kamu di bully?"
Dengan ragu Jasmine mengangguk, sepertinya ia memang tak sanggup diam lagi. Ia butuh tempat bercerita, membagi rasa sesak yang nyaris tiga tahun ini ia telan sendiri.
Ia memang tak pernah menceritakan apapun pada Dahlia, ia tak mau menambah beban Mamanya itu. Sudah cukup lelah Dahlia berperan sebagai ibu sekaligus ayah untuknya, jangan lagi di tambah dengan ocehannya. Tapi Jasmine benar-benar sudah tak sanggup menahannya sendiri.
"Cerita, Nak. Apa yang kamu alami selama ini?" Lirih Dahlia dengan lembut, ia merasa menjadi ibu yang tak becus, ia tak pernah tahu apa yang sebenarnya di rasakan Jasmine.
Jasmine menghela nafas panjang, berusaha menghalau sesak agar ia bisa bicara dengan benar.
"Kenapa aku jelek, Ma?" Tanyanya seraya terisak, "Lihat Mama, Mama cantik, tapi kenapa aku jelek?"
Dahlia terkejut dengan pertanyaan putrinya. Kenapa gadis itu mengatakan kalimat yang sama berulang-ulang?
"Siapa yang bilang kamu jelek, putri Mama ini cantik. Mereka hanya tidak bisa melihat kecantikan kamu. Nak, cantik bukan hanya perihal wajah saja, tapi juga hati. Dan anak Mama ini cantik sekali hatinya," Dahlia mengusap pipi basah Jasmine, tersenyum begitu lembut agar putrinya itu bisa tenang.
"Mama bohong!"
FLASHBACK
"Udah b*go, masih aja percaya diri," celetuk Lily, salah satu murid tercantik menurut dirinya sendiri. Karena perkara menyukai orang yang sama, tak ada habis-habisnya Lily menekan Jasmine dengan segala hinaannya.
Jasmine diam, tak ingin meladeni ucapan sinis gadis itu. Ia tahu, Lily pasti menyindirnya. Sejak Jasmine berani menyatakan perasaannya pada pemuda bernama Alder itu, Lily menganggapnya musuh terbesar.
Bukan hanya Lily yang terang-terangan membicarakannya, tapi yang lain juga, kecuali Oryza, pria berkaca mata tebal yang kini tengah menenangkannya dan memberinya semangat.
"Jangan dengerin mereka, mereka juga gak pinter-pinter amat kok," bisik Oryza.
Jasmine tersenyum kemudian mengangguk, ia mengeluarkan kotak bekal dari tasnya, bekal yang selalu Mamanya siapkan untuknya makan saat jam istirahat tiba.
Karena selain keadaan mereka pas-pasan, Mamanya juga tahu kalau Jasmine tak akan kenyang jika hanya memakan jajanan saja.
"Kamu bawa bekal lagi?" Tanya Oryza.
"Iya, mau gak? Mama bikin banyak nih, cukup kok buat kita berdua." Jasmine memperlihatkan bekalnya, memang porsi banyak.
Sejak Alder selalu membuang bekal yang ia berikan pada pemuda itu, Jasmine tak pernah lagi memberikan bekal untuknya. Jasmine bahkan berhenti memasak. Namun meski begitu, rasa cintanya pada pemuda itu tak pernah bisa berhenti.
Oryza meringis, jika ia ikut makan, Jasmine mana kenyang. Porsi makan gadis itu dua kali lipat dengan porsi makannya, mungkin karena itu juga tubuh Jasmine gembul dan bulat.
"Buruan, malah ngelamun. Mau gak?" Desak Jasmine, ia menyodorkan garpu pada Oryza, sedang ia memegang sendok.
"Gak deh, aku beli makanan di kantin aja. Nanti aku bungkus supaya kita bisa makan sama-sama. Tunggu bentar yah, aku ke kantin dulu."
Belum sempat Jasmine menjawab, Oryza sudah lebih dulu beranjak.
BRAK
Suara gebrakan meja membuat Jasmine nyaris tersedak, ia mendongak, Lily tampak tersenyum sinis.
"Ada apa lagi Ly? Aku gak ganggu kamu kan?" Jasmine berusaha tenang, ia kembali menyuapkan makanan ke mulutnya. Perlu kalian tahu, Lily sengaja menyambangi kelasnya setiap hari hanya untuk mencacinya, menghinanya dan menekannya.
"Ganggu! Kehadiran Lo di sini ganggu banget. Mata gue ternoda, mending Lo keluar!" Lily duduk di atas meja, menatap Jasmine yang duduk di kursi.
"Aku lagi makan, jangan ganggu Ly," pinta Jasmine. "Dan lagian, ini kan kelas aku Ly, bukan kelas kamu."
Lily meradang, ia merasa di usir, "Lo ngusir gue? Berani Lo yah!"
Helaan nafas panjang Jasmine hembuskan, ia tak mau cari ribut, tapi kenapa orang-orang sering sekali mencari gara-gara dengannya?
"Heh jelek, dari mana Lo bisa punya keberanian buat suka sama dia?" Dua teman Lily mendekat, berdiri mengapit Jasmine yang masih bertahan duduk di kursi.
"Jawab! Lo bisu?" Sentak Lily.
"Lily, suka atau enggak, itu kan urusan aku. Itu juga hak aku, gak ada hubungannya sama kamu," jawab Jasmine, ia masih berusaha tenang.
"Kurang ajar Lo yah! Berani Lo sama gue, hah?! Alder itu cowok gue, gue gak terima kalau cewek dekil kaya Lo suka sama dia. Aib banget!"
"Tapi setahuku dia jomblo. Gak ada larangan juga buat siapapun suka sama dia, iya kan?"
Lily mengepalkan tangannya, ternyata Jasmine berani menjawabnya. Dengan kasar ia meraih kotak bekal di atas meja, lalu melemparnya ke lantai. Isinya berserakan di mana-mana, "Rasain Lo!" Hardiknya.
Jasmine yang masih terkejut hanya bisa terpaku, menatap bekal yang di siapkan Mamanya dengan penuh kasih sudah berserakan di atas lantai.
Hatinya sakit, Mamanya berjuang keras untuk mendapat secuil beras, banting tulang mencari uang agar bisa memberikannya makanan lezat, dan sekarang makanan itu berserakan dan kotor.
"Kamu keterlaluan, Lily!" Pekik Jasmine, air matanya menetes begitu saja. Hinaan bisa ia terima, tapi jika menyangkut sang Mama, ia tak bisa terima.
Lily justru tertawa lalu pergi begitu saja, meninggalkan Jasmine yang tampak berjongkok dan mulai membersihkan bekalnya.
"Mama, nasinya tumpah," Jasmine terisak, rasa lapar yang semula seperti mendemonya kini meluap sudah, terbuang bersama bekal yang juga terbuang sia-sia.
Tak tega rasanya membuang nasi itu, seperti membuang keringat hasil kerja keras yang sudah Mamanya keluarkan untuknya. Namun nasi itu sudah kotor, tak bisa ia makan lagi.
Berjalan keluar kelas dengan membawa nasi yang sudah ia kumpulkan, ia pun membuangnya ke tong sampah dengan hati yang berat.
Ekor matanya menangkap sosok pemuda yang selama ini menjadi penyemangatnya di sekolah, Alder.
Waktu serasa terhenti saat pemuda itu berjalan menuju lapangan. Dari gerombolan yang mengikutinya, hanya dia yang terlihat menonjol dengan segala kelebihannya juga kesempurnaannya.
Seperti ada angin segar yang menyapu wajahnya, Jasmine terpana, matanya bahkan tak dapat berkedip. Gadis gembul itu mengembangkan senyum saat tatapannya bertemu dengan mata elang Alder. Namun tak ada balasan senyum dari pemuda itu, Alder tampak dingin dan memalingkan wajahnya.
Gerakan lihainya ketika bermain basket semakin menyihir Jasmine, ia terpaku tak bergerak melihat kemahiran Alder di lapangan sana. Sampai ketika sesuatu jatuh dari atas sana.
BYUR
Jasmine tergagap mengusap wajahnya yang basah, ada yang menyiramnya dengan air dari lantai atas. Ia pun menengadah, mencari tahu siapa yang sudah melakukan itu padanya, sengaja atau tak sengaja?
Ia jadi bahan tertawaan orang, semua orang mulai berkerumun melihatnya. Seperti melihat pertunjukan gratis, mereka tampak tertawa puas.
Jasmine melihat ke sekeliling, tak ada satu orang pun yang bersimpati padanya, mereka semua menertawakannya.
"Astaga, tutupin itu badan Lo. Lempernya keliatan Neng.."
"Heh, siapa sih yang jahat banget sama dia? Kenapa nyiramnya gak pake air selokan aja sekalian?"
"Hahaha, lontong.."
Dan masih banyak lagi hinaan dan olokan yang Jasmine dengar. Tanpa mengatakan apapun, ia berlari menuju toilet, bajunya yang basah mencetak jelas bentuk tubuhnya yang gempal.
Yang lebih menyakitkannya lagi, Alder juga melihatnya. Seperti biasa, pemuda itu bersikap masa bodo dan acuh. Tapi entah mengapa, kali ini Jasmine merasa kecewa padanya. Ia berharap Alder mau sedikit menaruh rasa simpati untuknya, tapi ternyata tidak.
"Mimpi kamu Jasmine, mana mau dia tolong kamu," gerutu Jasmine dalam hati.
Ia semakin berlari, dalam situasi seperti ini, ia merasa jarak ke toilet sangat jauh. Padahal toilet tak pernah pindah kemana pun.
***
Kejadian demi kejadian buruk Jasmine alami, ia lewati dalam diam. Tanpa berani melawan, tanpa berani memprotes.
Ia bertahan di sekolah itu hanya demi Alder yang bahkan tak menganggapnya ada. Semangatnya hanya ada pada pemuda itu, meski nyaris tiga tahun mendapat berbagai tekanan, Jasmine tetap bertahan.
Hingga kegaduhan pagi tadi membuat Jasmine menyerah dan meminta Dahlia memindahkan sekolahnya.
Keputusan besar Dahlia ambil setelah mendengar cerita Jasmine tentang sekolahnya selama ini. Dahlia tak hanya akan memindahkan sekolah Jasmine, tapi juga tempat tinggal mereka.
Ia merasa gagal menjaga putri semata wayangnya, Dahlia tak tahu apa saja yang Jasmine alami selama ini. Ia ibu yang buruk, ia kecolongan. Melihat air mata putrinya terus menetes, hatinya sungguh sakit, "Mama gagal jaga kamu, Nak..." Batinnya.
Jasmine pasti merasa sendiri, gadis itu tak pernah membagi kesedihannya pada siapapun. Dan Dahlia tak pernah mencari tahu tentang keseharian putrinya di sekolah. Ia kira Jasmine dan sekolahnya baik-baik saja, ternyata sebaliknya.
"Mama..." Pekik Jasmin, ia sontak bangun lalu duduk dengan nafas tersengal. Sesak, setiap kali mimpi itu datang, dadanya terasa sangat sesak.
Tak lama, pintu kamar terbuka, wanita paruh baya yang masih terlihat cantik itu datang dan segera memeluknya, "Mimpi lagi?" Tanyanya dengan lembut.
Jasmine mengangguk, tatapannya kosong, seperti tengah melihat kembali kejadian Lima tahun yang lalu. Kejadian buruk yang sampai saat ini membekas dan meninggalkan trauma dalam dirinya.
Kejadian yang membuatnya memutuskan untuk pindah sekolah bahkan pindah tempat tinggal. Beruntung sang ibu terus mendukungnya, terus menguatkannya dan terus berusaha membuatnya bangkit.
"Tenang ya sayang, itu sudah berlalu. Itu hanya mimpi," ucap Dahlia.
"Ma, aku haus," lirih Jasmine, nafas yang tersengal membuat tenggorokannya kering.
Dengan sigap Dahlia mengambilkan putrinya segelas air yang selalu ia siapkan di atas nakas, "Pelan-pelan, Nak.." pintanya saat Jasmine minum dengan terburu-buru.
"Mama temenin kamu tidur, ok?"
Jasmine mengangguk, ia kembali merebahkan dirinya. Sekilas ia melirik jam dinding yang suara ketukannya seperti tengah menertawakannya. Pukul Dua dini hari, mimpinya sudah mengganggu tidur sang mama.
"Cepat tidur, besok kamu kerja kan?" Dahlia mengusap puncak kepala Jasmine, gadis itu mengangguk lalu memejamkan matanya, mencoba kembali menyelami alam mimpi yang terkadang menakutkan untuknya.
Lima tahun berlalu, namun bayangan saat ia di kerumuni teman-teman sekolahnya sering kembali datang dan menghantuinya. Kejadian yang tak akan bisa ia lupakan seumur hidupnya, masa sekolah yang harusnya indah justru meninggalkan sebuah trauma.
Jika mengingat hal itu, Jasmine kerap tiba-tiba menangis dan mengurung diri di dalam kamar, dan Dahlia yang mengerti keadaan putrinya selalu membiarkannya sendiri untuk beberapa saat. Sampai gadis itu kembali tenang dan keluar kamar dengan sendirinya.
Kejadian di masa lalu itu juga lah yang membuat Jasmine tak lagi percaya pada cinta, menghapus cinta dari list hidupnya. Tujuannya kini hanya uang dan uang, untuk memenuhi kebutuhannya dan sang mama juga membahagiakan perempuan itu.
Jasmine yang gendut, hitam dan kumal kini bekerja di sebuah perusahaan yang bergerak di bidang kecantikan. Sejak bekerja juga lah sedikit demi sedikit ia menggebrak perubahan dalam dirinya.
Jasmine yang dulu berbeda dengan Jasmine yang sekarang. Tubuhnya yang gendut mulai menyusut dan membentuk. Gadis itu meluapkan amarahnya dengan berolahraga. Kadang lari, kadang juga belajar senam dari yutub.
***
"Pagi Jasmine,"
Jasmine tersenyum, menganggukkan kepala untuk membalas sapaan teman sekantornya.
"Seperti biasa, kamu nyegerin Jasmine, pagi ini malah lebih seger dari biasanya," celetuk salah seorang pria yang setiap hari tak bosan menggodanya.
Tanggapan Jasmine hanya tersenyum, Jasmine tak suka di rayu, tapi ia juga tahu bahwa ia tak bisa menghentikan mereka. Kecuali mereka sendiri yang berhenti merayunya dengan kesadaran sendiri.
Berpenampilan menarik, pasti lah semua orang terpana. Pandangan tertuju padanya, padahal pakaian yang ia pakai pun terbilang sopan alias tertutup. Tapi tentang Jasmine, selalu menarik hati yang memandang.
Kehadirannya bagai magnet, mampu menyedot perhatian semua orang yang di lewatinya. Memakai riasan tipis, Jasmine tampak cantik natural.
"Mbak Jasmine, di tunggu pak Han di ruangannya, katanya ada hal penting," kata Ria, salah satu teman satu divisinya.
Jasmine mengerutkan dahi, "Ada apa yah?" Gumamnya.
Ria menggeleng, "Gak tahu juga mbak, tapi katanya penting. Makanya dia manggil mbak pagi-pagi."
"Ya udah deh, aku ke atas dulu yah. Makasih, Ria."
Ria mengangguk, melanjutkan niat awalnya menuju pantry untuk membuat kopi. Sedangkan Jasmine, ia memasuki lift menuju ruangan General Manager.
Tak biasanya Pak Han datang pagi-pagi sekali, itu artinya, hal yang akan disampaikannya pada Jasmine memang sangat penting.
Perasaan ia tak mempunyai kesalahan, target pemasaran pun ia capai melebihi nilai dan poin yang di tentukan. Lalu ada apa?
Terus menebak-nebak, sampai tak sadar lift sudah berhenti dan tiba di lantai yang Jasmine tuju. Bergegas Jasmine keluar, berjalan cepat menuju ruangan GM.
Ternyata Pak Han memang sudah menunggunya, terbukti dari kalimat pertama yang menyambut kedatangannya di ruangan itu.
"Syukurlah kamu sudah datang, saya sudah tidak sabar mau menyampaikan kabar ini sama kamu. Duduklah," pintanya.
Dari reaksi dan raut wajah sumringah Pak Han, sepertinya bukan teguran atau hukuman yang membawa Jasmine ke ruangan itu.
"Ada apa Pak? Apa saya membuat kesalahan?" Tanya Jasmine.
"Ah, tidak tidak tidak. Sebaliknya dari itu, jangan tegang," ujar Pak Han seraya terkikik. Pria tua baik hati itu lah yang selalu mendukung Jasmine, memberi motivasi dan semangat agar Jasmine berubah menjadi sosok yang berbeda dan lebih baik dari sebelumnya.
Jasmine mengatur nafas, ia mencoba tersenyum. Entah mengapa, jantungnya berdebar-debar.
"Sudah siap mendengar kabar menggelegar ini?"
Jasmine mengangguk, menunggu Pak Han dengan tak sabar.
"Kabar menggelegarnya adalah," jeda, Pak Han dengan sengaja menggoda Jasmine.
"Pak, lama-lama saya jantungan ini. Ada apa Pak?"
Pak Han tertawa, lalu berdehem dan kembali melanjutkan ucapannya, "Kamu terpilih sebagai karyawan terbaik yang mendapat kesempatan di promosikan naik jabatan di kantor pusat, Jasmine. Menggelegar kan?" Pekik Pak Han di akhir kalimatnya.
Jasmine membulatkan mata, tak percaya ia bisa mendapat kesempatan sebaik ini.
"Pak Han serius? Ya Tuhan, ini kabar bahagia Pak.." Jasmine sama memekiknya, perjuangannya tak sia-sia, kerja keras dan nyaris setiap hari lembut ternyata membuahkan hasil.
Benar kata pribahasa, usaha tidak akan mengkhianati hasil. Jasmine sudah membuktikannya.
"Besok saya antar kamu ke Jakarta, dan kita akan..."
"Jakarta?" Potong Jasmine, ia baru tahu kantor pusat perusahaan tempatnya bernaung ternyata di Jakarta, kota yang sudah menorehkan banyak luka di hatinya, kota yang membuangnya.
Siapkah dia kembali? Sedangkan Surabaya sudah menjadi kota ramah yang menerimanya selama ini. Kota yang memberinya harapan dan semangat baru, dengan orang-orang yang menerimanya apa adanya.
"Ada apa Jasmine?" Tanya Pak Han, "Kenapa kamu seperti tidak senang?"
Jasmine menunduk, meremas jemarinya sendiri. Pak Han memang berperan penting dalam perubahan hidupnya, tapi pria tua itu tak tahu kisah masa lalunya, di balik perubahan itu ada kisah menyedihkan dan menyakitkan yang sangat ingin Jasmine kubur dalam-dalam.
"Pak, kayanya saya tidak siap. Lebih baik bapak merekomendasikan orang lain untuk pergi ke sana," cicit Jasmine. Ini cita-citanya, kariernya bagus dan ia bisa lebih membahagiakan Dahlia, tapi kenapa harus Jakarta? Dari sekian banyaknya kota, kenapa harus Jakarta?
"Loh loh loh, tunggu dulu. Ada apa ini, Jasmine? Ini kan cita-cita kamu, bukan hanya kamu saja yang menginginkan posisi ini, tapi semua karyawan pasti menginginkannya. Kenapa kamu justru mundur sebelum mencoba?"
Jasmine tertunduk, bingung harus menjelaskannya dari mana. Tapi untuk saat ini, ia benar-benar tak ingin kembali ke ibu kota.
"Jasmine, saya tidak tahu apa yang kamu alami selama kamu tinggal di sana, apakah bahagia atau sebaliknya. Saya tahu, pasti ada alasan yang kuat yang membuat kamu mundur. Tapi pikirkanlah dulu, jangan terburu-buru mengambil keputusan, perusahaan pusat memberi kamu waktu tiga hari, setelah tiga hari kamu harus memutuskannya. Pikirkanlah baik-baik, ini kesempatan emas, dan kesempatan emas tidak datang dua kali. Tapi apapun itu, saya akan mendukung kamu. Keputusan ada di tangan kamu, kamu yang akan menjalaninya, jadi saya serahkan semuanya sama kamu."
Jasmine mendongak, menatap Pak Han dengan mata berembun, ia begitu bersyukur bertemu dengan Pak Han, seseorang yang sudah memberinya kesempatan bekerja di sana di saat semua orang meragukannya.
Saat ia melamar bekerja di perusahaan itu, ia masih kuliah. Semua orang meragukannya saat itu, selain karena belum mempunyai pengalaman bekerja dan ijazah Universitas, penampilannya juga menjadi penilaian pertama untuk mereka menerima Jasmine.
Bagaimana tidak, perusahaan itu adalah sebuah perusahaan yang bergerak di bidang kosmetik, skincare dan peralatan kecantikan lainnya. Tentu yang bekerja di sana harus berpenampilan menarik dan cantik, apalagi saat itu Jasmine melamar sebagai marketing pemasaran, yang mau tak mau harus bertemu banyak konsumen secara langsung.
Konsumen rata-rata akan menilai dari penampilan marketing terlebih dahulu, apakah kosmetik yang di pasarkan bagus dan berhasil di pakai pegawainya sendiri? Sedangkan saat itu Jasmine masih bertubuh gemuk, hitam dan kumal.
Nyaris semua orang penting di perusahaan menolak, hanya Pak Han yang memberinya kesempatan. Pak Han juga yang meyakinkan rekan-rekannya bahwa ia akan berhasil merubah Jasmine, membuat gadis itu cantik dan sukses dalam kariernya. Hal itu terbukti sekarang, namun Jasmine justru mundur.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!