NovelToon NovelToon

My Daddy, My First Love

Bayi Tabung

Di usianya yang ke-30 tahun, Vania tengah kalut memikirkan nasib hidupnya, lantaran terus menerus mengisolasi diri dari pergaulan dunia luar yang menurutnya hanya membuang-buang waktu percuma, sehingga memilih untuk menyibukkan diri. Terlebih Ia merupakan seorang wanita karir yang sudah sangat sukes, dan mapan secara finansial, serta mampu membeli mulut orang-orang yang pernah mencampakkannya.

Namun, ia memiliki teruma dalam percintaan, ia enggan membuka hatinya kepada pria manapun setelah beberapa kali mengalami patah hati.

"Tiap kali membuka hati, aku selalu berlabuh pada pria yang salah!" Vania tersenyum miring atas nasib asmaranya yang selalu gagal.

4 Kali merasakan jatuh cinta, dan 4 kali juga hatinya patah karena sebuah pengkhianatan, ia berpikir laki-laki semua sama saja, tidak ada benar-benar tulus, selalu saja mendua.

Di satu sisi, ia tak ingin hidup tua dalam keadaan sendiri, maka dari itu ide gila muncul di pikirannya.

Ia memutuskan untuk menjalankan program bayi tabung dan membeli bibit, akan tetapi ia musti memilih pria mana yang benihnya layak membuahi sel telur miliknya, tentu ia tak akan memilih sembarang pria.

Dengan gesit, ia menyebarkan ide gilanya itu di sebuah situs internet, serta memasang tarif tinggi bagi siapa saja yang ingin mendonorkan bibitnya.

Tak butuh waktu lama, beberapa pesan masuk, mereka menawarkan diri berikut biodata dan te tek bengeknya untuk meyakinkan Vania.

Wanita itu membandingkan wajah dan fisik mereka, hingga pilihan hatinya tertuju pada seorang pria muda berparas rupawan, ia bernama Hans Hernandez. Pemuda itu masih berusia sangat muda, tetapi tentu saja ia sudah bisa menghasilkan bibit unggul yang berkualitas dalam tubuhnya.

Setelah melewati beberapa sesi tanya jawab lewat video call, keduanya sepakat untuk mengadakan janji pertemuan besok.

Vania sangat teguh dengan keputusannya meskipun mungkin ia akan menuai kritikan dari hasil yang di dapat. Ia tetap percaya bahwa ini adalah langkah yang tepat baginya untuk mendapatkan kebahagiaan yang selama ini ia cari.

...

Malam itu, ia mengajak Hans untuk bertemu di sebuah restoran berbintang, dan tentunya menyewa tempat VVIP. Ia datang terlebih dulu untuk berbicara private dengan pria muda tersebut.

Beberapa kali, ia melirik jam tangannya, berharap Hans tak mengingkari janji pertemuan yang sudah mereka sepakati.

"Dia bakalan datang tidak, ya?" kecemasan tergambar jelas di wajah Vania pada saat itu.

Sedangkan, Hans merasa sudah telat setengah jam dari jadwal yang sudah di janjikan dengan Vania. Bukan karena sengaja, akan tetapi ia harus bermacet-macetan saat mengendarai angkutan umum, karena Hans merupakan seorang pemuda yang kehidupan ekonomi keluarganya pas-pasan, terkadang juga kekurangan, itu sebabnya Hans menerima tawaran dari Vania untuk menjual bibit miliknya agar ia mendapat uang dari hasil tersebut.

Meski Hans memiliki fisik yang sempurna dan berparas rupawan, nyatanya berbanding terbalik dengan nasib kehidupannya, ia kerap kali mendapat cemoohan dari teman-teman dan orang sekitar karena miskin.

Tak beberapa lama, ia tiba di lokasi yang sudah di share oleh Vania.

Pemuda tampan itu mengedarkan pandangan kesekelilingnya, ia terlihat kebingungan untuk mencari wanita dewasa itu.

Segera meraih ponsel di saku celananya untuk mengabari wanita tersebut, akan tetapi kuota internetnya habis, ia menggerutu kesal.

Sementara Vania yang sudah menunggunya terlalu lama, memutuskan untuk pulang sesudah membayar bill minuman yang sudah ia pesan, mengira jika Hans hanya iseng, alhasil ia mengumpat di sepanjang langkah.

"Dasar bocah tidak jelas!" umpat Vania, sampai di depan restoran ia berpapasan dengan Hans, mereka saling melayangkan pandangan selama beberapa detik.

"Aku seperti mengenalnya," gumam Vania, begitu juga dengan Hans, karena mereka sempat bertatap muka lewat daring.

"Eh, tunggu!" Wanita itu mundur beberapa langkah untuk memastikan jika itu adalah pemuda yang sedari tadi ia tunggu.

"Kamu Hans, kan?" tunjuknya, diangguki oleh pemuda tersebut.

"Ya betul."

"Maaf kalau saya terlambat, soalnya saya berangkat menggunakan kendaraan umum jadi sedikit kendala," terang lelaki muda tersebut, Vania memakluminya.

"Mari, ikuti saya ke dalam!" wanita itu memandunya masuk kembali ke dalam restoran, dan untung saja tempat yang semula ia diami masih belum ada yang booking sehingga ia menyewa ulang ruangan VVIP di restoran tersebut.

"Silahkan duduklah!" titah Vania dengan sopan, bahkan ia menatap penampilan Hans dari ujung kepala hingga ke ujung kaki.

"Sayang sekali, sebenarnya dia ini sangat tampan hanya saja tertutupi dengan penampilannya yang culun dan kuno," batin Vania. Sementara, sedari tadi Hans hanya menunduk seakan canggung berhadapan dengan wanita yang berusia terpaut jauh darinya, sangat jomplang sekali dengan usianya yang masih lim* belas tahun.

Vania menawarkan minuman dan makanan lezat, dan tentunya sangat mahal kepada Hans.

"Silahkan kamu pilih saja apa yang kamu mau." ia menyodorkan daftar menu pada pemuda tersebut.

"Maaf tidak perlu, Tante," tolaknya.

Mendengar panggilan 'Tante' oleh Hans, Vania merasa jika dirinya sudah sangat tua, ia menjadi geli sendiri dibuatnya.

Namun, ia berusaha untuk tak mempermasalahkan, yang terpenting bagi Vania adalah bisa mengandung benih dari Hans tanpa terjalin ikatan apapun.

"Ayo, tidak usah sungkan, karena saya yang akan membayarkan semua untukmu," desak Vania, Hans mengangguk lemah.

Ia menunjuk makanan dan minuman yang harganya lebih terjangkau demi menjaga adab dan etika.

Sementara itu, obrolan terus berlanjut.

"Hans, apa kamu yakin?" tanya Vania yang sedari tadi terus menatap wajahnya.

"Ya, saya sangat yakin Tante," jawab Hans merasa mantap akan keputusan yang ia ambil.

"Kamu tidak takut? Kamu ini masih sangat muda, loh," Vania kembali bertanya.

"Saya sudah pikirkan matang-matang, jadi saya siap." Hans tampak bersemangat demi uang yang akan ia dapatkan.

"Baiklah," kata Vania, hingga terjadilah obrolan yang serius.

Vania juga sudah menghubungi pihak medis untuk menjalankan misinya, dan rencana, ia akan melakukannya besok.

"Tapi saya harus tahu kondisi kesehatanmu, riwayat penyakitmu, karena saya tidak mau melahirkan anak yang cacat atau sakit!" Vania memperingatkan Hans tentang serangkaian persiapan medis yang akan di hadapi.

"Saya yakin 100 persen kalau saya ini sehat luar dalam," ujar Hans dengan mantap.

Vania mengangguk puas atas jawaban yang di berikan Hans, ia berharap rencananya untuk menjalankan proses bayi tabung akan berjalan lancar.

Setelah menghabiskan makanan dan minuman, Vania merogoh tasnya, kemudian memberikan uang cash kepada Hans sebagai uang muka.

"Terimalah!" kata Vania menyodorkan amplop berisi uang, Hans menerimanya dengan senyum lebar.

"Itu baru DP! Kalau saya berhasil hamil, maka saya akan bayar kamu sesuai dengan perjanjian," lanjutnya, Hans mengangguk cepat sebagai tanggapan.

Ia berpikir, jika memiliki banyak uang, ia bisa membayar tunggakan sekolah, membeli apa saja yang ia inginkan, dan tentu saja ia ingin menabung untuk melanjutkan kuliahnya nanti.

"Ya, terimakasih Tante," ucap Hans.

"Sama-sama, ingat! Saya tunggu kamu besok jam 2 siang di Rumah Sakit Sentosa!" pesannya agar Hans tak sampai ingkar atau telat.

"Baiklah Tante, saya akan usahakan datang sepulang dari sekolah," jawabnya.

...

Setelah itu pertemuan berakhir, Vania tak sabar menunggu hari esok.

Ia terus menjalin komunikasi dengan Heru, kawannya yang merupakan seorang dokter spesialis OBGYN.

......................

Pagi itu, Vania menemui Heru di ruang tunggu rumah sakit, mencoba menyelipkan konsultasi di antara jadwal sibuknya.

"Vania, apa kamu yakin dengan keputusanmu? Aku khawatir itu terlalu ekstrem," ucap Heru, menunjukkan kekhawatiran atas pilihan Vania yang dianggapnya radikal untuk mendapatkan keturunan, terutama dengan menggunakan benih seorang pria yang masih sangat muda.

Vania menatap Heru dengan mantap.

"Aku yakin ini adalah jalan terbaik bagiku. Aku tak ingin menunggu lama untuk mendapatkan kebahagiaan yang kuinginkan," jawab wanita tersebut dengan tegas.

Heru mencoba meyakinkan kembali,

"Tapi, Vania, tidakkah lebih baik jika kamu menjalani kehidupan yang lebih normal, menikah, untuk memiliki keturunan secara alami."

Tapi Vania sudah kehilangan kesabaran, ia menggeleng tegas akan prinsip untuk tidak menikah seumur hidupnya, karena benar-benar teruma terhadap hubungan. "Aku tak butuh saranmu, Heru! Aku tahu apa yang terbaik untuk diriku sendiri," katanya, dengan nada yang sedikit kesal, mengakhiri percakapan dengan Heru.

"Kalau kamu tidak bisa membantu, bilang saja! Aku bisa mencari dokter lain, kok!" Vania bangkit dari kursinya, wajahnya kesal karena malas untuk berdebat lebih lanjut dengan lelaki tersebut.

"Vania, tunggu!" teriak Heru memanggil, berusaha mengejar langkahnya.

"Apa?" tanya Vania, suaranya penuh dengan nada sombong.

Heru menarik nafas dalam-dalam sebelum berkata, "Aku bersedia menjadi suamimu. Aku ingin menikah denganmu, dan kita bisa mendapatkan keturunan bersama."

Vania tersenyum sinis, tidak percaya atas apa yang didengarnya, semua itu terdengar seperti sebuah lelucon.

"Hah? Apa yang kamu katakan? Kamu menawarkan pernikahan padaku? Jangan harap! Dasar gila!" Ia meninggalkan Heru dalam keheningan, langkahnya mantap menuju pintu keluar untuk mencari dokter lain yang bisa ia ajak bekerja sama.

Setelah berbagai upaya, akhirnya Vania mendapatkan seorang dokter lain yang bersedia membantu untuk memproses bayi tabung sesuai dengan keinginannya.

"Terima kasih atas kerjasamanya," ucap Vania sambil berjabat tangan dengan dokter Derbi yang akan menanganinya nanti siang.

...

Siang itu, setelah pulang sekolah, Hans memenuhi janjinya dengan Vania. Mereka bertemu dan Vania memandunya untuk bertemu dengan dokter Derbi. Di sana, Hans menjalani serangkaian prosedur pemeriksaan khusus sebelum proses dimulai.

Vania tersenyum lega ketika mengetahui bahwa Hans tidak memiliki riwayat penyakit yang dapat mengganggu proses bayi tabung. Ia semakin semangat untuk menjalani proses ini bersama Hans.

Setelah pemuda itu lolos dari serangkaian pemeriksaan kesehatan, proses bayi tabung Vania pun dimulai. Dokter Derbi dan tim medisnya bekerja keras untuk memastikan semua berjalan lancar.

Pertama-tama, wanita itu menjalani prosedur stimulasi ovarium untuk merangsang produksi telur yang lebih banyak dari biasanya.

Sesudah itu, dokter melakukan pengambilan sel telur melalui prosedur yang disebut puncture ovarium. Sel telur yang berhasil diambil akan dibuahi dengan benih Hans dalam laboratorium, dalam proses yang disebut fertilisasi in vitro (IVF).

Setelah telur berhasil dibuahi, embrio yang terbentuk akan dipantau dengan cermat selama beberapa hari di laboratorium.

Ketika embrio telah mencapai tahap yang tepat, dokter akan memindahkan satu atau beberapa embrio ke rahim Vania melalui prosedur yang disebut transfer embrio.

Setelah transfer embrio, Vania harus istirahat dan menjaga kondisi tubuhnya agar embrio dapat menempel dengan baik di rahimnya. Proses ini membutuhkan ketelatenan dan perhatian yang besar dari Vania dan tim medis.

Setelah proses transfer embrio, Vania harus melakukan tes kehamilan untuk memastikan apakah proses bayi tabung berhasil.

...****************...

Beberapa minggu kemudian, saat Vania bangun tidur, dia merasakan kebas di pinggangnya, disusul dengan mual yang mulai merajalela dan pusing yang menyiksa.

"Aduh!" keluhnya, namun segera tersenyum dalam hati.

"Apakah ini pertanda bahwa aku hamil?" batin Vania penuh harapan. Tanpa bisa menahan keingintahuannya, dia meraih testpack dari dalam laci nakas dan segera melakukan pengecekan.

Setelah melihat hasil testpack dengan dua garis, Vania tidak bisa menahan kegembiraannya. Rencana untuk mengandung benih Hans akhirnya berhasil. Dia berharap anak yang dikandungnya nanti akan sehat, sempurna, dan rupawan seperti Hans.

Dengan penuh sukacita, Vania segera memberitahu Hans tentang kabar bahagia. Setelah itu, dia memenuhi janjinya untuk membayar semua yang sudah disepakati. Meskipun begitu, mereka berdua sepakat untuk tidak kembali terlibat komunikasi dalam bentuk apapun setelah ini.

...

Bersambung...

Kelahiran bayi

Vania memutuskan untuk tinggal di Amerika setelah mengetahui bahwa dia tengah mengandung, untuk menghindari cemoohan dan gosip yang mungkin terjadi. Sementara itu, Hans tersenyum bahagia saat menerima pembayaran dari Vania, yang tentu saja nominalnya tidak sedikit.

Pada sore itu, Vania mempersiapkan keberangkatannya menggunakan jet pribadi. Dia hidup sebatang kara setelah kematian kedua orangtuanya meninggalkan kekayaan yang melimpah. Hal ini membuatnya sulit menemukan pria yang tulus, karena kebanyakan pria datang hanya untuk memanfaatkan kekayaannya, yang akhirnya berujung pada pengkhianatan. Oleh karena itu, ia merasa bahwa memiliki anak melalui proses bayi tabung adalah cara terbaik baginya untuk mendapatkan keturunan tanpa harus terlibat dalam perasaan dan hubungan yang rumit.

Vania menatap dirinya di depan cermin, merasa begitu anggun dan memesona.

Setelah memasukkan pakaiannya ke dalam koper, Vania segera bersiap-siap untuk berangkat.

Di saat yang bersamaan, Heru beberapa kali mencoba menghubunginya setelah mengetahui rencana Vania untuk pergi ke Amerika, wanita itu tidak menyadari bahwa Heru sebenarnya adalah lelaki yang tulus dan telah mendambakan dirinya sejak mereka duduk di bangku SMA. Bagi Vania, Heru hanyalah seorang sahabat dan tidak lebih dari itu.

Meskipun Vania tidak merasakan hal yang sama terhadap Heru, lelaki itu tidak pernah menyerah dan terus menerus menelponnya. Secara terpaksa, Vania akhirnya menjawab telepon dari Heru dengan sedikit kekesalan.

"Astaga! Untuk apa dia meneleponku lagi?" batin Vania sambil menggeser layar ponselnya untuk menjawab panggilan dari Heru.

"Van, aku mohon, tetaplah tinggal di sini. Aku tidak ingin kehilanganmu, aku sangat mencintaimu, Vania," ungkap Heru dengan tulus di seberang telepon, namun kata-katanya tidak mampu membangkitkan perasaan yang sama dari Vania.

"Hanya itu? Aku pikir penting menjawab telpon darimu! Sudahlah, jangan menggangguku lagi. Aku tidak butuh cinta darimu, Heru! Makan tuh cinta!" umpat Vania dengan nada kesal sebelum mematikan obrolan sepihak dengan Heru. Kemudian, Vania segera meninggalkan Mansion mewahnya, karena sopir yang akan mengantarkan ke bandara internasional Jakarta sudah menunggu dengan sabar.

Vania melangkah dengan gerakan yang anggun, mencerminkan sosok wanita berkelas yang telah mencapai karir cemerlang. Sebagai seorang CEO di perusahaan perhiasan ternama yang didirikan di Amerika Serikat, Vania memutuskan untuk fokus pada karirnya daripada harus sibuk memikirkan cinta yang hanya akan membawanya masuk ke dalam jurang nestapa. Meskipun di lubuk hatinya ia juga memendam rasa yang sama terhadap Heru, namun ia harus menjaga hati dan harga dirinya dari kemungkinan buruk yang mungkin terjadi.

"Maafkan aku, Heru. Tak seharusnya aku bersikap kasar padamu," batin Vania ketika berada di dalam mobil. Kendaraan itu melaju meninggalkan kenangan manis yang mungkin sulit untuk terlupakan.

Sampai akhirnya ia tiba di bandara internasional Jakarta, dan menjalani serangkaian proses pemeriksaan bagasi dan imigrasi. Meskipun menggunakan jet pribadi, Vania tetap mematuhi prosedur di bandara.

Setelah melewati semuanya, langkahnya tetap anggun sambil mendorong koper menuju landasan pesawat. Ia tersenyum melihat pesawatnya terparkir dengan gagah di sana.

Langkah Vania menapaki anak tangga pesawat satu per satu menuju kabin mewah tersebut. Ia disambut oleh beberapa pramugari yang siap memenuhi semua kebutuhannya selama perjalanan.

Singkat cerita, pesawat mendarat dengan sempurna di Bandara Internasional John F. Kennedy di New York City, Amerika Serikat.

Vania tinggal di sebuah unit apartemen mewah di New York City, memenuhi semua kebutuhannya seorang diri. Ia sangat bangga menjadi wanita yang pintar dan mandiri, tidak perlu meminta bantuan kepada laki-laki.

Kini, Vania harus menjalani hari-harinya dalam keadaan hamil sambil tetap menggeluti profesinya. Meskipun begitu, ia tidak pernah melupakan pentingnya memberikan nutrisi bagi calon buah hati yang sedang tumbuh dan berkembang di rahimnya.

Beberapa bulan berlalu, perut Vania semakin bertambah besar. Meskipun ia sudah melupakan Hans, pemuda yang telah memberikan bibitnya, kepada Vania, ia dan Hans hanyalah dua orang asing yang tak memiliki urusan satu sama lain setelah proses bayi tabung selesai.

...****************...

Beberapa bulan kemudian...

Hingga suatu saat, Vania merasakan keram yang luar biasa di perutnya. Merasakan tanda-tanda bahwa persalinan akan segera terjadi, ia dengan langkah tergopoh-gopoh menggunakan lift menuju basement untuk mengendarai mobilnya.

"Apa kau butuh bantuanku?" tawar Johnson dengan bahasa lokal yang sopan. Vania menggeleng cepat, tetap mempertahankan image keangkuhannya pada pria manapun.

"Maaf! Aku bisa melakukannya seorang diri!" jawabnya, sementara ketuban sudah mulai pecah membasahi kakinya. Meskipun beberapa orang menawarkan bantuan, Vania tetap bersikeras merasa bisa melakukan segalanya sendiri. Namun, ia semakin tak berdaya dan akhirnya pingsan. Johnson segera menanganinya, membawa Vania ke sebuah rumah sakit agar mendapatkan pertolongan medis untuk proses persalinannya.

Setelah beberapa jam berjuang, Vania akhirnya bisa merasakan lega yang mendalam saat mendengar suara tangisan bayi. Ia merasa sangat bersyukur karena melahirkan secara normal tanpa kendala.

"Selamat, bayi Anda perempuan, sehat dan cantik," ujar Dokter Scott, yang telah membantunya melahirkan.

"Terima kasih," ucap Vania dengan suara yang penuh haru atas kelahiran putri kecilnya.

Beberapa tim medis bergerak dengan cekatan untuk membersihkan bayi yang baru dilahirkan oleh Vania. Setelah semuanya selesai, Dokter Scott memberikan bayi itu ke pangkuan ibunya untuk diberi ASI eksklusif.

Vania tidak henti-hentinya mencium bayinya.

"Mommy sangat bahagia dengan kehadiranmu, sayang," ungkap Vania dengan tulus kepada bayi perempuannya.

Bayi itu merenggangkan bibirnya kepada sang bunda.

"Mommy akan memberikan kamu nama Sena Adelia, nama yang cantik, bukan? Persis seperti wajahmu, Nak," ucap Vania sambil mengecup kepala Sena penuh kasih sayang.

Setelah melewati perawatan selama beberapa waktu, Vania memutuskan untuk kembali ke unit apartemennya untuk merawat bayinya di sana. Ia selalu memberikan perhatian dan kasih sayang agar Sena berkembang sehat setiap detiknya.

Semua ini seperti anugerah terbesar bagi Vania, bisa memiliki seorang putri tanpa harus menikah dan bersuami. Ia sangat menikmati momen berharga sebagai seorang ibu sekaligus ayah bagi Sena.

Meskipun wajah Sena sangat mirip dengan Hans, Vania sudah melupakan pemuda tersebut dan tidak ingin mengingatnya lagi sampai kapanpun.

Suatu ketika, Heru menghubunginya kembali. Heru sudah tahu bahwa Vania telah memiliki seorang putri setelah melihatnya di media sosial. Lelaki itu juga mengetahui bahwa bayi tersebut merupakan hasil dari program bayi tabung yang pernah Vania jalani beberapa bulan lalu. Ia sangat menyayangkan tindakan Vania karena akan sangat berisiko di masa depan.

"Bayimu cantik ya," puji Heru melalui panggilan telepon. Meskipun di lubuk hatinya, Vania juga sangat merindukan Heru, namun semua tertutupi oleh egonya.

"Ya, terima kasih, Her," jawab Vania datar.

"Vania, sebaiknya kamu memberi tahu Sena ketika ia sudah besar mengenai siapa ayahnya, untuk kebaikannya juga," kata Heru menasihati dengan bijak.

"Untuk apa, hah? Apakah itu penting? Aku tidak mau memberitahu putriku tentang Ayahnya yang masih bocah ingusan itu!" cela Vania, yang enggan mendengar nasihat Heru.

"Kalau dipikir-pikir lucu juga! Mungkin Sena dan ayahnya seperti kakak beradik," lanjut Vania, yang membayangkan usia Hans dan Sena yang tidak terlalu jauh hanya berbeda 16 tahun.

Heru tak pernah berhenti menasihati Vania meski wanita itu tetap keras kepala.

"Ah, sudahlah, aku muak berbicara denganmu!" Vania mematikan obrolan sepihak, fokusnya tetap pada Sena yang tengah menangis dalam gendongannya.

"Uh, sayang, ini Mommy," kata Vania mencoba menghibur bayinya.

"Sayang, Mommy sangat bahagia memilikimu. Dengan hadirnya kamu dalam hidup Mommy, kini Mommy tidak kesepian lagi," celoteh Vania kepada bayinya yang belum mengerti apa-apa.

Ia membelai-belai wajah Sena yang begitu cantik, lucu, serta menggemaskan. Kelak jika Sena sudah dewasa, mungkin akan menjadi incaran banyak pria, pikir Vania. Dan ia juga ingin menjadikan Sena sebagai wanita tangguh yang tak bisa diinjak-injak oleh pria.

...

Waktu demi waktu berlalu...

Vania tak pernah lelah dalam mengurusi Sena, ia sangat bahagia menjalani hari-harinya. Membawa Sena jalan-jalan, berbelanja, sampai membawanya ke kantor.

Meski hal itu sedikit membuatnya repot, namun Vania menikmati semuanya. Di tengah jam sibuk, ia harus bangkit dari kursi kebesarannya ketika mendengar Sena menangis.

Di kantor, Vania menyiapkan kamar khusus untuk bayinya. Terdengar konyol dan nyeleneh, tetapi itulah yang Vania rasakan.

Hidup di Amerika begitu bebas, ia tak mendapat kritikan dari masyarakat perihal jalannya, dan mungkin akan kembali ke tanah air jika merasa semuanya cukup kondusif.

***

Bersambung...

I Miss U Daddy

Saat Sena menangis kencang, Vania merasa terjebak di antara jadwal meeting penting dengan seorang klien.

"Apa yang harus aku lakukan?" ia tampak sangat bingung, sementara panik mulai merayapi pikirannya. Meskipun begitu, ia tak ingin membiarkan putrinya merasa tidak nyaman, lalu memangku Sena dengan cepat untuk memberikan ASI, meski sang asisten sudah berteriak memanggil di ruangan pribadi Vania.

"Nyonya Vania, kita sudah ditunggu oleh Tuan Robert di ruang meeting, segeralah!" tegas Debora, asisten pribadi Vania.

"Baiklah, saya minta waktu untuk menyusui bayi saya, nanti saya akan menyusul," jawab wanita tersebut kepada sang asisten.

Setelah memberi ASI pada Sena, saat hendak meletakkannya kembali di box bayi, Sena terus menangis. Vania mencoba menenangkan kembali dengan memeluk tubuh mungil itu dan mengucapkan kata-kata lembut, tetapi tangisnya tak kunjung reda.

"Cup-cup-cup, Sayang Mommy disini," ucap Vania sambil menimang tubuh mungil Sena.

Vania merasa terjebak dalam situasi yang sulit dan akhirnya memutuskan untuk membawa Sena ke ruang meeting. Saat berjalan di koridor, semua staf tersenyum, namun perhatian mereka langsung tertuju pada Sena.

Ketika sampai di ambang pintu, semua mata terpaku pada Vania yang membawa bayinya. "Maaf atas kendala ini," ucap wanita tersebut dengan nada hormat di hadapan klien dan audiens.

Para hadirin saling bertatapan, namun bukannya mendapat sindiran, Vania justru mendapat pujian karena dianggap sebagai super Mom yang mampu mengatasi segala situasi dengan baik, termasuk merawat putrinya yang masih bayi, bahkan ia di banjiri tepuk tangan, membuatnya merasa amat di hormati.

"Bayi Anda sangat cantik, Nyonya Vania," puji Robert kagum dengan kemampuan Vania dalam menangani bayinya.

"Terima kasih," balas Vania dengan senyum. Meski harus membawa Sena, meeting berjalan lancar dan sukses.

Bayi mungil itu terlihat nyaman di gendongan sang bunda, senyumnya tak pernah lepas ketika Vania tengah memberikan presentasi di depan para hadirin, memperkenalkan produk perhiasan terbaru. Sesekali, suara lucu dan menggemaskan keluar dari mulut Sena, tertangkap oleh mikrofon dan mengundang tawa dari para pendengar.

"Sepertinya bayi Anda juga ingin ikut presentasi, Nyonya Vania. Dia calon pebisnis handal di masa depan!" ujar Nichole, diikuti tawa dari yang lainnya.

Vania tak henti-hentinya tersenyum, merasa gemas pada tingkah laku putrinya yang begitu menghibur dan mengesankan.

Setelah presentasi selesai, Vania mengucapkan rasa terimakasihnya kepada para hadirin dan menyelesaikan pertemuan dengan sukses. Kemudian, ia kembali fokus pada Sena yang kini tertidur pulas di gendongannya.

"Selamat ya, Nyonya Vania. Sena benar-benar anak yang luar biasa," ujar Robert dengan tulus.

"Terima kasih, Tuan Robert. Saya sangat bersyukur memilikinya," jawab Vania sambil tersenyum bangga.

Setelah itu, Vania pulang ke unit apartemennya dengan perasaan ceria dan bahagia. Ia merasa lega bisa mengatasi semua tantangan sebagai seorang ibu tunggal yang juga memiliki karir sukses. Bagi Vania, Sena adalah anugerah terbesarnya, dan ia akan selalu berusaha menjadi ibu terbaik bagi putri satu-satunya itu.

Sehabis menyusui Sena, ia membaringkan tubuh sang bayi disisinya sembari mengelus, dan mengucapkan kata-kata penuh makna. Meski Sena belum mengerti apa-apa, tetapi Vania mengajaknya berbicara layaknya orang dewasa.

"Ketahuilah, Nak. Dunia ini sangat kejam, terlebih mahkluk yang bernama 'laki-laki' Mommy ingin, jika kamu dewasa, kamu menjadi wanita yang tangguh dan mandiri seperti Mommy. Jangan mau harga dirimu di injak oleh kaum pria! Kamu harus tunjukan kalau kamu adalah wanita hebat." Vania yang masih terluka dan kecewa karena hubungan asmaranya di masalalu, ia meluapkan semua emosinya dengan cara curhat kepada Sena.

Bayi itu mengerjapkan kedua matanya sesaat, melirik wajah sang bunda, kemudian berceloteh dengan bahasa yang sulit di pahami oleh orang dewasa.

Vania tersenyum hangat sambil meraih kotak musik kecil yang menjadi favorit Sena. Saat kotak itu terbuka, suara melodi lembut mengalun, memenuhi ruangan dengan kehangatan.

Kedua tangan mungil Sena terangkat ke udara dengan gerakan-gerakan menggemaskan, sampai akhirnya bayi mungil itu kembali tertidur.

...

Beberapa tahun kemudian...

Kini sudah Sena berusia lima tahun, ia tumbuh menjadi gadis yang cantik dan pintar, menikmati hari-harinya di Taman Kanak-Kanak.

Wajahnya selalu dihiasi keceriaan, penuh dengan kebahagiaan yang melimpah dari kasih sayang Vania, sebagai Ibu sekaligus ayah baginya. Namun, terkadang, Sena terlihat murung dan sedih, terutama ketika ia duduk sendiri dan terdiam. Saat itulah, ia sering kali menanyakan tentang ayahnya kepada Vania.

Sorot matanya penuh dengan penasaran dan rasa ingin tahu yang tidak terucapkan, mungkin mencari jawaban yang belum pernah diberikan.

"Mommy, aku ingin bertemu Daddy, dimana dia berada, Mom?" tanya Sena dengan kepolosannya.

Vania saat itu tengah memasak makan siang, ia terdiam sejenak, menghirup nafas kasar sebelum memberikan jawaban.

"Sayang, dia sudah lama meninggal, sebaiknya berhenti menanyakannya!" Vania terbawa emosi, membuat kedua mata gadis kecil itu berembun, padahal ia hanya sekedar ingin tahu.

"Bisakah aku melihat wajah Daddy?" pintanya yang seakan tak pantang menyerah, Vania menggeleng tegas.

"No, No, No!" ia menggerak-gerakan jari telunjuknya di depan Sena, gadis itu mengeluarkan air mata yang cukup deras.

"Kenapa?" rintihnya sembari menarik-ekor baju Vania. "Mommy tolong beri tahu aku, please!"

Vania sudah habis batas kesabarannya, ia sampai detik ini enggan memberi tahu putrinya perihal ayah biologisnya.

"Sayang, Daddy mu tidak ada di Negara ini! Jadi tolong, berhenti untuk menanyakannya lagi!" bentak Vania.

"Oh, aku tahu, Itu artinya Daddy masih hidup, dan dia berada di Indonesia? Benar begitu, Mom?" celetuk Sena, membuat kedua mata Vania melebar tajam, padahal ia tak pernah mengatakan perihal keberadaan Hans di Indonesia, bahkan tak ingin sampai putrinya mengunjungi tanah air, meski Sena selalu di ajarkan berbicara bahasa Indonesia sekalipun jika berkomunikasi berdua. Ia ingin Sena lahir dan tumbuh dewasa di Amerika Serikat.

Vania yang sudah semakin marah, ia memilih untuk bungkam, tak ingin menjawab semua pertanyaan-pertanyaan yang di layangkan oleh putrinya.

"Mommy, aku ingin bertemu Daddy di Indonesia," pinta Sena penuh permohonan.

"Sena, stop! Mommy bilang stop untuk menanyakan Daddy, Daddy, Daddy! Dia sudah tidak ada di muka bumi ini, mengerti!" semprot Vania, sembari menyajikan makan siang di atas meja makan kepada putri kecilnya tersebut.

"Ayo, sekarang kamu makan!" titahnya, lalu melirik waktu di pergelangan tangan.

"Satu jam lagi, Mommy akan kembali ke kantor, jadi, Mommy harap kamu menghabiskan makan siangmu dengan segera, ingat! Jangan bikin Mommy marah!" ia memperingatkan Sena dengan wajah serius, gadis itu hanya bergeming tanpa menyentuh makan siangnya.

"Sena, hei, kamu dengar Mommy berbicara?" Vania mendekatkan wajahnya dengan gadis kecil itu, tampak Sena kini murung seakan kehilangan selera makan karena bentakan sang ibu.

"Aku tidak mau makan!" ia mendorong piring di hadapannya.

"Sena!" sentak Vania, gadis itu beranjak dari kursi meja makan, dan berlari kecil ke dalam kamarnya, ia mengunci diri disana.

Vania segera menyusul Sena, meski ia marah, tetapi tak ingin sampai terjadi sesuatu terhadapnya.

"Sena, Mommy minta maaf," teriak Vania menggedor kamar putri kecilnya itu, tetapi tak ada jawaban, yang ia dengar hanyalah rintihan Sena tengah memanggil-manggil nama 'Daddy'

"Daddy, I Miss You so..." kata Sena, yang teramat ingin bertemu sang Ayah meski ia belum pernah melihat wajahnya sekalipun. Hal itu membuat Vania frustasi, karena ia tidak mungkin memberi tahu Sena tentang Hans, ia berjanji akan terus merahasiakan semua tentang Hans sampai kapanpun, ia bersumpah dalam hatinya.

Vania terus berusaha membujuk Sena untuk membuka pintu, tetapi gadis kecil itu tetap kukuh dalam keputusannya. Setelah beberapa saat, Vania akhirnya berhasil membuka pintu kamar Sena dengan kunci cadangan yang ia simpan.

"Sena, sayang, I'm Sorry. Mommy tahu kamu ingin tahu tentang Daddy," ucap Vania sambil memeluk Sena yang masih menangis di atas tempat tidurnya.

"Mengapa Mommy tak mau memberitahuku tentang Daddy? Apakah Daddy sudah tidak mencintai kita lagi?" tanya Sena dengan mata berkaca-kaca.

"Daddy mu sudah tiada, dan Mommy sama sekali tak menyimpan fotonya untuk di perlihatkan kepadamu," terang Vania yang berupaya membohongi putrinya agar berhenti menanyakan Hans.

"Tapi aku bermimpi, aku bertemu Daddy, dia masih hidup, muda dan juga sangat tampan." Sena memberi ucapan menohok seputar mimpinya, membuat Vania tak mampu berkilah.

"Sayang, itu hanya mimpi, sebaiknya kita kembali ke meja makan sebelum makananmu dingin, come on!" ajaknya menuntun lengan Sena.

Meski Vania berupaya berbohong, tetapi hati kecil Sena dapat merasakan jika sang ayah masih hidup, mungkin akan terjawab di masa depan ketika ia tumbuh dewasa.

...

Bersambung...

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!