NovelToon NovelToon

Secret Admirer

1. Surat di Dalam Loker

Surat di Dalam Loker

"Laura, apa yang sedang kauperbuat?" Yuna tiba-tiba datang kemudian mengagetkanku, dia lantas duduk di bangku sebelah.

"Buta?" kataku kemudian mengangkat novel bersampul perak. Aku tahu betapa jahatnya ketika aku berkata ketus pada Yuna. Salahkah saja novel ini yang membuat perasaan tidak labil!

Dia semakin mendekat, merapatkan diri kepadaku, guna mengintip halaman novel yang sedang kubaca. "Kau tidak ada kegiatan lain selain membaca?" tanya Yuna.

Aku mendengus, menarik buku dan menjauhkan diri. Apa yang harus aku lakukan, jika teman saja hanya dua orang. Pertama Yuna, kemudian satu teman cowok. Sialnya, aku tidak tahu kenapa orang-orang itu tidak mau kudekati. Mereka selalu menjawab singkat kala kuajak bicara.

Aku melirik ke arah Yuna, cewek itu terdiam untuk sesaat kemudian menghela nafas. Selalu saja begitu, pasti dia merasa bersalah. Oleh karena itu, aku tidak boleh egois---syukur Yuna masih mau berteman denganku.

Aku kembali menggeser bangku lebih dekat ke arah Yuna. Dengan buku yang kuarahkan ke tengah, ayo Yuna kita membacanya bersama! Katakan saja ini bentuk permintaan maaf untuk perkataan ketusku.

Yuna terkekeh, mengulas senyum manis kemudian menyipitkan mata. "Kau memang adalah orang yang baik dan tidak bisa memusuhi orang. Aku terheran, apa yang membuat orang-orang itu menjauhimu. Padahal kamu baik dari segi mana pun." kata Yuna.

"Aku tidak sebaik itu," kataku kemudian menatap tajam Yuna dengan tingkah aneh. "Gelagatmu aneh, apa yang coba kausembunyikan?"

"Em... tidak, aku sedang gelisah karena tidak belajar semalam. Hari ini kan Guru mengadakan ulangan matematika." ujar Yuna.

"Oh, yasudah belajar saja sekarang! Bukankah..." Aku melotot ketika sadar dengan pembicaraan itu. Kuedarkan pandangan ke arah pintu masuk di mana Bu. Siska sudah masuk, matematika adalah jam pertama.

"Sial, Yuna! Kenapa baru memberitaku sekarang. Matilah, aku juga tidak belajar, tahu begini aku tidak akan bersantai sambil membaca." jeritku tertahan dalam hati. Aku memandang ke arah Yuna yang minggat dari sebelahku menuju bangkunya.

Tolong siapa pun, berikan aku ilmumu!

***

Jam istirahat pertama berbunyi, dengan itu aku bernafas lega. Kepalaku sudah sangat pusing dengan beragam angka yang menyambut.

"Laura," kata Yuna memanggil. Dia berjalan ke arahku, merangkul pundak dengan senyuman yang khas. "Tampaknya tidak ada yang perlu dikhawatirkan semasa ulangan di jam pertama."

Aku memutar bola mata malas, kuakui Yuna adalah cewek baik dengan sikap hangatnya. Tapi jika dia dalam mood yang buruk, pasti aku menjadi sasarannya.

"Aku hanya menjawab dua buah soal!" seruku lantang, bukan karena bangga melainkan peringatan kepada Yuna bahwa aku juga kesal.  "Aku benar-benar lupa sekarang ulangan."

Aku mendadak lesu dan tak bersemangat, jika nilaiku buruk dan guru mengembalikan kertas ulangan untuk ditandatangani. Sudah pasti aku akan habis di tangan Ibuku, habis diceramahi.

"Sudahlah, ulangan itu sudah berlalu. Kita ke kantin saja, cacing di perutku sudah memberontak!" kata Yuna kembali mengalah. Aku berpikir sejenak untuk menerima tawaran tersebut. 

"Maaf Yuna, sepertinya kau duluan saja ke kantin, aku ingin menyimpan barang di loker." kataku terkekeh canggung. Yuna hanya mengangguk kemudian berlalu pergi. Dengan itu aku juga beranjak menuju loker guna menyimpan sepatu.

"Ngomong-ngomong seharian ini aku tidak melihat Wafi. Dia tidak masuk dengan alasan apa?" kataku sembari membuka loker. Dan saat itu juga, aku dikejutkan dengan sebuah amplop putih yang cantik.

Kuraih benda tersebut dan mengangkatnya tinggi-tinggi. Ini adalah surat, terbukti bentuk love di tengah-tengah surat. Tunggu! Love? Ini surat cinta?

Aku tidak ingin percaya dengan ini, karena sebenarnya aku tidak pernah mendapatkan yang seperti ini! Aku bahkan tidak pernah merasakan yang namanya berpacaran di sepanjang tujuh belas tahun usiaku. Jangankan itu, ujaran cinta pun tidak pernah! Padahal, aku tidak seburuk itu dari segi penampilan dan sikapku juga netral.

Aku dengan hati-hati meletakkan sepatu di dalam loker. Kembali menguncinya. Aku harus cepat-cepat ke kantin untuk memberitahukan perihal surat ini kepada Yuna.

Aku melangkah menuju kantin, lekas duduk di meja yang sama dengan Yuna. Hingga cewek itu harus menunda acara makannya. "Apa yang kaubawa?" tanya Yuna kemudian dia memincing. "Sebuah surat?"

"Bukan surat biasa!" kataku kemudian meletakkan surat tersebut di atas meja. "Ini surat cinta, tanda di sana sudah membuktikannya."

Yuna terdiam sesaat kemudian berkata, "Kau sudah membukanya? Apa yang tertulis di selembar kertas di dalamnya,"

"Belum," kataku menggelengkan kepala. "Aku tidak sempat membukanya lantaran terlalu senang. Ini yang pertama kali!"

Yuna menghela nafas, dengan kejam menyentil jidatku. Dia mengambil ahli surat tersrbut kemudian membukanya. "Benaran surat..." Suaranya lirih, namun masih dapat kudengar.

Ngomong-ngomong begini isi suratnya ketika Yuna menunjukkannya padaku.

Hai, Cantik! Apa kabar? Kamu baik-baik saja kan, akhir-akhir ini kamu tampak lesu ketika kupandang dari kejauhan. Aku tahu ini cukup sulit untuk kauterima, tapi aku harus tetap mengatakannya!

Setiap kali kamu tersenyum, itu memabukkan seolah berada di hamparan bunga yang indah. Ketika kamu tertawa duniaku kembali hidup dengan riang-gembira. Seolah kamu ada sebagai mentari yang selalu bersinar. Singkatnya, I love you!

Iya, aku menyukaimu, mungkin sudah sejak lama.

                          

                             Pengagum Rahasia

Yuna tertawa begitu aku selesai membacanya, dia pasti menertawakan aku! Aku menjauhkan surat kala Yuna ingin merebutnya. Walaupun aku malu dengan isi suratnya, tapi ini adalah surat cinta pertama yang kuterima.

"Baiklah, baiklah---aku tidak memaksa untuk mengambilnya," kata Yuna masih dengan gelak tawa. "Jadi sekarang, apa yang akan kaulakukan?"

"Em... aku ingin mencari tahu siapa pengangum tersebut dan mengajaknya jadian," kataku lirih. "Aku juga ingin tahu bagaimana rasanya punya pacar, seperti yang diributkan anak remaja lainnya."

"Tidak selamanya berpacaran itu baik Laura, lagipula cowok yang menulis surat itu tidak menjamin dia layak untukmu." ujar Yuna dengan lembut.

Aku terdiam, menghela nafas karena kecewa.

"Tapi karena ini adalah kamu, Laura teman terbaikku. Aku akan membantumu untuk mencari si pengangum. Kupastikan akan membuatnya kapok jika hanya bermain-main dengan selembar kertas yang membuat Lauraku salah tingkah." kata Yuna. Aku tersenyum memberikan pelukan untuk Yuna.

"Kau memang yang terbaik!" kataku memuji setelah melepas pelukan. "Ngomong-ngomong aku ingin bertanya, Wafi tampaknya tidak hadir. Kenapa, ya?"

"Dia izin berlibur sehari." kata Yuna.

"Dari mana kautahu?" Aku memincing curiga.

Yuna berdiri, dan mengambil mangkok mienya. Sebelum pergi dia berkata, "Saat mengabsen. Kau terlalu sibuk dengan pikiranmu hingga tidak memperhatikan."

"Benarkah begitu?" Aku memandang ke bawah meja, memperhatikan sepasang sepatu.

2. Jejak Sang Pengagum

Jejak Sang Pengagum

Pagi ini terasa panas, terik matahari membuatku harus mengaduh. Haruskah Senin ada di setiap Minggu? Kenapa upacara harus dilaksanakan, mengapa ocehan pembina upacara terasa sangat panjang? Kakiku lemas seolah bisa luruh kapan saja.

"Yuna, kau tidak merasa lelah?" Aku melihat ke samping, di sana Yuna masih berdiri dengan senyuman palsu.

"Jika boleh jujur aku sangat lelah, hanya saja para anggota PKS, sedari tadi melotot ke arah sini. Diamlah di tempatmu Laura, jika namamu tidak ingin dicatat di buku terlarang itu." kata Yuna dengan lirih. Dapat kulihat lirikan matanya menatap anggota PKS.

Aku hanya dapat diam, mengedarkan pandangan pada barisan kelas lain yang tampak ricuh dengan keluh kesah. Kenapa anggota PKS itu tidak datang ke sama dan mencatat nama mereka semua? Apalagi cowok menyebalkan itu, selalu mencari masalah kapan pun dan di mana pun.

Biar kuperkenalkan, namanya Zen, cowok tipe bad. Dia selalu saja mengusikku dengan tingkah menyebalkannya. Kemarin hariku terasa damai karena dia tidak hadir, apakah sekarang akan damai juga?

Aku menatap tajam Zen kala tak sengaja bersitatap, dia juga balik menatap tajam dengan tangan terkepal. Oleh sebab itu, langsung saja kualihkan pandangan ke arah lain. Sudah kukatakan kan dia itu menyebalkan.

Padahal mestinya dia baik padaku dan menjadi teman yang selalu ada di sisiku. Mau bagaimanapun, kami sudah kenal selama enam tahun lamanya, dia itu tetanggaku. Tetapi tidak tahu kenapa dia selalu melontarkan kata-kata tajam dan sorot mata benci.

Lupakan Zen, aku kembali fokus melaksankan upacara lantaran pembina upacara sudah selesai dengan curahan hatinya (bimbigannya).

Upacara berlangsung dengan khidmat, tidak ada orang yang kulihat menjadi korban para anggota PKS. Dengan itu barisan dibubarkan dan kembali ke kelas.

Aku menelungkupkan wajah di antara lengan di atas meja. Sudah sangat lelah karena berdiri di teriknya matahari.

Suara gesekan kursi terdengar di telinga, aku mengabaikannya. Kemudian terdengar bunyi yang lebih nyaring, membuatku tersentak dan terpaksa duduk dengan benar.

"Kau berniat membunuhku, Yuna?" kataku tajam, dan Yuna si pelaku penggebrakan meja hanya tersenyum tak bersalah. Dia dengan lancang duduk di sebelah, meletakkan tas hitamnya di sana.

Dia bertopan dagu, berkata, "Itu tidak akan sampai membunuhmu Laura, kamu terlalu dramatis."

Aku mendengus, mengeluarkan buku mata pelajaran hari ini. "Terserah kamu. Biar kutebak, kamu kembali menyogok teman sebangkuku agar bisa duduk di sini?" kataku.

"Iya, benar sekali! Soalnya jika tidak duduk bersamamu, dan berbincang ria, aku merasa sangat hampa," kata Yuna semangat. "Kau tahu, Ria sebangkuku itu, tidak seceria itu. Suram, seolah tidak memiliki niat untuk hidup."

"Benarkah?" Aku mengedarkan pandang, melihat Ria yang tertidur di bangku paling belakang. Cewek itu memang pemalas.

Yuna merapatkan bangku, itu membuatku waspada. Yuna kemudian memayunkan bibirnya, kemudian tersenyum, bertanya, "Di mana surat cinta yang kau temukan di dalam loker, kemarin?"

"Untuk apa," kataku merogoh saku. "Mau kau apakan surat ini?"

Sepucuk surat tergeletak di meja, dengan cepat Yuna mengambilnya. Dia terlihat membaca ulang surat tersebut. Sedetik kemudian dia tampak senang dengan binar mata bahagia.

"Apa yang sedang kaulakukan?" tanyaku. "Kenapa tersenyum seolah menemukan harta berharga?"

Yuna dengan kejam menyentil jidatku, aku meringis. "Tentu saja mencari jejak bodoh! Bukankah aku sudah berjanji akan membantumu mencari jejak sang pengagum?"

Aku terdiam sesaat, memikirkan perkataan Yuna. Dia itu sangat baik, bukan? Repot-repot untuk mengurusi masalahku, aku lantas mengulas senyum.

"Mari kita keluar sebentar!" ajak Yuna kemudian berdiri.

"Jangan, bagaimana jika guru tiba-tiba datang?"

Yuna berdecak malas, kemudian menatap seisi kelas. "Bu. Sinta tidak dapat hadir, dan materi pelajaran hari ini telah dikirim melalui WhatsApp. Mengenai mencatat materi di rumah saja! Aku akan meminta izin ke ketua kelas dengan dalih ke kamar mandi. Ayo!"

Terpaksa mengikuti langkah Yuna menuju ketua kelas untuk meminta izin. Kemudian setelahnya kami berdua berlalu menuju loker.

"Baiklah, akan kubuka!" Setelah menarik nafas dalam, aku langsung membuka loker kecilku. Di sana tidak ada apa pun, alias kosong. Tetapi sorot mata Yuna tampak berbinar melihat ke bawah sepatuku.

Dengan cepat aku mundur kala dia menunduk mengambil sesuatu. Aku memicing, itu tanda pengenal kelas.

"Ditemukan di sini, yang pasti ini milik pengagum rahasiamu kala menaruh surat itu," kata Yuna memamerkan tanda pengenal kelas. "Kelas XI, berarti satu angkatan dengan kita!"

Aku mengangguk saja, hanya bermodalkan mengetahui kelas saja dia sudah sangat bahagia. Tetap saja sulit untuk mencari tahu siapa sebenarnya pengirim surat cinta tersebut. Aku tersenyum, tidak sabar mengetahui siapa dia.

"Tenang saja Laura, mungkin bagimu ini adalah bukti kecil, tapi bagiku ini sudah lebih dari berharga. Menurut keterangan surat, dia selalu ada di sekitarmu, memandangmu dari kejauhan. Jadi, untuk mencari si pengagum, kita hanya perlu memperhatikan sekitar." tutur Yuna kemudian merangkul pundakku. Dia berhasil mengalihkan kegelisahan.

"Apa yang kalian berdua lakukan di sini?!" Suara itu mengudara dengan tegas. Aku tersentak dan lantas menoleh ke belakang, di sana Wafi menatap datar kepadaku.

"Eh, kami..." Aku tidak tahu harus berkata apa.

"Kami apa?" tanya Wafi.

"Kami sedang melakukan misi rahasia, cowok dilarang tahu!" kata Yuna cepat, dia menatap tajam ke arah Wafi. "Ini perihal penting."

Wafi menaikkan alis. Tetapi dia tidak lagi bertanya. Kulihat dua orang itu bersitatap cukup lama, aku jadi curiga kenapa Wafi begitu sensitif. Apa jangan-jangan...

"Kau membuat nama Laura hampir tertulis di buku terlarang. Tadi guru tiba-tiba datang untuk menggantikan mengajar." kata Wafu tajam. Dia membelaku hanya karena itu? Aku menyipitkan mata tidak mengerti.

"Cih. Aku sudah meminta izin kepada ketua kelas."

Wafi tidak lagi menjawab. Yuna tidak lagi bersuara. Melihat itu aku menggaruk tengkuk yang tak gatal. Kemudian dengan inisiatif merangkul pundak Yuna.

"Benar, Yuna bahkan sangat baik padaku. Jadi kita jangan berdebat hanya karena masalah sepele. Kembali ke kelas!" kataku. Mereka tidak menjawab, melainkan menatapku dengan aneh.

"Baiklah." Yuna menghela nafas kemudian mengikuti langkahku menuju kelas.

"Wafi membuatku jengkel hari ini," kata Yuna kemudian duduk. "Kenapa bisa dia menatapmu datar begitu, rasanya aku ingin menampar wajahnya bolak-balik."

Aku tersenyum canggung, betapa baiknya Yuna kekeuh dengan pendiriaannya. "Mungkin saja dia tidak bermaksud begitu."

Aku mengalihkan pandangan, menatap keluar jendela dan tanpa sengaja melihat seorang cowok dengan balutan hodie, dia juga mengenakan masker. Aku tidak dapat melihat wajahnya.

"Aneh. Siang bolong begini mengenakan pakaian tertutup." gumamku. Kemudian cowok itu berlalu dari sana.

Musuh Kecil

Musuh Kecil

Panas terik matahari menerpa kulit. Bukan hanya aku saja yang kini berteduh di bawah pohon rindang kala menyelesaikan lari lima putaran lapangan bola basket. Para cewek-cewek di kelasku misuh-misuh karena guru olahraga dengan kejam meninggalkan kami di sini.

Pelajaran olahraga kali ini sedikit berbeda, dua kelas digabung untuk melakukan jadwal pelajaran secara bersamaan. Apalagi kelas itu adalah kelas IPS yang digadang-gadang sumber masalah. Pasalnya mereka selalu mencari ribut dengan anak IPA, apalagi IPA-5 (kelasku). Sederhananya karena di sana ada Zen yang selalu memicu keributan.

Aku bersandar di pundak Yuna kemudian memejamkan mata, menghilangkan lelah. Sesaat kemudian kembali membuka mata ketika mendengar sorakan demi sorakan. Banyak murid cewek yang menyoraki dua tim yang sedang bermain basket.

"Tunggu! Bukankah itu Wafi? Dia melawan Zen?" kataku memicing heran.

"Itu memang dia, aku kasihan pada Wafi karena harus melawan Zen. Cowok itu licik sekali," kata Yuna. "Aku juga heran kenapa dia selalu mencari masalah dengan anak IPA-5."

Aku terdiam untuk sesaat, mengenai alasan Zen selalu mengganggu anak IPA-5, mungkin saja ada sangkut pautnya denganku. Mau bagaimanapun aku adalah musuhnya! Otomatis orang yang dekat denganku pasti terkena imbas. Hanya saja aku tidak sedekat itu dengan anak IPA-5. 

"Jangan berpikir terlalu keras, ini bukan salahmu. Dia saja yang terlalu berandalan-tidak terdidik." Yuna bisa berbicara sangat pedas jika bersangkutan dengan Zen. Tampaknya cewek ini tidak menyukai Zen.

Kami terdiam cukup lama, aku tidak tahu harus menjawab seperti apa. Di satu sisi membenarkan perkataan Yuna. Di sisi lain, bukankah Yuna terlalu berburuk sangka?

"Lupakan masalah cowok berandalan. Ayo ke lapangan untuk memberikan air mineral, ini titipan dari bendahara." ujar Yuna kemudian bangkit. Sekotak air mineral ia angkut bersama seorang cewek dan aku mengikuti dari belakang.

Kuraih botol mineral yang dingin, kemudian melangkah menuju ke arah Wafi. Cowok itu sedang duduk bersama timnya. Melihat kebelakang, Yuna membawa beberapa air mineral dan diberikan kepada cowok-cowok IPA-5.

Dengan inisiatif, kusodorkan botol mineral. Memalingkan wajah, berkata, "Ini untukmu..."

Tidak ada jawaban dan suasana hening, aku menghela nafas hendak menoleh saat tiba-tiba botol mineral direbut dengan paksa. Menyadari siapa pelakunya, aku menjerit tertahan. Zen sialan!

"Apa? Tidak senang, aku kan hanya ingin minum. Lagipula dia tidak menerimanya jadi aku saja yang mengambil, lumayan air mineral gratis." kata Zen menggoyang-goyangkan botol dan tersenyum sinis.

Aku tidak peduli, mataku memandang sayu ke arah Wafi yang sedari tadi diam. Apa dia tidak suka jika aku memberikan air mineral.padanya? "Maaf untuk itu." kataku.

Wafi mengulas senyum, mengibaskan tangan dengan gerakan lambat. "Bukan masalah. Padahal sebenarnya aku hanya sedikit ragu untuk meraih botol tersebut, mungkin kamu hanya bercanda," katanya. "Aku yang seharusnya meminta maaf karena membuatmu kecewa."

Aku lega dia tidak seperti yang kupikirkan. Aku tersenyum dan mengangguk, mengabaikan umpatan khas Zen.

"Canggung sekali. Jangan berdebat hanya karena hal sepele, lebih baik saat ini kuganti air mineral tersebut," kata Yuna memberikan Wafi sebotol. Wafi menerima dengan baik.

"Sebentar lagi istirahat, jadi kalian bubar saja. Babak ke duanya dimulai setelah istirahat. Ini perintah Pak. Bian." kata Yuna.

Setelah mengatakan itu aku dan Yuna lekas menuju kantin, guna memesan gorengan sebagai camilan untuk dimakan di kelas. Dari kantin, kami kembali ke kelas dengan jalur lapangan basket.

Ini peristiwa buruk. Tiba-tiba kepalaku dihantam bola basket,  rasanya sangat sakit dan aku langsung jatuh seperti menubruk batu kecil. Sekarang bukan kepalaku saja yang sakit, hidungku juga.

Sayub-sayub kudenger perdebatan,

"Zen sialan! Kau ingin membunuh Laura?" Itu suara Yuna.

"Aku tidak sengaja! Temanmu yang mendorongku!"

"Tidak usah melemparkan kesalahan kepada orang lain. Dasar pengecut!"

Lalu kemudian semuanya menjadi gelap. Aku tidak lagi dapat mengetahui apa yang nereka katakan hingga malan menjelang baru aku terbangun. Rupanya aku pingsan.

Kuperhatikan seseorang yang sedang tertidur dengan posisi duduk, tepat di brankar tempatku berbaring. Aku hendak bangkit, kepalaku masih berat, alhasil aku tidak dapat menyeimbangkan langkah.

"Aduh..." Aku meringis karena terjatuh.

"Laura!" Suara pekikan berasal dari arah samping, kulihat Yuna dengan panik berjalan ke arahku. Memapahku untuk kembali duduk.

"Apa yang kaulakukan? Jika membutuhkan sesuatu bangunkan aku. Aku tahu kepalamu masih berat, apalagi hidungmu yang sempat mimisan," ujar Yuna. "Kamu harus lebih hati-hati pada kesehatanmu!"

Aku tersenyum canggung, kemudian menunduk karena merasa bersalah. Sesaat kemudian aku tertegun merasakan elusan di kepala. "Cowok itu benar-benar berengsek! Bisa-bisanya dia dengan wajah tak bersalah mengatakan tidak sengaja? Dia pikir lemparan bola basket tidak sakit?" kata Yuna.

Yuna tampak kesal, begitu juga dengan aku. Walaupun tidak tahu bagaimana bisa bola itu melayang. "Ngomong-ngomong bagaimana dengan Wafi?" kataku.

Yuna terdiam sesaat kemudian memalingkan wajah dan berkata, "Dia pergi ke ruang BK, membawa Zen untuk ditindak oleh guru BK. Wafi sangat baik ya!"

Selanjutnya Yuna menoleh dan memberikan senyuman manis. Aku tidak tahu kenapa, senyuman itu mengandung banyak makna yang tidak dapat kuartikan. Sekarang aku takut, di kemudian hari akan ada hal yang lebih buruk.

"Aku merasa curiga pada seseorang," kata Yuna.

"Curiga tentang apa?" kataku.

"Ini tentang si pengagum rahasia. Bukankah menurutmu Wafi tampak memiliki banyak rahasia?" kata Yuna. "Dia selalu menjadi orang pertama yang khawatir kala terjadi sesuatu padamu."

Yuna berpikir seperti itu, aku juga merasakan hal yang sama. Namun, benakku masih meragukan hal tersebut.

"Jika kamu ragu, kamu dapat mengujinya, firasatku mengatakan itu memang dia," ujar Yuna.  "Oh ya, aku tinggal sebentar! Ingin menemui Wafi, membicarakan hal penting."

Aku hanya mengangguk, membiarkan Yuna melangkah keluar dari ruang UKS. Duduk termenung memikirkan pendapat Yuna, benar juga tidak ada salahnya jika aku menduga pengagum rahasia adalah Wafi. Aku akan mencari tahu kebenarannya!

Ketika aku ingin kembali merebahkan diri, pintu yang semula tertutup sebagian, kini terbuka lebar. Di ujung pintu aku melihat seorang cowok yang menjadi pelaku kekerasan terhadap kepalaku. Aku menjadi marah!

"Kenapa kamu ke sini? Mau menambah luka di bagian mana lagi? Kepala sudah, hidung sudah... jangan-jangan selanjutnya lenganku?" tudingku tajam. Dia tidak menjawab semakin mendekat ke arah brankar.

Aku kepalang kesal, hendak berdiri dan sedetik kemudian tubuhku terjatuh karena tidak seimbang. Payah sekali!

"Aku bantu," Dengan terpaksa aku menerima bantuan Zen untuk kembali duduk di brankar. Lidahku terasa aneh setelah mencicipi sesuatu. Rasanya, rasa darah. Ah, aku tidak sengaja menggigit lidah.

Terdiam sejenak, aku memandang Zen dari bawah sampai atas. Sorot matanya melemah dan sayu kemudian sepatah kata terlontar begitu saja, "Maaf."

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!