"Buka pintu, atau kami dobrak!” teriak seseorang dari luar kamar.
Lili menggeliat mendengar samar-samar suara bising yang berasal dari gedoran pintu. Gadis itu tidak bergegas bangun, justru dia merasa nyaman dengan aroma maskulin yang dia hirup.
Tangannya meraba apa yang disentuhnya, terasa hangat bukan seperti sebuah bantal guling. Jemarinya merasakan lekuk-lekuk yang keras.
“Siapa sih yang ribut-ribut pagi-pagi?” Lili meregangkan kedua tangannya. Perempuan itu melihat ke arah pintu, lalu memandang tubuhnya yang terasa dingin. Matanya melebar tatkala ia melihat tubuhnya hanya berbalut lingerie tipis berwarna merah menerawang, dan kurang bahan.
“Aaa! Tidaaak!” teriak Lili ketika dirinya melihat pengawal pribadinya tidur telanjang dada di sampingnya. Galang reflek membuka mata serta berdiri saat mendengar teriakan sang nona.
“Kamu kenapa di sini? Baju kamu ...?” Lili menarik selimut untuk menutupi tubuhnya.
“Maaf, Nona, saya juga tidak tahu,” sahut Galang bingung melihat dirinya sendiri bertelanjang dada dengan celana boxer saja. Dia bergegas memakai pakaiannya yang ada di lantai.
Galang adalah pengawal pribadi Lili, dia yang terus menjaganya hampir 24 jam. Ke manapun Lili pergi maka ada Galang di sampingnya.
Suara pintu terbuka dengan keras karena dibuka paksa oleh beberapa orang dengan tubuh kekar. Beberapa orang mengambil foto tanpa permisi. Untung saja Galang sudah berpakaian lengkap.
“Lili, apa yang kamu telah lakukan bersama pengawal pribadimu?” tanya Rida yang muncul dengan air mata berderai. Tangannya menunjuk Galang yang sedang memunguti pakaian milik Lili.
“Mama, Lili tidak melakukan apa-apa.” Lili menarik selimut semakin tinggi untuk menutupi semua bagian tubuhnya, ketika orang-orang yang membawa kamera mulai menyorot dirinya.
“Ma, tolong suruh pergi mereka!” seru Lili meminta tolong ke ibu tirinya.
Rida menyunggingkan ujung bibirnya, dialah yang membawa semua wartawan datang ke hotel. Dia telah merencanakan ini sejak lama untuk mempermalukan dan menjatuhkan nama baik Lili, tidak mungkin dia mengusir para wartawan itu begitu saja.
Keputusan Agus, ayah Lili, membuat Rida meradang. Harapan wanita itu agar anaknya sendiri yang dipilih memimpin perusahaan serta mewarisi harta Agus musnah sudah. Suaminya lebih memilih Lili yang masih ingusan untuk mengambil alih perusahaannya.
Ia menjebak Lili agar tidur dengan pengawal pribadinya. Rida tahu gadis itu tidak akan mampu menghadapi konsekuensi dari situasi yang diciptakannya.
"Tolong semuanya menyingkir!" Galang melilit tubuh sang nona dengan selimut yang digunakan untuk menutupi tubuhnya. Ia menggendong serta menyembunyikan wajah Lili dari kamera orang-orang yang sedang memotretnya, lantas membawanya keluar secepatnya.
“Lili, Mama tidak percaya kamu melakukan hal seperti ini!” teriak Rida kala dirinya disorot kamera. Para wartawan pun mendekati wanita paruh baya itu, meminta keterangan tentang anak tirinya yang keluar dari kamar hotel dengan pengawal pribadinya.
Dengan akting hebat, dan air mata buaya, Rida berpura-pura sedih di hadapan wartawan. Ia sangat yakin rencananya akan berjalan dengan lancar.
“Kamu bisa lari Lili, tapi kalian tidak akan bisa lolos dengan bukti-bukti ini,” desis Rida kepada dirinya sendiri. Wanita itu tersenyum memandangi foto-foto yang berhasil diperolehnya.
Di luar hotel terjadilah kejar-kejaran antara Galang dengan para wartawan bayaran Rida yang masih terobsesi untuk mendapatkan berita besar. Galang berlari sangat gesit, dia bisa mengecoh para wartawan dengan cara masuk ke toilet perempuan.
“Nona, silakan pakai baju Anda.” Galang memberikan pakaian yang dia ambil dari lantai kamar.
Sembari menunggu sang majikan ganti baju, Galang memesan taksi, agar mereka bisa segera pergi dari hotel yang sudah dipenuhi dengan wartawan itu.
“Galang, sebenarnya apa yang terjadi?” tanya Lili saat keluar dari toilet.
“Saya juga tidak tahu, Nona, sekarang kita pergi dari sini mencari tempat yang aman.” Galang menarik tangan Lili, dan menggenggamnya erat agar perempuan itu tidak terjatuh saat mengimbangi langkah kakinya yang panjang.
“Itu dia! Kejar mereka!” teriak salah satu wartawan yang melihat Lili dan Galang keluar hotel.
Mereka masih gigih untuk mendapatkan gambar dan video dari anak sang pengusaha terkenal itu. Para wartawan akan mendapatkan keuntungan besar kalau mereka berhasil membuat gosip setelah menangkap basah kedua orang yang sedang berada dalam kamar hotel tersebut.
Galang membuka pintu dan mendorong Lili ke dalam, ketika orang-orang yang membawa kamera itu sudah mulai mendekat. Mereka mengetuk-ngetuk pintu taksi agar dibuka dan mendapatkan klarifikasi dari Lili.
“Nona, apa benar kalian ada hubungan spesial?” tanya Wartawan itu sembari mengetuk-ketuk kaca jendela taksi.
“Nona, apakah tidak ada orang lain sehingga Anda tidur dengan seorang pengawal?”
Galang bergegas meminta sang sopir taksi untuk tancap gas.
“Siapa sebenarnya mereka?” tanya Lili dengan napas yang masih tersengal-sengal.
“Maaf, Nona, saya juga tidak tahu. Tapi kenapa Nyonya Rida bisa berada di sana?” Galang merasa ada yang janggal dengan penggrebekan ini. Kenapa bisa nyonya besar ikut bersama para wartawan?
“Aku akan menelepon Mama.” Lili mengambil ponsel dari dalam tas. Dia menempelkan benda pipih itu di telinganya.
“Jangan dulu, Nona.” Galang menarik ponsel dari tangan Lili.
“Kenapa?” Lili mengerutkan kening tipis.
Dengan singkat disebutkannya bahwa itu demi keselamatannya sendiri.
“Kenapa kita bisa berada di kamar hotel itu, bukankah semalam kita ada di jamuan makan?” Lili mengarahkan pandangannya ke wajah Galang.
Dia ingat terakhir ada jamuan makan malam dengan para relasi.
Sang pengawal pun mencoba mengingat apa yang terjadi selepas perjamuan. Dia tidak bisa mengingat secara detailnya, tapi dia ingat sang nona mengeluh pusing dan minta untuk pulang lebih dahulu.
“Pasti ada yang menjebak kita, Nona,” ucap Galang geram.
“Apa tujuan orang yang menjebakku?” Lili melipat kedua tangan. Ia bergidik memikirkan apa tujuan orang yang jahat kepadanya itu.
Selama ini Lili merasa tidak punya musuh, teman-temannya juga sangat baik. Di kantor pun dia terkenal baik dan disegani oleh karyawannya.
“Nyonya!” Galang menjentikkan jarinya, dia menebak Rida pelakunya.
“Tidak mungkin, Mama sangat baik sama aku. Tujuannya apa Mama menjebak kita?” Lili bertanya balik.
Di matanya Rida adalah sosok ibu tiri yang baik. Dia menyayangi dirinya seperti anak kandungnya.
“Lalu kenapa Nyonya Rida bisa berada di sana?” tukas Galang agar majikannya itu menyimpulkan.
Lili terdiam, mencerna apa yang dikatakan oleh pengawalnya. Kenapa sang mama bisa bersama dengan orang-orang yang membawa kamera itu?
“Pak, kita putar balik ke hotel lagi.” Galang menepuk sandaran kursi sopir taksi.
“Kenapa kita kembali ke hotel?” Lili menatap heran Galang. Datang ke hotel kembali sama halnya dengan menyerahkan diri.
“Nona, semalam kita pergi naik mobil, saat ini mobil kita masih terparkir di hotel. Selain itu saya mau cek CCTV hotel,” jelas Galang, membuat Lili menuruti pengawalnya.
Pemuda itu memakai masker dan topi untuk menyamarkan diri dari orang-orang di sana. Ia pergi ke tempat keamanan, lalu meminta untuk melihat rekaman CCTV semalam.
Galang mendengus, tidak ada rekaman dirinya di CCTV. Hanya orang-orang yang berlalu lalang keluar masuk saat jamuan makan. Pemuda itu tidak mendapatkan bukti untuk mengetahui siapa pelaku di balik semua ini.
Lantas ia berjalan mencari mobilnya yang terparkir di parkiran hotel, dan segera membawa sang nona bersamanya.
“Bagaimana?” tanya Lili penasaran.
“Saya tidak mendapatkan apa-apa, CCTV-nya tidak merekam kita.” jawabnya sembari melajukan mobil.
“Ya, sudahlah, kita pulang saja. Biar orang-orang Papa yang mencari tahu.” Lili mengajak sang pengawal pulang ke rumah ayahnya.
Tidak ada yang mustahil bagi ayahnya untuk mencari orang yang menjebaknya. Hanya hitungan jam pasti ketemu. Kekuasaan dan kekayaan yang dimiliki Agus pasti akan memudahkan mereka untuk mendapatkan apa pun yang mereka mau.
Namun, Galang tak berpikiran sama. Pria itu mengerutkan kening, berpikir begitu keras, hingga majikannya ikut khawatir.
Sejenak sang pengawal menghela napas, dan menuturkan kecemasannya. "Saya mempunyai firasat buruk tentang hal ini, Nona."
“Anak kurang ajar!” bentak seorang lelaki paruh baya ketika sang putri sampai di rumah. Suara tamparan terdengar nyaring di ruangan yang hening itu.
Wajah Lili berpaling ke kanan dengan cepat akibat tamparan ayahnya. Ia memegangi pipi kirinya yang terasa sakit dan panas.
“Pa,” rintih Lili dengan mata nanar.
“Kamu telah mencoreng nama baik keluarga kita!” Agus melempar selembar foto ke tubuh anaknya itu.
Lili membelalakkan kedua matanya melihat foto dirinya tidur dengan seorang pria berbadan kekar, yang tak lain adalah pengawalnya. Mereka bahkan berpelukan.
“Papa, ini tidak seperti yang Papa pikirkan.” Lili mencoba menjelaskan kepada sang ayah.
Sekali lagi Agus membentak Lili untuk diam, dan kembali memberikan tamparan di pipi putri semata wayangnya.
“Papa, tidak percaya sama Lili?” suara gadis itu berubah berat.
“Memangnya bukti ini masih kurang?” Agus melempar satu foto lagi ke wajah Lili.
“Kau, anak tidak tahu diri!” Pria paruh baya itu mengangkat tangannya tinggi.
Lili memejamkan mata, dia sudah siap untuk merasakan kesakitan yang kesekian kalinya, tetapi Galang menahan tangan tuannya.
“Tuan, jangan sakiti Nona muda. Nona tidak bohong, kami hanya dijebak.” Pemuda itu memohon dengan sungguh-sungguh.
“Bajingan kau!” Pandangan pria itu beralih kepada pemuda yang baru saja memasuki ruang tamu di rumahnya.
Pukulan keras meluncur ke tubuh si pengawal yang selama ini ia percaya untuk menjaga putrinya.
“Kau berani sekali meniduri anakku! Mati kau!” Emosi Agus sudah tidak terbendung. Pukulan demi pukulan mendarat di tubuh kekar Galang.
“Papa, cukup! Jangan sakiti Galang!” Lili berlari melindungi sang pengawal.
“Rida, bawa Lili ke kamar. Jangan biarkan dia keluar!” perintah Agus kepada istrinya.
Lili memandangi sang pengawal yang terus mendapatkan pukulan dari sang ayahnya juga anak buahnya. Ia berusaha berontak untuk memberikan perlindungan. Namun, Lili tidak mampu melawan orang berbadan kekar di belakangnya.
“Apa yang telah kau lakukan dengan Nona Muda?” Agus menarik kerah baju Galang.
“Saya tidak melakukan apa-apa, Tuan,” ucapnya jelas, tak ada rasa ragu sedikit pun yang keluar dari mulut pemuda itu.
“Lalu foto ini, kamu bisa menjelaskan?” Indrajaya berjalan mendekati Galang. Dia memperlihatkan foto dirinya sedang berpelukan dengan sang nona tanpa busana.
Tanpa takut, tapi tetap sopan, Galang menyebut kepada sang majikan bahwa seseorang telah menjebak mereka berdua.
“Jebakan kau bilang?” Agus memberikan pukulan keras sampai pemilik tubuh kekar itu tak berdaya.
Emosi Agus semakin meluap karena Galang tidak mau mengaku. Galang tetap bersikeras kalau dirinya dijebak.
“Katakan, apa kau menyukai Lili?” Agus memegang dagu Galang kasar.
“Tidak, Tuan, saya tidak berani menyukai Nona Lili.” Bibir Galang bergetar.
Agus melepaskan kasar dagu Galang. “Bawa pergi dia! Beri dia pelajaran!” perintah Agus kepada anak buahnya.
Agus duduk di sofa, dia menggenggam tangan kanannya lalu memukul-mukul sofa sebelah dia duduk.
Ia semakin murka tatkala Rida menyampaikan bahwa gosip tentang Lili dan Galang telah ramai di media sosial. Sang istri menunjukkan berita Nona muda dengan sang pengawal yang sedang ramai diperbincangkan itu.
“Apa yang sebenarnya dia inginkan?” geram Agus dengan mata berapi-api.
“Mungkin pengawal itu menginginkan harta dan kedudukan tinggi. Anak kita digunakan sebagai alat untuk memperdaya kamu.” Rida menyimpulkan pikiran dari pengawal pribadi Lili.
“Brengsek! Indrajaya, perintahkan anak buah kita untuk membunuh Galang.” Agus meminta tangan kanannya untuk mengabarkan kepada orang mereka untuk menghabisi Galang.
“Jangan, Tuan, jika Tuan membunuh Galang keadaan akan semakin keruh.” Pria yang menjadi tangan kanan Agus itu menasihati agar tuannya tidak gegabah dalam bertindak.
Melenyapkan nyawa sang pengawal saat ini hanya akan menambah masalah untuk keluarga Sudarmono. Pasti akan berdampak besar dengan perusahaan mereka.
Perusahaannya bisa kehilangan klien dan mengalami kerugian besar.
“Lalu apa yang harus aku lakukan, Indrajaya?” lelaki itu sudah tak mampu berpikir jernih. Dia tak mampu membendung emosi yang ada dalam dirinya.
“Bagaimana kalau, Tuan nikahkan saja Nona Lili dengan pengawal itu?” Indrajaya memberikan saran yang paling tepat daripada harus melenyapkan nyawa seseorang.
“Kau gila, Indrajaya!” maki lelaki paruh baya itu mendengar ide dari tangan kanannya itu.
Menikahkan mereka berdua cukup untuk menutupi aib yang dibuat oleh sang putri, tapi membuat citra keluarga Sudarmono yang sedikit tercoreng.
Seorang pebisnis besar, kaya raya memiliki menantu seorang pengawal miskin. Lebih memalukan lagi kedua sejoli itu tertangkap basah tidur berdua di kamar sebuah hotel.
“Tuan, Anda bisa melakukan segalanya,” timpal Indrajaya.
Sang tangan kanan mengatakan kalau mengubah batu kali menjadi permata saja sangat mudah bagi tuannya. Apalagi hanya merekayasa sang pengawal menjadi anak orang kaya raya pasti akan sangat mudah.
“Aku tidak setuju!” Rida tidak setuju dengan keputusan yang dibuat oleh sang suami.
Keputusan suaminya justru akan menghancurkan rencana yang sudah dia susun.
Harta warisan akan tetap jatuh ke tangan anak tirinya. Rida tidak mau perjuangannya selama ini sia-sia.
“Nyonya, hanya ini yang bisa mengembalikan nama baik keluarga Sudarmono,” tegas Indrajaya membuka pikiran majikannya.
“Tidak, Indrajaya, ini bukan ide yang bagus. Aku tidak mau memiliki menantu pengawal miskin yang tak bermoral!” tegas Rida.
“Cukup, kalian berdua! Aku setuju dengan ide Indrajaya.”
Rida menatap Indrajaya tajam, dia geram karena sang suami lebih mendengarkan tangan kanannya daripada istrinya sendiri.
Rida memandang suaminya masam. Ia berharap pria itu mendukungnya, bukan menuruti anak buahnya.
Dengan tenang dirangkulnya pundak sang istri, seraya tersenyum licik Agus berucap, “Jangan khawatir, istriku. Kita tidak akan malu. Aku punya rencana bagus.”
“Brak!”
Mata Lili memandang pintu yang terbuka kasar karena dorongan dari sang Ayah. Dia berlari mendekati ayahnya.
“Pa, Lili tidak bersalah,” ucapnya dengan mata berkaca-kaca.
Dia meyakinkan ayahnya bahwa dirinya tidak bersalah. Dia dijebak oleh seseorang, yang tidak ia ketahui siapa.
Agus menghempas tangan putrinya kasar. Emosinya belum juga reda.
“Besok kamu akan menikah dengan pengawalmu itu,” titah Agus membuat Lili kaget.
“Menikah? Papa bercanda?” Lili tidak percaya dengan permintaan konyol dari ayahnya.
“Sayang, aku tidak setuju.” Rida kembali menyampaikan keberatannya.
Sang istri terus menekankan jika pernikahan Lili dengan pengawalnya itu bukan ide yang bagus.
“Papa tidak bercanda, ini satu-satunya jalan untuk menutupi aib yang kamu buat.” Agus menegaskan pendiriannya.
“Aku dan Gilang tidak berbuat apa-apa. Lili tidak mau menikah,” tukasnya tak kalah sengit.
Lili tidak mau menikah karena terpaksa, dia menginginkan pernikahan selayaknya pasangan lain; menikah atas dasar cinta, dengan proses pengenalan.
“Sayang, apa tidak ada cara lain? Ini bisa menurunkan martabat keluarga kita,” sang istri mencoba menasihati suaminya.
Keluarga Agus Sudarmono memiliki bisnis, kekuasaan dan pengaruh yang besar. Perusahaan raksasa itu bisa diinjak-injak oleh perusahaan lain jika mengetahui anak gadisnya menikahi seorang pengawal.
“Sayang, ini salah pengawal itu. Kenapa kamu menyiksa anakmu sendiri?” Rida mendekati anak tirinya, dia memeluk memberikan dukungan.
“Galang tidak bersalah, Ma. Orang yang tidak bertanggung jawab itu yang salah. Ia menjebak kami.” Tatapan sang putri tajam, napasnya sedikit memburu mendengar sang pengawal setianya terus disalahkan.
“Sayang, jangan terkecoh dengan perilakunya. Coba pikir, siapa orang yang mampu merencanakan semua serapi ini?” Rida menggiring opini lain tentang orang yang menjebak Lili.
Ia menambahkan bahwa mereka hanya punya bukti berupa foto-foto, yang jelas menyudutkan sang nona, tidak ada jejak dari orang yang dituduh sebagai penjebak kecuali pengawal pribadinya sendiri.
“Lili, jangan terlalu percaya dengan orang lain. Kadang orang terdekat mampu melukai,” imbuh Rida bermaksud menyudutkan Galang.
Lili melirik ke arah ibu tirinya, lontaran katanya mengingatkan pada dugaan sang pengawal.
“Kalau memang aku tidak boleh mempercayai Galang, berarti aku juga harus mencurigai mama,” desisnya dengan tatapan dingin.
“A-aku?” Rida gugup ketika Lili berbalik mencurigainya.
“Mama berada di sana saat kejadian itu berlangsung. Mama datang dengan para wartawan dan orang-orang bertubuh besar,” tuduh Lili sembari mengingat semua kejadian memalukan itu.
Agus mengalihkan pandangannya kepada sang istri, meminta penjelasan dari pernyataan putrinya.
“Kamu mencurigai mamamu sendiri?” Rida tertawa dibuat-buat, sembari menggelengkan kepala seolah perasaannya terluka atas tuduhan sang anak tiri.
“Ya, kalau memang Mama tidak mau dicurigai, kenapa Mama berada di sana?” Lili mengejar jawaban dari Rida.
“Mama datang ke sana karena ditelepon teman mama. Katanya ia melihat kamu masuk ke kamar hotel semalam.” Rida beralasan.
“Lalu para wartawan?”
“Mama tidak tahu, Lili. Saat Mama datang sudah banyak wartawan yang meliput. Dan pihak kepolisian yang mendobrak pintu,” jelas Rida dengan ekspresi terluka atas tuduhan anak tirinya.
Rida sudah mengatur semua itu, dari jawaban serta alasan-alasan yang masuk akal sehingga ia tidak dicurigai oleh suaminya.
“Sayang, aku datang ke sana untuk membantu. Tapi, kenapa Lili justru menuduhku?” Rida memeluk lengan sang suami yang sejak tadi berwajah suram.
“Cukup, Lili! Kamu harus menanggung semua kesalahanmu. Jangan terus menyalahkan orang lain!” bentak Agus keras.
Lili mendengus, tangannya tergenggam erat, ia tidak percaya sang ayah lebih memilih percaya dengan ibu tirinya yang baru dinikahinya selama kurun waktu dua tahun, ketimbang putrinya sendiri.
“Lili tidak mau menikah, apapun alasannya karena aku tidak bersalah!” tolak Lili tegas.
Agus menganggukkan kepala sembari mendengus keras. “Lihat saja apa yang bisa Papa lakukan!” ucapnya sengit.
Pria itu menempelkan ponsel di telinganya, lalu memberikan perintah kepada seseorang dengan suara keras, “Bunuh dia!”
Mata sang putri terbelalak mendengar perintah Agus. Ia memahami niat ayahnya yang begitu mengerikan.
“Tidak! Jangan!” Lili berlari mengikuti Agus menuju ruangan di mana sang pengawal disiksa.
Sebetulnya gadis itu belum bisa mengambil keputusan. Menikah dengan pengawal pribadinya bukanlah impiannya. Namun, dia tidak bisa membiarkan orang yang telah menjaganya selama ini mati sia-sia. Nyawa sang pengawal kini berada di tangannya.
“Berhenti!” teriaknya sekuat tenaga.
Kaki Lili lemas melihat badan sang pengawal penuh dengan luka cambuk dari anak buah sang ayah.
“Tuan, hentikan! Jangan sampai Galang mati,” bujuk Indrajaya, sang tangan kanan.
“Indrajaya, biarkan saja pengawal busuk ini mati. Dia telah menghancurkan masa depan anakku,” maki Rida.
“Jadi bagaimana putriku? Kamu mau menikah atau dia akan mati!” Agus menodongkan pistol di pelipis Galang.
“Iya, aku mau menikahi dia,” ucap sang putri sembari menatap pria yang tak berdaya di depannya itu.
Agus memberikan perintah agar Galang dilepaskan.
Lantas lelaki paruh baya itu mendekati putrinya.
"Bersiaplah, Lili, pernikahannya akan dilangsungkan besok pagi." ujar Agus kepada putrinya. "Tidak akan ada pesta, karena Papa merasa malu dengan kelakuan anak perempuan Papa."
Lili tersenyum kecut, sosok bapak yang selama ini dia banggakan tega memperlakukannya seperti sampah. Bahkan untuk sekedar mendengarkan penjelasannya pun ia tak mau. Ayahnya memilih harta kekayaannya daripada darah dagingnya sendiri.
Namun, demi nyawa sang pengawal yang tak bersalah, Lili ikhlas menerima permintaan Agus.
Sedangkan sang mama meninggalkan ruangan penyiksaan, dia kesal dengan keputusan sang suami. Bujuk rayunya tak mempan untuk mengubah pendirian sang suami.
...----------------...
“Dengan tubuh yang sebesar ini apa kau tidak bisa melawan?” ucap Lili sengit seraya mengobati memar di wajah pengawalnya. Pria itu masih tidak sadarkan diri.
“Siapa sebenarnya yang jahat sama kita, Galang?” gumam Lili sendirian.
Dia masih kecewa karena tidak mendapatkan kepercayaan dan dukungan dari sang ayah. Bahkan, ayahnya tak mau mencari orang yang telah menjebaknya.
Sang ayah terlalu percaya dengan foto-foto yang mungkin saja bisa direkayasa. Ayahnya sudah dikuasai emosi yang membuatnya kehilangan rasa kasihan kepada anak kandungnya sendiri.
Lili membuka pesan yang baru saja masuk di ponselnya. Matanya melebar ketika membaca pesan tentang pemecatan dirinya di tempat kerja.
“Halo,” Lili menelpon orang yang baru saja mengirim pesan kepadanya.
“Lili, apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa barang-barang kamu dipindahkan?” tanya Mila, sahabat sekaligus sekretarisnya di kantor.
“Apa? Ini tidak benar!” Lili memutuskan sambungan teleponnya.
Gadis itu beranjak meninggalkan sang pengawal untuk menemui ayahnya. Dia bisa menerima menikah dengan sang pengawal, tapi ia tidak bisa terima bila ia harus kehilangan pekerjaannya.
“Papa! Papa!" Lili memanggil sang ayah tetapi tak berhasil menemukannya.
"Indrajaya, di mana Papa?” tanya Lili kepada sang tangan kanan yang sedang berada di meja kerja sang ayah.
“Tuan sedang pergi dengan Nyonya. Ada yang mau Nona sampaikan?” sahut Indrajaya.
Sang nona menggelengkan kepalanya, dia hanya ingin bicara langsung dengan sang ayah.
“Nona, ikuti saja apa yang dititahkan Tuan. Semua ini demi kebaikan Nona,” Indrajaya menasihati putri majikannya itu.
Ia mengatakan kalau semua hal yang dilakukan sang ayah untuk menjaga martabatnya. Agar sang Nona tidak dianggap remeh oleh orang-orang.
“Indrajaya, apakah kamu tahu tentang barang-barangku yang dikeluarkan dari kantor?” tanya Lili.
“Dikeluarkan?” Indrajaya kaget.
Pria itu menghela napas, lalu berucap, “Mungkinkah Tuan ingin mengganti posisi Nona?”
Lili tak berkata lebih lanjut. Ia menggenggam erat tangannya, dan pergi meninggalkan sang kepala rumah. Gadis itu menyimpulkan jika jebakan ini berhubungan dengan pekerjaannya.
Ia menggeram putus asa, memperkirakan situasi yang tak jelas dan tak mungkin membaik untuknya. “Benar-benar tidak beres! Oh, Tuhan, apa yang harus kulakukan?”
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!