"Ini zaman apa sampai kalian masih percaya takhayul?!" Rain menyeru kedua orang tuanya. "Aku hanya kecelakaan kecil, mana bisa disangkutpautkan dengan nasib buruk dari hari dan tanggal lahirku?!"
Tak habis pikir sendiri, orang tuanya mendadak konyol, padahal alur hidup mereka mengikuti pergerakan zaman.
"Bisa-bisanya kalian tertipu omongan orang itu," sungutnya sembari membuang wajah. Yang dimaksudnya adalah pria tua yang dianggap guru spiritual oleh kedua orang tuanya.
"Kau bisa mengatakan itu jika kecelakaan yang menimpamu hanya baru kali ini!" Yujin--ibunya, balik menyeru.
"Kau hampir dibunuh bandit saat di London, kau tenggelam di sungai Han saat menyetir lepas kendali, kau hampir tertimpa beton saat mengunjungi proyek pembangunan, dan sekarang kau terjatuh di area pendakian, Rain! Apa kau tidak mengerti ketakutan ibu dan ayahmu, huh?!" Yujin menggebu, kecemasan membawa sesak di ujung dada hingga pecah jadi tangisan. "Ibu mohon ...." Suaranya melemah. "Menikahlah dengan Seulbi. Hanya dia yang bisa menyelamatkanmu dari kesialan dan nasib buruk."
Rain menggelengkan kepala, sangat tidak suka mendengar teori itu. "Tapi kenapa harus wanita itu, Ibu ...?"
Merujuk dari keyakinan kolot orang tuanya, dia punya banyak teman wanita yang mungkin saja cocok salah satunya untuk dinikahi.
"Apa yang salah dengan Seulbi?!" Kali ini ayahnya--Shin Jeha ambil bagian. "Selain shio, hari dan tanggal lahirnya cocok denganmu, Seulbi gadis yang cantik dan juga pintar. Kenapa kau mendadak buta? Apa kau benar-benar ingin mati? Atau kau ingin ayah dan ibumu yang mati lebih dulu karena mencemaskanmu?!"
...******...
"Seulbi Sayang, kau yakin akan menerima tawaran Jeha dan Yujin untuk menikahi Rain?" Areum menatap sedih wajah putrinya.
Dari jendela yang menganga, pemandangan kebun belakang terlihat indah, Seulbi mencampakkan itu, memilih membalik badan menghadap ibunya yang berdiri di belakang sejak tiga menit lalu.
"Kita tak punya pilihan lain, Ibu," katanya, diam sejenak untuk mengatur perasaan yang sebenarnya penuh gemuruh, "Rumah ini akan hilang jika aku egois."
Areum semakin merasa bersalah. Sebagai ibu, dia benar-benar merasa gagal. "Kita bisa usaha lebih keras dari ini." Berharap sedikit mungkin bisa mengurangi beban.
"Semua akan sia-sia, Ibu. Tenggat waktu yang diberikan bank hanya hitungan hari, kita tak bisa melunasi di jangka waktu yang tersisa itu. Terlalu berat." Seulbi pesimis, dan kenyataannya memang seperti yang baru saja dia ucapkan. "Menikah dengan Rain mungkin tak seburuk yang dibayangkan." Dia memasang senyum, berusaha menyembunyikan ketidakyakinan dalam dirinya di depan sang ibu. "Dan rumah kita akan kembali."
"Tapi kau akan terluka, Kak!" Micha--adik perempuan Seulbi tiba-tiba datang, berseru impulsif. Jelas terlihat dari rautnya betapa dia tak menyetujui apa yang telah diputuskan kakaknya. "Rain itu seorang playboy. Aku mencari tahu banyak tentang dia dari media sosial. Dia bukan pria yang baik, Kakak."
Seulbi melangkah mendekati Micha yang berdiri di ambang pintu. Setara tinggi, membuatnya leluasa mengelus pipi adik satu-satunya itu, menatap ke dalam mata Micha yang merah karena amarah.
Dia juga tahu semua fakta tentang Shin Rain yang baru saja dikatakan Micha, tapi semua terlanjur buntu dan menikahi pria itu adalah jalan satu-satunya untuk mempertahankan aset keluarga yang tersisa. Jika tidak, mereka akan terlunta-lunta. Hati Seulbi tak sampai ke sana untuk membuat ibu dan adiknya menderita.
"Lalu apa kau punya cara, Micha?" tanya Seulbi, berharap mungkin adiknya memiliki cara selain yang saat ini mereka debatkan.
Sorot mata Micha dibanjiri kebingungan, terdiam dengan pertanyaan yang jelas dia tak punya jawabannya.
Dan Seulbi lekas paham ekspresi itu.
"Uang hasil aku bernyanyi di kafe, uang hasil ibu menjual roti dan kue-kuenya, tidak akan bisa menutupi apa pun, Micha. Tidak ada yang bisa kita pertaruhkan lagi untuk menyelamatkan kenangan kita dan rumah ini."
Cukup tercubit dengan pernyataan kakaknya, Micha merundukkan kepala, 'tak bisa mengatakan apa-apa. Dia tidak punya bahan kontribusi apa pun untuk melepaskan kesulitan yang menjerat keluarganya.
Dirinya adalah orang yang paling tak ingin kehilangan rumah yang mereka tempati ini, rumah yang dibangun ayahnya dengan susah payah sejak mereka kecil. Berulang dia berseru tidak ingin rumah itu sampai disita pihak bank.
Micha sadar dengan apa yang sangat dia ingin, tapi dia juga tak rela jika kakaknya harus menikah dengan pria yang tak dicinta juga mencintainya, terlebih pria itu adalah Rain.
"Tapi, Seulbi--"
"Kumohon kali ini biarkan aku, Bu." Seulbi memotong kalimat ibunya yang saat ini berdiri tepat di antara dirinya dan juga Micha.
"Jika aku kalah dan tak sanggup, aku akan kembali pada kalian. Aku janji."
Adik dan ibunya tak bisa berkata lagi.
Bersamaan mereka bertiga saling berpeluk, berbagi tangis. Betapa hidup terkadang sepahit itu.
...*****...
Detik berjalan 'tak kenal lelah. Seminggu berlalu.
Suasana di ruangan itu terasa kelam, ruangan yang menjadi saksi dua sejoli akan dipersatukan.
Kediaman keluarga Lee.
Tidak ada hiasan mewah dan tamu-tamu, semua dilakukan secara diam-diam yang hanya melibatkan dua keluarga inti saja.
Sesuai keinginan Rain yang juga disetujui Seulbi.
Dengan wajah mengurat karena tak suka dengan keadaan ini, Rain baru saja membubuhkan tanda tangannya di atas sehelai kertas yang merupakan sertifikat pernikahannya dengan wanita yang sama sekali 'tak dia inginkan jadi pasangan.
Sedang Seulbi sendiri sudah lebih dulu menggores bagiannya tanpa berpikir, seperti dia penuh semangat dengan pernikahan ini. Kelakuan yang membuat pandangan Rain padanya semakin membenci saja.
"Memuakkan!" Pria itu mengumpat di dalam hati.
"Baiklah. Dengan begini kalian sudah sah menjadi pasangan suami isteri. Selamat." Ucapan pria petugas pencatat nikah itu kedengaran sangat manis dan menyenangkan.
Mungkin iya, jika pasangan yang disahkannya adalah pasangan saling menginginkan. Sedangkan ini adalah Shin Rain dan Lee Seulbi, sejoli yang dipersatukan karena paksaan orang tua dan keadaan.
Bagaimana pun ini tak adil, tapi mereka harus. Pura-pura rela menjalani alasan yang berlainan.
Semua berjabat tangan dan mengucapkan terima kasih satu sama lain setelah itu.
"Sudah selesai, aku harus kembali ke kantor." Rain berdiri dari tempatnya, tak ingin berlama-lama ada di sana.
Namun langsung mendapat hardikan keras dari sang ibu, "Tidak ada kantor! Hari ini kau harus membawa Seulbi pulang ke rumah. Ibu sudah mengatur kamar pengantin untuk kalian!"
Bukan hanya Rain, Seulbi pun turut terkejut mendengar itu.
"Itu tidak ada dalam perjanjian, Ibu!" debat Rain. "Bukankah pernikahan ini hanya status saja? Kenapa Ibu sampai repot menyiapkan kamar pengantin?"
Areum merasakan sakit jauh dalam hatinya. Putri yang begitu dia banggakan harus menikah dengan lelaki yang sama sekali tak menginginkannya.
Micha ingin menampar wajah tampan mengerikan yang kini telah sah berstatus kakak iparnya, tapi Areum menahannya dengan gelengan.
Lebih terhenyak dari siapa pun, Seulbi merasakan hatinya seperti ditusuk-tusuk. Sikap blak-blakan Rain lumayan membuat harga dirinya seperti sepotong roti kering yang tercampakkan.
Tapi dia tak boleh terlihat lemah, harus tetap tenang.
"Aku setuju denganmu, Bu. Aku akan ikut Rain pulang ke rumah kalian."
"Apa sebenarnya yang kamu rencanakan?" Rain bertanya pada Seulbi. Pasang matanya menyipit tajam, mengamati setiap bagian dari diri wanita itu.
Keduanya kini sudah berada di dalam kamar yang dikatakan Yujin sebagai kamar pengantin.
"Aku hanya ingin dekat dengan suamiku, itu saja," jawab Seulbi ringan, bergerak santai melewati Rain untuk menghampiri sebuah kursi rias yang kemudian dia duduki.
Rain mengetatkan rahang, tidak suka jawaban Seulbi. Tubuhnya berputar menghadap wanita itu. Terlihat saat ini Seulbi tengah sibuk membersihkan sisa riasan di wajahnya dengan sehelai tissue.
"Lee Seulbi, atau masih lebih pantas kusebut ... Kodok Jelek!" Rain ingat julukan itu sepuluh tahun lalu, julukan yang dia berikan saat mereka masih sama-sama berseragam sekolah menengah. Keduanya berada di sekolah yang sama, Rain adalah kakak kelas Seulbi.
Ada masalah pribadi yang membuat Rain sangat membenci Seulbi saat itu. Tapi siapa kira, walau sudah berlalu lama sekali, dia masih saja tak bisa melupakannya.
"Selain wajahmu yang berubah can-- ... sedikit cantik maksudku, selebihnya dalam dirimu masih sama, sama menyebalkan seperti sepuluh tahun lalu ... di mataku," Rain menukas penuh tekanan.
Dari cermin, Seulbi melihat tatapan sinis Rain, sangat mengerikan. Tapi ...
"Aku tidak peduli!" katanya seraya berdiri, lalu tanpa takut dia kembali mendekati pria yang telah sah jadi bagian dari hidupnya itu. Wajahnya yang lebih rendah dari wajah Rain naik mendongak, menyapu tatap setiap detail paras Rain berbalut senyum. "Yang terpenting bagiku ...." Dia menggantung kalimat, sementara tangannya tergerak nakal melakukan usapan halus di dada Rain yang masih tertutup rapi dengan atribut. "Saat ini kamu adalah suamiku, Shin Rain."
Cukup mengejutkan Rain sampai membuatnya sulit berkata selama beberapa detik. Dia tak menyangka si kodok jelek bisa melakukan hal seperti ini.
"Menjijikkan!" Tangan Seulbi ditepis cepat dari dadanya. "Dengarkan aku, Kodok!" Posisi diubahnya, memajukan wajah lebih dekat ke wajah Seulbi hingga hanya tersisa setengah jengkal. "Apa pun tujuanmu menerima pernikahan ini, aku tidak peduli. Kau tidak akan mendapatkan apa pun dariku, dari pernikahan ini. Selamanya di mataku, kau adalah seekor kodok." Lalu pergi dengan langkah-langkah lebar meninggalkan ruangan itu.
Lepas Rain hilang dari pandangan, Seulbi tercenung menatap pintu. Sebulir air mata jatuh menggelinding melewati pipi, disekanya dengan sebelah tangan. "Lee Seulbi, kau harus bersabar. Satu tahun, kontraknya hanya satu tahun, kau akan terbebas dari lelaki itu."
*****
"Kenapa wajahmu ditekuk? Bukankah ini hari bahagiamu? Kenapa malah datang kemari?" Joon, sahabat dekat Rain memberondong dari balik bar counter-nya.
"Jangan banyak bertanya!" hardik Rain. Tubuhnya sudah terempas di atas kursi tepat di hadapan Joon. "Berikan aku botol minuman yang banyak, aku ingin mabuk."
Joon memiringkan kepala dengan mata menyipit tipis, memerhatikan kelakuan Rain. "Apa ada sesuatu yang terjadi? Calon pengantinmu kabur?"
Sontak menarik pandangan kelam Rain pada sahabatnya itu. "Kenapa kau berisik sekali?" Pusing di kepalanya bertambah kadar.
"Baiklah, aku tak akan bertanya lagi." Joon mengalah untuk saat ini, berbalik badan untuk mengambil sebotol anggur dari rak counter-nya, membuka tutup, lalu menyodorkannya ke hadapan Rain. "Mabuklah!" Dia melepas apron dari badannya yang tegap, lalu meletakkan di atas kepala kursi. "Aku ada janji dengan Yisoo," katanya memberitahu Rain. Tangannya melambai tangan pada seorang lelaki yang tengah meracik cocktail di sebelah kanan. "Kau layani dia." Lelaki itu mengangguk patuh.
"Hey, kau mau kemana?!" Rain bertanya keras. "Aku kemari kenapa kau malah pergi?!"
Joon sudah keluar dari counter dan berdiri di samping Rain. "Aku sudah mengatakannya padamu tadi," ujarnya, lalu merundukkan kepala untuk berbisik di telinga Rain, "Sobat, ini hari pernikahanmu, seharusnya kau bersenang-senang dengan isterimu." Tubuh kembali ditegakkan, tersenyum bersirat olokan. "Aku pergi!" Satu tepukan di pundak Rain mengakhiri perkataannya, Joon berlalu pergi tanpa simpati.
"Sialan itu, kenapa jahat sekali?!" Satu gelas anggur diteguk Rain kasar, melampiaskan kekesalan.
Joon adalah pemilik kelab yang saat ini dipijak Rain, jadi pria itu bisa sesuka hati datang dan pergi.
**
Di rumah besar keluarga baru Seulbi.
Saat ini makan malam pertama Seulbi sebagai menantu keluarga Shin, tanpa kehadiran Rain sebagai suami. Tapi mereka semua paham itu dan memilih tak mempermasalahkan.
Tak sekedar makan malam saja, ada pembahasan penting di sela itu.
"Apa?!" Seulbi terperanjat mendengar hal yang baru saja diutarakan Jeha, mertua laki-lakinya. "Ayah ingin aku bekerja di perusahaan dengan Rain?"
Shin Jeha mengangguk dengan mulut penuh terisi makanan, setelah itu lalu berkata, "Ya, Seulbi. Kamu bisa memilih bagian apa yang kamu inginkan."
"Tapi, Ayah ... aku tak ada pengalaman bekerja di kantor, aku tak akan bisa." Seulbi menjelaskan keadaan dirinya.
"Tak apa, Sayang. Kamu bisa belajar dulu. Kami akan minta orang mengajarimu." Yujin meyakinkan dengan senyuman.
"Tapi, Bu, aku---"
"Seulbi!" Jeha memotong. "Bukankah kamu ingin menyekolahkan adikmu ke luar negeri?!"
Seulbi tertegun mendengar itu, seketika dia mengingat bagaimana janjinya pada Micha.
"Walaupun ayah sudah tiada, Kakak janji akan bekerja keras agar bisa menyekolahkan kamu di Amerika sesuai cita-citamu."
"Kami akan memberikan gaji yang pantas," lanjut Shin Jeha, otomatis membuyarkan lamunan Seulbi. "Selain itu, kami juga ingin kamu mengawasi Rain. Kata para karyawan, beberapa kali dia membawa teman wanitanya ke kantor. Ayah takut pekerjaannya terpengaruh dengan hal-hal yang tidak penting semacam itu. Jadi Seulbi ... tolong ... bekerjalah di perusahaan kami. Tidak perlu sebagai menantu, lakukan sebagai dirimu sendiri."
****
Sekitar jam sebelas malam, Rain baru tiba di rumah.
Saat memasuki kamar, dia lupa bahwa saat ini Lee Seulbi resmi jadi penghuni baru. Sontak demikian dia harus rela berbagi ruang.
Ada banyak kamar yang kosong di rumah besarnya, tapi Yujin mengecam dengan sangat keras sampai Rain kemudian mengalah lagi pada aturan ibunya yang menjengkelkan.
"Kodok sialan!" umpatnya menggeram, mendapati Seulbi sudah terbaring manis di tempat tidur, menggunakan selimutnya pula.
Dengan kesal dia mencelat ke kamar mandi untuk membersihkan diri.
Di posisi baring yang menyamping, Seulbi membuka mata, dia mendengar umpatan Rain dan hentak kakinya yang menggema. "Maaf, Rain ... kali ini aku tidak akan mengalah lagi," katanya sangat pelan, tersenyum penuh arti.
Pintu kamar mandi berderak terbuka, Rain sudah selesai dengan ritualnya beberapa saat kemudian. Buru-buru Seulbi memejamkan mata, tak ingin diketahui bahwa dirinya belum tertidur.
Aroma sabun dan shampoo menyeruak ke penciuman. Rain pasti hanya mengenakan sehelai handuk, pikir Seulbi. Nalurinya tergoda ingin menoleh, namun hatinya jelas mengancam.
Dia ingat bagaimana tubuh kurus Rain saat SMA, berbeda dengan sekarang yang nampak gagah. Lalu bagaimana tampilannya saat bertelanjang dada? Pasti sangat menggoda.
"Ah, sudahlah!" Buru-buru Seulbi menepis pikiran kotornya. Pernikahannya tidak diatur untuk hal itu.
"Ada apa denganmu?"
Sontak mengejutkan Seulbi, langsung membuka mata dan membelalak, lalu menoleh. "Rain!"
Setelah semalam berdebat urusan tempat tidur, pagi harinya Rain berakhir bangun di atas sofa, dan mendapati isterinya sudah tak di sana.
Yang jelas, semalam tidak ada malam pertama romantis seperti pengantin kebanyakan.
Yujin dan Jeha sudah berada di meja makan, menunggu anak dan menantunya bergabung.
Seulbi berhasil datang lebih dulu, segar dengan setelan kerja yang sangat pas di tubuhnya yang semampai.
"Pagi, Ayah, Ibu," sapa Seulbi dengan senyuman, langsung mengambil posisi duduk di kursi berseberangan dengan pasangan mertuanya.
"Pagi, Sayang," Yujin membalas tak kalah hangat. "Bagaimana tidurmu? Nyenyak?"
Seulbi tersenyum. "Sangat, Bu," jawabnya. Jelas membual, pikirannya langsung melayang pada kejadian semalam. Sangat konyol sampai ada acara tarik menarik selimut dan lempar bantal, yang pada akhir dimenangkan oleh dirinya setelah mengancam akan membuka baju di depan Rain.
Jurus andalan, Rain benci dia, tentu tak akan tergoda walau dirinya telanj4ng sekali pun,
Tepat memikirkan ekspresi kesal Rain semalam, pria itu datang bergabung.
Sebelum mengambil posisi duduk, Rain menghunus tatapan tajam pada isterinya, seperti mengutuk melalui tatapan mata.
Seulbi tak peduli, tetap melahap sarapannya dengan elegan.
Yujin dan Jeha saling melempar pandang, mereka tahu anak dan menantunya tak baik-baik saja semalam, tapi keduanya memilih diam. Yakin ini hanyalah awal, mereka percaya Rain bisa berubah dan jatuh cinta pada isterinya yang bagi mereka tentu sangat sempurna.
Perlu diketahui, mengapa Seulbi dipilih Shin Jeha dan Yujin sebagai menantu. Alasannya bukan hanya tentang ramalan hari dan tanggal lahir Seulbi yang cocok untuk menghapuskan kesialan Rain, lainnya adalah karena mendiang ayah Seulbi merupakan teman dekat Jeha sejak kuliah. Keadaan itu sudah sangat sempurna, mereka tak perlu mencari kandidat lain yang menyulitkan perihal kecocokan ramalan itu.
"Oiya, Rain ..." Jeha meletakkan sendoknya di atas piring yang sudah kosong. "Hari ini Seulbi akan mulai bekerja di kantor kita."
"Uhuk!" Rain langsung tersedak mendengar pemberitahuan ayahnya yang mengejutkan.
Tanggap cepat, Seulbi menyodorkan air mineral ke hadapan pria itu.
Rain menerima cepat karena darurat.
"Apa Ayah bilang? Dia?" Wajahnya menunjuk Seulbi dengan air muka sangat tidak percaya.
"Iya," jawab Jeha. "Dia akan mengisi bagian kosong di divisi dua menggantikan Minho."
"Tapi, Ayah--"
"Kau tak perlu takut dan ikut campur!" hardik Shin Jeha. "Urusan Seulbi di perusahaan adalah tanggung jawab Ayah. Cukup kerjakan pekerjaanmu seperti biasa. Ayah sudah menghubungi Won untuk mengajari isterimu banyak hal tentang pekerjaannya nanti."
"Ayaaah!" Rain tetap tak setuju.
"Sudahlah, Rain." Yujin menengahi. "Lagi pula yang dilakukan ayahmu hanya membantu Seulbi menghasilkan uang. Perusahaan akan menggaji sesuai pekerjaannya. Seulbi punya ibu dan adik yang bergantung padanya, bukan pada Ibu dan Ayah, bukan pula padamu." Kalimat akhir sedikit dia tekankan. "Pekerjaannya sebagai penyanyi kafe tak bisa banyak menutupi kebutuhan mereka."
Bukan hanya alasan, faktanya Seulbi memang menolak saat Yujin dan Jeha berniat tanggung jawab penuh atas keluarganya.
Sisi terdalam hati Rain terhenyak, dia juga manusia. Ada rasa tersinggung sebagai pria yang menikahi Seulbi. Walaupun adanya pernikahan ini hanya mainan menurutnya, tapi dia tetap merasa rendah. Tanggung jawabnya tak bisa dinilai sama.
"Baiklah. Lakukan apa pun yang kalian inginkan. Aku tidak peduli!" ujarnya tak punya kata lagi untuk menimpal, dia tetap bertahan dengan egonya. Jas di punggung kursi digamitnya seraya berdiri, lalu pergi meninggalkan meja makan tanpa menghabiskan isi piringnya.
"Bekerjalah dengan baik, Sayang. Jangan pedulikan dia." Yujin menyemangati Seulbi.
"Tentu, Bu, terima kasih." Lalu beralih pada mertua laki-lakinya "Terima kasih, Ayah."
Jeha membalas tulus, "Jangan sungkan perihal apa pun, Nak. Kau adalah anak kami."
****
GUAN SAN Group dihebohkan dengan kedatangan karyawati baru.
Ini bukan musim penerimaan karyawan, datangnya Seulbi ke perusahaan jelas jadi perhatian.
Sebenarnya bukan tentang pekerjaan, melainkan sosok Seulbi yang luar biasa, dia cantik dan elegan walaupun busana yang dikenakan tidak mencolok.
Semakin mengejutkan ketika wanita itu dalam dampingan Kang Shi Won--manager umum sekaligus orang kepercayaan Ketua GS.
Pemilik ketegasan dan wajah manis, Won adalah orang nomor dua pujaan seluruh GS, setelah nomor satunya jelas diduduki CEO mereka--Shin Rain.
Rain sangat terusik, di kursi kerjanya terus marah-marah pada dokumen yang sedang dia kerjakan.
"Sial!"
Pasalnya, dari pagi hingga jam istirahat tadi, semua orang sibuk membicarakan Seulbi dengan berbagai asumsi. Terlebih para pria, memuji tinggi betapa cantik dan ramahnya wanita itu.
"Kalian semua tidak tahu! Dia itu hanya kodok, kodok jelek!" Marah-marah tak jelas, sekretarisnya--Hwarang yang sudah di sana sedari tadi bahkan dibuat bingung. Siapa sebenarnya yang dimaksud bos-nya dengan kodok jelek? Apa yang membuatnya sampai meradang seperti itu.?
Rain kadang-kadang di luar nalar.
"Bos, meeting dengan klien dari JADE kurang lebih setengah jam lagi, kita harus berangkat sekarang." Hwarang memberitahu.
Rain mendesah kasar. "Baiklah, siapkan berkasnya. Jangan sampai ada yang tertinggal."
"Baik, Bos."
Rain dan Hwarang keluar dari ruangan. Tepat melewati divisi dua dimana Seulbi bekerja, dia tak tahan untuk tak melihat ke arah wanita itu. Keadaan ruang terhalang dinding kaca di sekeliling, Rain bisa memandang jelas wanita yang sedari pagi mengganggu konsentrasinya itu.
Ternyata Seulbi sedang sibuk--- sibuk belajar bersama Shi Won.
"Menjijikkan! Dasar penjilat!" umpat Rain, kesal. Lalu melanting cepat tak ingin berlama-lama.
Hwarang tetap mendengar. Setelah sesaat memerhatikan, sekarang dia paham siapa yang menyebabkan bosnya berkelakuan seperti itu. "Ternyata karyawan baru," kata wanita itu di dalam hati sembari melihat ke arah Seulbi. "Apa hubungan mereka berdua?"
Tak mendapat jawaban dan tak ada orang untuk ditanyai, dia menyerah dan cepat menyusul Rain yang sudah melangkah jauh.
Usia Hwarang lima tahun di atas Rain. Dia tomboy dan sedikit kaku, tapi sangat profesional dalam bekerja. Sengaja Shin Jeha menempatkan wanita itu sebagai sekretaris Rain, jelas agar Rain tak banyak bermain-main.
Di tempat Seulbi.
"Kau sudah mengerti? Tidak ada yang sulit, 'kan?" Won bertanya.
Seulbi mengangguk senang. "Iya. Terima kasih atas bantuanmu. Kurasa sekarang aku bisa mengerjakannya sendiri," ujarnya.
"Kau sangat tanggap dan cerdas, tak sulit mengajarimu. Ke depannya tugas-tugas seperti ini akan datang padamu, jadi terbiasalah dengan itu."
"Baik, aku akan berusaha sekuat tenaga. Terima kasih."
Seraya melihat jam di pergelangan tangan, Won berkata, "Sepertinya aku harus pergi. Ada tugas lain di departemen cabang. Kau tak apa aku tinggal?"
"Tentu," Seulbi menjawab tegas. "Terima kasih dan ... selamat bekerja! Hwaiting!" Satu kepalan tangan naik memberi semangat.
Sikap menggemaskan Seulbi menarik senyuman di bibir Shi Won dan itu mengejutkan semua orang. "Kau juga. Selamat bekerja. Aku pergi dulu," balas Won masih memasang senyum yang sama.
Tak ada tatap yang melenceng dari pemandangan itu.
Sekarang semua mulai iri pada Seulbi yang bisa dengan gratis mendapatkan senyuman indah seorang Kang Shi Won, pria dewasa yang selalu memberi kesan dingin dan datar tanpa ekspresi, namun tetap digilai banyak wanita.
"Nona Seulbi, bagikan jurusmu! Bagaimana caranya kau membuat Manager Won tersenyum seindah itu?!"
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!