NovelToon NovelToon

Pelakor Berkerudung

Aku Dan Kebahagiaan

(Halo Para Pembaca Kesayangan? Sebelumnya terima kasih banyak karena masih menyempatkan diri untuk membaca cerita yang kepenulisannya masih belum sempurna dan masih banyak salah serta typo. Mohon maaf sebelumnya jika novel yang aku buat ini bersangkutan dengan salah satu agama di Indonesia, menyinggung beberapa pihak. Sungguh, cerita ini aku buat karena permintaan dari salah satu pembaca setiaku yang sudah meluangkan waktunya untuk berbagi kisah hidupnya. Sebut saja namanya, kak M. Awalnya aku sempat menolak untuk membuat novel yang memiliki hubungan dengan agama, tetapi karena bujukan beliau, serta curhatan beliau yang membuat hatiku juga ikut sedih, akhirnya Aku memberanikan diri menulis sebuah novel yang tidak pernah terpikirkan sama sekali olehku. Selama 4 bulan terakhir ini, kami intens bertukar pesan dan juga mengobrol melalui panggilan suara, akhirnya aku menjadi tertarik untuk meluangkan kisah beliau dalam bentuk tulisan. Namun, ada sebagian part yang menjadi karangan ku sendiri. Juga, akhir dari kisah novel ini tidak mendasar atau sesuai dengan apa yang terjadi pada Kak M, namun akhir kisah dari novel ini akan sesuai dengan seperti yang diinginkan oleh Kak M. Dengan harapan, kak M dapat melewati kesulitannya, dan berakhir seperti yang beliau inginkan.)

(Kisahku Di Mulai) 

"Ah, sakit!" Pekik ku sakit. 

Hari ini, adalah hari ulang tahun pernikahanku yang ketiga tahun. Awalnya, aku dan juga suamiku sudah memiliki banyak sekali rencana untuk merayakan hari ulang tahun pernikahan kami yang ketiga ini. Namun, saat baru selesai menghubungi resepsionis dari sebuah restoran yang biasa kami gunakan untuk makan malam berdua, dan memesan meja, tiba-tiba aku merasakan sakit pada perutku, sakit itu sungguh sangat luar biasa. 

Yah, sakit pada perutku itu adalah karena, kontraksi kehamilan ku!

2 tahun lebih aku menunggu kehamilan ini. Sejak 6 bulan menikah namun tak kunjung hamil, Aku benar-benar melakukan segala cara untuk bisa segera hamil dengan meminum bermacam-macam obat herbal. Tidak hanya itu saja, demi mendapatkan kehamilan Aku menjalani pola hidup sehat, makan teratur, bahkan katanya mengkonsumsi kurma muda juga aku lakukan setiap harinya. 

Benar, aku pernah hampir menyerah Setelah 1 tahun tidak juga hamil. Namun, tekanan dari ibu mertuaku yang begitu menginginkan cucu membuatku kembali bersemangat untuk lagi mencobanya. Aku bersama dengan suamiku mendatangi Dokter untuk memeriksakan kesehatan kami berdua, dan kami bisa tersenyum lebar saat Dokter mengatakan tidak ada masalah di rahimku begitu juga dengan suamiku. Kami berdua sehat, hanya Tuhan saja yang belum mengizinkan kami berdua untuk memiliki anak. 

Setelah hari itu, aku tetap menjalani kehidupanku dengan pola sehat seperti yang dianjurkan Dokter Jika menginginkan kehamilan segera datang padaku. Yah, walaupun sesekali aku harus merasakan pedasnya mulut ibu mertua, tetapi suamiku yang sangat menyayangiku itu benar-benar membuatku merasa tidak masalah mendengarkan apa yang diucapkan oleh ibu mertuaku, karena yang paling penting bagiku adalah, aku dan juga suamiku akan terus mencintai satu sama lain hingga maut memisahkan. 

Yas! Pada akhirnya setelah 2 tahun lebih aku menunggu, Tuhan memberikan kehamilan padaku, dan itu benar-benar membuatku merasa sangat bahagia, begitu juga dengan suamiku. 

Namun, ada sedikit rasa mengganjal di hatiku karena saat aku memberitahu ibu mertuaku bahwa aku sudah hamil, dia sama sekali tidak menunjukkan dengan jelas ekspresi wajah bahagia dan cenderung diam saja seolah-olah dia tidak peduli sama sekali. Aneh, tapi aku tetap mencoba untuk bersikap biasa saja dan fokus dengan kehamilanku yang katanya, aku tidak boleh merasakan stress kalau tidak ingin bayiku juga merasakan hal itu. 

Hingga pada kehamilan 3 bulan pertama, ibu mertuaku datang ke rumah kontrakan yang aku tinggali bersama dengan suamiku. Ibu mertuaku tinggal seorang diri di rumahnya, karena Ayah mertuaku sudah meninggal 2 tahun sebelum kami menikah. 

Tadinya, Aku ingin memeluk ibu mertuaku seperti aku menyambut kedatangan Ibu kandungku sendiri. Namun, melihat ibu mertuaku yang selalu saja memasang ekspresi wajahnya yang masam, belum lagi ucapannya yang begitu aku ingat sampai dengan detik ini, rasanya aku seperti tersadar bahwa ada jarak yang tidak bisa aku lewati untuk bisa menggapai hati ibu mertuaku. 

"Baru hamil 3 bulan saja, tubuhmu sudah sebengkak itu," ujar Ibu mertuaku saat itu. 

Aku mencoba biasa saja dan sebaik mungkin aku membentuk senyuman meski bibirku enggan sekali tertarik untuk melakukannya. Lagi, mertuaku memberikan celetukan yang sangat sulit untuk aku lupakan pada tiap kata yang keluar dari bibirnya. 

"Cobalah untuk banyak bergerak dan melakukan aktivitas, Kau terlalu banyak makan dan juga tidur. Apa kau tidak berpikir, kalau badan kegemukan itu akan membuatmu sulit beraktivitas? Bahkan, itu bisa membuat badanmu mudah berkeringat dan bau!" Ujarnya lagi. 

Aku kembali memaksakan senyumku. Saat itu aku mencoba untuk menganggukkan kepalaku karena jelas saja aku tidak bisa membantah apa yang diucapkan oleh Ibu mertuaku. Aku benar-benar cukup tahu diri, selama ini aku benar-benar hanya tinggal di rumah dan mengurus suamiku saja karena suamiku ku sendirilah yang melarangku untuk ikut membantunya bekerja. 

Ah, Aku sampai lupa memperkenalkan diriku!

Namaku, Leora Hanafi. Saat ini usiaku 22 tahun. Yah, aku masih sangat muda karena memang aku menikah dengan suamiku setelah aku satu tahun lulus dari sekolah menengah atas, tempatnya saat usiaku 19 tahun. 

Suamiku sendiri, namanya adalah, Artes. Usianya cukup jauh berbeda denganku yaitu, 31 tahun. 

Pekerjaan suamiku adalah berjualan pakaian di sebuah pusat belanja. Iya, dia memiliki 12 toko pakaian di 3 pusat belanja. 

Awal mula kami bertemu adalah saat aku melamar kerja di tempat suamiku. Satu tahun aku bekerja sebagai pegawai toko baju milik suamiku, saat itu aku benar-benar tidak memiliki pemikiran untuk menjalin hubungan dengan suamiku karena aku tahu benar banyak sekali gadis yang mencoba untuk mendekati suamiku. 

Tetapi, entah mengapa tiba-tiba saja suamiku mencoba untuk mendekatiku lalu begitu saja seperti air mengalir akhirnya kami dekat hingga hanya butuh waktu 3 bulan saja suamiku mantap untuk menikahiku. 

Tiga tahun kami menjalani kehidupan rumah tangga. Aku tidak bohong bahwa aku selalu dibuat bahagia olehnya, namun aku sama sekali tidak menyangka bahwa perasaan bahagiaku itu membuatku begitu buta hingga tak bisa merasakan apapun. 

Hari ini, tepat di hari ulang tahun pernikahan kami yang ketiga aku merasakan kontraksi yang sangat menyakitkan di mana hanya tinggal menunggu detik demi detik saja bayiku akan lahir. 

"Sayang, bisa tolong ambilkan minum untukku?" Panggilku dengan tatapan memohon kepada suamiku yang belum lama ini meninggalkanku di dekat brankar rumah sakit, sedangkan dia sibuk melakukan panggilan telepon di ujung ruangan dengan nada bicaranya yang begitu pelan hingga aku sendiri tidak bisa mendengar apa yang dibicarakan oleh suamiku. 

Suamiku dengan cepat menganggukkan kepalanya. Bergegas dia mengatakan sesuatu kepada orang yang ada di seberang telepon, sehingga sebelum dia berjalan menuju ke arahku dia sudah mengakhiri panggilan telepon. 

Tentu saja aku tidak merasa curiga, karena biasanya suamiku selalu saja sibuk menelepon apalagi kalau soal bahan pakaian yang dibutuhkan oleh toko jika sedang banyak pesanan. 

"Sayang, airnya habis. Tunggu disini, Aku akan segera kembali," ucapnya padaku sembari meletakkan ponselnya begitu saja. 

Eh, aneh! Batinku. Suamiku biasanya akan membawa ponselnya ke mana pun dia pergi. 

Karena aku takut nanti suamiku lupa dengan ponselnya, aku berniat menyimpan ponsel itu di tempat yang benar tetapi, layar yang menyala saat ada notifikasi pesan dari salah satu aplikasi untuk bertukar pesan, ataupun melakukan panggilan video terbaca olehku. Aku benar-benar lupa dengan rasa sakit dari kontraksi akan melahirkan. Seluruh tubuhku bergetar hebat. Air mataku deras berjatuhan tak terkontrol lagi, sedang bibir ku hanya bisa gemetar tak mampu mengeluarkan suara apapun lagi padahal, sejak tadi bibir ku terus bergumam merintih kesakitan. 

"Aku mual sekali, Bang. Abang besok datang kesini, jangan lupa bawa makanan yang sudah dibuat oleh Ibu untukku, ya? I love you....." 

Seperti itulah pesan yang aku baca dari ponsel suamiku. Namanya Rena, tetapi seingatku tidak ada sanak saudara suamiku yang bernama Rena, dan tidak ada adik perempuan suamiku. Suamiku anak kedua dan kakaknya adalah seorang laki-laki yang juga sudah berkeluarga. Lantas, kenapa dia juga mengatakan kalimat cinta untuk suamiku?

Dengan tanganku yang gemetaran aku mengembalikan ponsel suamiku ke tempatnya tanpa membuka kunci layar untuk melihat lebih detail lagi pesan dari wanita yang bernama Rena itu. Aku tahu, jika aku melakukannya, aku sendiri yang akan merasakan sakit lebih dari pada ini. 

Aku yang Ingin Menyerah

Mataku gelap, tubuhku yang mulanya gemetar menahan sakit, kini harus menahan keterkejutan yang luar biasa.

Aku ingin berpura-pura tidak mengingatnya, tapi jelas saja pembodohan seperti itu tidak mudah untuk dilakukan.

“Sayang,” panggil suamiku saat dia kembali masuk dengan menenteng air mineral di tangannya. “Ini minumnya,” ucapnya sembari menyodorkan minuman itu padaku.

Sejenak aku menatap air itu, rasanya aku ingin melemparkan ke wajah suamiku dan memakinya untuk melampiaskan rasa marah dan kecurigaanku. Tapi, aku tertahan oleh begitu banyak hal.

Air mataku terus berjatuhan, membuat suamiku terlihat sangat panik.

“Sayang, katakan harus apa aku sekarang?” tanyanya panik.

Aku semakin sedih, air mataku menjadi lebih deras dari pada sebelumnya. Aku sedang bertanya di dalam hatiku, apakah saat itu suamiku hanya sedang berpura-pura saja?

Haruskah aku mati saja bersama bayiku?

Sangking kesalnya, aku memiliki pemikiran yang sangat jahat seperti itu!

“Ah, sialan!” Maki ku saat itu.

Sakit, sungguh sangat sakit sekali. Kontraksi itu, juga hatiku.

Suamiku nampak semakin bingung, dia meletakkan botol mineral itu lalu mengambil posisi untuk memijat pinggangku.

Aku sedang kesal, itulah kenapa aku berbalik dan menepis tangannya.

Terlihat tidak marah, suamiku masih dengan telaten mencoba untuk melakukan apa yang dia bisa.

Pada akhirnya, aku menyerah.

Sekujur tubuhku benar-benar seperti kehilangan seluruh energi. Keringat dingin sudah tak lagi bisa diukur banyaknya keluar dari pori-pori kulitku. Mataku meremang, nafasku tersengal-sengal tak beraturan.

Aku tidak kuat lagi...

Rintih ku di dalam hati.

Pada akhirnya, Aku kehilangan kesadaran Karena rasa sakit dan juga syok berat yang aku rasakan di saat yang sangat tidak tepat itu.

Aku terbangun setelah beberapa jam, aku sangat terkejut saat membuka mata lalu menggerakkan tanganku sudah tak merasai perut besar ku lagi.

“Ugh!” Pekik ku ngilu.

Seluruh tubuhku terasa sangat sakit, kepalaku sangat pusing, dan mataku juga seperti masih belum jelas untuk melihat.

“Sayang...”

Aku menoleh, tentu saja aku sudah sangat hafal suara siapa itu.

Suamiku, dia mengusap kepalaku dengan lembut, menatap dengan begitu hangat seolah-olah dia sangat bahagia menyambut kesadaranku.

Deg!

Kembali, dadaku berdegup sangat kencang bahkan rasanya seperti teriris iris sembilu mengingat pesan yang masuk ke dalam ponsel suamiku.

Aku membencinya, mungkin lebih tepatnya Aku membenci pesan itu karena nyatanya aku tidak bisa membenci suamiku sendiri.

Sungguh aku sangat penasaran, Siapa itu Rena?

Ah, tunggu!

Aku benar-benar melupakan sesuatu yang sangat penting di dalam hidupku, ke mana perginya bayiku?

Ku tatap wajah suamiku, berusaha dengan sangat keras aku mengeluarkan suara semampuku karena rasanya saat itu aku masih saja lemas.

“Anakku....” inginku.

Suamiku tersenyum, dia menunjukkan ke sebuah inkubator yang ada di sebelah kananku.

“Anak kita lahir dalam keadaan sehat, tadi terpaksa kau harus menjalani bedah sesar karena kau tidak kunjung sadarkan diri, Sayang.”

Perlahan aku menggerakkan kepalaku untuk menoleh ke arah kanan, aku benar-benar bahagia mendapati kabar bahwa anakku dalam keadaan baik-baik saja.

Tanpa aku tahan, air mataku terjatuh.

Aku bahagia, itu adalah alasan aku menangis.

“Sesuai hasil pemeriksaan gender saat kehamilan, anak kita perempuan! Dia benar-benar sangat cantik, sayang!” Ucap suamiku terlihat bersemangat kala itu.

Aku sebenarnya masih tidak ingin berpura-pura tersenyum, tetapi tiba-tiba saja aku memiliki banyak pemikiran hingga pada akhirnya aku memutuskan untuk berpura-pura saja tidak pernah melihat pesan yang aku baca di ponsel suamiku.

Aku tersenyum, aku benar-benar mencoba menunjukkan senyum kebahagiaan dengan terus membayangkan anakku meski sampai detik itu masih belum Aku lihat wajahnya secara jelas.

Setelah menunggu beberapa saat, anak gadisku yang baru saja aku lahirkan bisa aku dekap, dan aku tatap dengan lekat.

Suamiku masih setia menemaniku di sana, sementara aku mencoba untuk terus berfokus dengan putri kecilku agar tak terlalu memikirkan apa yang seharusnya tidak aku pikirkan saat itu.

Jantungku berdegup sangat cepat, aku bahkan bisa mendengar detak jantungku sendiri. Wajah cantik putriku itu seperti membuat jantungku bisa berdebar-debar seperti aku jatuh cinta pada pandangan pertama dengan sosoknya.

Kulitnya yang bersih, susunan wajahnya yang serba imut, dan bahkan gerakannya juga terlihat imut di mataku.

Aku dan juga suamiku sudah menyiapkan nama untuk bayi perempuan kita sejak pertama kali kita mengetahui gendernya kala melakukan pemeriksaan ultrasonografi.

“Gozeline Amertha,” itu adalah nama gadis kecilku!

Aku melahirkan jam 6 pagi, aku harap putriku juga akan terus memiliki semangat pagi dalam kehidupannya.

Sore harinya, ibu mertuaku tiba.

“Wah, putrimu ini benar-benar sangat mirip denganmu ya, Arthes!” Ucap Ibu mertuaku kala melihat wajah putriku.

Aku tidak tersinggung sama sekali, Aku justru merasa sangat bahagia. Dengan wajah putriku yang sangat mirip dengan suamiku, itu sudah membuktikan dengan sangat jelas bahwa aku adalah istri yang sangat setia kepada suamiku.

Ya, pikiranku terlalu polos saat itu.

“Dia memiliki bibir yang sangat bagus, sepasang mata yang memiliki lipatan jelas, bentuk hidungnya juga sangat mirip dengan mu, dan dia juga memiliki kulit yang sangat putih seperti mu, Arthes!” Ucap lagi Ibu mertuaku.

Aku masih bisa tersenyum, aku benar-benar merasa bangga karena telah melahirkan putri yang sangat mirip dengan suamiku. Kalau untuk masalah kulit, memang benar suamiku jauh lebih cerah warna kulitnya dibandingkan denganku.

“Semoga saja, dia memiliki sifat yang mirip denganmu juga. Pandai berbisnis, dan tidak mengandalkan siapapun nanti. Dia harus mandiri menjadi wanita, iya kan?”

Kali ini, ucapan ibu mertuaku benar-benar membuat senyum di bibirku menghilang. Aku menjadi bertanya di dalam hatiku, apakah sifatku sangat tidak baik sampai-sampai ibu mertuaku mendoakan agar putriku lebih mirip dengan ayahnya?

Perasaan bahagia dan bangga telah melahirkan Gozeline seolah terbantahkan dan juga menghilang hanya karena ucapan menyakitkan ibu mertuaku saja.

Tidak bisa kah ibu mertuaku menjaga ucapannya sebentar saja? Harapku di dalam hati.

“Ngomong-ngomong, kau ingin memberikan nama apa untuk anakmu, Arthes?” Tanya mertuaku Yang sepertinya sengaja mengabaikan ku.

Sejak dia masuk ke dalam ruangan di mana aku sedang mendapatkan perawatan, dia hanya meletakkan satu keranjang kecil beberapa buah-buahan di meja. Tanpa bertanya bagaimana keadaanku, langsung berjalan untuk melihat putri ku.

Aku masih bisa menahannya, tetapi semakin lama dadaku justru semakin sesak.

“Gozeline Amertha, itu namanya, Ibu.” Jawab suamiku.

Ibu mertuaku menatap suamiku dengan sorot matanya yang aneh, dia seolah menyiratkan bahwa dia tidak setuju dengan pemberian nama itu.

Aku berpura-pura saja tidak melihat saat ibu mertuaku mengalihkan pandangan kepadaku.

“Ganti namanya! Kedengarannya aneh, tahu!” Protes ibu mertuaku.

Sangat Buruk?

“Meskipun memang benar ini adalah zaman modern, tapi memberikan nama anak juga tidak usah yang terlalu berlebihan,” peringat ibu mertuaku.

Suamiku hanya bisa memaklumi ibunya, dia menghalau nafas dan mencoba untuk menenangkan dirinya agar tak terbawa suasana.

Aku sendiri, saat itu sudah tak lagi bisa berpura-pura untuk tersenyum atau menunjukkan ekspresi lain selain aku sangat sedih saat itu.

“Nama itu tidak berlebihan, tidak berbelit, dan juga sulit pengucapannya. Nama itu sudah kami pikirkan matang-matang dari jauh-jauh hari, Ibu.” Suamiku menjawab.

Ibu mertuaku menghela nafas kasarnya, jelas dia tidak menerima alasan yang diberikan oleh suamiku.

Rasanya, Aku ingin sekali membentak ibu mertuaku seperti menantu yang tak kenal takut. Tapi, ajaran Ibuku untuk mengedepankan sopan santun begitu melekat pada diriku, sulit sekali rasanya aku menghilangkan kebiasaan itu.

“Ganti saja namanya!” Kukuh mertuaku. “Lisa, nama itu sangat bagus dan mudah pengucapannya,” ujar mertuaku tapi sama sekali tak melihat ke arahku saat mengatakan itu.

Suamiku mengernyitkan dahi, jelas suamiku tidak menyukai nama itu.

“Dengar, Arthes. Nama itu tidak terlalu penting, yang paling penting adalah pendidikan yang kau berikan kepada putrimu dan juga pengajaran bagaimana dia akan menjalani hidupnya. Percuma nama yang super modern dan juga bagus, tapi cara dia menjalani kehidupan sama sekali tidak berkelas,” ungkap ibu mertuaku.

Sebenarnya, aku sendiri tidak terlalu memahami apa maksud ibu mertuaku mengatakan hal semacam itu. Akan tetapi, entah mengapa aku merasa sangat tersinggung seolah-olah ibu mertuaku sedang mengutuk diriku meski tak secara langsung.

Sejak awal pernikahan, ibu mertuaku memang sudah memperlihatkan dengan jelas rasa tidak sukanya padaku. Aku mencoba untuk memakluminya, aku hanyalah gadis yang lulusan sekolah menengah atas saat itu. Bahkan, Aku juga belum mendapatkan ijazahku karena biaya sekolah yang belum bisa dibayarkan atau dilunaskan oleh kedua orang tuaku. Berkat suamiku lah, akhirnya aku mendapatkan ijazahku!

Aku terus mencoba untuk memahami ibu mertuaku dan segala rasa tidak sukanya padaku.

Suamiku adalah lulusan sarjana ekonomi, kakaknya suamiku juga adalah seorang dokter. Tentu aja aku sudah paham sejauh apa perbedaan antara keluargaku dan juga keluarga suamiku.

Hanya saja, Aku merasa sangat lelah untuk mengerti ibu mertuaku saat ini.

“Sudah, cepat sana kau urus tentang nama anakmu supaya nanti saat pembuatan akte nama anakmu tidak keliru lagi,” peringatan lagu mertuaku lagi.

Suamiku menghela nafasnya, dia tersenyum kalau sembari menggelengkan kepalanya saat kedua bola matanya menatap ibunya.

“Maaf, Bu. Aku benar-benar tidak menyukai nama itu, meskipun aku tahu nama itu juga sangat bagus. Ibu berikan saja nama itu untuk anaknya Kakak nanti kalau kakak memiliki rencana untuk melahirkan anak ketiga,” ujar suamiku mulai menggunakan nada bicara yang bercanda agar ibu mertuaku tidak tersinggung.

Pada akhirnya, ibu mertuaku terlihat malas untuk memperpanjang masalah itu.

Dia terus mengajak bicara putriku, menyanjung fisiknya yang sangat cantik dan terus menyamakannya dengan suamiku.

Beberapa saat lalu aku memang merasa sangat bahagia mendengarnya, tapi lama kelamaan aku benar-benar menjadi sangat muak.

Apakah wajahku sangat jelek?

Aku sampai ngobatin seperti itu di dalam hatiku karena ucapan ibu mertuaku.

Terus mencoba untuk bertahan, lagi pula di ruangan itu juga ada suamiku yang terus mengajakku untuk mengobrol.

Tidak lama kemudian, kedua orang tuaku tiba di rumah sakit.

“Nak?” Panggil kedua orang tuaku kompak.

Mereka berdua langsung menghampiriku, memelukku, dan menatapku dengan sangat intens seolah-olah mereka sedang memastikan bahwa aku sedang dalam keadaan yang baik-baik saja.

Aku tersentuh melihat hal itu, kedua orang tuaku selalu mengkhawatirkanku dan tidak pernah lupa menanyakan bagaimana kabarku setiap kali mereka menghubungiku begitupun sebaliknya.

“Maaf baru sampai jam segini, susah sekali kami dapat bus tadi,” ucap Ibuku mana takut dengan tatapan soalnya dia merasa bersalah.

Ku genggam tangan ibuku, rasanya lembab karena berkeringat. Mungkin, Ibuku benar-benar berjalan dengan sangat cepat untuk bisa melihat keadaanku. Ayahku juga tampak terus menyeka keringat dahinya, dia juga pasti sangat kelelahan.

“Ayah dan Ibu tidak perlu merasa tidak enak, lagi pula aku baik-baik saja, kan?” Ujarku, berharap kedua orang tuaku tak terlalu menyalahkan dirinya sendiri.

Ayahku tersenyum, meski tidak mengatakan apapun aku bisa melihat bahwa dia merasa lega saat mendapati aku dalam keadaan baik-baik saja.

Ya, Ayahku adalah pria yang paling tulus dalam mencintaiku!

Aku bersumpah, tidak ada pria sebaik ayahku di dunia ini, menurutku!

Ibuku melihat ke sekitar, dia tersenyum saat melihat ibu mertuaku yang berdiam diri terus menggendong putriku.

“Bu?” Sapa Ibuku kepada ibu mertuaku dengan senyuman yang sangat tulus.

Ibu mertuaku hanya sedikit tersenyum, jelas juga senyum itu adalah senyum yang sangat terlihat terpaksa.

Suamiku dengan segera menghampiri ayah dan juga ibuku, berjabat tangan dengan mereka.

“Bagaimana gambar ayah dan juga Ibu?” tanya suamiku sopan.

Ayahku tersenyum. “ Alhamdulillah, kami baik-baik saja.” jawab Ayahku.

Ibuku seperti merasa tidak nyaman, tentu saja aku tahu sekali itu karena ibu mertuaku yang selalu saja tak pernah mau berinteraksi dengan ibu kandungku sendiri.

Tersinggung, Mungkin memang benar Ibuku merasa seperti itu. Tapi, Aku juga yakin benar Ibuku merasa tidak perlu terlalu banyak berinteraksi dengan ibu mertuaku karena dia cukup tahu diri dan tidak ingin membuat orang tidak nyaman dengan dirinya.

“Bu, saya izin melihat cucu kita ya?” izin ibuku dengan sangat sopan kepada ibu mertuaku.

“Boleh saja,” jawabnya. “Tapi, lihat saja dan tidak usah digendong. Tangan Ibu kan kotor,” ujar Ibu mertuaku.

Ayahku langsung terdiam, sementara Ibuku hanya bisa memaksakan senyumnya saja.

Suamiku terlihat sangat tidak menyukai jawaban dari ibunya, tapi terpaksa dia menahan diri karena ada orang tuaku di sana.

Aku sendiri, tentu saja hatiku sangat sakit dan aku lagi-lagi mengutuk ucapan ibu mertuaku.

“Nak,” panggil Ibuku lembut kepadaku. “Putrimu siapa namanya?” tanya Ibuku yang pasti sangat penasaran tentang itu.

Aku tersenyum. “Gozeline Amertha, Ibu. Panggil saja, Gozel.”

Ibuku tersenyum lebar, kebahagiaan yang muncul di wajah Ibuku benar-benar terlihat sangat tulus.

“Namanya bagus sekali, Nak!” Ungkap Ibuku.

Ibu mertuaku kembali membuat ulah, dia memutar bola matanya seolah jengah.

Aku sakit melihat ekspresi ibu mertuaku barusan, tapi karena ada orang tuaku aku Tentu saja tidak boleh memperlihatkan ekspresi kesakitan pada hatiku.

Melihat ibu dan juga ayahku yang terus mencoba untuk bersikap biasa saja, jelas mereka sedang mencoba sebaik mungkin untuk tidak memulai percekcokan yang mereka anggap tidak perlu.

“Nak, anakmu punya lesung pipi juga! Saat tersenyum nanti, dia pasti akan semanis dirimu, kan?” Ujar Ibuku senang.

Gozel menguap beberapa detik lalu, dan saat menguap lesung pipi Gozel terlihat jelas.

“Dari mananya yang mirip putrimu? Kau ini ada-ada saja,” pangkas Ibu mertuaku.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!