NovelToon NovelToon

Ice Boy Vs Cegil

1

****

Jika seseorang bertanya, apa Stella hidup bahagia?

Ya, ia hidup bahagia dengan takdirnya. Meski terbilang berbeda dengan kehidupan teman-temannya di luaran sana Stella masih bersyukur. Dari banyaknya teman-teman gadis itu yang hidup bagaikan keluarga Cemara masih ada beberapa yang lebih menyedihkan dari Stella yaitu tidak mempunyai ayah dan ibu lebih tepatnya orang tua mereka meninggal, sementara Stella, ia masih mempunyai kedua orangtuanya meski tidak bertemu setiap hari yang terpenting ia masih bisa bertemu dengan mereka walaupun harus menunggu waktu yang tidak pasti karena kesibukan orangtuanya di luar sana. Stella jika merindukan orangtuanya hanya bisa berharap mereka tiba-tiba pulang entah dengan alasan pekerjaan ataupun apa yang terpenting ia bisa bertemu dengan mereka walah hanya sebentar, bagi Stella orangtuanya tetaplah orangtua terbaik meskipun mereka melupakan sebagian peran mereka sebagai orangtua.

Dengan kehidupannya yang seperti ini membuat Stella menjadi gadis mandiri tidak lemah sehingga ia bisa lebih santai menjalani kehidupan yang serba mengancam mental ini. Tidak dapat di pungkiri, Stella menjadi seperti ini mungkin karena hidup di lingkungan nya yang sekarang. Namun, tetap saja Stella adalah gadis pada umumnya yang mempunyai sisi manja sewaktu-waktu, ia akan sangat manja kala bersama pamannya tetapi untuk di luaran? Gadis itu bahkan bisa untuk melindungi dirinya sendiri.

Jadi, kedua orang tua Stella mengelola bisnis mereka di Belanda, semenjak mereka masih berpacaran dulu. Ya mereka, sama-sama berkuliah di sana lalu membangun sebuah usaha yang akhirnya melebar menjadi perusahaan besar. Usai menikah mereka tinggal di Italia, tempat kelahiran ayah Stella lalu beberapa tahun lamanya saat Stella berusia lima tahun ayahnya membawa pindah ke kota New York mengikuti jejak Jhonson, kakak dari ayah Stella. Di kota ini ayah Stella membangun sebuah cabang perusahaannya yang ada di Belanda, selama pria itu tinggal di sini ia mengontrol perusahaannya lintas negara dengan membiarkan orang kepercayaannya yang mengurus di sana.

Namun saat Stella berusia delapan tahun perusahaan ayahnya yang berpusat di Belanda mengalami masalah yang mengharuskan pria itu pindah ke sana, ayahnya memutuskan untuk menetap di sana sementara waktu tetapi malah berujung menjadi waktu yang panjang, sementara Stella, entah mendapat keputusan darimana mereka meminta agar Stella tetap di sini bersama para penjaganya yang akan mengurus dan juga paman dan bibi Stella yang ikut serta mengurus.

Stella pada saat itu masih kecil, ia tidak mengerti hanya bisa menurut saja dengan kemauan orangtuanya. Sepeninggalan mereka Stella juga mendapatkan kehidupan seperti biasanya dengan di rawat Jhonson dan mendiang istrinya, sayangnya saat Stella berusia 14 tahun bibinya meninggal karena mengidap penyakit langka. Stella benar-benar merasakan sedih yang begitu dalam saat itu, wanita yang mengantikan tanggung jawab ibunya saat itu pergi untuk selama-lamanya, begitupun dengan Maxim putra dari paman dan bibi Stella ikut merasakan sedih yang mendalam beberapa waktu.

Tepatnya, Stella besar di keluarga Jhonson dengan didikan pria itu di sana. Jhonson mempunyai seorang putra yang terpaut jarak usia yang jauh dengan Stella. Tetapi itu tidak berpengaruh untuk kedekatan mereka. Hampir sepanjang hari Stella menghabiskan waktu sepulang sekolah dengan Jhonson atau tidak Maxim dan terkadang Justin, sahabat sekaligus kepercayaan Maxim. Stella sudah menganggap dua orang itu sebagai kakaknya, karena mereka begitu peduli dengan Stella, tidak ada kecanggungan bagi mereka saat bertemu. Stella juga leluasa meminta apapun pada kakaknya, sebuah keuntungan yang tidak semua orang bisa dapatkan.

Mungkin karena berbaur dengan ketiga pria itu membuat Stella menjadi gadis tangguh? Bisa di bilang iya.

Semua orang pasti tahu bagaimana kepribadian seorang pria yang tentunya berbeda jauh dengan wanita. Dimana pria tidak mudah tersinggung dan wanita kerap mudah tersinggung akan perkataan yang terkadang berbentuk sebuah candaan. Tentu saja candaan laki-laki tidak terkontrol dan dari sanalah Stella terbawa-bawa dengan kehidupan dua pria yang menemani dirinya. Mulut Stella menjadi tidak terkontrol kerap berbicara semaunya tanpa memikirkan terlebih dahulu, bahkan teman di sekolahnya sering greget saat bersamanya takut gadis itu akan mengucapkan sembarangan apa yang ia rasakan. Tidak hanya mulut tetapi juga fisik pria itu sulit mengontrolnya, tangan mungilnya gemar sekali melemparkan pukulan. Tetapi, gadis itu akan menjadi gadis yang baik hati dengan orang baru berbeda hal dengan orang yang sudah mengenalnya, sama saja dengan gadis pada umumnya, jika merasa nyama maka akan lebih leluasa untuk melemparkan perkataan sesuka mulutnya saja.

Stella pernah menonjok seseorang sampai masuk rumah saki?

Tentu saja pernah, bahkan sering kali. Stella sering berlatih melakukan bela diri juga karena ikut-ikutan kakak prianya itu. Stella merupakan gadis yang sangat penasaran akan hal-hal yang ia temui, melihat kakaknya berlatih bela diri maka Stella juga memaksa ikut. Tentu saja Maxim dan Justin mengizinkan atas pengawasan mereka, lagian itu juga baik bagi Stella, saat gadis itu sendiri tanpa ada Justin dan Maxim ia bisa melindungi dirinya.

Tidak mendapatkan kasih sayang penuh dari orang tua tidak membuat Stella terjatuh. Justru ia bangkit dengan orang-orang yang ada di sekitarnya. Orangtuanya juga ada alasan untuk meninggalkannya di negara ini.

Di balik hidupnya itu tidak di pungkiri jika Stella pernah mengeluh membandingkan dirinya dengan orang lain. Bukan apa-apa, ia rasa itu hal yang wajar bagi setiap manusia kala merasa lelah dengan hidup tetapi Stella tidak pernah berniat untuk berhenti hidup dengan takdirnya itu. Takdirnya tidak buruk hanya saja kurang sempurna. Memang kenyataannya tidak ada yang sempurna di dunia ini.

****

2

****

Sedari dua jam yang lalu Stella bermalas-malasan di kamar nya. Gadis itu benar-benar bosan hari ini karena ia sedang libur tetapi hanya di rumah saja tidak kemana-mana. Ia ingin pergi menemui Maxim tetapi ia yakin hari ini pria itu tidak ada di apartemennya begitupun dengan Justin yang akan pergi kemana Maxim pergi. Stella tahu kakak sepupunya itu mempunyai sebuah bisnis ilegal, dan hari-hari seperti ini mereka akan pergi untuk mengontrol bisnis itu.

Aneh memang, entah apa alasannya Stella juga tidak tahu yang ia tahu mereka mengurus bisnis-bisnis semacam itu. Stella tidak terlalu mencari tahu lebih dalam karena tidak penting baginya, terserah mereka saja ingin melakukan apa yang terpenting uang saku Stella tetap aman kala ia meminta kepada mereka. Benar bukan? Selebihnya terserah mereka.

"Membosankan, membosankan!!" Jerit gadis itu bangkit dari ranjang nya. Ia berjalan malas keluar dari kamar hendak mengambil makanan ke dapur.

Saat sampai di tangga terakhir Stella melirik dua orang manusia tengah duduk di ruang keluarga menonton tayangan televisi.

"Daddy, Mommy kalian tidak jadi berangkat hari ini?" Tanya Stella beralih mendekati kedua orangtua nya, ikut duduk di sana bersama mereka. Semalam saat makan malam mereka mengatakan akan berangkat ke Belanda pagi ini tetapi lihatlah mereka masih ada di sini sekarang, tidak mungkin saja mereka akan menetap di sini.

"Kita mengundur keberangkatan dua hari lagi sayang" balas Brian menatap putri semata wayang nya.

Stella mengerutkan keningnya tidak mengerti.

Emma mengulas senyum melihat kerutan di kening putri nya "nanti malam kita harus menghadiri undangan salah satu rekan bisnis Daddy mu, Stell" ujar wanita itu menjawab kebingungan Stella.

Stella mengangguk mengerti "aku pikir ada sesuatu yang penting,"balas Stella.

"Tidak terlalu penting, tetapi untuk menghargai undangan dari teman, daddy" sahut Brian "oh ya, malam ini apa kau mau ikut bersama kami?" Tanya Brian.

Stella melirik Daddy nya lalu menggeleng "aku tidak tertarik ikut acara seperti itu, Dad. Pasti nanti di sana akan banyak rekan-rekan bisnismu, aku malas berinteraksi dengan mereka kecuali jika mereka memberikanku uang" ujar gadis itu membuat kedua orangtuanya geleng-geleng kepala.

"Memangnya uang yang Daddy berikan masih kurang untukmu?" Tanya Brian.

Stella menggeleng "tidak begitu Dad, hanya saja aku tidak pernah kecukupan uang, apa aku mengidap penyakit aneh? Gila dengan uang?" Tanya Stella "seandainya uang terus mengalir padaku dengan senang hati aku menerimanya tanpa menolak sedikitpun" sahut gadis itu.

Brian geleng-geleng kepala mendengarnya "jadi kamu tidak mau ikut nanti malam?" Tanya Brian lagi.

Stella nampak berfikir "Hem, kak Maxim sama kak Justin ikut Dad?"Tanya Stella memastikan.

Brian mengangguk "iya, mereka sepertinya juga mendapat undangan begitupun pamanmu" balas Brian.

"Baiklah aku akan ikut nanti malam," balas Stella setuju.

"Kalah begitu nanti kau pergi bersama daddy dan mommy, apa kau mau membeli baju terlebih dahulu untuk kau pakai nanti malam?" Tanya Emma.

Stella nampak berfikir "hem, aku rasa iya Mom, nanti aku akan pergi bersama kak Zee untuk membeli baju yang akan aku kenakan nanti malam" ujar Stella.

"Baiklah,"

"Aku mau mengambil makanan dulu, Dad, Mom" ujar Stella meninggalkan orangtuanya di sana, ia menuju ke dapur mengambil apapun yang bisa ia makan, mulutnya sudah tidak sabar mengunyah sesuatu.

"Hai kak Zee" sapa Stella kepada maid yang bekerja di tempatnya. Wanita cantik itu terpaut jarak yang tidak jauh dengan Stella. Zee sendiri merupakan putri dari maid lama yang lebih dulu bekerja di sini tetapi malangnya wanita itu sudah meninggal dan syukurnya putri dari wanita itu mau melanjutkan tugas ibunya di sini tanpa paksaan. Stella sudah nyaman dengan Zee yang menemaninya di mansion ini selama orangtuanya tidak di sini. Apapun keperluan Stella Zee yang mengurus.

Stella sudah menganggap Zee seperti kakaknya sendiri, mungkin karena selalu bersama di tambah Zee tidak pernah mengeluh jika Stella bercerita. Gadis itu memang sangat suka sekali bercerita, ia sangat membutuhkan teman untuk bercerita apapun dengan siapa saja. Stella tidak mempunyai teman di rumah bukan berarti dia tidak mempunyai teman yang bisa ia ajak ke rumahnya, Justru ia mempunyai banyak teman karena dirinya yang memiliki kepribadian ekstrover hanya saja ia tidak bisa mengandalkan temannya terus untuk bermain denganya. Stella tidak masalah untuk itu yang terpenting kemana saja ia pergi ia bisa mengobrol dengan siapapun saat berada di luar rumah.

"Hai, Stell. Kau ingin makan apa hari ini?" Tanya Zee.

"Apapun, aku menyukai semua jenis masakanmu kak Zee" sahut Stella menampilkan senyuman nya di hadapan wanita itu.

Zee tersenyum "tunggu lah sebentar aku akan menyiapkannya untukmu" balas Zee "kau makan dulu cemilan ini sembari menunggu" kata Zee meletakkan cemilan favorit Stella di hadapan gadis itu.

"Terimakasih kak, Zee"

"Ya, tunggulah sebentar."

Stella mengangguk, gadis itu memilih diam sembari memakan cemilan itu sesekali ia membuka ponselnya.

"Ah ya, kak Zee bagaimana kalau nanti kau menemaniku belanja? Aku bosan berada di rumah sekalian membeli baju untuk nanti malam pergi bersama daddy dan mommy" kata Stella melirik Zee yang sedang memasak di ujung sana.

Zee menoleh ke belakang "tentu saja, aku akan menemanimu" balas Zee

Stella tersenyum lebar "nanti aku juga akan membelikanmu sesuatu" kata Stella senang Zee mau menemaninya

Zee tersenyum tipis.

****

Malam ini di sebuah acara pesta mewah salah seorang pebisnis ternama di kota ini. Stella, gadis itu menghadiri acara pesta itu bersama Daddy dan mommy nya. Mengunakan gaun di bawah lutut dengan balutan make up natural. Gadis itu terlihat begitu cantik natural.

Sebenarnya Stella tidak terlalu menyukai pakaian seperti ini. Tetapi ia harus bisa menyesuaikan diri tidak mungkin saja ia mengungkapkan celana jeans ke tempat ini bisa-bisa ia menjadi pusat perhatian para tamu undangan.

Kini Stella berada di salah satu meja bersama Justin dan Maxim. Sementara orangtuanya, mereka entah dimana sekarang, mungkin menemui teman-teman sesama bisnis mereka. Stella tidak peduli yang terpenting sekarang ia bersama dua pria di hadapan nya itu sudah di pastikan ia tidak akan tersesat di tempat ramai ini.

"Menurut kalian berdua, apa aku terlihat begitu menawan malam ini?" Tanya Stella berpose di depan dua laki-laki itu.

Maxim dan Justin serentak menggeleng menatap gadis itu "seperti badut" sahut Maxim.

Mendengar itu senyuman Stella runtuh begitu saja. Apa pria itu bilang, seperti badut? Hei di mana badut yang secantik Stella di dunia ini, bisa-bisan ya pria itu mengatakan nya seperti badut padahal ia rasa dirinya sudah cantik bahkan Zee saja tadi memujinya kalau dia terlihat menawan, apa Zee berbohong? Ah tentu saja tidak, Stella memang cantik pria itu saja yang tidak mau mengakuinya.

"Aku setuju denganmu, Max" balas Justin.

Stella mendengus "pantas saja kalian tidak laku, mana mungkin ada wanita yang mau dengan pria seperti kalian, Maxim dan Justin yang malang" dumel Stella "padahal aku cantik."

"Apa hubungannya, kau aneh sekali" balas Maxim.

"Kita tinggalkan saja dia di sini, biarkan dia hilang" usul Justin menjahili gadis itu.

"Aku setuju, Just. Kita harus pergi sekarang" kata Maxim.

"Aku tidak takut" balas Stella "jika aku hilang palingan juga kalian berdua yang akan repot mencariku" balas Stella menyungingkan senyumannya.

Maxim berdecak "merepotkan" desis Maxim.

"Memang, aku memang suka merepotkan kalian, bahkan sampai kapanpun aku akan terus merepotkan kalian" balas Stella.

"Gila!!" Mata gadis itu membulat sempurna menatap salah satu objek membuat Maxim dan Justin mengikuti arah pandang Stella memastikan apa yang membuat gadis itu histeris seperti itu.

"Kau kenapa bodoh, jangan membuat malu" tegur Maxim melihat tingkah adiknya itu yang tidak tahu tempat.

"Tidak bisa, apa itu jelmaan malaikat yang turun ke bumi menjadi pangerangku?" Tanya Stella tanpa mengalihkan tatapannya "oh God mengapa dia sangat tampan sekali, bahkan Maxim dan Justin tidak ada apa-apanya di bandingkan dia, aku benar-benar terpesona dengannya" ujar Stella menahan dadanya yang berdebar.

"Hei, kau tidak waras?" Tegur Justin aneh melihat tingkah gadis itu.

"Siapa pria itu" tanya Stella menunjuk seseorang yang membuatnya seperti ini.

Maxim dan Justin menoleh, ia mendapati seorang pria muda di ujung sana berdiri dengan beberapa orang-orang tua di sebelahnya.

"Kalian tidak tau siapa namanya?" Tanya Stella "jika tidak aku akan ke sana menanyakan nama pria itu dan meminta nomornya" ujar Stella girang untuk menemui jelmaan pangeran itu.

Justin menempelkan punggung tangannya di kening gadis itu "kau waras? Kenapa kau seperti ini layaknya seseorang yang tidak pernah melihat pria tampan padahal kau setiap hari bersama dua orang pria tampan" ujar Justin.

Mendengar itu Stella mendengus "dia jauh lebih tampan, bisakah kalian beritahu aku siapa namanya dan di mana dia bekerja, aku ingin menjadikannya suamiku. Tolonglah, apa ini yang dinamakan cinta pandangan pertama? Aku rasa iya, aku sudah jatuh cinta untuk yang pertama kalinya pada pria itu," ungkap Stella terdengar histeris.

Maxim menjentik kening gadis itu "tidak usah menyebut cinta bodoh! Kau masih di bawah umur mengerti apa kau tentang cinta" tegur Maxim.

Stella menatap sinis pria itu "hei bodoh! Aku ini sudah 17 tahun, bukan hal yang aneh jika aku jatuh cinta bahkan teman sekolahku saja sudah banyak yang berpacaran bahkan dari lama ada juga yang sudah hamil" ujar Stella berterus terang.

"Bukan berati kau harus mencontohnya"

"Cepat katakan kakak, siapa nama pria itu atau aku sendiri yang menanyakan, memangnya kau tidak malu nanti saat di samping pria itu aku akan jatuh pingsan karena tidak kuat melihat ketampanannya dari dekat?" Tanya Stella menatap pria itu.

"Berlebihan" balas Justin.

"Aku tidak perduli, yang aku inginkan sekarang identitasnya" balas Stella.

"Galendra Altair Warren pengusaha muda yang merintis perusahaan miliknya dari nol, pria mandiri keturunan keluarga Warren yang kini berusia 28 tahun dan sudah mempunyai sebuah perusahaan yang kini dalam tahap kejayaan" ujar Justin "apa itu cukup?" Tanya Justin.

Stella menggembungkan senyumannya "sangat cukup, kau benar-benar bisa di andalkan kak, Just" ujar gadis itu senang.

"Setahuku dia tidak pernah dekat dengan perempuan mana pun, bahkan setiap perempuan ingin mendekatinya ia selalu menolak jadi kau jangan berharap bisa mendekatinya" lanjut Justin yang sedikit mengetahui tentang pria itu, tugas Justin salah satunya memang itu, mencari tahu identitas orang-orang yang pernah bekerja sama dengan Maxim, kebetulan saat itu mereka pernah bekerja sama.

"Serahkan pada Stella, aku akan mendapatkannya, Galenku" ujar gadis itu.

"Hei, jangan main-main Stella kau masih bersekolah jangan berniat untuk berpacaran, kau 17 tahun sementara dia sudah 28 tahun, sangat jauh berbeda denganmu" peringat Maxim.

"Tidak perlu khawatir, usia tidak berpengaruh untuk jatuh cinta. Yang terpenting sekarang kau berdua pikirkan saja bagaimana agar kalian menemukan wanita pendamping kalian. Jangan sampai nanti aku lebih dulu menikah daripada kalian karena kalian kelamaan sendiri. Atau jangan-jangan kalian gay?" Tanya Stella menyelidiki dua pria itu.

Maxim dan Justin berdecak sebal, apa-apaan gadis itu mengatakan mereka gay, mereka hanya belum menemukan pasangan yang tepat bukan berarti mereka gay.

"Kami masih waras Stell" balas Justin membantah tuduhan konyol gadis itu.

****

"Hai" Stella menepuk pelan lengan pria yang sudah membuatnya berdebar pada pandangan pertama itu.

Pria itu menoleh dengan kening berkerut mendapati seorang gadis remaja di sampingnya "ya?"

"Hem, perkenalkan aku Stella" gadis itu dengan senyuman mengembang di wajahnya menatap semangat pria itu.

"Ya," balasnya terdengar malas untuk menanggapi.

Stella meringis mendapat balasan dari pria itu seakan-akan tidak ingin menangapi perkataan Stella, ah tepatnya memang tidak ingin.

"Siapa namamu?" Tanya Stella tidak ingin menyerah.

"Galen"

Stella mengangguk-angguk "kau begitu tampan, aku menyukaimu. Bisakah kita menjadi pasangan kekasih sekarang?"

***

TBC.

3

****

"Stella, apa yang membuatmu berbunga-bunga hari ini" Joy teman sekelas Stella menghampirinya mengikuti langkah gadis itu berjalan menuju kelas mereka.

Stella melirik gadis di sebelahnya dengan senyuman yang mengembang "kau tau sialan, semalam aku bertemu dengan pangeran tampan, sialnya aku sudah jatuh cinta pandangan pertama padanya" ujar Stella membayangkan kejadian semalam, kejadian terindah yang pernah ia rasakan seumur hidupnya bertemu dengan pangeran tampan.

Joy menatap tak percaya pada gadis di sebelahnya, seorang Stella berbunga-bunga karena pria? Ayolah setahu Joy gadis itu berbunga-bunga hanya karena uang yang di berikan kakak dan pamannya secara dadakan juga uang yang dikirim orangtuanya.

"Apa kau sehat?" Tanya Joy "sepertinya kau sudah kembali normal, ah aku lega mendengarnya" ujar Joy melirik gadis itu.

Stella menghentikan langkahnya menatap tajam gadis itu membuat Joy tersenyum kikuk "aku hanya bercanda, kau jangan terlalu serius" ujar Joy takut-takut tangan pria itu akan meleset mengenai bagian tubuhnya.

Stella terkekeh melihat reaksi gadis itu lalu mengandeng tangannya "kenapa kau takut, memangnya aku pemakan manusia?" Tanya Stella mencoba lebih santai lagi.

Joy sudah bisa kembali bernafas lega "buka begitu, hanya saja tulang-tulangku masih menginginkan utuh tidak ingin cacat" balas Joy, bagaimana tidak, Stella hanya bentukannya saja seperti wanita tetapi coba saja bagaimana dengan tenaganya, bahkan bertengkar dengan laki-laki saja di sekolah ini Stella tidak pernah takut.

"Kau lemah sekali" balas Stella.

Mereka memasuki kelas lalu duduk di meja bersebelahan.

"Diko, kau lihat ada sesuatu yang berbeda dengan bandit itu?" Tanya Joy pada teman laki-lakinya itu.

Diko melirik Stella "dia terlihat semakin tidak waras dari sebelumnya" ucap Diko membuat Stella yang mendengarnya menatap tajam pria itu.

"Apa aku salah?" Tanya Diko

"Tentu saja kau salah, yang tidak waras itu kau bukan aku sialan" balas Stella "urus saja mantan mu itu Joy, sepertinya ia butuh makan yang banyak agar dia bisa menebak dengan benar" balas Stella kesal.

Diko menarik bangkunya mendekati Stella menatap dalam wajah gadis itu yang masih menampilkan raut kesal, Diko mengerutkan keningnya lalu menoleh pada Joy "apa yang berbeda dengannya? Aku tidak melihat perbedaan apapun" balas Diko tak mengerti.

"Aku tauu yang berbeda dari Stella, lihatlah dari wajah sumringah nya saat memasuki kelas bersamaan Joy, jadi Stella tengah berbunga-bunga karena semalam menemukan pangeran bersayap patah" suara melengking Kiara memenuhi penjuru kelas membuat semua siswa yang sudah berdatangan itu menoleh pada Stella.

"Sungguh Kaira lah teman sejatiku yang bisa menebak tanpa meleset sedikitpun" ucap Stella kembali menampilkan raut wajah gembiranya menatap gadis itu.

"Tentu saja aku bisa menebaknya, tadi aku mendengar obrolan mu dengan Joy saat di koridor" balas Kiara santai sembari mendudukkan tubuhnya di kursi sementara Stella Sudak kembali menormalkan ekspresinya, ia pikir gadis itu benaran mengetahui sendiri.

"Seorang bandit Stella jatuh cinta? Apa ini sebuah pertanda kiamat sudah dekat?" Pekik Gio mendekati gadis itu.

"Sepertinya dia memang sedang tidak waras sekarang" balas Diko.

"Memangnya kalian pikir Stella bukan gadis normal yang tidak bisa jatuh cinta? Kalian ini lebay sekali, baguslah jika Stella sudah menemukan pujaan hatinya mengapa kalian semua yang ribut" timpal Lula yang baru saja datang dan mendengar keributan teman-temannya tentang Stella yang jatuh cinta.

"Aku padamu Lula, kau memang yang paling normal di antara mereka," ujar Stella.

"Memangnya dengan siapa kau jatuh cinta" tanya Lula penasaran begitupun teman-temannya yang lain melirik Stella menunggu jawaban dari gadis itu, siapa yang berhasil memikat hati seorang Stella yang tidak pernah membahas tentang cinta sebelumnya.

Stella tersenyum sumringah "aku jatuh cinta dengan salah satu pebisnis muda yang aku temui tadi malam di acara rekan bisnis Daddy ku" balas Stella membuat semuanya melongo mendengarnya.

"Jangan bilang kau mencintai seorang om-om? Sungguh Stella aku pikir seleramu yang sepantaran kita ternyata kau pencinta om-om. Sungguh Stella kau membuatku kaget" balas Diko geleng-geleng kepala.

"Katakan jika selama ini kau memang mencari seorang sugar Daddy" lanjut Diko menatap gadis itu masih tak menyangka.

Stella yang mendengar perkataan Diko menjadi kesal lalu melayangkan sebuah pukulan keras pada perut pria itu membuatnya mengaduh kesakitan dengan menjauh dari Stella sebelum pukulan selanjutnya mendarat di bagian tubuhnya yang lain.

"Argh, Stella sialan!" Kesal Diko, bukan kali pertama tapi yang kesekian kalinya ia mendapat pukulan dahsyat dari gadis bandit satu itu.

Yang lain tertawa melihat Diko yang tengah kesakitan "siapa yang menyuruhmu melawan gadis bandit itu, sekarang kau rasakan sendiri pukulan keramatnya" balas Gio.

"Aku pikir pria yang sudah berhasil membuatmu jatuh cinta siswa dari sekolah kita" balas Lula.

Stella menggeleng "jika saja ada yang membuatku tertarik sudah pasti dari lama aku mempunyai kekasih di sekolah ini tetapi sayangnya semua pria yang aku lihat di sekolah ini seperti Diko dan Gio, tidak menarik." Balas Stella.

"Matamu saja yang buta, bahkan semua siswi di sekolah ini mengatakan jika kami tampan dan rupawan" balas Diko percaya diri.

"Benar, dari sisi manapun kami tetap terlihat tampan. Kau saja yang tidak menyadari karena kau pencinta om-om" balas Gio

"Ya, ya aku memang pencinta om-om. Gadis manapun kalau melihat pria yang aku cintai itu juga pasti akan tertarik, dia tinggi, putih bersih tidak banyak bicara bukan seperti kalian berdua banyak bicara mengatakan hal-hal yang tidak perlu." Ujar Stella mengakui jika ia menyukai om-om muda.

"Hei, dia mengatakanmu pencinta om-om mengapa kau tidak memukulnya juga sepertiku, apa kau mempunyai dendam denganku?" Keluh Diko merasa tidak adil.

"Diam saja kau, aku sedang berbaik hati pada Gio" balas Stella.

"Stella apa pria itu mempunyai teman? Jika punya berikan padaku satu, sungguh aku juga tertarik dengan pria-pria dewasa. Pasti pemikiran nya jauh berbeda tidak seperti pria berdua ini. Huh sangat menyebalkan" ucap Kiara yang kini mendekati Stella.

"Hei bajingan, pria yang kemarin memang sudah kau putuskan mengapa sekarang kau tertarik dengan om-om? Kau aneh sekali tidak cukup dengan satu pria" timpal Joy menatap temannya itu.

"Diamlah Joy, aku akan mencintai banyak pria bila nanti sudah waktunya aku akan menikah maka aku akan memilih salah satu yang pas untuk diriku di masa depan, memangnya kau yang tidak mau berpacaran alih-alih ingin fokus belajar dan memutuskan Diko dengan alasan yang tidak pasti, padahal nilaimu sama saja tidak mencapai nilai terbaik" balas Kiara.

"Mengapa aku mempunyai teman-teman yang tidak bisa menjaga omongan nya, apa kau tidak berfikir jika akan melukai hati mungilku" balas Joy dramatis.

"Ah lihatlah anak manusia itu mendrama tanpa introspeksi diri, padahal mulutnya lebih pedas dariku mengapa ia seolah-olah tersakiti" kesal Kiara.

"Bisakah kalian untuk tidak ribut dalam sehari? Telingaku terganggu dengan keributan tidak berguna kalian" timpal Lula.

"Kah bunuh saja mereka, Lula. Agar kau tidak mendengarkan keributan tidak berguna dari kedua temanmu itu atau sekalian kau bunuh dua pria biadab itu" suruh Stella.

"Jangan membawa-bawa kami sialan, kami sedari tadi diam saja yang heboh hanya Kiara dan Joy, mereka saja sebaiknya yang kalian bunuh" balas Gio tidak terima dirinya di seret-seret padahal ia sudah diam.

"Terserah kalian saja, aku muak melihat kalian" balas Stella.

"Andai kau tau Stell, justru kami lebih muak melihatmu" balas Diko.

"Aku sudah tau dari lama"

"Baguslah jika kau sudah tau"

Stella menghela nafas, gadis itu mendekati tas milik Diko membuat sang empunya melirik Stella "jangan kau ambil makananku" peringat Diko yang sudah paham gerak-gerik Stella.

Stella memanyunkan bibirnya "apa kau yakin tidak mau berbagi makanan dengan temanmu yang sangat cantik dan baik hati ini?" Tanya Stella merayu Diko.

"Cih, jangan mudah di rayu bandit itu, Diko. Apa sakit yang di berikan gadis itu barusan sudah sembuh?" Hasut Kiara.

"Kia, diam saja kau!"

"Aku tidak bisa diam, ini juga karena pengajaranmu" balas Kiara.

Stella menghela nafas "harusnya memang aku biarkan saja kalian menjadi siswa-siswi pendiam dari awal agar tidak mengusikku selalu, mengapa kalian semua menjadi sangat menyebalkan sekarang" balas Stella kesal, memang benar teman-teman nya ini dulu adalah orang-orang pendiam karena Stella yang merupakan seorang gadis ekstrover yang mudah bergaul dengan siapapun mulai mengajak mereka berbicara random meskipun respon dari mereka awal-awal seadanya Stella tidak menghiraukan yang terpenting baginya ia mempunyai manusia lain untuk dirinya mengobrol daripada ia berbicara sendiri nanti berujung di katakan orang gila, dan itu berhasil membuatnya menjadi Karan dengan mereka sampai akhirnya seperti sekarang, mereka suka tidak beradab berbicara dengannya karena ketularan diri Stella. Benar-benar buruk sekali, dia mengajarkan yang buruk pada teman-temannya.

"Kau juga menyebalkan, seharusnya kau juga berkaca, sialan" balas Kiara.

"Ah mengapa guru lama sekali masuknya, yang ada perdebatan tidak berguna ini akan terus berlanjut hingga kiamat tiba" ujar Gio jengah dengan teman-temannya yang akan seperti ini sepanjang hari tiada henti.

"Makanya kalian diam saja" balas Stella "Diko tampan, berilah teman baikmu ini cemilan yang bisa di makan, memangnya kau mau nanti kau sendiri yang aku makan? Aku kalau sudah kelaparan suka memakan apa saja yang ada di dekatku termasuk dirimu" ujar Stella membuat Diko memutar bola matanya malas, pandai sekali gadis itu merayu dirinya agar memberikan cemilan yang selalu ia bawa dari rumah karena ia gemar sekali makan, meskipun begitu tenang saja, tubuh Diko terawat. Dia tidak gemuk juga tidak kurus karena ia sering berolahraga.

"Ambilah" pasrah Diko.

Stella mengembungkan senyumannya lalu meraih tas Diko dan mengambil satu cemilannya "kau memang yang terbaik" balas Stella mencubit gemas pipi pria itu.

"Aku terpaksa"

"Tidak apa, aku tidak memperdulikan itu yang terpenting sekarang aku bisa memakan sesuatu daripada mengoceh tidak jelas dengan kalian" balas Stella.

"Minggu depan kita akan membuat tugas kelompok, kita membuatnya dimana?" Tanya Joy menanyakan "kelompok kita bebas, jadi lebih baik kita berenam satu kelompok" ujar Joy lagi.

"Dirumah Stella saja, rumahnya besar tidak ada orangtuanya jadi kita akan bebas di sana" balas Diko.

Stella mendengus "haruskah rumahku yang menjadi korban di setiap belajar kelompok?" Tanya gadis itu sebal.

"Tentu saja, rumahmu sangat nyaman untuk kami"balas Diko.

"Kalian semua setuju? Di rumah Stella" tanya Joy

"Aku setuju, kita membuatnya hari Minggu bagaimana jika kita menginap di sana, malamnya kita barbeque, aku rasa itu ide yang bagus" usul Kiara.

"Aku juga setuju" balas Lulu.

"Kau setuju Diko?" Tanya Joy.

"Dimana saja aku setuju karena nanti aku bagian mengawasi saja" ucap pria itu pasrah.

"Enak saja, kau nanti akan banyak berpartisipasi dalam tugas kali ini" balas Stella.

Diko berdecak kesal "atur saja semaumu."

"Nanti kau persiapan apa yang kita perlukan untuk bakar-bakar Stell, bukankah yang mengurus urusan dapur di rumahmu juga akan berbelanja? Jadi kau titipkan saja nanti, setelahnya kita akan patungan untuk membayar bahan-bahan nya" ujar Joy mengatur.

"Semuanya aman, kalian tidak perlu mengeluarkan uang. Biarkan saja mengunakan uang bulanan belanja dapurku" balas Stella santai.

"Beginilah untungnya mempunyai teman kaya raya jadi kita tidak perlu mengeluarkan banyak uang" kata Lulu bangga mempunyai teman seperti Stella.

Tenang saja, nanti sebagai bayarannya kalian akan aku jadikan pesuruh di mansionku balas Stella tersenyum jahil.

"Enak saja, kami tidak akan mau" balas Kiara menolak.

"Biarkan Gio saja nanti yang mengantikan kita Stell, dia mau menjadi pesuruh mu" kata Diko merekomendasikan Gio.

Gio berdecak "enak saja, aku tidak mau" tolak Gio.

"Sudah-sudah, hentikan. Guru sudah datang jangan membuat keributan"kata Joy menghentikan teman-teman nya.

***

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!