**Happy reading 💜
sorry for typo 🙏**
karena semuanya berawal dari terbiasa...
Sampai aku dan kamu menjadi kita karena terbiasa bersama...
🐰
Brakkk
Alvaro yang sedang tertidur seketika terbangun oleh suara pintu yang tertutup sedikit keras. Ia bersumpah akan mengutuk dan memarahi siapapun itu yang menganggu tidurnya, walaupun itu guru sekalipun.
Tapi sepertinya sebelum dia memarahi guru itu, mungkin dia terlebih dahulu akan mendapatkan ceramah dadakan di pagi hari dengan alasan karena dia tidak mengikuti upacara bendera hari senin dan malah asyik tidur diruangan peralatan.
Matanya memicing melihat seseorang yang berdiri tak jauh darinya. Ia tersenyum tipis saat tahu orang itu adalah seorang gadis.
Sepertinya keberuntungan sedang berpihak padanya karena gadis itu sama sekali tidak menyadari kehadirannya.
Dan sumpah demi kumis Pak Bambang yang tak pernah keramas Alvaro bukanlah cowok mesum yang suka mengintip seorang gadis yang sedang berganti baju.
Tapi masalahnya kejadiannya saat ini di depan matanya terjadi tiba-tiba dan begitu saja. Saat dengan santainya gadis di depannya membuka baju seragam tepat di depan mata Alvaro dan menyisakkan sebuah tanktop hitam di tubuhnya.
"Shit!" umpat Alvaro pelan. Ia merasakan sesuatu geleyar rasa yang aneh yang terjadi di tubuhnya.
Ada sebuah gejolak yang tak biasa dalam tubuhnya saat melihat gadis di depannya berganti baju bahkan sampai membuka tanktop, menyisakan sebuah benda berlapis terakhir di tubuh gadis itu.
Apa ini yang namanya turn on?
Karena sampai umurnya 18 tahun, ia belum pernah merasakan sebuah gejolak gairah seperti ini.
"Ternyata body lo sexy juga untuk ukuran gadis SMA," serunya santai membuat gadis itu terlonjak kaget dan menatap tajam Alvaro.
Dengan gerakan terburu-buru gadis itu memakai kaos olahraga saat melihat Alvaro tengah berjalan menuju ke arahnya.
Alvaro tersenyum. "Lain kali kalo mau ganti baju lihat dulu ada orang apa enggak. Sayang body sexy lo ini dilihat cowok lain selain gue."
Entah mendapat dorongan dari mana dengan gerakan tiba-tiba Alvaro mendekatkan wajahnya ke arah gadis itu. Ia mencium sudut bibir gadis itu dengan cepat.
"Lo milik gue," ujarnya santai mengabaikan tatapan horor gadis di depannya.
Setelah itu Alvaro berjalan santai menuju pintu keluar. Tepat pada saat tangannya menyentuh gagang pintu, ia merasakan sesuatu mendarat di punggung. Ia menengok ke belakang, lalu mengambil sebelah sepatu gadis itu yang tadi mendarat.
"Kalo lo mau sepatu lo balik. Temuin gue di rootrof sepulang sekolah." Setelah itu Alvaro pergi meninggalkan gadis itu yang sedang mengumpat kesal.
Setelah kejadian itu takdir demi takdir hidup mereka baru dimulai.
Thanks for reading 🙏
Semoga ada yang penasaran dengan cerita ini🤗
Jangan lupa vote & comment🙏
Happy & enjoy reading 💜
sorry for typo🙏
Karena cinta tak selalu membuat bahagia. Kadang kala sebuah luka bisa hadir karena cinta.
🐰
Tepat pukul 10 malam di cafe COLOUR'S. Salah satu cafe ternama di Jakarta terlihat ramai oleh banyaknya pengunjung yang datang. Dari pengunjung yang hanya untuk sekedar menghabiskan waktu bersama pacar, teman, keluarga. Bahkan ada yang hanya datang sendiri sekalipun di malam minggu ini.
Dengan banyaknya jumlah pengunjung di Cafe, itu berarti menambah banyak kesibukan dan pekerjaan untuk seluruh karyawan di cafe itu.
"Nay ... tolong anterin pesanan yang ini ke meja nomer 5 sekarang!"
Teriak seorang wanita yang saat ini sedang sibuk berdiri di depan meja kasir dan melayani transsaksi pembelian. Sementara yang dipanggil masih sibuk untuk mengantarkan pesanan pelanggan ke meja yang lain.
"Bentar Mba Tan, nanggung nih nganterin pesanan yang ini dulu," sahutnya sambil terus berlarian.
Langkahnya dipaksa berlari malam ini untuk mondar-mandir dan bolak-balik mengantarkan pesanan ke meja-meja pelanggan yang tak pernah ada kosongnya.
"Udah jam 10 malem. Kapan nih tutupnya sih cafe? Badan gue udah remuk semua nih rasanya." Rasanya ia ingin mengomeli setiap pelanggan yang datang dan disuruh pulang lagi.
Keringat membasahi wajahnya yang sudah ditekuk sedemikian rupa dan harus dipaksa tersenyum untuk melayani pelanggan. Bahkan rasanya giginya pun sampai kering dan mau rontok karena kebanyakan tersenyum.
Dikira lagi iklan pasta gigi kali dia...
Namanya Kanaya, ia adalah seorang pekerja part time di cafe ini. Dia akan bekerja sepulang sekolah dimulai dari jam 4 sore. Waktu liburnya biasanya bergiliran seminggu sekali dengan karyawan lainnya.
Kalau hari biasa cafe biasanya akan tutup pada jam 10 malam. Karena jumlah pengunjung yang masih berada dibatas normal. Terkecuali khusus untuk hari libur atau weekend cafe akan tutup bahkan bisa sampai jam 12 malam.
Malam ini rasanya badan Kanaya sudah hancur lebur. Tulang-tulang otot tubuhnya seperti sudah patah semua. Bayangkan saja saat pertama masuk dari jam 4 sore sampai sekarang, Kanaya belum bisa hanya untuk sekedar duduk sama sekali. Bahkan untuk istirahat makanpun hanya diberi waktu 10 menit.
Ini GILA ... RODI namanya benarkan???
"Akhirnya duduk juga. Kasian nih pantat belum nyentuh tempat duduk dari tadi," ujar Kanaya senang. Saat ini ia sedang berada di dapur, lebih tepatnya di depan tempat cuci piring sambil duduk berselonjorkan kaki.
"Kaki lo bocah ... ngalangin langkah gue tau!" Satu protesan yang muncul dari Ardi salah satu karyawan di cafe. Saat ini ia akan berjalan melewati Kanaya sambil membawa tumpukan piring kotor.
"Ampun deh Mas Ardi. Belum ada gue 5 menit ngedaratin pantat di sini udah protes aja lo kaya knalpot bocor," protes Kanaya tidak terima. Ia bukannya menurut tapi malah semakin menselonjorkan kakinya kemana-mana.
"Mas-mas ... lo pikir gue mas-mas tukang baso!" sentak Ardi. Bahkan ia sengaja saat melewati Kanaya dengan menginjak kakinya, sehingga Kanaya memekik kesakitan.
"Enak aja bocah. Umur gue udah 17 tahun tau. Gue udah bukan bocah lagi!" protes Kanaya tidak terima. "Selain mulut lo kaya knalpot bocor ternyata kaki lo juga kaya kaki gorila."
Tiba-tiba Ardi mencapit mulut Kanaya dengan sebelah tangannya. Sementara Kanaya melotot kaget sambil berusaha untuk berbicara.
"Gue gak ngerti sama Tuhan. Saat dia lagi ngasih wajah cantik lo, kenapa gak sekalian sama mulutnya yang bagusan dikit yang ngomong gak kaya kresek butut kaya gini."
Sebelah tangan Ardi mencapit mulut Kanaya dan sebelah tangannya lagi ia gunakan untuk menekan-nekan wajahnya. Sementara Kanaya yang diperlakukan seperti itu meronta-ronta meminta dilepaskan.
"Kak Putri! Kak ... tolongin aku dari siksaan om-om jahat ini!" adu kanaya pada Putri, seseorang yang sedang mencuci piring kotor sambil sesekali terus melirik kelakuan 2 orang yang beradu mulut yang membuat pening kepalanya.
"Udah deh ... kalian berdua ini udah pada gede tapi kelakuan kaya masih pada bocah bolon. Giiliran salah satu ada yang gak masuk, udah repot yang satunya nyariin!" omel Putri masih terus mencuci piring.
"Ih idih ... amit-amit cabang bayi," timpal keduanya kompak sambil sama-sama memegang perut masing-masing.
"Tuh barengan. Udah deh Di udah gede ngalah sama yang kecil. Sana balik ke tempat lo. Ambilin gue piring kotor lagi!" usir Putri sambil terus menggerakan kedua tangannya mengusir Ardi.
"Iya-iya gue pergi ... awas lo bocah. "
Sebelum pergi Ardi masih sempat-sempatnya menjitak kepala Kanaya dan langsung berlari ke luar. Sementara Kanaya hanya mencebikkan bibir kesal sambil terus mengusap kepalanya yang terkena jitakan Ardi.
**
Tepat Pkl 00:00 WIB Kanaya baru pulang dari cafe. Malam ini ia pulang sendiri karena Putri sudah pulang duluan dijemput pacarnya. Sebenarnya jarak dari cafe dan rumahnya hanya perlu berjalan kurang lebih 15 menit. Karena rumah Kanaya berada di sebuah gang kecil tepat di seberang jalan depan cafe.
Saat Kanaya akan menyebrang tiba-tiba ada sebuah motor yang berhenti tepat di sampingnya.
"Yakin pengen balik sendiri? Gak mau dianterin? Ini udah tengah malem loh. Biar gue anterin aja yah." Tanpa membuka helm Kanaya sudah tahu siapa orang yang berada di atas motor.
"Gak kak Ardi, biar gue balik sendiri aja. Lagian udah gue bilangkan rumah gue deket di gang depan sebrang jalan. Rumah lo yang jauh kak. Hus ... hus ... sana cepet pulang," tolak kanaya Sambil terus berusaha mengusir Ardi dengan berusaha mendorong motornya.
"Etdah bocah ... keras kepala bener. Ya udah gue balik duluan yah. Nanti kalo udah sampe atau ada apa-apa kasih kabar ke gue yah," kata Ardi dan sebelah tangannya mengacak dan mengusap lembut kepala Kanaya.
"Cie khawatir ... cie khawatir," ledek Kanaya jahil.
Tiba-tiba gerakan tangan Ardi yang semula mengusap kepala Kanaya beralih menjadi menjitak kepalanya.
"Idih geer si bocah ... gue cuman takut lo diculik. Gue cuman khawatir sama penculiknya kalo harus ngehadepin cewek si mulut kresek bocor dan si doyan makan kaya lo ini." Tepat setelah itu Ardi menghidupkan dan menjalankan motornya meninggalkan Kanaya yang masih merengut masam.
"Berengsek ... sakit tau!" teriak Kanaya kesal.
Malam ini tepat dua kali untuk hari ini kepalanya mendapat jitakan dari Ardi. Tapi setelah itu sebuah senyum tipis muncul di kedua sudut bibir Kanaya.
"Terimakasih kak Ardi."
Ardi dan Kanaya sudah saling mengenal kurang lebih 2 tahun. Tepatnya saat Ardi 2 tahun yang lalu mulai bekerja di cafe dan Kanaya waktu itu sudah bekerja lebih lama 1 tahun dibanding Ardi.
Mereka memang seperti kucing dan tikus jika bertemu. Tapi Kanaya tahu Ardi adalah orang yang selalu menjaga, membela dan melindungi dia apapun yang terjadi. Ardi juga sudah menjadi seperti sosok kakak kandung baginya sama seperti Putri.
Mungkin karena usianya yang paling muda diantara semua karyawan cafe, makannya ia seperti menemukan sosok-sosok kakak di sini termasuk Ardi.
Tepat Pkl 00:35 Kanaya sampai di rumah. Suasana rumah sangat gelap itu berarti belum ada satupun lampu di rumah yang sudah dinyalakan Bunda.
"Bunda pasti udah tidur. Mudah-mudahan makanannya dimakan sampai habis," gumamnya.
Langkah letih memaksanya untuk memasuki rumah dan membersihkan diri untuk bersiap tidur. Sebenarnya Kanaya mempunyai sebuah kebiasaan untuk selalu menyempatkan diri untuk melihat Bunda yang sedang tidur di kamar. Tapi malam ini ia tidak melakukannya, karena badannya sudah sangat lelah dan ingin segera beristirahat.
Tepat saat Kanaya sedang bersiap tidur dan akan memejamkan mata. Ia mendengar suara Bunda berteriak.
"Bunda ya ampun!" Kanaya langsung bangun dan menuju kamar Bunda.
Saat sudah sampai di kamar Bunda seketika tubuhnya membeku untuk beberapa saat. Setelah mampu menguasai diri ia berjalan perlahan menghampiri Bunda.
"Bunda kenapa? Ada yang sakit apa? Bunda lapar?" tanya Kanaya khawatir.
Walaupun dalam keadaan terkejut, Kanaya berusaha untuk melembutkan nada suaranya. Dalam hati Kanaya meringis melihat keadaan kamar Bunda. Gelas dan piring yang pecah serta makanan yang berhamburan di lantai. Paling parahnya kaca rias yang pecah.
"Dava hilang ... tadi dia ada di sini tidur. Tapi sekarang sudah gak ada hilang, gak tau kemana?" racau Bunda gelisah dan panik.
Bahkan air mata terus menetes begitu derasnya di mata Bunda, seakan kehilangan ini adalah hal yang paling menyakitkan dalam hidupnya. Melihat kondisi Bunda membuat Kanaya pun semakin sedih.
Sekilas matanya menemukan sesosok Dava menurut versi Bunda ada di bawah meja rias. Kanaya lalu mengambil dan memberikannya pada Bunda.
"Bunda ... ini Dava. Dava gak kemana-mana kok. Dava ada di sini."
Bunda melirik Kanaya lalu mengambil sebuah boneka yang ada di Kanaya. "Cup ... cup ... cup... anak Bunda ternyata ada di sini. Ayo tidur udah malem. Embak kalau mau pergi jangan lupa lampunya jangan dimatiin. Soalnya Dava takut kalo tidur gelap." Kanaya hanya mengangguk pelan untuk menjawab Bunda.
Setelah memastikan Bunda sudah berbaring untuk menidurkan Dava-nya, lebih tepatnya sebuah boneka. Ia dengan pelan membuka pintu.
"Eh ... Embak Tuan mana yah? Suami saya kok gak ada?" tanya Bunda tepat pada saat Kanaya akan menutup pintu.
Kanaya hanya tersenyum miris. Sepertinya malam ini ia harus kembali membohongi Bunda. Sebuah kebohongan yang kesekian kalinya keluar dari mulut Kanaya.
"Bapak belum pulang. Bapak masih kerja nyonya," jawab Kanaya memaksakan tersenyum tipis.
Tanpa menunggu jawaban dari Bunda, Kanaya langsung buru-buru ke luar dan menutup pintu. Sesampainya di luar, di depan pintu kamar Bunda pertahanan Kanaya runtuh. Ia langsung terduduk jatuh di lantai sambil memeluk kedua lututnya.
"Dava ... Ayah ... udah gak ada Bunda. Mereka udah pergi. Mereka udah ninggalin kita buat selamanya Bunda," lirih Kanaya pilu.
Malam ini tepat Pkl 01:00 WIB, pertahanan Kanaya hancur untuk yang kesekian kalinya.
"Sampai kapan Bunda kaya gini? Ini udah 4 tahun semenjak mereka pergi dan Bunda selama ini cuman anggap aku hanya pembantu bukan anak Bunda."
Malam ini Kanaya tahu arti dari tumbang dan hancur. Saat kita tak pernah dianggap hidup oleh orang yang melahirkan kita. Bahkan saat kehadirannya ada di depan mata kita, tapi sosoknya tak bisa kita peluk.
**Thanks for reading🙏
Jangan lupa vote & comment🙏**
Happy and enjoy reading 😊
sorry for typo 🙏
Jika boleh memilih. Lebih baik tidak pernah memiliki sama sekali dari pada harus merasakan sebuah kehilangan.
🐰
Pkl 00:15 WIB di sebuah tempat dunia malam, tepatnya di salah satu club malam ternama yang ada di Jakarta.
Di tempat ini Alvaro dan teman-temannya sedang asyik menghabiskan malam panjang mereka. Mereka berempat sekarang sedang berkumpul di depan meja bartender.
"Udah Al jangan minum lagi. Lo udah minum hampir 5 botol malam ini," tegur Rio mengambil gelas yang entah keberapa malam ini di tangan Alvaro.
"Berisik anjing! Balikin gelas gue ******* sekarang!" bentak Alvaro. Ia masih berusaha mengambil gelasnya kembali di tangan Rio.
Malam ini keadaan Alvaro sudah sangat kacau dan dalam kondisi mabuk. Tapi semabuk-mabuknya Alvaro, ia tidak pernah sampai kehilangan kesadaran. Jadi ia masih bisa berontak saat teman-temannya berusaha menghentikannya minum.
"Udah lah Rio, biarin aja si upil emas ini sampai puas. Seberapa keras juga kita ngelarang gak mungkin bisa. Biarin aja dia sampai bener-bener puas," kata Diego tiba-tiba. Matanya masih sibuk menatap dan menjelajah gadis cantik yang berkeliaran di sana.
Sementara Alvaro kembali sudah asyik dengan minumannya yang berhasil ia rampas dari Rio.
"Vin nari yuk! Bosan gue nih. Lo juga Rio yuk ... biarin aja si Alvaro di sini," ajak Diego yang mulai mengantuk.
Vino yang sedari tadi diam menyaksikan perdebatan teman-temannya yang tiada ujung, akhirnya mulai bosan juga. Ia melangkahkan kakinya ke lantai floor dance.
"Eh ... si upil monyet main pergi aja. Nyusul yuk Rio! Udah lah biarin si Alvaro di sini. Ia cuman butuh waktu. Lo tau sendiri hari ini hari peringatan yang menyakitkan bagi dia."
Rio hanya mendengus malas mendengar kecerewetan Diego. Akhirnya ia pergi menyusul Vino, meninggalkan Diego dan Alvaro yang masih asyik minum.
"Eh ... si monyet udah maen nyelonong aja ninggalin gue!" omel Diego kesal. Ia pun menyusul kedua temannya ke lantai floordance.
**
Pkl 02:00 tepat Alvaro sudah berhasil memakirkan mobilnya di garasi rumah mewah. Rumah yang hampir beberapa tahun ini tidak dikunjungi. Alvaro masih ingat terakhir ke sini hanya untuk mengambil seperangkat playstation kesayangannya yang tertinggal di kamar kecilnya.
Rumah ini terlalu banyak kenangan baginya. Sayangnya Kenangan buruk dan menyakitkan paling mendominasi di sini. Tapi terpaksa malam ini ia harus kembali mendatangi rumah ini. Kedatangannya sengaja karena ia tahu sang pemilik rumah sedang tidak ada di tempat.
Akhirnya Alvaro berhasil pulang dengan selamat, walaupun ada beberapa kecelakaan kecil di jalan tadi. Seperti menabrak beberapa tiang jalan, gerobak dan juga beberapa warung yang ada di pinggir jalan.
"Mobil gue masih aman. Cuih ... mereka aja yang lebay," gerutunya pelan setengah mabuk.
Alvaro masih ingat bagaimana tadi teman-temannya memaksa untuk mengantarkan pulang. Mungkin mereka khawatir saat melihat kondisinya yang sedang mabuk. Tapi sayangnya Alvaro bersikeras ingin pulang sendiri.
Alvaro memasuki rumah dan berjalan melewati ruang tamu. Tiba-tiba langkahnya terhenti saat tak sengaja melihat sebuah figura foto besar yang terpajang di sana.
"Menjijikan, muak sumpah gue lihatnya!" Matanya nyalang melihat foto besar itu, seakan ada amarah besar yang tersimpan di dalam dirinya.
"Mereka semua sampah!"
Alvaro lalu berjalan menuju sebuah kamar. Sebuah kamar yang juga menyimpan banyak kenangan untuknya. Satu-satunya tempat di rumah ini yang bisa membuat bahagia dengan hanya mengingatnya. Di sini ia mengenal yang namanya cinta untuk yang pertama kalinya. Cinta yang telah pergi bersama orang yang memberi untuk selamanya.
Alvaro mengambil sebuah album foto dan mendudukan dirinya di pinggir ranjang besar di kamar itu. Sebuah senyum muncul di kedua sudut bibirnya. Perlahan matanya mulai berkaca-kaca, saat melihat seseorang yang ada dalam album foto itu.
"Mah ... Alvaro kangen." Satu tetes air mata lolos dari matanya.
"Hari ini tepat 6 tahun mamah pergi. 6 tahun mereka bahagia dan 6 tahun yang lalu mama ngerasain sakit dan bahagia dalam satu waktu."
Memorinya kembali berputar ke masa itu. Masa di mana mamanya pergi dan masa di mana semuanya terungkap.
"Mereka gak pantas bahagia saat mama terluka. Aku bakal bales rasa terluka mama."
Karena rasa sakit ini selamanya akan selalu hidup di hati, sebelum mereka merasakan rasa sakit yang ia rasakan.
Terlalu lama ia bertahan dengan luka sampai rasanya Alvaro sudah lupa bagaimana caranya bahagia. Bahkan untuk tersenyum saja ia juga sudah tidak bisa.
Alvaro merebahkan dirinya di ranjang. Menatap langit-langit kamar yang masih dipenuhi oleh hiasan rasi bintang. Dulu dia sangat suka melihat bintang karena cahayanya bisa membuat bahagia. Tapi sekarang rasanya ia sudah lupa bagaimana cahaya bintang. Karena sekarang seterang apapun cahaya diluaran sana sudah tidak ada artinya lagi. Alvaro telah merasakan kehilangan bintang yang paling bersinar dalam hidupnya. Jadi semua bintang sekarang terasa gelap.
**Thank for reading🙏
Jangan** lupa vote and comment🙏**
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!