NovelToon NovelToon

SKUAT INDIGO 2

BAB 1 KEMBALINYA SENYUM AMELIA

Empat tahun telah berlalu sejak peristiwa penyelamatan putri Bapak di rumah dinas kediamannya. Setelah kejadian itu banyak perubahan yang dialami oleh Amelia. Memutuskan untuk kembali menetap di kamar pribadinya di bangsal sebuah rumah sakit jiwa merupakan pilihan tepat yang diambil oleh gadis belia itu. Dengan perhatian dan perawatan yang sesuai dengan kondisi yang sebenarnya dialami olehnya kini ia tumbuh layaknya perempuan lainnya. Ia berhasil disembuhkan dari traumanya atas perlakuan keluarganya dahulu dan juga segala penanganan yang tidak tepat yang ia dapatkan di tempat yang sama yang membuat jiwa dan pikirannya terkoyak.

Amelia kini sudah kembali. Ia bukanlah gadis aneh seperti beberapa tahun yang silam. Kini ia telah berhasil menumbuhkan rasa percaya dirinya. Ia sudah mampu untuk tidak canggung ataupun takut untuk kembali bersosialisasi dengan lingkungan sekitarnya. Dan sebuah hal yang terpenting dan sangat membantu dalam prosesnya adalah penerimaan dari keluarga Amelia yang telah kembali membuka pelukan hangat untuknya. Terutama kasih sayang dari kedua orang tuanya yang dulu sempat hilang meninggalkannya kini telah kembali menyelimutinya.

Ia baru saja menyelesaikan pendidikan Paket C-nya. Ini adalah minggu-minggu terakhirnya di tempat indekos yang selama beberapa tahun terakhir menjadi tempat tinggalnya. Apa yang dialaminya waktu dulu dengan pengucilan dan dijauhi oleh teman-teman sebayanya di kala itu kini telah terobati. Baik di tempat indekos maupun di tempatnya belajar Amelia telah menjadi seorang yang ramah, pemberani dan mudah bergaul dengan teman-temannya yang lain. Untuk itu dia ingin menikmati hari-hari terakhir di tempat kosnya itu lebih lama sebelum pulang ke Cisarua.

Tempat Kos Putri yang ditinggali oleh Amelia merupakan hunian kos putri yang berada di kawasan tempat indekos. Selain tempat kosnya disekelilingnya juga merupakan bangunan-bangunan untuk tempat indekos khususnya kaum perempuan. Jadilah ramai suasana tempat tersebut dengan kebiasaan-kebiasaan kaum hawa. Amelia menjalin hubungan dengan para penghuni lainnya dengan baik dan akrab. Terkadang beberapa temannya memilih menginap untuk tidur di kamarnya. Di tempat kos itu ia menjadi sosok yang menyenangkan dan disukai para penghuni lainnya. Meski berteman baik dengan teman-temannya Amelia tetap merahasiakan kisah-kisah pengalaman dan kemampuannya kepada mereka. Ia tidak ingin kemampuan yang disembunyikannya itu nantinya menjadi penghalang hubungan persahabatannya dengan para penghuni kos. Ia hanya bergaul layaknya seorang gadis normal seumurannya.

Malam itu Amelia baru saja menyelesaikan obrolan dengan kawan-kawannya di ruang tengah. Kini ia sudah terbaring nyaman di tempat tidurnya. Ia memutar waktu mengenang ketika dulu pertama kalinya ia masuk sebagai penghuni kos. Ia masih ingat bagaimana malam pertamanya ketika ia bersusah payah untuk tertidur di tempat yang sama kini ia berbaring. Sambutan hangat dan perlakuan yang begitu baik dari para penghuni tempat indekos. Sebentar lagi ia akan pergi untuk kembali pulang ke rumahnya dan memulai awal baru lagi di perencanaan hidupnya. Melihat memori-memori itu sering membuat Amelia banjir air mata. Terlebih ketika mengenang peristiwa-peristiwa saat dia masih kecil. Kantuk dan lelahnya menangis menggiringnya ke dalam tidur yang begitu nyenyak dan lelap.

Tiba-tiba Amelia terbangun. Rasa-rasanya ia belum terlalu lama tertidur. Suara masih sepi dan hening untuk pagi di sebuah lingkungan indekos. Ia melihat jam dinding kamarnya. Baru jam setengah 3 pagi. Pandangannya teralihkan. Dari sudut gelap kamar yang tidak terpancar lampu tidur ada sosok yang berdiri di sana. Sosok itu tinggi dan hitam. Sosok itu mulai mendekat ke arah Amelia. Kini nampak sosok yang kurus itu. Seorang laki-laki berkepala plontos yang sudah tua terlihat dari kerutan-kerutan di wajahnya. Hidungnya tinggi dan mancung. Telinganya lancip dan juga lebar. Sosok itu kini sudah berada di depan Amelia yang masih terbaring. Keduanya saling bertatap mata. Amelia tentu saja tidak ada rasa takut bertemu dengan sosok seperti itu. Hal semacam itu sudah terlampau biasa baginya. Tapi ketenangan Amelia segera berubah setelah mengetahui maksud kedatangan makhluk itu. Kini sekujur tubuh Amelia kaku tidak bisa digerakkan. Mulut dan lidahnya terkunci. Hatinya berontak dengan keadaannya itu. Sosok itu menggerakkan tangannya. Telapak tangan yang besar dengan jari-jari yang panjang mendekati wajah perempuan yang kini tengah tidak berdaya. Jari telunjuk dan jari tengah digerakkan mendekat menuju mata Amelia. Kedua jari yang tadinya tenang seketika ditegangkan seakan hendak mencungkil kedua bola mata. Amelia takut bukan kepalang.

“Brukkk...!” suara pintu kamar Amelia terdobrak.

Sebuah sandal melayang mengenai kepala botak sosok tinggi kurus yang hendak menyerang Amelia. Sosok itu kemudian menoleh kepada siapa orang yang telah berani mengganggu pekerjaannya. Setelah melihat siapa yang melempar sandal hingga mengenainya, alih-alih melampiaskan kemarahannya sosok itu dengan cepatnya langsung kabur meniggalkan tempat itu.

Saat ini ketakutan Amelia bertambah tidak karuan. Dua laki-laki dewasa berada di dalam kamarnya. Satu laki-laki si pelempar sandal. Sedangkan satunya lagi pria gendut yang masih tersungkur karena mendobrak pintu kamarnya. Amelia menarik selimutnya kuat-kuat sambil meratap. Ia seperti ingin kembali ke situasi dengan sosok makhluk tinggi kurus tadi.

Bantuan berdatangan. 19 pintu kamar lainnya terbuka. Suara-suara khas kaum hawa meneriaki kedua lelaki yang dianggap mereka jelalatan itu. Kini kedua laki-laki itu yang dihujani sandal, sepatu, gayung, payung, helm, handuk basah, remote TV, centong nasi, dan peralatan-peralatan dapur lainnya. Tidak ketinggalan makian-makian yang merobek hati juga terlontar dari pasukan perempuan indekos. Tidak ada waktu untuk menjelaskan. Kedua laki-laki itu tidak ada pilihan selain segera pergi dari sarang amukan itu.

Terusirnya dua laki-laki itu meredakan perlawanan dari para penghuni kos teman-teman Amelia. Sungguh ikatan tali persaudaraan yang sangat kokoh di dibawah naungan atap yang sama. Setelah semua tenang dan mendapatkan penjelasan dari Amelia satu per satu para penghuni kos membubarkan dirinya masuk ke dalam kamar masing-masing. Amelia melanjutkan tidurnya di salah satu kamar temannya. Sulit rasanya untuk tetap tenang dan nyaman tertidur dengan ruangan yang sudah tidak ada lagi pintunya.

Amelia marah-marah kepada Rona si rubah sahabatnya. Kenapa ia tidak ada ketika dirinya sedang dalam kesulitan yang hampir merenggut mata dan kegadisannya. Rasa emosi yang meluap terhadap sahabat setianya itu berubah menjadi perasaan sedih serta khawatir karena sudah dari dua hari yang lalu ia tak pernah melihatnya. Bahkan ketika Amelia mencoba untuk kesekian kalinya memanggil namanya rubah kecil itu tak kunjung menampakkan diri.

Pagi itu Amelia sedang berbelanja roti gandum dan selai untuk sarapannya di minimarket di dekat tempat kosnya. Tidak hanya di jam makan pagi saja ia mengkonsumsi menu itu. Dan dengan hanya mengkonsumsi air putih inilah ramuan diet ala dirinya yang sudah dua tahun belakangan ini ia jalani. Ia mengurangi makan-makanan manis dan juga katakan tidak untuk nasi. Padahal menurut kesaksian yang valid dari para koleganya tidak ada sedikitpun berat dari bagian tubuhnya yang bisa dikatakan chubby apalagi gendut. Tapi Amelia bersikeras ingin selalu tampil dengan penampilan yang ideal dan bertubuh sehat. Katanya ia sangat terinspirasi dari seseorang yang pernah dikenalnya mengenai penampilannya itu.

Amelia sedang memilah-milah roti. Ia cek satu persatu tanggal kedaluwarsa roti di display itu. Colekan ringan dipundaknya membuat ia berpaling. Ia dibuat kaget. Dua orang yang tadi malam menyatroninya di kamar kos kini kembali datang dihadapannya. Reflek Amelia melemparkan satu bungkus roti kotak itu ke arah si pencolek. Si pencolek berhasil menghindar. Roti itu mengenai muka rekannya yang berbadan tambun yang berdiri tepat dibelakangnya.

“Ini aku Akbar”, katanya.

“O... Om Akbar”, jawab Amelia lega.

BAB 2 MENJEMPUT AMELIA

Sosok makhluk tinggi, kurus dan berkepala plontos memasuki area indekos. Rona menaruh curiga kepada makhluk bukan manusia itu. Langkah sosok itu begitu cepat. Dari puncak tiang listrik Rona memperhatikan pergerakan sosok itu dengan seksama. Sosok jangkung itu menuju ke bangunan kos sahabatnya. Ia menuju ke kamar Amelia di lantai dua. Tanpa membuang waktu Rona langsung menyerang makhluk berperawakan tua itu. Pertarungan sengit terjadi. Kekuatan mereka berdua hampir seimbang. Si rubah berhasil menggiring sosok pengganggu itu menjauh dari tempat indekos temannya. Duel yang cukup singkat itu berakhir dengan masing-masing mengundurkan diri. Baik Rona mau pun lawannya sama-sama kelelahan kehabisan tenaga. Mereka sadar diri dan tidak ingin mati percuma. Tapi bagi Rona pertempuran itu meninggalkan bekas luka di tubuhnya yang cukup serius. Ia membutuhkan waktu yang tidak sebentar untuk kembali pulih dan kembali mendapatkan kekuatannya.

Itulah cerita Akbar kepada Amelia. Dua hari yang lalu Rona sudah berjumpa dan berhadapan dengan sosok jangkung yang kemarin malam datang mengunjunginya. Rona jugalah yang menghubungi Akbar untuk datang melindungi Amelia. Si rubah berprasangka bahwa sosok itu akan kembali datang untuk kedua kalinya.

Sosok Akbar memang tidaklah banyak berubah setelah ia memperkenalkan dirinya kepada Amelia. Dua hal yang paling mencolok yang membedakannya adalah kini ia merawat kumisnya hingga lebat serta warna kulitnya yang nampak lebih gelap. Pantas saja saat pertama kali Amelia melihatnya ia tidak langsung mengenalinya. Kini Akbar tidak datang seorang diri. Adalah sahabat baiknya Guntur yang kini turut berpetualang bersamanya. Sosok tambun yang tersungkur setelah mendobrak pintu kamar kos Amelia dan orang yang terkena lemparan sebungkus roti itulah Guntur.

Amelia bertanya dimana sekarang Rona? Akbar menjelaskan kepadanya kini kodamnya itu sedang dalam masa penyembuhan dari luka-luka pertarungannya dengan sosok jangkung. Rona berada di tempat yang aman dan akan segera kembali setelah sembuh dari lukanya.

“Kok bisa kebetulan sekali om berdua bisa berada di kota ini?”, tanya Amelia.

“Kamu tahu sendirilah”, jawaban andalan Akbar jika ia tidak ingin urusannya diketahui orang lain.

“Tahu sendiri? Aku nggak tahu om”, tegas Amelia.

“Hei bocah. Jangan panggil aku om lagi”, jawab Akbar dengan nada mengancam.

“Jangan panggil aku bocah lagi”, Amelia membalas sambil membusungkan dadanya.

Muka Guntur memasam. Ia sedikit geli melihat reuni antara sahabatnya dengan Amelia. Guntur ingat betul kata-kata Akbar di perjalanan menuju ke tempat indekos Amelia. Temannya itu berkata jangan terlalu berharap banyak tentang gadis yang akan ditemuinya ini. Ia juga melontarkan kata-kata tambahan yang tidak mengenakan tentang seperti apa dan bagaimana sosok Amelia yang akan mereka temui. Kini lihatlah Amelia. Mata lelaki siapa yang tidak akan berpaling ketika melihat dirinya. Perempuan berkulit putih dengan postur tubuh yang ideal dengan rambut panjang yang dikuncir. Dan sebuah kacamata yang menegaskan kegelisahan wajah gadis sunda itu. Kini lihatlah Akbar. Dia tidak hanya menelan ludahnya sendiri. Terlihat gelagat Akbar yang sedikit gugup menghadapi pertemuannya dengan Amelia.

“Ayo kita ke kos aku dulu”, ajak Amelia.

“Kamu gila”, sahut Akbar.

“Badan kami masih sakit dengan ulah teman-temanmu itu”, kata Guntur.

Amelia kembali ke kamar kosnya untuk mengambil perbekalannya. Sementara Akbar dan Guntur menunggu di bangku di depan minimarket bersama kopi dan rokok mereka. Sebuah kesalahan Amelia meniggalkan roti dan selai yang baru saja dibelinya dengan kedua orang itu.

Tidak berselang lama Amelia kembali datang menghampiri Akbar dan Guntur. Gadis itu dibuat terkejut dengan tabiat dua orang om-omnya itu. Roti gandum yang dibelinya untuk sarapan kini telah surut. Dari jumlah 10 lembar roti yang ada di satu bungkus roti itu mereka hanya menyisakan satu lembar saja untuknya.

“Ayo berangkat”, ajak Akbar yang berdiri dari duduknya.

“Makasih ya rotinya. Kebetulan belum sempat sarapan”, kata Guntur.

“Itu jangan lupa dibawa. Masih sisa. Ayo ke mobil”, lanjut Guntur.

Amelia berdiam diri mematung melihat dan merasakan kelakuan kurang ajar kedua orang itu. Ia yakin mereka sengaja. Sementara Akbar dan Guntur tersenyum-senyum melihat ekspresi Amelia. Ini untuk membayar kelakuan brutal penghuni kos yang menyerang mereka dengan melempar apa saja kepada mereka.

Guntur menyetir mobil. Akbar duduk di depan disampingnya. Sementara Amelia duduk di bangku belakang. Sebuah mobil sedan tua yang sedari tadi terparkir di halaman minimarket yang akan mengantar perjalanan mereka. Akbar dan Guntur setia menghisap batang-batang kesukaan mereka dengan membuka penuh kaca jendela di samping mereka. Sementara itu Amelia yang masih kesal dengan kelakuan mereka memakan sisa satu roti dengan menghabiskan satu wadah selai strawberry yang untung tidak dihabiskan oleh Akbar dan Guntur.

Amelia memandang keluar jendela. Ia tersenyum-senyum. Baginya ini seperti nostalgia empat tahun yang lalu. Bedanya dulu dua orang yang didepannya yang selalu berusaha untuk menjalin keakraban dengannya. Tapi situasi kali ini justru Amelia yang supel yang terus-menerus berusaha menjalin komunikasi dengan dua orang yang berada di depannya. Ia kini cerewet dan ia tahu jika banyak bicaranya itu sedikit mengganggu Akbar dan Guntur. Tapi itu tetap dilakukannya untuk membalas kejahilan kedua orang itu.

Kedatangan Akbar bukan hanya karena Rona yang telah memperingatkan dan meminta bantuannya untuk menolong Amelia. Tapi kedatanganya juga membawa pesan dan sebuah ajakan. Sosok jangkung yang mencoba melukai Amelia juga bukan datang tanpa sebuah alasan. Gadis cantik itu dijadikan sasaran. Kedatangan makhluk itu untuk mengambil sesuatu yang teramat berharga pada diri Amelia. Bola mata. Kedua bola mata yang diinginkan oleh seseorang yang telah mengutus sosok jangkung itu untuk mengambilnya. Alasan dibalik penyerangan terhadap Amelia adalah kemampuan Amelia yang begitu spesial sekaligus berbahaya yang bisa mengancam tuan si pesuruh.

“Kita mau kemana?”, tanya Amelia.

“Kita ke Jogja”, jawab Akbar.

Mereka berhenti di stasiun kereta api Stasiun Bandung. Dari sana mereka akan menuju ke Yogyakarta naik kereta. Hanya Akbar dan Amelia yang turun dari mobil sementara Guntur tetap berada di dalam mobil kemudian berlalu begitu saja setelah menurunkan kedua kawannya di stasiun.

“Guntur tidak ikut sama kita?”, tanya Amelia kepada Akbar.

“Dia nanti malah jadi beban”, jawab Akbar malas.

“Dia berat sih, tapi...”, kata Amelia.

“Bukan itu yang aku maksud”, Akbar dengan cepat menyanggah pernyataan lawan bicaranya.

“Iya om. Aku juga cuma bercanda. Habis omnya tidak pernah senyum sih”, kata Amelia yang langsung ditimpali dengan senyum tiga jari oleh Akbar.

Itulah alasan yang dikemukakan Akbar kepada Amelia kenapa Guntur tidak ikut dalam perjalanan mereka selanjutnya ke Jogja. Itu adalah akal-akalan Akbar yang tidak mau menyebutkan alasan yang sebenarnya kemana dan apa yang hendak Guntur kerjakan. Tidak heran dengan sikap Akbar Amelia pun tahu memang itulah kebiasaan kawan lama dan tuanya itu. Bagi Amelia mungkin lebih baik jika ia memang tidak harus tahu kemana kawan barunya itu pergi dengan misinya.

BAB 3 GERBONG KERETA

Kereta mereka berangkat pukul 09.00 pagi. Masih ada waktu satu jam lagi bagi mereka untuk menunggu. Di keramaian orang-orang yang berkerumun menunggu kedatangan gerbong yang membawa kursi-kursi mereka Akbar dan Amelia membaur sekaligus untuk bersembunyi. Akbar tertidur di pinggiran bangku yang hanya menopang sebelah pantatnya berhimpitan dengan orang yang duduk di sebelahnya. Sementara Amelia berdiri di sampingnya. Tak kuat berlama-lama berdiri gadis itu memilih untuk duduk bersila di lantai. Tidak ada teman untuk diajak berbicara ia memilih mendengarkan lagu-lagu dari walkman miliknya untuk mempercepat waktu.

Amelia begitu menikmati tiap-tiap judul dari kaset yang diputarnya. Sembari menyapu sekeliling dengan pandanganya mengamati sibuknya stasiun di waktu pagi itu. Matanya menangkap sesuatu. Amelia melihat dengan jelas si jangkung yang kemarin malam hendak mencelakainya tengah mengawasi keberadaannya dan Akbar dari dalam gerbong kereta kosong yang tidak bergerak. Amelia tersenyum melihatnya. Ia sedikitpun tidak ada rasa takut. Ia sadar bahwa keberadaan Akbar bersamanya membuat si jangkung itu enggan untuk mendekat kepada mereka.

Tiba-tiba pundak kanan Amelia terasa berat. Aneh rasanya. Bagaimana bisa sekarang kepala Akbar bersandar di bahunya. Duduk Akbar mulai merosot, kepalanya memiring tepat ke arah Amelia. Ini pasti akal-akalan si tua lajang Akbar saja batin Amelia. Ia lantas berdiri dengan cepat. Akbar tersentak dan tersungkur.

“Ada apa?”, tanya Akbar dengan tetap tenang meski kini ia terduduk di lantai.

“Keretanya tiba”, jawab Amelia bersamaan dengan datangnya kereta yang akan mereka tumpangi.

Gerbong ke 4 nomor kursi 13A dan 13B. Mereka duduk bersebelahan. Akbar duduk di dekat jendela. Sementara Amelia yang sudah memohon untuk bertukar tempat duduk supaya ia bisa melihat pemandangan luar hanya dijawab dengan tatapan sinis oleh Akbar. Membutuhkan waktu sekitar 10 jam lamanya dari Stasiun Bandung menuju ke Stasiun Lempuyangan.

Amelia baru saja terjaga dari tidurnya di tengah perjalanan. Ia kembali mengenakan kacamatanya yang sengaja ia lepas ketika hendak tidur. Ia melihat ke jam tangannya. Aneh rasanya ia merasa sudah cukup lama tertidur tapi waktu di jam tangannya tidak juga bergerak. Ia kemudian dibuat terkejut ketika ia menoleh ke sampingnya. Om-om teman seperjalanannya yang tidak mau dipanggil om itu tidak ada di bangku sebelahnya. Kejutan baginya tidak sampai di situ saja. Ketika ia melihat sekelilingnya Amelia dibuat ngeri. Ia paham betul bahwa ia masih berada di gerbong yang sama dan para penumpangnya pun masih sama dari sekilas rupa penampilan yang dari awal masuk ia melihatnya. Tapi kini semua penumpang itu menundukkan kepalanya. Jika ini adalah sebuah mimpi Amelia ingin segera terbangun. Aneh. Ia tidak bisa menggerakkan tubuhnya sendiri untuk berdiri dan keluar dari gerbong yang sedang mengurungnya. Ia berkali-kali memaksakan dirinya untuk berdiri tapi tetap saja tidak bisa. Mereka berdiri serentak. Hal itu membuat Amelia makin takut. Mereka mendongakkan kepalanya. Wajah mereka semuanya sama. Putih pucat dan mata mereka berongga hitam lebar tanpa bola mata. Kemudian mereka tersenyum ngeri. Mereka melangkah perlahan menuju tempat duduk Amelia dengan tangan yang mereka julurkan. Gadis remaja itu mulai berteriak histeris. Para penumpang dengan rupa mengerikan itu kini sudah sampai di depannya. Mereka meraih Amelia dan mulai menggerayanginya. Tiba-tiba Akbar muncul di samping Amelia. Akbar sempat tersenyum melihat kondisi temannya yang mati ketakutan. Sebuah tamparan dari Akbar untuk Amelia berhasil membawanya kembali ke alam kesadaran.

Perempuan itu terjaga dengan keringat bercucuran dan nafas yang tersengal-sengal. Ia hendak bercerita kepada Akbar sebelum kawannya itu memotong pembicaraannya.

“Sudah minum dulu saja”, kata Akbar.

“Kamu barusan tertarik ke dimensi mereka”, lanjutnya.

“Terus kamu kenapa tidak langsung menolong aku? Lama banget”, kesal Amelia.

Akbar menunjukkan surat kabar yang sedang dibacanya. Yang artinya ketika Amelia masuk ke dimensi lain Akbar sedang asyik membaca berita. Ia menyelesaikan paragraf demi paragrafnya dulu sampai selesai baru setelah itu menolong teman seperjalanannya. Amelia merubah mimik wajahnya dengan amarahnya yang ia tunjukan kepada Akbar.

“Memang di gerbong nomor 4 di kereta ini terkenal angker. Kamu belum pernahkan mengalami yang seperti tadi? Hitung-hitung pengalaman”, jawab Akbar dengan santai sambil meneruskan membaca koran.

“Jadi kamu sudah tahu kalau gerbong ini seram?”, tanya Amelia.

Akbar hanya mengangguk mengiyakannya. Tiba-tiba Amelia mengambil secara cepat dan paksa apa yang sedang dibaca oleh Akbar. Lalu ia melempar dengan sekuat tenaga kertas-kertas itu tepat ke muka kawannya itu. Amelia sadar bahwa Akbarlah yang juga membeli tiket kereta serta memilih gerbong dan tempat duduk yang akan mereka naiki.

Dua kali tepukan ringan dibahu kirinya membangunkan gadis berkacamata minus itu. Akbar memintanya untuk bertukar tempat duduk. Amelia yang masih mengantuk bergeser lalu menempati tempat duduk Akbar yang berada di dekat jendela. Amelia sedikit kesal kawan tuanya itu selalu memaksa seenaknya kalau ada maunya. Ia mau melawan segan dan juga takut. Tapi setelah itu tiba-tiba gadis itu menoleh ke arah Akbar dan menatapnya dengan serius sembari tergurat senyum di bibirnya. Akbar merasa aneh dengan pandangan gadis yang masih dianggapnya bocah itu. Akbar mendorong pelan muka Amelia untuk kembali melihat ke arah luar jendela. Sebuah keelokan panorama. Persawahan dengan beragam warna. Gunung-gunung yang terlihat megah. Warna senja yang begitu indah. Amelia sungguh tidak menyangka Akbar yang dianggapnya kaku dan galak ternyata bisa berlaku romantis terhadapnya.

“Akbar tidak mau lihat?”, tanya Amelia dengan sedikit malu.

“Tidak. Terlalu silau buatku”, jawab Akbar datar.

Mendengar jawaban itu Amelia sedikit kecewa. Meski di dalam hatinya ia masihlah senang dengan apa yang dilakukan Akbar kepadanya.

Laju kereta memelan. Terdengar bunyi rem yang mengernyit. Setelah pintu-pintu dibuka para penumpang bergegas melangkah keluar. Begitu juga Akbar dan Amelia yang kini tengah sampai di kota tujuan mereka Yogyakarta. Orang-orang menyebar arah kemana mereka selanjutnya akan melangkah. Begitu pula dengan mereka berdua.

“Kita kemana?”, tanya Amelia yang mencoba mengimbangi Akbar yang berjalan dengan langkah cepat di depannya.

“Ikuti saja”, jawab Akbar sambil menoleh ke sekeliling keramaian.

“Kita tidak naik kendaraan?”, tanya Amelia melihat Akbar yang terus menuntunnya melewati jalan-jalan setapak.

“Kita jalan kaki. Tidak jauh”, terang Akbar perihal tempat yang akan mereka datangi.

“A...”, belum satu kata keluar dari mulut Amelia.

“Sudah nurut saja. Jangan banyak mengeluh. Nanti malah semakin lama kalau banyak bicara. Kalau diam saja jadi tidak terasa”, tegas Akbar kepada Amelia.

Amelia mengurungkan niatnya untuk berbicara. Bukannya terbalik apa yang disampaikan oleh Akbar? Kalau sambil ngobrolkan jadi tidak terasa waktu dan capeknya, batin Amelia. Tapi ia patuh saja. Ia tidak ingin mengganggu kawan tuanya itu yang nampak sedang serius.

Akbar memang mengenal betul daerahnya. Jadi tidak heran jika ia bisa membawa Amelia menyusuri jalan-jalan setapak melewati gang-gang yang berada di sana. Ia juga sudah mengenal dengan baik tempat yang akan mereka tuju.

Akhirnya mereka tiba juga di tempat tujuan. Dari stasiun mereka berjalan kaki menempuh waktu lebih dari 30 menit. Itulah lama waktu yang mereka perlukan yang diawal perjalanan Akbar bilang tidak jauh. Terang saja ini membuat Amelia geram. Lagi-lagi ia kena dikerjai kawannya itu.

“Tadi kamu mau bilang apa waktu di jalan?”, tanya Akbar.

“Aku tu mau pipis!”, bentak Amelia ke Akbar.

“O... pengen nguyuh (mau kencing)? Mau ra ngomong (tadi kenapa tidak bilang).

“Itu di belakang ada kamar mandi”, jawab Akbar santai.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!