Ketegangan mulai menyelimuti seisi rumah, cacian dan makian terus saja menggema di balik rumah berlantai dua itu. Terlihat seorang wanita yang tengah bersimpuh pada seorang laki-laki paruh baya dengan wajah pucatnya, sedangkan dua perempuan disampingnya hanya menikmati tontonan gratis itu dengan raut wajah sumringah.
Braaaakkk....
Pak Arya melempar sebuah tas ransel kedepan wajah Karin dengan kasar, membuat Karin yang sudah bersimpuh itu semakin berdecak ketakutan. Air matanya tak henti-hentinya menerobos keluar dari sorot matanya yang sendu.
" Papa, maafin Karin pa. Itu bukan salah Karin, Karin... Karin....hiks hiks..."
Karin mengumpulkan sisa kekuatannya, berusaha memberikan kejelasan pada ayahnya yang sedang diselimuti amarah. Namun ia tertahan, mulutnya tercekat tak mampu ia gerakkan, bibirnya terasa kelu hingga membuatnya membisu seribu bahasa.
" Hah, aku tak butuh penjelasanmu, kau wanita kotor. Bagaimana aku bisa memiliki anak sepertimu? Tidakkah kamu merasa malu dengan kelakuanmu? Seharusnya sudah ku buang saja kamu sedari dulu..."
Pak Arya yang diliputi kemarahan pun mengumpat Karin bertubi-tubi. Belum sekali pun Karin bisa menjelaskannya, namun cacian dan makian sudah menghujam kepadanya.
" Papa, percayalah padaku, hiks, hiks..."
Air matanya semakin menderas, perasaan sakit semakin melilit, ribuan belati bagai telah mencabik-cabik hatinya. Karin tak mampu melakukan apapun untuk meredam kemarahan ayahnya, yang tersisa hanyalah isak tangis, berharap ayahnya akan mempercayai dirinya.
" Pak Salim..... " Suara pak Arya menggelegar sampai keluar pintu rumahnya, hingga membuat pak Salim tersentak dan segera menemui asal suara. " Usir gadis ini dari rumahku sekarang juga... ".
Pak Arya tak mampu membendung amarahnya lagi, ingin segera mengeyahkan gadis yang telah mengotori nama baiknya itu dari pandangannya. Sudah habis rasa kepercayaan dalam hatinya pada anak gadis tertuanya.
Tak tega pak Salim melihat keadaan Karin, rambutnya acak-acakan, pakaiannya kusut, wajahnya pucat penuh rasa sakit. Hatinya teriris, melihat Karin yang sudah ia anggap sebagai anaknya sendiri tertunduk lemas tak berdaya.
" Non.... " Ucap pak Salim sambil mengulurkan tangannya pada Karin, berniat memberikan bantuan padanya untuk sekedar berdiri.
" Jangan panggil dia dengan sebutan itu, dia bukan lagi nona rumah ini " Ucap pak Arya kemudian berlalu menaiki tangga.
" Papa..., papa...., dengarkan Karin pa, hiks hiks... " Karin berusaha memanggil ayahnya yang mulai berjalan menjauh, namun ayahnya tak menggubris dan masih meneruskan langkahnya hingga menghilang di balik tangga.
Karin menyeka air matanya yang masih saja mengalir deras, bangkit dari posisinya dengan bantuan pak Salim yang setia disampingnya.
" Ma, tolong bujuk papa untuk memaafkan aku. Sekali saja.... tolong aku...hiks hiks.... "
Karin meraih tangan mama tirinya, memelas agar mau membujuk ayahnya untuk bisa memaafkan dirinya.
" Aku tidak berurusan dengan wanita kotor. Ayo Jen, kita kembali ke kamar. Jangan sampai kita ikut menjadi kotor seperti dia " Ucap bu Merisa.
Bu Merisa menyingkirkan tangan Karin dari lengannya dengan kasar, kemudian merangkul Jeny dan membawanya ikut menaiki tangga.
" Dasar, wanita kotor. Enyahlah dari hadapanku... " Ucap Jeni dengan tatapan sinis sebelum akhirnya menghilang bersama ibunya di balik tangga.
" Mari non..."
Pak Salim menggandeng tangan Karin yang masih lemas akibat kejadian semalam, membantu membawakan tas ransel miliknya dan mengantar Karin sampai ke gerbang depan.
" Non, tinggallah di rumah saya saja... " Ucap pak Salim menatap gadis itu nanar.
" Tidak pak, kalau papa tau bapak bisa saja di pecat "
Karin menolak keras usulan pak Salim, ia tahu betul bagaimana watak ayahnya. Jika ia tinggal di rumah pak Salim, bisa saja pak Salim di tendang keluar dari pekerjaannya.
" Lalu nona akan pergi kemana? " Tanya pak Salim.
Belum ada dipikirannya tentang tempat yang akan ia tinggali, tapi jika ia katakan hal itu, mungkin akan membuat pak Salim khawatir dan memaksa menampungnya.
" Saya akan tinggal di rumah teman saya, bapak jangan khawatir tentangku. Tolong jaga papa untukku ya pak...".
" Baik non. Nona hati-hatilah, kalau ada apa-apa telpon saja saya .... "
Karin pun meninggalkan rumah itu dengan berat hati. Rumah yang telah ditempatinya selama 21 tahun itu akan menjadi kenangan yang indah sekaligus pahit untuknya.
Papa, selamat tinggal. Mama, mama pasti melihatku dari surga kan, tolong bimbing aku ma. Maafkan Karin sudah mengecewakan mama dan papa. aku sayang kalian....
________________
****Hi readers....
Selalu dukung author dengan boom like dan vote nya yah, jangan lupa masukkan ke list favorite kalian....
Happy reading ❤️**
Karin berjalan gontai, sambil sesekali menyeka air mata yang masih menghujani pipinya. Kakinya hanya mampu melangkah dengan langkah kecil, sambil sesekali mengernyitkan dahinya menahan rasa sakit pada daerah kewanitaannya.
Ia masih tak tahu menahu harus menginap di mana, ia masih berkelana mencari tempat yang mungkin bisa menampungnya.
Setelah berjalan cukup jauh dari rumahnya, sampailah ia di sebuah rumah kontrakan yang berada di daerah dekat kafe tempatnya bekerja. Ia mencari pemilik kontrakan itu, berniat menegosiasikan apakah ia bisa menempatinya.
" Permisi... " Karin mengetuk pelan sebuah rumah yang tak jauh dari rumah kontrakan berada.
" Iya ndok, ada apa ya...? " Seorang wanita paruh baya keluar dari rumah itu, menjawab dengan logat Surabaya yang begitu kental.
" Mmmm, ibu pemilik kontrakan yang di sebrang jalan itu bu? "
Karin menunjuk rumah kontrakan yang ia maksud, rumah sederhana yang berukuran 4 × 5 meter. Tak besar memang, tapi sekiranya bisa untuk menampungnya dari pada menjadi gelandangan.
" Iya ndok, duduk dulu " Bu Aminah mempersilahkan Karin duduk di teras rumahnya.
" Kamu mau ngontrak? " Sambung bu Aminah.
" Iya bu, tapi begini.... Mmm...., Sisa uang saya tinggal 500 ribu, kalau semisal saya kasih ibu 400 ribu dulu untuk DP nya bagaimana bu. Kalau saya gajian nanti akan saya lunasi sisanya... "
Melihat kondisi Karin yang agak memprihatinkan itu, bu Aminah merasa tak tega, teringat anak perempuannya yang sedang kuliah di luar daerah jika senasib dengan Karin. Alhasil, bu Aminah dengan senang hati memperbolehkan Karin untuk menetap di kontrakannya.
" Oalah, nggak apa-apa ndok. Mari saya antar.... "
Bu Aminah pun mengantar Karin ke rumah kontrakannya, menyerahkan kuncinya agar Karin bisa dengan leluasa memasukinya.
" Ini kuncinya ndok, kalau ada apa-apa panggil saja ibu. Jangan sungkan.... " Ucap bu Aminah sambil memberikan kunci rumah pada Karin.
" Baik bu, terima kasih... "
Setelah semua urusan selesai, bu Aminah meninggalkan Karin sendirian. Tahu kalau gadis kecil itu butuh istirahat setelah pengembaraan nya.
Karin merebahkan tubuhnya di kasur berukuran kecil, memandang langit-langit kamarnya yang sederhana. Air matanya kembali menghujani pipinya, pelan hingga mulai menderas. Karin memukul-mukul dadanya yang mulai terasa sesak akibat tangis yang semakin dalam.
Pikirannya mengembara pada kejadian semalam yang seketika meruntuhkan dunia kecilnya.
*******
Flashback on
Malam itu, Karin tengah disibukkan dengan pekerjaannya di sebuah kafe. Kafe itu adalah milik Beni yang dengan senang hati mempekerjakannya di tengah kesibukannya menuntut ilmu di bangku kuliah.
" Rin, tolong anter pesenan ini ke hotel depan ya. Lantai 5 nomer kamar 201 atas nama Amira. Aku kebelet bener ini.... "
Mba Putri memberikan tiga kantong makanan kepada Karin dengan menempelkan kedua pahanya menahan pipis yang bisa saja keluar tiba-tiba.
" Oh iya, mba Put. Jangan lupa di bungkus ya mba, hahaha.... "
Karin mengambil bungkus makanan itu dengan senyum jahilnya, tak kuasa menahan tawanya melihat wajah mba Putri yang sudah tak beraturan karena menahan pipisnya.
" Mau ku bungkuskan pipisku kau... " Ancam mba Putri.
" Buat mba Putri aja deh kalau gitu.... "
Seketika Karin kabur dari incaran kemarahan mba Putri karena telah menggodanya disaat dalam kondisi siaga satu.
Karin langsung memindahkan tubuhnya ke sebrang jalan, melangkahkan kakinya menuju hotel yang tersusun dari 10 lantai itu.
Setelah mencapai lobi, ia dengan segera menaiki lift yang terletak di ujung koridor dan menuju lantai 5.
Ting
Lift itu pun berhenti di lantai 5, tepat di lantai tujuannya. Matanya mulai menyapu tiap pintu kamar yang berjejer, mencari nomor kamar yang hendak dicapainya.
" Ah, itu dia.... " Gumamnya setelah mendapati pintu kamar nomor 201 tepat dihadapannya.
Ia mengetuk pelan pintu kamar itu, kemudian seorang perempuan keluar dari balik pintu dan mengambil makanan yang telah dipesanannya.
______________
Hi readers...
Selalu dukung author dengan boom like dan vote nya yah...
Jangan lupa juga untuk masukkan ke list favorite kalian
Dukungan dari readers sangat berarti untuk author 😘
Happy reading ❤️
Setelah berhasil mengantarkan pesanannya dengan sukses, Karin berniat segera kembali ke kafe tempatnya bekerja.
Karin berdiri mematung tepat di depan lift, menunggu lift itu terbuka agar bisa membawanya kembali ke lantai dasar.
Ting
Lift itu terbuka dengan membawa satu penumpang, terlihat seorang laki-laki yang berdiri dengan tidak sempurna karena mabuk berat. Wajahnya tampak aneh, seperti menahan rasa panas dengan peluh keringat yang mulai membasahi seluruh wajahnya.
Laki-laki itu menatap Karin lekat, membuat Karin yang dipandangnya menjadi kebingungan sekaligus takut. Setelah sekian detik menatap tajam Karin, laki-laki itu keluar dari lift dengan langkah cepat tak beraturan.
Tiba-tiba...
Laki-laki itu menabrakkan bibirnya ke bibir tipis Karin tanpa permisi. Karin yang terkejut dengan perilaku tak senonoh orang yang tak dikenalnya itu, seketika memberontak berusaha melepaskan diri darinya. Namun usahanya sia-sia, karena tenaganya tak cukup kuat untuk melawan.
Alih-alih melepaskan Karin yang sedari tadi memberontak, laki-laki itu malah memperdalam ciumannya yang terkesan brutal, membuat Karin kehabisan nafas dan memaksanya menyudahi ciuman itu.
" Apa yang anda lakukan tuan, saya bisa saja melaporkan perbuatan tak senonoh anda " Cecar Karin kesal.
Karin merasa jijik dengan bibirnya sendiri, berkali-kali ia mengusapnya kasar untuk membuang bekas ciumannya.
Laki-laki itu hanya terdiam, tanpa permintaan maaf, malah menarik paksa Karin menuju kamar yang telah dipesannya.
" Lepaskan aku..., lepaskan.... hiks hiks... "
Karin berdecak ketakutan, air matanya mulai meluncur deras dari kedua pelupuk matanya. Sekuat tenaga ia berusaha melepaskan diri darinya, tapi usahanya selalu sia-sia. Tubuhnya hanya mampu mengikuti langkah cepat laki-laki yang telah merenggut ciuman pertamanya.
Laki-laki itu menyeret paksa Karin masuk kedalam kamarnya, lalu menghempaskan tubuh Karin yang sudah tidak berdaya itu ke atas ranjangnya.
" Apa yang anda lakukan tuan, lepaskan aku, hiks hiks...." Ucap Karin
Karin membangkitkan tubuhnya, air mata mulai menderas di pipinya dengan ketakutan yang memuncak.
" Menurutlah.... "
Laki-laki itu menghampiri Karin, mendorong Karin yang duduk di bibir ranjang hingga jatuh terlentang. Ia me**mat bibir tipis Karin lagi dan lagi, membuat karin terus meronta, tapi tak mampu melawan.
Karin masih berusaha melawan, ia memukul dada laki-laki itu sekeras yang ia bisa. Namun laki-laki dihadapannya tak bergeming sedikit pun dan masih fokus dengan apa yang dilakukannya.
Laki-laki itu menanggalkan pakaian Karin satu per satu hingga memperlihatkan tubuh polosnya, kemudian melucuti pakaiannya sendiri di depan Karin tanpa rasa malu. Ia mulai mencium bibir Karin dengan ganas. Leher, tengkuk dan area lain turut menjadi sasaran empuknya.
Laki-laki itu pun melanjutkan aktifitasnya, melakukan hal lebih jauh layaknya aktifitas sepasang suami istri. Karin yang tenaganya sudah habis karena terus memberontak, tak kuasa menolak semua yang dilakukan laki-laki bren**ek itu padanya.
*******
Matahari mulai merangkak naik, Karin membuka matanya pelan. Badannya sudah lemah tak bertenaga, banyak bekas ciuman yang sudah memerah memenuhi leher, tengkuk, dan area lain di badannya.
Sebuah tangan melingkar di pinggangnya, ia tak kaget dengan kejadian itu mengingat apa yang telah terjadi semalam. Ia melepas tangan laki-laki itu pelan, tak ingin membangunkannya.
Ia menyingkap selimut yang membalut tubuh polosnya tanpa sehelai benang pun. Menurunkan kakinya dari ranjang satu per satu dengan menahan sakit yang melilit di area kewanitaannya, membuatnya mengernyitkan dahi dan menggigit bibirnya kelu agar tak bersuara.
"Aaaaa, hiks hiks.... " Rintihnya pelan.
Air matanya kembali menerobos keluar dari mata sipitnya, ia memunguti pakaiannya yang berserakan di lantai, memakainya dan segera enyah dari tempat terkutuk itu tanpa diketahui laki-laki yang telah menidurinya.
Ia mengerahkan sisa tenaganya untuk keluar dari hotel itu, dengan tertatih, ia mulai melangkahkan kakinya dengan menahan sakit di area bawah.
Sampailah Karin di rumahnya, ia mengetuk pelan pintu rumahnya yang masih terkunci rapat. Tak disangka, ayahnya yang membukakan pintu untuknya.
Begitu mendapati Karin dihadapannya, pak Arya menatap anaknya lekat-lekat. Rambutnya acak-acakan, bajunya lusuh, wajahnya penuh dengan kelelahan. Dan lebih mengejutkan lagi, saat pak Arya mendapati banyak bekas ciuman yang sudah memerah di area lehernya. Sontak pak Arya mulai curiga dengan apa yang telah anak gadisnya lakukan semalam.
" Dari mana saja kamu " Pak Arya bertanya pada Karin tanpa menyuruhnya masuk terlebih dahulu, membuat Karin masih berdiri diambang pintu dengan wajah getir.
" Papa, maafin Karin, hiks hiks...."
Karin merangkul lengan ayahnya, tanpa menjelaskan, hanya mampu meminta maaf atas kelakuannya. Pak Arya yang sudah tau arah pembicaraan Karin, langsung menyeretnya tanpa ampun.
Flashback off
______________
Hi readers....
Selalu dukung author dengan boom like dan vote nya yah, jangan lupa juga untuk masukkan ke list favorite kalian
Dukungan readers sangat berarti untuk author 🤗
Happy Reading 💞
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!