NovelToon NovelToon

Labirin Cinta

Orang ketiga.

"Ardan!"

Teriakan itu terdengar begitu melengking memekakkan telinga. Bersamaan dengan itu turut jatuh ke tanah sekotak kue yang sekarang telah hancur berantakan.

Wajah gadis berambut panjang itu begitu marah, bola matanya yang coklat terang begitu tajam seakan siap untuk menerkam dua orang anak manusia yang terpergok sedang berpelukan di depan matanya.

Tangannya dengan cepat melempar buket bunga yang dia bawa ke arah lelaki itu dengan kasar.

"Sayang, ini tidak seperti yang kamu pikirkan. Dia, kami-" Ardan menelan ludahnya. Dia berusaha untuk menjelaskan tetapi tangan putih gadis itu sudah lebih dulu mencengkram kerah bajunya.

Raisa begitu marah. Satu tendangan dia layangkan di pusat inti Ardan hingga lelaki itu jatuh ke tanah dengan keadaan membungkuk menahan sakit.

Mata tajam Raisa kini beralih pada wanita bermata sembab yang masih terpaku di tempat duduknya. Wanita itu melongo antara percaya dan tak percaya jika Raisa yang selalu terlihat lemah lembut berubah menjadi sangat mengerikan saat marah.

"Kau! Apa tak ada lelaki lain yang bisa kamu goda selain kekasihku, hah! Dasar bicth!" maki Raisa kesal.

"Raisa, jaga ucapanmu! Semua tidak seperti yang kamu pikirkan," tampik Ardan cepat. Dia menarik tubuh tingginya untuk berdiri tegak di hadapan Raisa, walau masih dengan meringis menahan sakit di bagian bawahnya yang masih berdenyut nyeri.

"Memangnya apa yang seharusnya aku pikirkan tentang yang barusan kalian lakukan, hah? Aku tidak buta dan apa yang kalian lakukan di belakangku ini sungguh keterlaluan. Pantas saja sedari tadi ponselmu sangat sulit untuk dihubungi, ternyata sedang asik berbagi kehangatan dengan perempuan ini! Bajingan!" balas Raisa tak kalah menantang.

Dadanya bergemuruh terbakar api cemburu. Otaknya tak mampu lagi berpikir jernih walau hanya sekedar untuk memfilter kalimat-kalimat umpatan kasar yang keluar dari bibir tipisnya.

Tak lagi dia hiraukan keadaan dirinya yang kini tengah menjadi tontonan beberapa pasang mata yang juga tengah duduk santai di taman tersebut.

Hari ini adalah hari anniversary hubungan mereka yang ke tiga sebagai seorang kekasih. Raisa ingin memberikan kejutan untuk Ardan. Dia datang ke apartemen lelaki itu dengan sebuah kotak berisi kue tart serta sebuah buket bunga indah. Namun saat sampai di depan pintu apartemen Ardan, Raisa tak mendapati keberadaan kekasihnya.

Raisa sempat menelpon Ardan berulang kali, tetapi lelaki berkulit cerah itu tak juga mengangkat panggilannya.

Raisa kesal, dia berencana untuk pulang ke rumah. Ketika melewati taman yang berada dekat parkiran gedung apartemen, mata Raisa tak sengaja menangkap siluet tubuh Ardan yang tengah duduk dengan orang lain di balik pohon cemara setinggi dua meter. Dan benar saja, lelaki itu memang berada di sana bersama Velia dalam keadaan saling berpelukan mesra di bawah sinar lampu taman yang remang-remang.

"Tadi aku hanya sedang menghibur Velia yang sedang patah hati. Dia baru saja dikhianati oleh kekasihnya," Ardan berusaha menjelaskan situasi yang tengah dia alami. Dia tentu saja tak mau hubungan dengan sang kekasih menjadi semakin buruk karena kesalahpahaman yang tengah terjadi.

Ardan mencintai Raisa tetapi dia juga menyayangi Velia yang sudah dia anggap seperti adik perempuannya sendiri. Mereka sudah begitu dekat sejak kecil dan setiap ada masalah, Ardanlah menjadi tempat pertama yang Velia datangi untuk berbagi kesedihan hatinya.

"Oh, menghibur, ya? Sepertinya kamu menghiburnya dengan sangat baik ya," cibir Raisa dengan mimik wajah jijik.

"Bukan begitu maksudku, Sa. Kumohon dengarkan penjelasanku dulu!"

Velia yang merasa tak enak hati pun ikut berdiri dan ingin membantu Ardan untuk menjelaskan pada Raisa yang tengah emosi.

"Apa yang dikatakan Ardan benar, Sa. Aku dan dia itu-"

Raisa mengangkat tangan kanannya untuk meminta wanita berambut pendek sebahu itu untuk berhenti. Dia tak ingin lagi mendengar penjelasan apa pun, apalagi dari mulut Velia. Melihat wajahnya saja sudah membuat Raisa muak.

"Aku mau kita putus! Dan mulai hari ini jangan pernah hubungiku lagi!"

Ardan tersentak kaget. Dia menatap Raisa tak percaya jika gadis itu akan mengatakan kalimat tabu itu padanya.

"Apa yang kamu katakan, Sa. Jangan mengambil keputusan yang gegabah. Aku tidak mau kita putus."

Raisa tersenyum getir. "Kamu tidak mau kita berpisah tetapi kamu terus menyakitiku dengan bersama dia! Apa kamu pernah sekali saja memikirkan perasaanku?"

Ardan mendekati Raisa perlahan. Dia ingin meraih tangan gadisnya, tetapi Raisa langsung mundur satu langkah untuk menghindarinya.

"Aku dan Velia hanya sahabat, kumohon percaya padaku, Sa."

"Di dunia ini tak ada laki-laki dan perempuan dewasa yang bisa menjalin hubungan murni bersahabat. Apa kamu tidak tahu Ardan, Velia itu menyukaimu. Itu sebabnya dia selalu bermasalah dengan para kekasihnya karena sebenarnya dia menyukaimu!" tutur Raisa membeberkan apa yang dia ketahui tentang wanita yang kini berdiri di samping kekasihnya itu.

"Itu tidak benar. Velia mana mungkin menyukaiku, kamu tahu sendiri setiap kami bertemu, kami kerap bertengkar dan mempeributkan hal-hal kecil. Itu hanya persepsimu saja Sayang, karena kamu sedang cemburu terhadap kami. Lagi pula aku sudah menganggap Velia seperti adik perempuanku sendiri," tampik Ardan tak terima dengan apa yang Raisa katakan.

Raisa menghela napas. Dia melihat sekilas ke arah Velia yang tertunduk lesu mendengarkan ucapan Ardan tentang dirinya. Di mata Ardan, Velia tak lebih dari seoarang adik untuknya.

"Terserah padaku jika kamu tak percaya padaku. Tetapi yang pasti aku sudah capek melihat hubungan kalian yang begini mesra seperti ini. Kamu juga selalu lebih mementingkan dirinya daripada aku sampai-sampai kamu lebih memilih bersamanya daripada aku. Bahkan kamu lupa jika hari ini adalah hari aniversary hubungan kita kan?"

Ardan terdiam. Dia semakin terpojok dengan kalimat Raisa yang tepat. Dirinya memang sempat lupa jika hari ini adalah hari jadi mereka yang ke tiga.

Melihat keterdiaman Ardan membuat Raisa yakin apa yang dikatakannya barusan benar. Ardan memang benar-benar lupa dengan hari spesial mereka.

"Aku mau kita putus!" tandas Raisa kecewa. Dia berbalik pergi meninggalkan Ardan dan Velia dengan langkah kaki yang cepat.

Matanya sudah mulai memanas menahan air mata kekecewaan yang sedari tadi dia tahan.

Raisa terus melangkah dengan cepat. Tak dia hiraukan suara Ardan yang terus memanggil namanya dari belakang.

Hatinya sudah terlanjur sakit dengan sikap lelaki itu yang tak pernah tegas dengan hubungan mereka. Ardan selalu saja lebih mementingkan Velia dari dirinya hanya karena Velia adalah sahabatnya sejak kecil dan tengah membutuhkan dirinya.

Sementara dirinya? Ardan seakan lupa jika rasa sabar ada batasnya. Dan hari ini Raisa tak bisa lagi mentolerir sikapnya.

Raisa masuk ke dalam mobil. Dia menangis tanpa suara dari balik kemudi. Kaca yang tertutup rapat membuatnya lebih leluasa untuk menumpahkan air matanya.

"Rasanya sakit sekali. Aku yang meminta putus darinya tetapi kenapa sekarang justru aku yang menyesalinya. Bahkan belum ada satu jam kalimat itu terlontar," gumam Raisa disela tangisnya.

Karena masih sayang.

"Aku sudah bilang padamu berulang kali. Mana ada laki-laki dan perempuan dewasa itu menjalin hubungan murni hanya sebagai sahabat saja. friend, that's bullshit!" Bella mengomentari sesi curhat Raisa tentang kekasih yang telah menjadi mantan itu.

Sudah lebih dari satu jam dia mendengarkan curahan hati Raisa dengan terpaksa.

"Yang bilang aku gak percaya dengan ucapanmu itu siapa? Aku juga berpikir akan hal yang sama, tapi masalahnya Ardan yang tidak mengerti. Dia lebih percaya dengan semua yang dikatakan wanita itu dengannya."

"Dasar cowokmu saja yang bego. Masa dia tidak paham gelagat wanita yang tertarik padanya atau tidak. Dari sikap wanita itu saja sudah tampak kalau dia selalu berusaha mencari perhatiannya. Atau jangan-jangan—" Bella menjeda ucapannya.

Raisa menoleh dengan kening yang berlipat dalam. Mata yang telah kering dari air mata itu masih meninggalkan jejak-jejak kesedihan di sana.

"Jangan-jangan apa maksudmu?" tanyanya penuh minat.

"Bisa jadi sebenarnya Ardan juga menikmati sikap wanita itu yang manja terhadapnya. Ya ... pura-pura tidak tahu tapi malu-malu mau," balas Bella seakan mengejek sikap Ardan yang tidak tegas pada wanita yang yang mencoba merusak hubungan mereka.

"Maksudmu, Ardan juga diam-diam menaruh hati pada Velia?" tebak Raisa memastikan.

Bella mengangkat kedua bahunya seraya menganggukkan kepalanya pelan. "Bisa saja kan, siapa yang tahu isi hatinya? Tapi dari sikap dan perilaku dia yang mengutamakan Velia daripada dirimu, aku rasa itu cukup menjelaskan semuanya."

Baru saja Raisa ingin membuka mulutnya, pintu kamarnya sudah lebih dulu terketuk dari luar.

Dia bangkit dari duduknya untuk membuka pintu tersebut. Tampak seorang wanita paruh baya yang menatapnya dengan raut wajah asam.

"Ada apa, Ma?"

"Ada pacar kamu di bawah," jawab Lani singkat kemudian berlalu pergi begitu saja.

Lani adalah Ibu sambung Raisa. Papanya menikah dengan Lani sepuluh tahun yang lalu setelah Mama kandung Raisa meninggal dunia karena sakit.

"Siapa, Sa?" tanya Bella penasaran.

Raisa menoleh kebelakang dengan gagang pintu yang masih di tangan.

"Ardan."

"Temui saja. Mungkin dia mau minta maaf padamu."

"Untuk apa? Lagian kami juga sudah putus hubungan. Aku rasa gak ada gunanya aku menemuinya."

Raisa masih kesal, itu sebabnya dia masih enggan bertemu dengan lelaki itu. Apalagi mendengarkan bujuk rayuan yang sama. Toh ... pada akhirnya Ardan juga bakalan kembali melakukan kesalahan yang sama.

"Temui saja. Aku tahu kok, kamu sebenarnya masih cinta kan sama Ardan? Jangan gengsi dan jangan bodoh, masa kamu kalah dari Velia. Seharusnya kamu bisa bikin Ardan membenci Velia," saran Bella. Raisa terdiam.

Dari lubuk hati yang paling dalam dirinya masih menyimpan perasaan untuk Ardan. Ada sedikit penyesalan di hatinya setelah mengeluarkan kata kramat yang paling ditakutkan dalam sebuah hubungan.

"Sudah, jangan kelamaan mikir. Kalau masih sayang ya kamu perjuangkanlah. Depak tu Velia. Bibit-bibit pelakor seperti dia harus di basmi," ujar Bella memprovokasi. Tangan kanannya menepis ke udara.

Raisa akhirnya keluar dari kamar dan langsung menuruni tangga menuju taman samping tempat di mana Ardan selalu menunggunya saat berkunjung di rumahnya.

Raisa duduk di hadapan Ardan dengan wajah dinginnya.

"Sayang, kamu masih marah denganku?" Ardan meraih tangan Raisa, namun Raisa menolak.

"Jangan pegang-pegang! Kita sudah selesai!" ucap Raisa ketus. Dia mengusap tangannya yang baru saja tersentuh oleh Ardan dengan gaya jijik.

Ardan menghela napas pendek. "Sa, tolong dengarkan aku dulu. Aku berani bersumpah jika aku dan Velia tidak memiliki hubungan apa-apa! Aku tu sangat Sayang denganmu. Mana mungkin aku menduakanmu dengan wanita lain."

"Sayang?" Raisa mencelingus. "Lalu dengan Velia apa? Cinta?"

"Aku sudah berulang kali jelaskan sama kamu. Aku dan Velia itu tidak ada hubungan apa-apa. Kami hanya teman saja. Kamu jangan kekanak-kanakan seperti ini dong, Sa."

Brak! Raisa menggebrak meja kuat seraya berdiri dari duduknya. Tatapan matanya begitu tajam dan penuh permusuhan.

"Aku kekanakan kamu bilang? Kamu itu yang tidak tahu diri. Berulang kali aku katakan, Velia itu ... ahhh, sudahlah. Kamu juga tak akan mengerti apa yang aku jelaskan nanti!"

Raisa merasa putus asa untuk menjelaskan pada Ardan. Tetap saja Ardan tidak mengerti apa sebenarnya yang menjadi masalah dalam hubungan mereka.

Ardan langsung bangkit dari duduknya dan menahan lengan Raisa saat gadis itu hendak pergi meninggalkannya kembali.

"Sa, aku mohon maafkan aku. Aku tahu aku salah dan aku janji akan memperbaiki kesalahanku. Tapi aku tak mau kita putus."

Raisa membalikkan tubuhnya hingga kedua matanya terserobok hingga untuk beberapa saat saling menatap.

"Sayang, please. Aku minta maaf dan janji tak akan mengulanginya lagi."

"Dan kamu pikir aku akan percaya. Kenapa kalian berdua gak jadian saja? Kamu dan Velia itu sangat serasi seperti jarum jam panjang yang selalu berputar di samping jarum yang pendek," urai Raisa.

"Harus berapa kali aku katakan. Aku hanya kasihan padanya, sebagai anak broken home, Velia tak memiliki seseorang untuk tempatnya bercerita.  Itu sebabnya dia selalu datang padaku karena kami berteman sejak kecil. Seharusnya kamu memiliki empati padanya sedikit saja."

"Haruskah aku berempati pada wanita lain yang terus menerus menempel pada kekasihku. Sampai kapan? Sampai kita menikah dan akhirnya dia menjadi duri dalam daging di pernikahan kita nantinya," sergah Raisa cepat.

Dia semakin kesal mendengar ucapan Ardan yang masih ingin membela sahabatnya itu. Raisa semakin curiga jika hubungan mereka berdua tak sekedar hubungan sahabat semata.

"Kok pembicaraan kamu jadi ke mana-mana, Sa? Aku kan hanya—"

"Sudah cukup! Kalau kamu ke sini hanya untuk melanjutkan perdebatan kita yang kemarin. Lebih baik sekarang kamu pergi. Aku capek!"

Ardan mengusap wajahnya kasar. Dia seperti baru tersadar dengan apa yang dirinya ucapkan barusan. Niat hati ingin memperbaiki hubungan di antara mereka berdua, namun apa yang dia lakukan justru semakin membuat hubungan itu semakin menjauh.

"Maafkan aku, Sa. Aku tak bermaksud seperti itu. Mungkin aku terlalu capek hingga ngelantur. Aku mohon maafkan aku dan aku akan lakukan apa pun agar kamu mau kita memperbaiki hubungan ini. Jujur aku masih sayang sama kamu, Sa. Aku tak mau kita berpisah."

"Kamu serius mau melakukan apa pun asalkan aku mau menerimamu kembali?" tanya Raisa mamastikan. Dia tak munafik, dirinya pun masih menyimpan perasaan sayang pada kekasihnya itu.

Ardan tersenyum mendapati harapan yang diberikan Raisa padanya. Dia langsung menggapai tangan Raisa sembari mengangguk.

"Kalau begitu jauhi Velia. Hapus semua kontak yang berhubungan dengan wanita itu! Kalau kamu ketahuan membohongiku, aku anggap kamu lebih memilih dirinya dibandingkan aku dan kita selesai!" ucap Raisa menekan kalimatnya.

Dia hanya menginginkan Ardan menjadi miliknya seutuhnya tanpa bayang-bayang teman masa kecilnya itu.

"Baiklah, aku akan turuti keinginanmu. Dan aku tak akan mengecewakanmu, aku janji."

Janji itu pun meluncur dari bibir Ardan. Namun apa Ardan bisa menepati janjinya? Entahlah, Raisa tak tahu. Namun yang pasti dia akan membuat Velia menyingkir dari hubungan mereka bagaimanapun caranya.

Ular berbisa.

Velia tersenyum bahagia sembari menikmati salad di hadapannya. Dia duduk santai di sebuah kafe bersama temannya bernama Margaretha.

Margareth memicingkan mata menatap Velia curiga.

"Apa yang membuatmu bahagia? Beritahu aku," tanya Margareth penasaran.

"Hmm, jelas aku bahagia. Karena sebentar lagi 'dia' akan menjadi milikku."

"Dia? Ardan maksudmu? Kok bisa? Bukannya Ardan memiliki kekasih?" cecar Margaretha seakan tak percaya yang membuat Velia mendengkus kesal.

"Jangan terlalu meremehkanku."

"Aku bukannya meremehkanmu. Tapi setahu aku Ardan memiliki kekasih dan mereka juga saling mencintai bahkan berencana untuk menikah juga kan? Lalu bagaimana ceritanya Ardan menjadi milikmu. Atau jangan-jangan ... Ardan putus dengan kekasihnya itu?"

Velia menganggukkan kepala dengan bangga. Apa yang selama ini ingin dia dapatkan akhirnya sebentar lagi ada di dalam genggaman tangan. Sejak dulu gadis berambut sebahu itu menyukai Ardan lebih dari sekedar sahabat.

Velia cukup senang perhatian Ardan selalu tertuju padanya walau tak pernah terlontar kata cinta di antara keduanya. Akan tetapi semua itu berubah semenjak Raisa hadir di tengah-tengah hubungan mereka. Ardan yang mencintai Raisa terang-terangan memberikan perhatian pada kekasihnya hingga membuat Velia merasa cemburu.

Dia tak suka perhatian Ardan terbagi pada wanita lain selain dirinya. Velia menjalin hubungan dengan beberapa orang pria untuk menekan perasaannya terhadap Ardan. Namun semakin dia menjauh, hatinya semakin sakit untuk menerima kenyataan yang ada.

Haruskah dia mengalah saat hatinya tak ingin untuk berpindah? Salahkah jika dirinya menyimpan perasaan cinta pada sahabatnya sendiri? Pikiran itu terus berkecamuk di dalam benaknya selama beberapa minggu.

Dia mencari-cari jawaban atas apa yang dia alami hingga Velia mengambil kesimpulan bahwa cintanya juga punya hak untuk di utarakan. Bukan salah dia jika hatinya tertaut.

"Semua hal bisa saja terjadi Margareth. Yang sudah nikah saja bisa bercerai apalagi yang hanya sebatas tunangan saja. Lagi pula hanya aku yang pantas untuknya, bukan wanita itu!"

"Aku hanya memperingatkan kamu sebagai seorang teman. Aku berharap kamu bisa mengambil keputusan terbaik agar kamu tidak menyesal nantinya."

"Menyesal? Kenapa aku harus menyesal, justru aku bahagia jika Ardan bisa menjadi kekasihku. Aku sangat mencintainya Retha. Dan kau tahu itu kan?"

"Ini bukan cinta tapi obsesimu semata," tangkas Margaretha cepat.

Menurutnya cinta itu tak memaksa, namun Velia justru menyakiti.

"Kamu itu sahabatku, seharusnya kamu mendukungku bukannya justru bersikap seakan memojokkanku." Velia marah, dia menaikkan intonasi suaranya dengan mata yang sedikit menajam.

"Bukan begitu. Justru sebagai sahabat aku—"

"Sudah cukup! Kamu merusak moodku siang ini saja." Velia beranjak dari duduknya. Dia pergi begitu saja meninggalkan tempat itu dengan perasaan tak senang.

Margareth menghela napas panjang. Sangat susah memberi pengertian pada gadis keras kepala seperti temannya itu.

Velia belum pergi meninggalkan kafe. Di dalam mobil tangannya menekan sebuah nomor di layar ponsel. Butuh waktu yang cukup lama untuk panggilannya tersambung.

"Hallo. Ada apa?" Sahut sebuah suara diseberang sana. Senyum tipis di bibir Velia luntur seketika. Bukan suara lembut seorang wanita yang ingin dia dengar dan dari suaranya saja dia sudah tahu siapa pemiliknya.

"Raisa, dimana Ardan?"

"Dia ada di dapur sedang membuatkan makan siang untukku. Memangnya ada perlu apa? Apa itu penting?"

Velia mengerutkan bibirnya. Hatinya sedikit terbakar dengan ucapan Raisa yang terdengar sedang memamerkan kemesraan mereka. Ardan sosok lelaki sempurna di mata Velia. Lelaki mapan dengan pekerjaan yang bagus di tambah pintar memasak hingga bisa memanjakan lidah pasangannya.

Dulu semasa kuliah Ardan iseng-iseng ikut kelas memasak mengisi waktu senggangnya dengan alasan agar bisa memasak untuk dirinya sendiri di kost.

Hidup sendiri di kuar negeri membuatnya sulit untuk menyesuaikan lidahnya dengan masakan negara itu. Sementara mencari restoran khusus masakan Indonesia tidaklah mudah dan harganya pun cukup mahal untuk mahasiswa yang harus berhemat seperti mereka.

"Kenapa? Kalau tak ada yang mau kamu katakan aku akan tutup telponnya," ujar Raisa membuyarkan lamunan sesaat Velia.

"Oh ya, satu lagi. Berhentilah menghubungi kekasihku terus menerus. Kamu cukup dewasa untuk menyelesaikan masalahmu sendiri. Jangan selalu menempel pada kekasihku seperti ulat bulu, atau jangan-jangan kamu sengaja, hmm," tuduh Raisa langsung.

Mata Velia melebar. Tangannya mencengkram ponsel dengan erat, dadanya pun ikut bergemuruh.

"Apa yang kamu katakan, aku tidak mengerti," jawab Velia pura-pura bodoh.

"Oh jadi kamu tidak mengerti, baiklah akan aku jelaskan sejelas mungkin padamu. Berhanti menghubungi kekasihku dan selalu membebankan dirinya dengan segala urusanmu. Kamu hanya teman baginya dan sebagai seorang teman saja kuharap kamu tahu batasan yang harus kamu miliki. Kamu paham!" Balas Raisa dengan penekanan pada setiap kalimatnya.

Dia tak menunggu jawaban dari bibir Velia karena di detik berikutnya sambungan telpon itu langsung terputus secara sepihak.

Velia mengeram marah. Ponsel yang dia genggam erat dia banting begitu saja pada kursi penumpang yang ada di sebelahnya. Jatuh pada jok lembut lalu terpental ke lantai mobil dengan mengenaskan.

"Sialan! Jadi mereka berbaikan kembali. Berani-beraninya dia memperingatiku, memangnya siapa dia? Dia pikir aku tidak bisa membuat hubungan mereka lebih hancur dari sebelumnya!" geram Velia murka.

Rasa cemburu di hati begitu bergejolak. Dalam pikirannya saat ini muncul adegan-adegan romantis yang mungkin saja Raisa dan Ardan lakukan saat mereka sedang berduan.  Raisa menatap dirinya seakan mengejek membuat api amarah di dadanya semakin berkobar.

"Akan aku pastikan kalian berdua berpisah selamanya. Ardan hanyalah milikku dan akan terus menjadi milikku!" Velia mencengkram stir mobil kuat. Sementara di tempat lain, Raisa tersenyum puas.

"Siapa yang menelpon tadi, Sayang?" Ardan keluar dari dapur dengan dua piring steak di tangannya.

"Bukan siapa-siapa, sepertinya ada orang yang salah sambung," jawabnya berbohong dengan santai.

Raisa mendekati Ardan dan duduk di salah satu kursi yang ada di meja makan. Mereka berdua duduk berhadapan.

Tangan Raisa bergerak memotong steak yang dibuatkan kekasihnya dan langsung menikmatinya.

"Hmm, masakan kamu memang yang paling enak," puji Raisa membuat Ardan senang.

"Kalau begitu habiskan."

"Hmm." Raisa menganggukkan kepala. Dia kembali melanjutkan menikmati makanannya dengan antusias.

Ponsel Ardan yang diletakkan Raisa di atas meja kembali bergetar. Ardan meraih benda pipih itu dan melihatnya.

"Velia?" gumam Ardan yang masih dapat didengar Raisa. Selera makan Raisa hilang begitu saja. Dia meletakkan sendok serta pisau yang dia gunakan ke atas meja dengan malas.

"Jangan di angkat! Paling juga sesuatu yang gak penting. Kamu ingatkan sudah janji padaku?"

Ardan meletakkan kembali ponselnya. Namun sebuah pesan lebih dulu terkirim dan dia buka.

Ardan tersentak kaget hingga berdiri dari duduknya. Betapa terkejutnya Ardan melihat apa yang tertulis dalam pesan itu.

"Ada apa?" tanya Raisa cepat.

"Sa, aku harus pergi sekarang." Jawab Ardan singkat. Raut wajahnya menggambarkan kekhawatiran. Lelaki itu langsung pergi tanpa penjelasan apa pun padanya.

"Ardan tunggu. Aku ikut denganmu!"

Perasaan Raisa yang tak enak menuntunnya untuk mengikuti Ardan dari belakang.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!