NovelToon NovelToon

Deal, 31 Hari Kita Bercerai!

Melabrak

Seorang gadis manis berlesung pipi dan berkulit sawo matang, berdiri mematung di depan pintu sebuah kontrakan sepetak di sertai dengan kilatan sorot mata yang menyala-nyala. Kedua tangannya mengepal kuat. Gigi-giginya saling gemeretak, serta dadanya naik turun menahan amarah yang kian berkobar.

"Hhmm sssshhhh terus, mas, aahh!"

Desis seorang wanita yang terdengar sangat menjijikan di dalam kontrakan itu seakan mendorong hatinya agar segera melayangkan kakinya ke arah pintu kontrakan tersebut.

Brugh

Dalam satu tendangan, pintu kontrakan itu langsung copot dari engselnya, dan menindih punggung seorang pria di atas tubuh seorang wanita tanpa sehelai benang.

Pria itu berteriak kesakitan, sementara si wanita menjerit-jerit terkejut bercampur ketakutan.

Si gadis tersenyum smirk. Tanpa harus mengotori tangannya pintu itu sudah mewakilinya.

"Dasar binatang menjijikan, kalian," teriaknya lantang.

Pria itu menoleh ke arah pintu yang sudah tak berdaun. Bola matanya seketika melebar. Begitu pula dengan si wanita yang tak kalah melotot.

"Ru-Rubi!"

Ya, gadis itu bernama Rubi. Nama lengkapnya, Rubi Annisa Qomariyah. berusia 28 tahun. Memakai hijab. Dan bekerja sebagai buruh pabrik.

Berawal dari sikap sang tunangan yang tak biasa membuat Rubi mencurigainya. Ditambah kesaksian dari beberapa temannya yang mengatakan pernah melihat tunangannya berboncengan dengan seorang wanita, membuat Rubi semakin bertekad untuk menyelidikinya.

Kini kecurigaannya terhadap calon suaminya telah terbukti sempurna. Di depan matanya sendiri, pria yang seharusnya besok menikahinya sedang menggauli wanita lain yang tak lain adalah rekan kerjanya sendiri.

Sontak si pria menyingkirkan daun pintu di atas punggungnya dengan susah payah, kemudian melepaskan tubuhnya dari atas tubuh si wanita, mengulur panjang tangannya meraih sebuah sarung yang tergeletak dipojokan.

Dan si wanita buru-buru menarik selimut tipis yang tergeletak di ujung kakinya, lalu dibalutkan pada tubuh polosnya.

Rubi menatap marah ke arah si pria yang sudah mengikatkan sarung di pinggangnya dengan asal.

"Jadi begini kelakuan kamu di belakang ku, Marso! sering kawin sama si sundel munafik ini disini?" Teriak Rubi dengan sorot mata yang tajam.

Pria yang bernama lengkap Marsono itu hanya diam. Namun keterkejutan, ketegangan, serta kepanikan terpancar jelas di raut mukanya yang basah oleh peluh. Tak ada satu kata pun yang keluar dari mulut pria yang berperawakan cungkring itu.

Rubi mengalihkan tatapan kemarahannya ke arah si wanita.

"Dan kamu Sundari." Menunjuk wanita itu dengan jari telunjuknya.

Wanita yang bernama Sundari itu melihat takut-takut ke arah Rubi.

"Aku pikir kamu itu gadis cupu nggak taunya suhunya kawin sama tunangan orang. Apa nggak ada cowok lain yang suka sama kamu sampe tunangan teman sendiri kamu embat?"

Sundari hanya diam dan menundukkan pandangannya.

Rubi segera merogoh ponselnya, kemudian mengarahkan kamera ke arah dua orang menjijikan itu.

"Lihat aja. Akan aku viral kan kalian biar eyar sepabrik dan se-Indonesia Raya."

Marsono geleng-geleng kepala dan mengibas-kibaskan kedua tangannya.

"Ja-jangan, Rubi. To-tolong jangan lakukan," cegahnya.

Sementara Sundari menutupi wajahnya dengan selimut yang sudah nampak dekil.

Rubi tersenyum menyeringai dan tak mempedulikan ocehan Marsono. Ponselnya terus merekam kedua orang itu.

Marsono tak terima atas apa yang sedang Rubi lakukan. Dia mendekati Ruby hendak mengambil ponselnya.

"Kemari kan ponselnya, Rubi, kemari kan!" Marsono terus bergerak maju, sedangkan Rubi bergerak mundur.

"Ogah."

Rubi bergerak ke sana kemari. Ponselnya berpindah dari tangan satu ke tangan lainnya seiring dengan Marsono yang terus berusaha meraihnya. Semakin lama semakin membuat Rubi jengkel. Saat Marsono terus merongrong, tanpa ragu gadis itu melayangkan tendangan keras ke arah miliknya dibalik sarung.

"Aaaaaaak."

Suara pekikan panjang seketika keluar dari mulut Marsono. Bola matanya melotot, mulutnya menganga lebar, tubuh nya melengkung, dan kedua tangannya menangkup area miliknya yang telah ditendang Rubi. Sedetik kemudian, tubuhnya tumbang tapi tidak pingsan.

Rubi tersenyum puas.

"Semoga telor mu pecah semua, Marso. minimal satu."

"Mas Marsoooooo!" Sundari berlari sambil memegang ikatan selimut di bagian dadanya ke arah Marsono yang tergeletak di atas tanah, dan menggeliat-geliat seperti cacing kepanasan sambil mulutnya terus meracau kesakitan.

Melihat sikap perhatian Sundari terhadap Marsono, membuat Rubi semakin geram saja pada wanita itu. Dia mengepalkan tangannya erat. Bagaimana tidak sangat marah. Sundari yang dikenalnya sebagai teman kerja yang baik, kalem, polos, ternyata diam-diam menghanyutkan dan menusuknya dari belakang.

Rubi kemudian mendekati Sundari yang sedang meratapi Marsono, dan tanpa belas kasihan dia menjambak kuat rambutnya.

"Aw, aw sakit, bi. Lepasin, lepasin rambutku!" rintihnya. Tangannya berusaha melepaskan tangan Rubi dari rambut aut-autan nya.

"Sakit kata mu! sakitan mana sama perasaan aku, sundel munafik?" Teriak Rubi di telinganya sampai telinga wanita itu mendengung.

"Kenapa kamu salahkan aku? Aku nggak merebut, mas Marso, mas Marso sendiri yang suka sama aku," kilahnya dengan ke sok polosan nya.

"Kalian berdua emang cocok. Sama-sama nggak punya otak kayak b*n*tang," geram Rubi, dengan akhir kalimat memekik sambil menghempas kasar kepalanya yang membuat kepala Sundari terhuyung ke depan.

Andai negara ini tidak ada undang-undang hukuman bagi orang yang mencelakai atau membunuh pasangan yang berselingkuh, mungkin saat ini Rubi akan melakukan salah satunya, menghajar belur atau membunuh mereka.

Setelah melepas jambakannya, Rubi berdiri tegak dan berkacak pinggang. Tatapan nyalang nya menyorot ke arah kedua pengkhianat itu. Dengan dada yang begitu sesak, dia berkata," dengar Marsono bin Sutaryo. Detik ini juga kita putus. Dan besok tidak akan ada pernikahan diantara kita. Pernikahan kita batal."

Marsono sontak terkesiap. Menggelengkan kepalanya dengan muka memelas.

Rubi tak mempedulikan isyarat penolakan pria itu. keputusannya sudah bulat. Dia tidak mungkin sudi menikahi pria yang sudah mengkhianatinya.

"Tunggu, bi. Maafkan aku! aku khilaf. Tolong maafkan aku, biiiiii....." Marsono melambai-lambaikan tangan lemahnya ke arah Rubi yang semakin menjauhinya dan tak menggubris permohonan maafnya.

Airmata Rubi meleleh saat melihat tenda sudah terpasang di depan rumahnya. Pelaminan sudah terpajang. Kursi dan meja tamu undangan sudah berjajar rapih. Terlihat canda tawa muda mudi serta anak-anak di sana. Di belakang dapur pun tak kalah ramai oleh ibu-ibu yang sedang membantu memasak untuk acara pernikahan nya esok hari.

Rubi melangkah mundur, kemudian berbalik dan berlari menjauhi keramaian di rumahnya.

Di tengah remang cahaya bulan, Rubi berjalan seorang diri. Menatap kosong ke depan diiringi dengan linangan airmata nya yang terus mengalir deras. Kedua belah jari nya saling me re mas.

"Apa yang harus aku lakukan? Besok pesta pernikahan ku nggak mungkin bisa ku dihindari. Apalagi ibu sudah mengundang tujuh kampung. Tapi aku nggak mungkin nikah sama si pria laknat itu."

Mengingat pria itu, remasan jari-jari tangannya semakin kuat. Dan gerak langkahnya pun kian cepat.

"Dasar laki-laki brengsek kamu, Marso. Brengsek, brengseekk!"

Plak

Tuiiing....

Pria tak dikenal

Pluk

"Aduh."

Seorang pria yang sedang berjalan luntang lantung di tengah jalan mengaduh ketika sebuah kaleng minuman menghantam jidatnya. Tak hanya merasa sakit tapi wajahnya juga dilumuri oleh air beraroma tak sedap dari dalam kaleng tersebut.

"Sial!" marah pria itu, lalu mengelap mukanya dengan ujung kaosnya yang sudah nampak dekil.

Sementara dari jarak beberapa meter, Rubi menatap tercengang ke arah pria itu. Tak menyangka kaleng yang baru saja dia tendang di harapkan sampai ke muka Marsono sialnya malah mengenai muka pria tak dikenal.

"Waduh Gawat. Kabuuurrrrrrr! "

Tanpa berpikir panjang, Rubi mengambil seribu langkah berlari. Namun suara langkah kakinya yang cukup berisik mengalihkan perhatian pria itu.

"Woiii..."

Langkah lari Rubi seketika berhenti. Niat hati mau kabur, pria itu lebih dulu mengetahui keberadaanya. Dan terpaksa Rubi berbalik badan.

Pria itu melangkah lebar ke arah Rubi. Meski dalam keadaan remang, Rubi dapat melihat sorot matanya yang tajam. Dia langsung berpikir pria itu pasti hendak menyakitinya seperti akan menghajarnya atau yang paling terburuk adalah memperkosanya. Apalagi jalanan yang dia lintasi sangat sepi dan tak ada satu pun manusia atau kendaraan yang lewat, yang ada hanya suara jangkrik dan kodok saja yang saling bersahut-sahutan.

Membayangkan dua hal buruk tersebut membuat Rubi geleng-geleng kepala. Ketakutan dan kecemasan pun kian terpancar jelas di raut wajahnya yang manis. Dan dia melangkah mundur. Namun saat dirinya berbalik hendak berlari, pria itu berhasil menarik ujung hijabnya.

"Mau kabur kemana kamu, hah?" Bentak pria itu.

"Lepaskan....lepaskan. Toloooong.... toloooooong!" Rubi berteriak sekencang-kencangnya dan berusaha menarik hijabnya yang sedang ditarik oleh pria itu.

"Ngga akan ku lepas. Enak banget kamu mau kabur gitu aja setelah membuat muka orang bonyok." Pria itu menyeringai, dan tangannya terus memegangi ujung hijab Rubi.

"Jangan ngawur. Mana ada muka mu bonyok. Lagian aku ngga sengaja. Salah mu juga kenapa ada disitu," timpal Rubi yang sudah mulai marah.

"Dasar perempuan bar bar. Udah jadi pelaku malah nyalahin korban. Pokoknya ngga akan ku lepas sebelum kamu bertanggung jawab."

Karena pria itu tak kunjung melepas hijabnya, terpaksa Rubi mengeluarkan jurus andalannya, yaitu melayangkan tendangan ke arah milik pria itu. Tendangannya sontak saja membuat mata pria itu melotot sempurna merasakan sensasi yang luar biasa dan tak terkira. Tangannya beralih memegang miliknya membuat hijab Rubi terlepas.

Rubi tersenyum puas. Dan dia pikir ini kesempatannya untuk melarikan diri. Namun sebelum melarikan diri, dia meledek pria itu terlebih dahulu.

"Rasain emang enak wek." Menjulurkan lidahnya ke arah pria itu. Setelah itu, Rubi berlari secepat kilat.

Pria itu tak lagi mengejar Rubi. Tubuhnya tumbang dan tergeletak diatas tanah.

Ditengah berlari, Rubi berhenti saat merasa pria itu tak lagi mengejarnya.

"Kayaknya sudah aman. Pria itu ngga lagi mengejar aku," gumam Rubi dengan nafas berasa tinggal di pangkal kerongkongannya.

Akan tetapi perasaan aman itu seketika berubah menjadi ketakutan saat teringat beberapa kasus pembunuhan yang kini sedang ngetren di sosial media. Yang mana si pembunuh meninggalkan mayat yang dibunuh, atau membuang mayatnya dan akhirnya terungkap siapa yang membunuh mayat tersebut.

"Bagaimana kalau pria itu mati. Lalu polisi mencari ku?"

Ya, Rubi takut pria itu mati. Lalu dirinya dituduh sebagai pembunuhnya. Apalagi tadi Rubi sempat melihat pria itu tersungkur ke atas tanah. Meski sebenarnya bukan seratus persen kesalahannya, tapi dia sudah melukai bagian sensitif pria itu, dan Rubi pikir pria itu juga belum tentu akan mencelakainya tadi. Jadi kemungkinan besar secara hukum, dia lah yang akan disalahkan.

"Ngga. Orang itu ngga boleh mati. Kalau aku di penjara gimana dengan keluargaku nanti?"

Rubi membayangkan jika dirinya dipenjara. Bagaimana dengan ibunya, adik-adiknya, ipar nya, dan juga keponakan nya yang masih bayi. Karena semua anggota keluarganya itu menggantungkan hidup mereka di pundaknya. Akhirnya Rubi memilih untuk kembali kepada keberadaan pria tersebut.

Kini, Rubi menatap bingung pada sosok yang sedang tergeletak di atas tanah. Apa yang harus dia lakukan? Dia berjongkok, kemudian menempelkan sebelah telinganya di atas dada pria itu. Bibirnya perlahan tersenyum saat mendengar jantung pria itu berdetak dengan normal.

"Syukurlah dia masih hidup," lirihnya. Tak hanya mengecek jantungnya, Rubi juga mengecek urat nadinya untuk meyakinkan. Senyum Rubi semakin terkembang lebar saat urat nadinya masih berdenyut.

Setelah memastikan pria itu masih hidup, Rubi berdiri tegak.

"Apa aku tinggalkan aja. Paling juga nanti bangun sendiri atau ada orang yang menemukan nya."

Rubi berbalik badan. Namun saat kakinya hendak di langkahkan, dia merasa seperti manusia yang tidak berperikemanusiaan meninggalkan orang yang sedang tak berdaya sendirian di tempat yang sepi serta di sisi kiri kanannya adalah kebun yang rimbun. Bagaimana jika pria itu dimakan binatang buas atau di gigit binatang melata?

Hrok

"Astagfirullah hal adzim..." Rubi terkejut. Baru saja dia memikirkan tentang binatang melata atau babi hutan, tiba-tiba mendengar suara babi hutan dari arah kebun.

Rubi menapakkan menapakkan kakinya kembali, kemudian berbalik seperti semula.

"Kamu juga jadi cowok kok lemah banget. Baru di toel sedikit anu nya langsung pingsan. Ujung-ujungnya aku yang repot." Rubi menggerutu kesal lalu berjongkok.

Meski mulutnya menggerutu, tapi otaknya berpikir gimana caranya membawa pria itu ke klinik yang ada di kampungnya?

Hrok

Hrok

Rubi menjadi panik ketika suara babi hutan itu terdengar semakin mendekat. Dia pikir tak ada pilihan lain selain membawa tubuh pria yang tak berdaya itu dengan cara di gendong sebelum babi hutan itu mendekatinya.

Jangan dikira Rubi wanita lemah yang tak bisa berbuat apa-apa. Dia adalah mantan kuli panggul beras di pasar saat belum bekerja di sebuah pabrik garmen. Oleh karenanya, menggendong pria itu bukanlah hal yang sulit, meski beratnya 3x lipat dari berat satu karung beras 25kg.

Seorang wanita terbengong dengan mulut menganga melihat kedatangan Rubi di klinik 24 jam sembari menggendong seorang pria.

Rubi yang sadar jika kedatangannya hanya ditonton saja oleh wanita itu pun berseru dengan nafas tersengal-sengal." Jangan cuma lihatin doang dong, Yun. Tolong bantu aku turunin orang ini."

Wanita yang dipanggil 'Yun' itu pun terkesiap." Ah ya, ya bentar." Dia buru-buru keluar dari balik meja kerjanya dan membantu Rubi menurunkan pria itu ke atas brankar.

"Rub, siapa pria yang kamu bawa ini?" Tanya wanita yang di panggil 'Yun' tadi. Tatapannya menyapu ke seluruh tubuh pria yang tengah berbaring di atas brankar.

"Aku juga nggak tau, Yuniar. Tadi aku nemuin dia udah pingsan di tengah jalan," bohong Rubi. Dia enggan berterus terang pada staf klinik sekaligus temannya itu jika pria itu begitu karena ulahnya dengan berbagai alasan.

Wanita yang bernama Yuniar itu hanya manggut-manggut saja.

"Eh, tapi....kenapa kamu ngelayab malam-malam, Rubi? bukan nya seharusnya kamu sedang dipingit ya?"

Pertanyaan Yuniar membuat Rubi terdiam. Andai temannya itu tau apa yang sudah terjadi. Tapi..." Apa dokter Yanto ada, Yun?" Rubi mengalihkan pertanyaan Yuniar.

Wanita itu menggelengkan kepalanya." Dokter Yanto kan tugasnya cuma nyampe sore. Kalau malam ya cuma ada staf-staf nya doang."

Rubi terdiam. Kemudian dia berkata setelah diam beberapa saat. "Kalau gitu aku titip pria ini disini sampe besok ya, Yun. Tolong kamu rawat dulu sebelum dokter Yanto datang."

Permintaan Rubi di anggukan oleh Yuniar. Tetapi saat Rubi hendak beranjak, pria itu tiba-tiba menahan tangannya.

"Mau kabur kemana kamu?"

Deal

"Mau kabur kemana kamu?"

Rubi seketika membeliakkan matanya. Belum sempat kabur pria itu sudah lebih dulu sadarkan diri. Kemudian, dia langsung menghempas kasar tangan pria itu.

"Jangan pegang-pegang bukan muhrim. Lagian siapa juga yang mau kabur," kilahnya, lalu menyilangkan kedua tangannya di atas perutnya dengan wajah merengut dan dengan posisi miring.

Pria itu tersenyum smirk.

"Jelas-jelas mau kabur masih aja ngeles. Apa kamu pikir aku bodoh?"

"Terse....."

"Sebentar, sebentar. Ini ada apa sih sebenarnya? kabur! ngeles! maksudnya, Rub? Apa sebenarnya kalian sudah saling mengenal?"

Yuniar yang sejak tadi hanya diam dan bengong menyaksikan dua orang yang sedang berdebat itu pun tiba-tiba menyela ucapan Rubi.

"Tidak kenal," sahut Rubi dan pria itu serempak membuat yuniar menatap dua orang itu secara bergantian dengan satu alisnya terangkat.

Tring

Suara telpon di atas meja kerja Yuniar seketika mengalihkan perhatian tiga orang itu termasuk si empunya meja tersebut. Yuniar menghela nafas." Tunggu, aku belum selesai bicara sama kalian," ucapnya sembari beranjak mendekati meja kerjanya.

Saat Yuniar sedang mengangkat telpon, pria itu mengubah posisinya. Kini dalam posisi duduk, dia menyoroti tubuh wanita dengan tinggi 170cm dan berkulit sawo matang. Sosok wanita bertenaga super yang sudah menendang miliknya sekaligus menggendongnya yang berbobot 70 kg. Seumur hidupnya baru kali ini dia bertemu dengan sosok wanita yang unik, aneh dan kuatnya mengalahkan tenaga seorang binaragawan.

Tentu pria itu masih mengingat semuanya. Bagaimana wanita itu menendang miliknya, dan bagaimana cara wanita itu membawanya ke klinik. Selain itu, dia juga mendengar semua ucapan, gerutuan dan gumaman wanita itu mulai dari tempat kejadian, di sepanjang jalan sambil mengendap-endap takut terlihat orang, hingga sampai di klinik. Karena sebenarnya dia hanya pura-pura pingsan saja tadi.

Rubi yang menyadari dirinya sedang disoroti oleh pria itu pun langsung melototi nya." Apa liat-liat?"

Pria itu memicingkan matanya dan tersenyum miring." Pede banget. Siapa juga yang liatin kamu. Kayak muka kamu enak dipandang aja. Mending kamu cuci muka dulu sana mataku silau lihatnya."

Tatapan Rubi seketika berubah jengah. Dan kemudian, dia langsung meraba wajahnya. Hal pertama yang dia rasakan saat meraba kulit wajahnya adalah lengket. Rasa lengket terjadi karena bedak tercampur air keringat, maka terjadilah dempul yang terlihat mengkilap seperti kilang minyak apalagi jika tersorot oleh lampu.

Rubi tak menggubris ledekan pria itu melainkan menghentakkan kakinya lalu beranjak pergi.

"Woyyy!!"

Teriakan pria itu membuat Rubi mengurungkan niatnya yang hendak membuka pintu.

"Jangan coba-coba kabur kalau nggak mau ku laporkan sama polisi," ancam pria itu.

Rubi mendengus, lalu berbalik badan." Kamu berani mengancam ku?"

"Kenapa nggak berani melaporkan orang yang sudah bersalah tapi nggak mau tanggung jawab."

"Aku harus tanggung jawab gimana sih! kamu aja keliatan baik-baik aja tuh!"

"Siapa bilang? Lihat nih!" menunjuk pada keningnya yang terdapat benjolan kecil." Dan lihat ini." Menunjuk pada bagian pusakanya yang terbungkus rapih oleh celana panjangnya.

Rubi berdecak." Ya elah benjol gitu doang mana bisa di jadikan bukti, bentar lagi juga benjolnya ilang."

"Tapi ini bisa dijadikan barang bukti yang kuat atas dugaan penganiayaan kamu sama aku." Menunjuk pada bagian pusakanya. Dan tatapan Rubi mengikuti arah telunjuk pria itu.

"Dih, lebay. Emang kenapa dengan anu mu itu? kayak nya baik-baik aja deh."

"Siapa bilang? Apa mau ku perlihatkan sekarang? Biar kamu tau gimana lukanya?" Pria itu memegang kancing celana seakan bersiap membukanya. Melihat hal itu, Rubi segera menggelengkan kepalanya.

"Nggak perlu. Enak banget kamu mau mamerin barang kecil mu itu sama aku."

Pria itu melotot kesal." Issh kamu....."

"Ya udahlah. To the point aja. Kamu mau aku tanggung jawab bagaimana?" Potong Rubi yang sudah mulai lelah dan menyerah.

Pria itu terdiam sambil berpikir. Dan tak lama dia menjawab." Kamu harus merawat aku sampai aku sembuh."

"Apa !!!" pekik Rubi membuat Yuniar menoleh ke arahnya lalu menutup telponnya.

"Kenapa? apa kamu nggak mau?"

"Enggak bisa, nggak bisa." Geleng-geleng kepala sambil tangannya meraba gagang pintu. Dan setelah terbuka lalu kabur.

Rubi mengatur nafasnya yang ngos-ngosan sambil menatap rumahnya yang masih ramai oleh orang-orang setelah kabur dari klinik.

"Ya Allah tolong aku, aku harus bagaimana menghadapi hari pernikahan ku besok? aku juga nggak mau nikah sama si tukang kawin itu?" Batin Rubi mengusap-usap wajahnya yang sudah menjadi kilang minyak.

Ditengah kebingungannya, tiba-tiba sebuah ide brilian muncul di otaknya begitu saja. Bibir Rubi perlahan tersenyum.

Kini kakinya kembali perpijak di klinik 24 jam. Berharap pria tadi belum pergi dari sana. Saat kakinya bergerak mendekati klinik yang nampak sepi, bak gayung bersambut, pria itu muncul dari balik pintu.

"Kamu kembali?" Tanya pria itu dengan kedua alisnya saling tertaut.

"Ya," sahut Rubi.

Pria itu tersenyum tipis, lalu beranjak seolah tak peduli.

"Hei tunggu!"

Pria itu menghentikan gerak langkahnya dan berbalik badan tanpa menyahut.

"Aku mau merawat mu," ucap Rubi ragu-ragu. Tapi meski ragu, keadaannya lah yang menuntutnya harus melakukan ide itu karena tak memiliki pilihan lain.

Kening pria itu seketika mengkerut.

"Aku mau merawat mu asalkan......."

"Asalkan apa?" Tanya pria itu dengan rasa tak sabar.

"Asalkan kamu menikahi ku,"

"What!" pekik pria itu dengan kedua bola matanya melebar.

"Bukannya kamu ingin aku merawat mu? Aku nggak bisa merawat kamu di rumah ku kalau kita nggak ada ikatan apa-apa. Lagi pula. Aku cuma nawari kamu nikah kontrak aja kok bukan nikah permanent."

"Hah!" pria itu terbengong.

"Mau nggak?"

"Berapa lama?"

"31 hari, ya cuma 31 hari. Setelah itu kita bercerai."

Sejenak pria itu terdiam, kemudian mengiyakan tawaran Rubi. Dia sendiri pun tak punya pilihan lain dengan kondisinya yang kini dalam keadaan yang memprihatinkan. Tak punya tempat tinggal dan tak memiliki uang sepeser pun. Dia pikir lumayan bisa numpang tidur dan makan di rumah mahkluk alien itu selama 31 hari sambil mencari ide.

Rubi memberikan kertas berisi tulisan berikut materai kepada pria itu.

"Apa ini?" tanya pria itu sambil meraih kertasnya.

"Surat perjanjian. Oya, siapa nama kamu?" Tanya Rubi, kemudian duduk disamping pria itu.

"Rexa," jawabnya singkat sambil menatap kertas perjanjian di tangannya.

"R E K S A," eja Rubi.

Rexa melirik ke arah Rubi dengan ekor matanya." R E X A." Rexa membenarkan ejaan namanya.

"Ooo..." bibir Rubi membentuk huruf O.

"Ini tulisannya kok kayak ceker ayam! susah di bacanya," celetuk Rexa menyipitkan matanya menatap kertas berisi tulisan acakan-acakan dan tak beraturan.

Mendengar celetukan bernada mengejek itu membuat Rubi kesal. Namun dia menahan kekesalannya agar pria itu tidak ngambek dan membatalkan misi nya.

"Ya namanya juga tulisan lulusan SMP, " sahut Rubi merendah.

Rexa menoleh ke arah Rubi dan menatapnya diam dengan tanda tanya di benaknya.

"Ya sudah sini biar aku aja yang bacain kalau tulisanku tidak bisa dibaca sama kamu."

Rubi mengambil paksa kertas itu, namun Rexa merebutnya kembali.

"Bukannya kamu nggak bisa baca tulisanku?"

"Aku cuma becanda. Lagian kamu baper banget jadi orang."

Rubi menghela nafas panjang.

Rexa mulai membaca dengan suara agak keras point-point perjanjian yang di tulis oleh Rubi.

"Satu. Dilarang menyentuh dan tidak boleh tidur satu kamar."

Membaca poin pertama membuat Rexa rasanya ingin tertawa terbahak.

"Dih, percaya diri sekali. Siapa juga yang mau menyentuh kamu dan tidur dengan mu. Asal kamu tau aja. kamu itu bukan level nya seorang Rexa William."

"Dua. Dilarang banyak tanya. Kalau banyak tanya kuping di iris."

Membaca point nomer dua membuat Rexa memegang telinganya. Kemudian menoleh ke arah Rubi.

"Apa kamu serius sama poin nomer dua yang sadis ini?"

"Ya," sahut Rubi singkat dan tanpa melihat pada Rexa.

Rexa seketika bergidik.

"Well." Kemudian Rexa melanjutkan membaca deretan point-point sampai yang terakhir.

"Setelah 31 hari wajib mengucapkan kata talak."

Setelah selesai Rexa terdiam.

"Bagaimana? Apa kamu setuju?" Tanya Rubi.

"Oke setuju."

Setelah surat perjanjian di atas materai itu disetujui oleh Rexa. Kedua orang itu membubuhkan tanda tangan di kertas tersebut.

"Deal, 31 kita bercerai!" Ucap Rubi yang di anggukan oleh Rexa sambil berjabat tangan.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!