Bab 1. Anak sakit
POV Lastri
Jangan lupa untuk tinggalin jejak like dan komen di setiap bab ya readers. Karena like dan komen kalian sangat berarti buat mendukung Author 🙏😊
***
Diah panasnya tidak kunjung turun. Anakku itu sakit sudah beberapa hari. Hati ku cemas melihat keadaan putriku yang terbaring lemah di kamarnya. Tapi aku sudah tidak memiliki uang untuk pergi berobat.
Setiap bulan Mas Hendra selalu kurang memberi uang belanja bulanan buatku. Katanya uang 700ribu yang ia berikan sudah lebih dari cukup untuk makan kami bertiga. Benar, memang cukup untuk makan jika hanya lauk tahu, dan tempe dan oseng sayur setiap hari. Tapi tidak akan cukup jika uang itu juga untuk keperluan anak sekolah, bayar tagihan air dan listrik serta menampung keponakannya makan di rumah ini. Apalagi harga sembako semakin melambung tinggi.
"Mas Diah sudah tiga hari panasnya tidak turun. Aku mau minta uang buat berobat Diah. Obat yang aku beli di warung tidak ada perubahannya. Aku takut Diah kenapa-kenapa Mas."
"Tidak perlu bawa berobat segala. Kasih saja obat alami juga pasti sembuh. Dasar kamunya saja yang malas."
Aku sudah tahu, jawabnya Mas Hendra pasti begitu. Ini bukan kali pertama Mas Hendra bersikap seperti ini kepada anak kandungnya sendiri.
"Sudah mas, aku juga sudah memberinya obat alami saran dari Ibu. Tapi tetap saja panas Diah tidak turun Mas. Aku takut Diah..."
"Halah! Banyak alasan saja kamu mau minta uang! Tidak ada! Aku belum gajian. Kamu ini pagi-pagi bukannya ngurusin suami malah ngerepotin minta uang pagi-pagi. Mana sarapan ku?! Aku sudah mau telat berangkat kerja!"
"Tapi Mas..."
"Kamu mau jadi istri durhaka?!"
"Tidak Mas."
"Sana! Tunggu apa lagi?! Siapkan sarapan ku!"
Aku menghela napas berat. Aku bingung yang mana mau aku prioritaskan. Di dalam kamar Diah tubuhnya sangat panas dan butuh obat segera. Sedangkan suamiku minta dilayani segera.
Jujur aku kecewa dengan sikap suamiku. Ia tidak peduli dengan anak kami yang sudah terbaring sakit. Bahkan suamiku hanya sekedar melihat tanpa kasih sayang, dan lebih memilih tidur di rumah orang tuanya dari pada memberi perhatian pada anaknya yang sakit.
Setiap malam aku begadang ketika Diah mengerang sakit kepala. Bahkan terantuk-kantuk aku memijit anggota tubuhnya yang sakit, katanya. Berbeda dengan Mas Hendra tampak segar di waktu pagi, karena tidurnya pulas.
Belum lagi setelah menyiapkan sarapan Mas Hendra, aku harus segera ke rumah ibu mertua untuk membersihkan rumahnya. Lalu bagaimana dengan Diah? Aku tidak mungkin membawanya ke rumah Ibu. Sudah pasti pasti ia malah akan di marahi ibu jika merintih kesakitan disana, manja katanya. Jika ku tinggal sendiri di rumah, aku takut terjadi apa-apa pada Diah. Walau pun rumah ibu mertua hanya berjarak 3 buah rumah dari rumah ku, tetap saja aku merasa tidak nyaman meninggalkan putri ku yang sedang sakit.
"Lastri!! Mana sarapan ku?! Aku sudah telat ini!"
"Astagfirullahaladzim..."
Aku terkejut mendengar teriakan Mas hendra yang membuyarkan lamunan ku. Aku pun menggoreng telur yang masih ada sebiji untuk Mas Hendra. Mas Hendra tidak mau makan tahu dan tempe. Jadi telur itu khusus di beli untuk Mas Hendra saja.
Aku bukan penanak nasi di dapur, masih ada nasi yang cukup untuk di makan Mas Hendra dan Diah saja. Lalu aku pun memeriksa wadah penyimpan beras, untuk memasak nasi persiapan kami makan siang dan malam nanti. Tapi ternyata, sudah tidak ada beras disana. Kemana perginya beras yang baru aku beli 2 kilo kemarin?
Aku bingung. Sering sekali aku kecolongan bahan makanan ku disini. Kadang bawang-bawangku tiba-tiba habis, padahal aku hanya beli satu ons satu ons saja untuk berhemat. Kadang garamku tinggal separuh, atau minyak gorengku yang tinggal setengah gelas, padahal aku beli cuma setengah kilo untuk 1 minggu.
Lagi-lagi aku menghela napas berat. Dengan sisa nasi yang ada, aku pun menggoreng nasi untuk Mas Hendra dan Diah. Kemudian meletakkan toping telur mata ceplok yang aku goreng tadi. Setelah jadi, ku sungguhkan nasi goreng itu padanya.
Aku menelan ludah melihat Mas Hendra makan dengan lahapnya. Perut ku pun berbunyi keruyukan mencium aroma telur dan nasi goreng yang aku masak.
Aku teringat tidak ada beras lagi di rumah ini. Uang yang aku punya hanya tinggal 15 belas ribu rupiah untuk pegangan membeli obat di warung lagi, jika memang Mas Hendra tidak mau membawa Diah pergi berobat.
"Mas beras sudah habis. Aku butuh uang buat beli beras."
Takut-takut aku mencoba meminta uang pada Mas Hendra.
Kelentang!!
Aku terkejut Mas Hendra menghempaskan sendok dengan kasar sehingga berbunyi gaduh karena terbentur piring.
"Uang lagi! Uang lagi! Apa di otak mu itu hanya ada uang dan uang?! Masih seminggu lagi aku baru gajian. Bagaimana sih caramu mengatur uang yang aku kasih sampai tidak cukup dan selalu kekurangan hah?!"
Ku pejamkan mataku mendengar hardikan Mas Hendra. Aku harus bagaimana lagi menjelaskan padanya kalau uang yang selalu kurang tiap bulannya itu aku gunakan untuk apa saja. Bahkan aku harus bekerja mengambil upah menyetrika demi menutupi kekurangan itu.
"Mas, uang segitu mana cukup Mas, aku juga harus membayar tagihan listrik juga...."
"Halah selalu banyak alasan kamu! Jawab saja kerjaanmu! Mau jadi istri durhaka kamu?!"
Hardik Mas Hendra memotong penjelasan ku. Lihat lah, bagaimana mungkin ia bisa tahu kesulitan di rumah ini. Belum lagi bahan-bahan yang sering raib entah kemana. Dan Mas Hendra selalu mengancam dengan kata-kata istri durhaka. Tentu aku takut akan siksa Allah jika aku sampai menjadi istri durhaka.
"Lebih baik aku segera berangkat kerja. Lebih lama diam di rumah ini, selalu membuatku sakit kepala!" Sarkas Mas Hendra.
Tanpa mengucapkan salam Mas Hendra pergi berangkat kerja. Aku tahu Mas Hendra pasti tidak langsung pergi melainkan singgah dulu ke rumah orang tuanya.
Aku melangkahkan kaki ke depan teras untuk memastikan kecurigaanku. Dan benar saja, motor Mas Hendra berbelok ke rumah ibunya. Setelah ini aku pasti akan di marahi habis-habisan oleh ibu mertua.
Lagi-lagi aku menghela napas berat. Mencoba bersabar dan bertahan dalam rumah tangga yang tidak seindah dengan apa yang pernah aku bayangkan sebelum menikah dulu.
Aku melangkah masuk untuk memberi makan Diah dulu sebelum aku pergi ke rumah ibu mertua untuk berberes-beres di sana. Hanya ada sisa nasi goreng tanpa lauk. Telur sudah habis di makan Mas Hendra. Hanya ada tahu dan tempe sisa semalam. Aku pun menghangatkan sebentar untuk dimakan oleh Diah.
"Loh Diah?! Kok duduk Nak?"
Aku segera menghampiri Diah dan meletakkan piring berisi nasi goreng dan tahu goreng di atas meja dekat tempat tidur Diah. Segera ku raba kening putri ku untuk merasakan suhu tubuhnya.
"Alhamdulillah turun."
Aku senang suhu tubuhnya sudah mulai turun.
"Kamu tidak pusing Nak?" Tanyaku pada Diah.
Diah menggeleng.
"Bu, Diah laper."
Aku tersenyum. Kebetulan aku pun hendak memberi Diah makan.
"Ibu buatin nasi goreng dan ada tahu goreng. Diah makan ya?"
Diah mengangguk.
"Tidak pusing lagi Nak?" Tanyaku masih ada kecemasan di hati.
Diah menggeleng merespon ucapanku.
Alhamdulillah, sepertinya parutan bawang merah serta daun bunga kembang sepatu memberi efek yang baik untuk Diah. Aku mendapat saran dari tetanggaku yang menyuruh memberikan Diah dua tanaman itu, untuk mencoba menurunkan panas di tubuh Diah. Dengan campuran sedikit air aku menggosokkannya ke punggung dan di ubun-ubun kepalanya sesuai saran dari tetanggaku itu. Apakah memang benar karena itu? Yang pasti atas seijin Allah, Diah panasnya sudah turun dan aku hanya berikhtiar saja.
Aku lalu menyuapi Diah dengan nasi goreng yang ada dalam piring yang aku pegang. Untunglah Diah makan dengan lahap. Tubuhnya pun sudah mulai mengeluarkan keringat.
"LASTRI! LASTRI! DIMANA KAMU?!"
Diah dan aku terkejut mendengar teriakan Ibu mertua yang berjalan masuk ke dalam rumah.
Bersambung...
Note : Mohon bijak untuk berkomentar. Note ini di buat setelah novel ini tamat dan setelah membaca beberapa komentar buruk tentang tulisan ini. Ini hanya sekedar cerita, novel untuk penghibur saja. Alur cerita awal memang bikin sesak karena cerita novel tidak dari awal smpe akhir hanya indah-indah aja kan. Semua butuh proses, kata pepatah berakit-rakit ke hulu berenang-renang ketepian.
Tolong Author jangan di sumpahin🥺 aku cuma manusia biasa, ibu rumah tangga biasa yang cari tambahan penghasilan disini. Novelnya memang bikin darting karena tanpa kita tahu pasti ada di antara kita yang nasibnya mirip novel ini. Ini hanya cerita karangan aja yang mungkin mirip sama kehidupan nyata di luar sana. Jadi mohon, jangan di anggap buruk dulu novel ini kalau belum tahu jalan ceritanya sampai akhir. Terima kasih 🙏
Bab 2. Tukang Ngadu
POV Lastri
"LASTRI! LASTRI! DIMANA KAMU?!"
Diah dan aku terkejut mendengar teriakan Ibu mertua yang berjalan masuk ke dalam rumah. Aku tahu alasan Ibu mertua yang terdengar marah memanggil seperti itu. Sudah pasti Mas Hendra menceritakan perdebatan kami pagi ini padanya.
Aku membuang napas kasar. Lalu meletakkan piring yang separuh isinya sudah di makan oleh Diah.
"Diah masih mau makan lagi?" Tanya ku pada anakku dengan lembut.
Diah mengangguk.
"Diah bisa makan sendiri? Ibu mau menemui nenek dulu."
"Bisa Bu."
Aku tersenyum. Lalu meletakkan piring itu di pangkuan Diah. Padahal aku masih ingin menemani putriku yang baru saja terlihat nyaman badannya. Tapi teriakan Ibu mertua pun tidak bisa aku abaikan karena jika ia sampai melihat aku menyuapi Diah, maka Diah juga akan menjadi sasaran kemarahannya.
Aku tidak ingin anakku di marahi. Padahal Diah juga cucunya, tapi perlakukan ibu mertua sungguh berbeda terhadap Diah dari dua cucunya yang lain yaitu, Dion dan Marla.
Diah pun sepertinya takut akan kedatangan neneknya. Dan ia pun pasti tahu neneknya akan marah bila melihat aku menyuapi dirinya. Karena itu, meski baru merasakan nyaman di tubuhnya, ia menyelesaikan makannya sendiri.
Kasihan anakku. Di usia yang baru menginjak 5 tahun ia sudah menerima perlakukan tidak nyaman dari nenek dan Ayahnya sendiri. Belum lagi Nilam, adik Mas Hendra serta mbak Tatik, kakak Mas Hendra yang juga tidak peduli dengan Diah padahal keponakan mereka juga.
Entah apa salah Diah hingga harus menerima perlakuan buruk dari keluarga suamiku. Padahal Diah juga darah daging mereka. Kalau pun mereka membenci ku karena aku orang asing, itu mungkin saja. Tapi ini Diah, Diah yang merupakan anak kandung Mas Hendra pun mereka tetap tidak menyukainya. Hatiku sakit...
Ku usap lembut pucuk kepala anakku sebelum meninggalkan dan beranjak menemui ibu mertua. Setelah itu baru lah aku membuka pintu kamar dan mendapati ibu mertua yang berada di depan pintu kamarku.
"Ada apa Bu? Kenapa Ibu teriak-teriak?"
Tanyaku pura-pura tidak tahu. Aku yakin pasti sebentar lagi ibu mertua memarahi ku yang meminta uang kepada Mas Hendra.
"Kamu ini, ngapain kamu minta uang sama Hendra? Apa tidak cukup uang bulanan yang Hendra kasih hah?!"
Benar kan apa tebakan ku? Benar-benar Mas Hendra tukang ngadu.
"Bu, Diah sakit. Aku hanya minta uang untuk berobat Diah. Apa itu salah?"
"Ya jelas salah. Harusnya uang bulanan itu cukup untuk di pakai berobat juga. Apalagi kalian cuma makan bertiga. Benar-benar tidak becus kamu mengatur pengeluaran!"
"Mas Hendra cuma ngasi aku uang bulanan 700 ribu Bu, dan itu untuk semua keperluan...."
"Halah, jawab saja kamu!"
Lagi-lagi ucapanku di sela tanpa aku bisa menjelaskan keadaan kami.
"700 ribu itu banyak! Kamu saja yang tidak bisa mengaturnya. Kan bisa kalian makan dua hari sekali saja, dan tidak perlu makan ayam dan daging setiap hari."
Haaah? Makan ayam dan daging setiap hari? Apa aku tidak salah dengar?! Lauk telur saja sudah mewah bagi anakku yang setiap hari hanya makan tempe dan tahu. Dengan bahan pokok yang serba mahal di sini, uang segitu tidak akan cukup untuk kebutuhan kami sebulan yang juga menanggung tuyul kepala hitam.
Ku katakan tuyul kepala hitam karena bahan makan di rumahku yang sering hilang, juga ponakan mas Hendra yang kerap kali minta makan kesini. Heran saja, kenapa sampai Dion dan Marla si kembar itu bisa kelaparan. Padahal tampilan ibu dan bapak mereka bak orang sosialita, alias mewah.
"Bu, kami disini hanya makan lauk tempe dan tahu, Hanya Mas Hendra yang makan telur dan terkadang lauk ikan."
"Ya bagus lah! Hendra memang harus di perhatikan gizinya karena dia yang berkerja dan mencari nafkah di rumah ini. Anakku itu jangan sampai sakit! Pokoknya jangan lagi meminta uang gara-gara hal sepele. Gitu saja kamu mau buat susah suamimu yang bekerja keras di luar sana!"
Ya Tuhan, hal sepele katakan menyangkut nyawa anakku yang merupakan cucunya sendiri. Sungguh hati ku sakit mendengar ucapan ibu mertua. Apapun pembelaanku tetap saja selalu salah di matanya.
Aku terdiam dan hanya menunduk mendengar semua amarah ibu mertua ku yang katanya nasehat demi kebaikan diriku yang nyatakan untuk kebaikan mereka.
Bukan aku tidak tahu Mas Hendra selalu membagi gajinya untuk Ibu dan Nilam. Juga terkadang memanjakan anak mbak Tatik dengan membelikan mereka mainan.
Aku tidak masalah Mas Hendra juga membagi gajinya untuk ibu mertua. Karena beliau orang tua yang melahirkan Mas Hendra. Tapi aku kecewa atas sikap Mas Hendra yang tidak berlaku adil atas pembagian itu.
Yang ku tahu gaji Mas Hendra sebulan adalah 4 juta rupiah sesuai UMR. Namun aku hanya di beri 700 ribu rupiah yang tadinya 1 juta oleh Mas Hendra. Jatah bulanan ku di potong 50 ribu setiap bulannya. Alasannya selalu karena kebutuhan kami tidak banyak, hanya makan bertiga saja.
Mas Hendra mengatakan, kalau uang 1 juta dari gajinya berikan kepada ibu mertua, dan satu lagi ia berikan untuk Nilam yang masih kuliah untuk biaya sekolahnya. Lalu Mas Hendra sendiri memegang sisanya.
Padahal ada mbak Tatik yang suaminya seorang PNS. Apa dia tidak bisa bantu sedikit biaya sekolah Nilam? Kenapa semua biaya harus di tanggung oleh Mas Hendra? Kembali hatiku sakit mengingat mereka semua. Aku kecewa pada Mas Hendra dan keluarganya.
"Cepat bersihkan rumah ku! Jangan banyak alesan kamu, dasar pemalas!"
Ibu mertua menatap sinis kepadaku. Lalu berlenggang pergi meninggalkan rumah ku setelah puas mengeluarkan isi hatinya.
Dan lagi aku hanya bisa menahan sesak di dada, sakit hati atas semua ucapan ibu mertua.
Aku menemui Diah, anakku itu kembali tertidur setelah makanan dan minumannya habis. Kurasa kembali suhu tubuhnya di kening. Benar-benar tidak panas lagi. Syukurlah...
Ku balurkan lagi parutan bawang dan daun kembang sepatu pada punggung dan kepala Diah. Memastikan anakku tertidur dengan nyaman, baru lah aku pergi kerumah ibu mertua dan hanya merapatkan pintu rumah saja.
Tidak banyak perabot dalam rumahku. Hanya kursi kayu tua dan lemari usang yang terpanjang di ruang tamu. Meja makan seadanya serta rak piring saja yang ada di dapur, beserta kompor tentunya.
Aku melangkah menuju rumah ibu mertua. Aku harus segera membereskan pekerjaan disana dan segera pulang ke rumah ku untuk merawat Diah lagi.
"Assalamualaikum..."
Ku ucapkan salam di depan pintu sebelum masuk ke rumah ibu mertua. Sepertinya Mas Hendra sudah berangkat kerja karena motornya sudah tidak ada lagi di halaman ini.
Ada Nilam yang sedang duduk menonton televisi. Ia cuek tidak menoleh apalagi menjawab salamku meski aku kakak iparnya. Ku abaikan saja dia karena aku pun ingin segera menyelesaikan pekerjaanku.
Sebaiknya aku mulai mencuci pakaian saja, karena sepertinya ibu mertua baru akan mulai memasak di dapur. Tentunya setelah masak, aku juga yang akan membereskan semua. Jangan harap anak bungsu alias adik Mas Hendra itu turut membantuku. Yang ada aku malah di minta ganti rugi karena kuku lancipnya yang mirip vampir itu patah karena mencuci piring seperti dulu.
Bersambung...
Bab 3. Tukang Cuci
POV Lastri
Diah baru saja turun suhu badannya. Aku pun meninggalkannya pergi ke rumah ibu mertua untuk membereskan pekerjaan rumah disana. Sampai disana ku lihat Nilam sedang bersantai ria menonton televisi, sedangkan ibu mertua mulai sibuk memasak di dapur.
"Bu, aku nyuci pakaian dulu." Kataku yang tidak di jawab oleh ibu mertua, hanya lirikan tidak suka saja yang ia perlihatkan melihat kehadiranku.
Sebenarnya apa yang mereka inginkan dari ku. Kehadiranku tidak mereka sukai tapi mereka menyuruhku membantu mereka untuk meringankan pekerjaan rumah.
Lagi-lagi aku menelan kepahitan dalam keluarga suamiku. Sedih tidak pernah di hargai oleh mereka. Meski aku membantu semua pekerjaan mereka, bahkan sedikit pun mereka tidak pernah menawarkan apa-apa padaku. Jangankan makan, minum pun tidak. Tidak padaku juga tidak pada Diah anakku. Hatiku sakit...
Bukan aku mengharapkan iba dari mereka. Tapi setidaknya mereka mengakui keberadaan ku dan Diah dalam keluarga mereka. Tapi sepertinya aku hanyalah orang asing dan mungkin mereka anggap sebagai pembantu saja.
Tuhan, tolong beri aku kesabaran yang lebih untuk menghadapi keluarga ini. Beri aku kekuatan untuk bertahan atas sikap mereka padaku. Aku hanya berserah padaMu dan memohon padaMu.
Aku melangkah menuju belakang rumah untuk mencuci pakaian disana. Di rumah ibu mertua memang memiliki pelantaran dengan lantai yang hanya di semen saja. Dan di sanalah aku mencuci, dengan kran air yang tersedia disana.
"Astagfirullah..." Gumamku lirih melihat tumpukan pakaian kotor yang menggunung disana.
Rasanya baru kemarin aku juga mencuci dengan tumpukan yang sama banyak. Tapi kenapa hari ini pakaian kotor itu tetap sama banyaknya. Seharusnya aku hanya mencuci seperempat saja dari jumlah itu, pikirku.
Keruyuuk...
Perutku berbunyi lagi. Sebelum aku semakin tidak bertenaga karena lapar, sebaiknya aku segera menyelesaikan pekerjaanku lalu kewarung untuk membeli sekilo beras dari sisa uang yang masih ada. Bisa buat ku makan dengan Diah sampai esok hari, pikirku.
Aku mulai meredam pakaian dan memberinya sabun. Disini ada mesin cuci. Tetapi ibu mertua menyuruhku mencuci pakai tangan saja. Karena jika pakai mesin kurang bersih, katanya.
Satu persatu baju aku pilah dan ku pilih. Untuk berwarna putih aku rendam di bak tersendiri. Namun...
"Apa ini? Kok ada baju Dion dan Marla?"
Ku bongkar lagi tumpukan pakan kotor itu. Ternyata selain baju ibu mertua juga Nilam, ada baju mbak Tatik dan Mas Wawan beserta anak-anak mereka.
Keterlaluan mbak Tatik. Bahkan pakaian dia dan keluarganya harus aku yang mencucinya. Ini tidak bisa di biarkan. Aku hanya mencuci pakaian ibu dan Nilam saja di rumah ini, tidak pakaiannya beserta suami dan anaknya. Apa ini? Bahkan ada juga pakaian dalam mereka. Mbak Tatik bener-bener keterlaluan!
"Bu, ibu..."
Aku menghampiri ibu mertua dan memanggilnya yang tengah asik memotong bawang.
"Apa sih kamu Las?!"
"Kenapa pakaian mbak Tatik dan Mas Wawan juga Dion dan Marla ada di tumpukan baju kotor Bu?"
"Kenapa? Kamu protes?! Tatik sibuk, tidak sempat mencuci beberapa hari ini. Kamu tinggal cuci saja apa susahnya sih?!"
"Tapi Bu, itu banyak."
"Halah, kemarin kamu bisa mengerjakan sebanyak itu. Kenapa sekarang kamu protes?! Sudah kerjakan saja sana! Mengerjakan sesuatu itu harus ikhlas. Apa kamu tidak pernah di ajari orang tuamu berbuat baik pada keluarga?!"
Nyut.
Kali ini hatiku benar-benar sakit oleh ucapan ibu mertua. Bahkan sakitnya berkali kali lipat dari biasanya. Begitu lancarnya mulut ibu mertua menjelek-jelekan orang tuaku di kampung. Mengatakan kalau aku tidak pernah di ajari orang tua ku akan kebaikan.
Mataku berembun. Kenapa ibu mertua bisa berkata seperti itu sedangkan orang tuaku tidak pernah sekalipun berkata buruk terhadap Mas Hendra dan keluarganya. Orang tuaku pun tidak pernah tahu kehidupan macam apa yang di jalani putrinya disini. Namun mereka tetap menyambut baik kedatangan Mas Hendra yang mengantarkan ku pulang kampung setahun sekali di setiap momen lebaran.
Perih, hati ku sungguh perih.
Aku tidak lagi bersuara. Takut kalau aku terus protes, pasti Ayah dan ibuku akan lebih di jelekkan lagi oleh ibu mertua. Aku tidak mau itu.
Ku usap air mata di sudut kelopakku. Lalu perlahan aku mulai mencuci agar bisa segera pulang dan merawat putri ku.
***
"Nenek!!"
"Nenek!!"
"Eh, Dion, Marla, cucu nenek. Datang sama siapa?"
"Sama Mama, Nek. Wah Nenek masak ayam. Aku mau makan ayam!"
"Aku mau juga Nek. Ayamnya dua ya!"
"Iya, ini opor ayam Nenek masak buat kalian, cucu kesayangan Nenek."
"Bu apa Lastri sudah datang?"
"Sudah, lagi nyuci di belakang."
"Baguslah, aku juga bawa lagi baju kotor biar sekalian saja."
Sayup sayup ku dengar derap langkah seseorang menghampiri ku.
"Hei, Lastri! Nih tambahan kerja buatmu! Cuci yang bersih, jangan sampai masih ada noda yang tertinggal!"
Aku terkejut atas kedatangan mbak Tatik yang membawa satu kantong besar pakaian kotor miliknya.
"Mbak, aku sudah tidak kuat lagi kalau harus mengerjakan tambahan cucian. Karena setelah ini aku harus membersihkan di dalam rumah lagi. Kenapa pakaian kotor mbak bawa semua kesini?"
"Terserah aku dong mau di bawa kemana! Kamu itu istrinya Hendra. Sudah sewajarnya kamu bantu aku mencucikan semua pakaian kotor ini karena aku, kakaknya Hendra, kakak ipar mu!"
"Aku tahu mbak kakak ipar ku. Tapi bukan tugasku harus mencuci pakaian kalian sekeluarga. Mbak kan istrinya Mas Wawan. Harusnya mbak yang mencuci pakaian suami mbak."
"Heh, jawab aja kamu. Siapa bilang kamu tidak boleh mencuci pakaian ku dan Mas Wawan? Loudry aja dimana-mana nerima cucian milik siapa saja tanpa pandang bulu."
"Itu beda mbak. Yang aku maksud disini tugas mbak sebagai seorang istri dari Mas Wawan."
"Ah, sudah! Sudah! Kalau tidak mau cucikan pakaian ku, bilang saja! Tidak usah berkelit-kelir."
Apa mbak Tatik sedang mengancamku?
"Benar aku keberatan mencucikan pakaian kalian."
Aku mencoba jujur akan keberatanku.
"Ibuuu...!! Ibuuuu...!!"
Mbak Tatik tiba-tiba berteriak manggil ibu mertua. Aku yakin ia pasti akan mengadu tentang keberatan ku mencucikan pakaiannya.
"Ada apa sih Tik kamu teriak-teriak begitu?!"
"Ini nih Bu! Menantu Ibu tidak mau mencucikan pakaian ku!"
Benar saja, mbak Tatik mengadu pada Ibu mertua.
"Hei Lastri! Kamu tidak mau mencucikan pakaian Tatik?"
"Bu, jika itu pakaian Mas Hendra dan Ibu, aku mau mencucinya. Tapi pakaian yang lain, biarlah mereka yang mencuci masing-masing Bu. Bukan kewajibanku melayani mereka. Apalagi mbak Tatik seorang istri. Sudah sewajarnya bila dia yang mencuci sendiri pakaiannya dan milik suaminya, bukan aku."
"Oh, kamu sudah berani membantah sekarang?!"
"Bukan begitu Bu..."
"Bukan begitu, bukan begitu! Lalu apa namanya?! Kamu itu harusnya bersyukur sudah mau di nikahi oleh Hendra, itu juga atas bujukan Tatik. Jadi kalau Tatik menyuruhmu apa saja, tidak sepantasnya kamu menolak!"
Wajah mbak Tatik tampak senang penuh kemenangan.
Aku menahan kesal di dadaku. Jika waktu bisa di putar kembali, aku tidak ingin menikah dengan Mas Hendra. Mengenal keluarga ini hanya menyengsarakan hidupku dan Diah. Toh dulu ada Fahri yang mau menerima ku apa adanya.
Astagfirullahaladzim...
Hatiku benar-benar telah di liputi kebencian sampai-sampai aku memikirkan pria lain. Maafkan hamba mu ini ya Tuhan...
Bersambung...
Tinggalin jejak like atau komen ya, buat naikin popularitas novel ini. Dua-duanya juga boleh banget, terimakasih 🙏🤗
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!