PROLOG
Aku memahami apa yang terjadi pada diriku sendiri. Aku adalah seorang asosial. Yang artinya aku jarang bergabung dengan orang-orang. Aku lebih nyaman seorang diri.
Aku sudah melaluinya sepanjang hidupku. Dan aku sudah terbiasa dengan itu. Termasuk pandangan orang lain kepadaku.
Aku sama sekali tidak keberatan jika ada cibiran yang ditujukan kepadaku. Aku tidak bersikap ramah. Individual. Mementingkan diri sendiri. Tidak punya rasa empati. Apa pun yang orang bisa katakan. Silahkan saja.
Karena memang tidak semua orang tahu dan merasakannya.
Ada bermacam istilah memang. Dimana para ahli telah memberikan nama beserta karakteristiknya masing-masing.
Sebut saja introvert, asosial, anti sosial, psikososial, bipolar atau bahkan yang lebih seram lagi seperti psikopat.
Aku rasa semua orang setuju. Setiap orang menjalani hidup dengan pilihannya masing-masing. Orang hanya akan bisa mendapatkan rasa nyaman jika tidak ada campur tangan orang lain.
Begitu pun juga denganku. Aku menjalani hidup dan melihat dunia dengan cara yang ku pilih sendiri.
*
Apa yang dilakukan anak kecil itu di halaman depan rumahku? Tidak bosan-bosannya ia setiap hari bermain di situ.
“Bukankah begitu Rocco?”
Rocco saja sudah malas untuk bertemu dengannya.
Kedatangan tetangga baru itu sedikit mengubah rutinitas ku. Aku tidak bisa lagi sebebas dulu dimana tidak ada yang mengintai setiap gerak-gerik ku. Tidak perlu bersiap-siap dengan memperhatikan penampilan setiap akan keluar rumah dan harus bersikap ramah jika bertemu dengan mereka.
Aku dulu sempat mengeluh karena harus menempati rumah yang terletak di paling ujung dari komplek perumahan ini. Waktu itu aku membayangkan betapa sepinya harus tinggal di rumah yang berlokasi di paling pojok dan hanya bertetangga dengan dua rumah lainnya. Apalagi saat itu akulah yang pertama menempati hunian dari tiga rumah yang berlokasi memisah dari rumah-rumah yang lainnya. Tapi berbanding terbalik dengan situasiku saat ini dimana aku benar-benar menikmati sebuah kesunyian dan ketenangan. Tentunya sebelum keluarga dari anak kecil itu menempati rumah yang berhadapan persis dengan rumahku.
“Ting tong”
Tiga kali sudah bel rumahku berbunyi. Aku bisa memastikan seseorang yang sedang berada dibalik pintu rumahku bukanlah orang dari komplek perumahan ini karena mereka tidak akan bertamu sepagi ini.
Seorang anak perempuan sedang dibopong oleh perempuan dewasa yang aku yakin adalah ibunya. Rupanya anak kecil itu yang sedari tadi membunyikan bel rumahku. Itulah yang aku lihat dari lubang kecil rahasia yang terdapat di pintu rumahku. Aku benar-benar tidak sabar ingin bertemu mereka sehingga aku bisa melanjutkan meminum kopi pagiku.
Seorang ibu muda bersama anaknya menyapaku ketika aku membukakan pintu. Perempuan ini lumayan cantik sementara anaknya aku pikir lebih mirip dengan ayahnya. Mereka memperkenalkan diri sebagai sebuah keluarga yang akan tinggal di rumah di depan rumahku. Setelah perkenalan sebagai formalitas dirasa cukup mereka pun pamit untuk pulang.
Tidak ada ruginya juga mereka bertamu pagi-pagi. Kue yang mereka bawa menjadi pelengkap minum kopi yang sempat tertunda. Sejak saat itulah Susi dan juga anaknya yang bernama Lisa resmi menjadi tetangga baruku.
TETANGGA
Sudah cukup lama aku berkutat dengan kesibukanku yang hanya ku kerjakan seorang diri. Sendiri sudah menjadi terbiasa bagiku. Perlu digaris bawahi aku memang cukup dengan diriku sendiri untuk melakukan segala kegiatan-kegiatanku sehari-harinya. Sendiri bukannya kesepian. Interaksi ku dengan orang lain hanyalah sebatas yang aku perlukan saja. Karena itulah aku terkadang seperti sudah lupa bagaimana caranya bergumul dengan orang lain.
Kedatangan tetangga baru yang rumahnya tepat berhadapan dengan rumahku mengharuskan aku untuk setidaknya sedikit menunjukkan hidup secara berdampingan seperti orang-orang pada umumnya. Aku tidak mungkin bersikap mereka tidak ada seperti halnya ketidak ingin tahuanku akan urusan mereka. Sedikit tegur sapa ketika berjumpa sudahlah cukup rasanya.
Seperti yang aku katakan sebelumnya tetanggaku ini orangnya cukup cantik. Jika aku perhatikan umurnya masihlah belum ada 30 tahun. Kemungkinan ia baru berusia 25 tahunan. Seorang ibu muda beranak satu yang tubuhnya masih proporsional. Tentang penampilannya yang tampak bugar dan terawat sebenarnya tidak terlalu mengherankan ketika tahu dia adalah seseorang yang bekerja di sebuah rumah sakit di kota ini. Wajahnya yang bersih dengan rambut yang hitam legam lurus sebahu sepintas mengingatkanku akan sebuah iklan produk shampoo yang sering muncul di televisi.
Namanya Lisa Amira Putri umurnya delapan tahun dan ia kelas 2 SD di sekolah dasar yang terletak di dekat rumah sakit tempat ibunya bekerja. Itulah yang anak kecil itu katakan dengan fasih ketika ia memperkenalkan dirinya padaku. Aku tidak terkesan dengan bagaimana dia menghafal tentang data dirinya dan juga caranya memperkenalkan diri. Yang ada di pikiranku saat itu adalah anak ini pasti banyak bicara dan merepotkan.
Jika terdengar suara mobil sudah dihidupkan itu artinya beberapa saat kemudian ibu dan anak itu akan segera berangkat. Setelah terdengar suara mobil sudah melaju setelah itulah aku pergi ke ruang tamu rumahku untuk menyibakkan gorden dan membuka jendela. Terlihat sebuah mobil jenis mini van berwarna putih yang sesaat kemudian akan hilang dibelokkan menuju jalan keluar komplek.
Kepulangan mereka di sore hari biasanya akan ditandai dengan percakapan antara ibu dan anak itu mengenai hal apa saja yang dilakukan si anak ketika di sekolah. Suara anak itu benar-benar kencang dan terdengar sangat antusias ketika ia menceritakan kegiatan-kegiatannya di sekolah. Meskipun bisa terdengar jelas olehku yang berada di dalam rumah hal itu masih bisa kumaklumi dan tidak terlalu mengganggu. Yang menjadi sangat berisik adalah ketika anak kecil itu sudah menangis. Memerlukan waktu yang cukup lama sampai ia berhenti dari tangisannya. Perdebatan diantara keduanya yang sama-sama menggunakan nada yang tinggi juga lumayan berisik sehingga ketika itu terjadi aku akan segera menghidupkan radio yang berada di dapur dari pada aku harus mendengarkan pembicaraan konyol mereka.
Aku sudah sering menyuruhnya untuk bermain di area komplek yang terdapat banyak rumah yang hanya memerlukan beberapa menit saja untuknya berjalan ke tempat yang juga sering ia lewati ketika ia berangkat ke sekolah bersama ibunya. Di sana dia akan menemukan banyak teman seumurannya. Tapi anak kecil ini malah lebih asyik untuk bermain di halaman rumahku. Memang pikiran orang tidaklah sama. Apalagi seorang anak kecil. Sebuah pohon dan ayunan lebih dipilihnya.
Rocco sebenarnya sangatlah pilih-pilih untuk bisa diajak bermain. Tapi dengan anak kecil ini dia seakan begitu mudah untuk menerimanya. Bahkan ada kalanya Rocco mengabaikan panggilanku dan lebih memilih untuk tetap bermain dengan anak kecil itu.
Jika aku perhatikan lebih dekat lagi secara fisik memang gadis kecil ini sama sekali tidak menyerupai ibunya. Bentuk wajahnya, matanya yang lebih belok serta alis yang tebal sama sekali tidak mirip dengan ibunya. Hidungnya yang pesek juga berlawanan dengan hidung mancung yang dimiliki oleh ibunya. Hanya gaya rambut panjang sebahu saja yang bisa dikatakan mereka berdua memiliki kesamaan. Tapi jika dilihat dari sikap dan caranya berbicara apalagi ketika sudah dalam keadaan emosi yang tinggi tidak akan ada yang meragukan lagi persamaan diantara ibu dan anak ini.
Mengenai ayah dari anak ini aku benar-benar tidak pernah ingin menyinggungnya. Dari hari pertama mereka resmi menjadi tetanggaku tidak pernah sekalipun baik sang ibu atau pun gadis kecil ini membahas tentang siapa suami atau ayah dari anak ini. Beberapa kali di akhir pekan aku melihat seorang laki-laki datang ke rumah mereka. Awalnya aku berpikir mungkin itu suami dari ibu muda yang bekerja di luar kota. Namun beberapa pekan berselang laki-laki yang berbeda dari sebelumnya juga datang menyambangi rumah tetanggaku itu. Mungkin itu kerabatnya. Atau mungkin yang kemarin dan kemarinnya lagi adalah kerabatnya. Jika mereka berpikir aku tidak pernah menanyakannya karena dirasa sungkan itu justru lebih baik. Karena sesungguhnya aku benar-benar tidak peduli siapa saja yang datang dan pergi dari rumah mereka. Bukan urusanku.
RUMAH KOSONG
Komplek perumahan yang aku tinggali ini bukanlah perumahan dengan ukuran skala yang besar. Total hanya ada 23 unit rumah yang terdapat di komplek ini. Alasan kenapa aku dulu memilih tinggal di sini adalah karena lingkungannya yang asri yang jauh dari keramaian kota dan cukup dekat dengan tempatku dulu bekerja. Selain itu harga promosi yang lumayan gila waktu permata kali dibukanya perumahan ini juga menjadi alasan kenapa waktu itu aku memilihnya. Tidak hanya aku saja yang tertarik dengan apa yang ditawarkan dari perumahan ini. Kalah cepat dengan yang lainnya aku pun harus mendiami satu diantar tiga rumah yang letaknya memisah dengan bangunan rumah-rumah lainnya.
Jika rumah di depan rumahku sekarang ditempati oleh Susi dan anaknya. Berbeda dengan rumah yang tepat bersebelahan dengan rumah mereka yang sudah sejak tiga tahun yang lalu dihuni oleh penghuni yang sama. Rumah yang tepat menjadi ujung belokkan keluar dari kawasan tiga rumah ini adalah rumah yang ditempati oleh Pak Burhan. Menyebutnya sebagai rumah yang ditinggali agaknya tidak nampak seperti itu. Pria paruh baya itu hanya sesekali saja mengunjungi rumahnya dengan kurun waktu yang sama sekali tidak menentu. Aku lebih suka menyebutnya rumah kosong.
Satu atau dua minggu sekali akan ada orang suruhannya yang datang untuk sekedar bersih-bersih dan mengecek kondisi rumah yang terlihat cukup horor itu meskipun di waktu siang hari. Tapi ketika Burhan tua datang bersama dengan teman-temannya seketika suasana di rumah itu berubah bak klub malam. Musik-musik up beat mulai terdengar bersamaan dengan suara tawa perempuan-perempuan muda yang ia perkenalkan sebagai teman-temannya. Saat itulah aku lebih memilih menggunakan earphone untuk mendengarkan musik-musikku sendiri.
Sosok tetanggaku yang satu itu memang masih menjadi tanda tanya. Tapi sebagaimana tabiatku aku tidak akan mencari-cari ada apa dibalik tanda tanya itu. Aku hanya cukup tahu dari apa yang memang bisa terlihat saja. Yang jelas Burhan bukanlah orang dari kalangan biasa. Menjadi sebuah pertanyaan kenapa orang sepertinya mau tinggal di perumahan yang jauh dari kata mewah ini. Tapi setelah beberapa kali melihat kebiasaan-kebiasaan yang ia lakukan tentu saja itu semua masuk akal kenapa dia memiliki rumah di sini.
Kendaraan-kendaraan yang datang bersamanya bukanlah kendaraan seperti yang dimiliki oleh kebanyakan orang yang tinggal di komplek ini. Bahkan mobil-mobil mewahnya selalu berganti dan selalu dalam keadaan baru sesuai dengan tahun keluaran saat itu. Ia biasanya akan turun dari bagian belakang mobil dengan jalan yang sedikit sempoyongan ditemani oleh teman-temannya. Selanjutnya bisa ditebak rumah kosong itu pun akan memulai kegaduhannya.
Entah dimana dia bekerja dan jabatan apa yang dipangkunya. Terlihat dari cara bagaimana anak buahnya bersikap dan juga berbicara kepadanya pastinya si Burhan tua bukanlah orang yang sembarangan. Ketika suatu kali aku berbicara dengannya pun sudah terasa bagaimana orang-orang seperti itu menguasai obrolan dan terkadang terkesan mengintimidasi dengan nada bicaranya.
ROCCO
Jika kita mendapati orang berbicara sendiri pasti yang paling cepat ada di dalam pikiran kita adalah “dasar orang stress”. Mungkin hal itu benar saja jika kita mendapati orang yang memang secara fisik penampilannya berkaitan akan hal itu. Misal kita bertemu dengan orang yang telanjang dengan kondisi yang tidak terurus sedang berbicara sendiri. Tertawa-tawa sendiri. Bahkan dia akan mencaci-maki orang yang lewat di depannya. “Orang itu tidak waras. Gila.” Itu yang akan kita simpulkan dan memang benar begitu adanya.
Tapi yang patut kita sadari dalam dunia yang luas ini juga memang ada profesi-profesi yang kegiatan-kegiatannya adalah berbicara seorang diri. Ada seorang komedi tunggal. Ada seseorang pemain peran yang harus melakukan monolog dalam adegannya. Atau seorang penyair yang sedang menyuguhkan buah karyanya. Dan masih banyak lagi.
Bagaiman ketika mereka berlatih untuk penampilan mereka? Mereka akan terlihat berbicara sendiri. Seorang aktor yang sedang menghafal dialognya. Seorang penyanyi yang sedang berlatih untuk berinteraksi dengan penggemarnya ketika pentas di atas panggung. Mereka akan berbicara sendiri. Dan bagaimana ketika mereka terlihat oleh orang yang tidak mengetahui apa yang sedang mereka kerjakan? Mereka akan menjadi tampak aneh tidak seperti orang-orang pada umumnya.
Lantas bagaimana dengan orang yang tidak ada kaitannya dengan kedua hal tersebut. Bukan orang yang mengalami gangguan kejiwaan. Bukan juga seorang berprofesi dimana ia dituntut untuk senantiasa bermonolog. Apakah mereka kurang waras?
Berbicara sendiri biasanya berkaitan dengan pengungkapan perasaan yang dialami oleh seseorang yang melakukannya. Contohnya rasa marah atau kesal yang menjadi sebuah umpatan atau pun sumpah serapah. Tidak melulu berkonotasi negatif berbicara sendiri juga bisa mewujudkan rasa syukurnya ketika mendapatkan sebuah kenikmatan. Sedangkan berbicara kepada diri sendiri biasanya adalah salah satu sikap untuk menstimulus dirinya sendiri untuk suatu keadaan tertentu. Misalnya saat kita sedang lupa dimana kita menaruh sesuatu “Tadi aku taruh dimana ya?”, diucapkan dan terdengar. Ataupun saat kita menyemangati diri kita sendiri dalam mencapai target terhadap apa yang sedang kita kerjakan “Aku pasti bisa.” Hal ini sangatlah wajar dilakukan oleh siapapun. Yang menjadi sedikit aneh adalah ketika seseorang yang secara tidak sengaja dan tidak tahu apa yang sedang kita lakukan melihat tingkah laku kita.
Banyak artikel-artikel yang membahas mengenai hal ini. Diantaranya menyebutkan sikap berbicara sendiri atau berbicara kepada diri sendiri ini banyak juga terjadi pada sosok-sosok luar biasa yang juga dikenal sebagai orang-orang jenius yang namanya sudahlah sangat terkenal karena hasil karya-karyanya. Jadi rasanya tidak perlu khawatir jika kita mempunyai kebiasaan untuk berbicara kepada diri sendiri atau berbicara sendiri. Tapi patut dikhawatirkan jika berbicara sendiri selamanya dan sama sekali tidak berinteraksi dengan orang lain. Bukankah seorang penulis juga berbicara sendiri di kepalanya ketika sedang mengerjakan buku-bukunya?
Lalu bagaimana dengan orang yang suka mengajak benda mati sebagai lawan bicaranya? Atau orang-orang yang berbicara kepada binatang-binatang peliharaan mereka? Jika seseorang berbicara kepada sebuah benda mati biasanya ini terjadi hanya sepersekian detik saja. Hal ini menunjukkan rasa cintanya seseorang kepada benda yang dimilikinya. Misal saja kepada motor kesayangan, “Ayo kita berangkat”. Kepada sebuah poster idola yang tertempel di dinding kamar “Aku bobo dulu sayang”. Terkadang ucapan-ucapan seperti itu juga diikuti dengan sedikit sebuah ungkapan dalam bentuk gerakan. Mengelus, mencium, dan sebagainya. Bagaimana dengan hewan peliharaan?
Sebenarnya kita sudah mengetahui jika seekor hewan yang kita pelihara tidaklah bisa memberikan respon balik layaknya kita seorang manusia yang berbicara dengan bahasa manusia. “Kenapa hari ini mendung. Padahal aku sudah ada janji denganya?” Jika saat kalimat itu disampaikan kepada binatang kesayangan kita dan ada sebuah jawaban dari binatang “Iya ya. Aku juga sudah ada janji untuk main di luar.” Yang terjadi tentu kita akan lari ketakutan. Atau mungkin juga tidak.
Meskipun sudah tahu bahwasanya hewan tidak bisa merespon dengan apa yang kita bicarakan tetap saja sebagian orang terutama yang benar-benar sayang kepada hewan peliharaannya masih saja mengajaknya berbicara. Semua itu karena rasa kasih sayang dan terjalinnya ikatan antara seseorang dengan binatang kesayangan yang dirawatnya.
Memang hewan tidak bisa berbicara seperti layaknya manusia tapi mereka punya caranya sendiri untuk menyampaikan apa yang ingin mereka komunikasikan kepada para majikannya. Dan percaya atau tidak jika ikatan yang kuat sudah terjalin maka berbicara kepada binatang kesayangan menjadi sebuah hal yang menyenangkan dan menenangkan. Jika hewan bisa menyampaikan pesannya mereka juga akan setuju dengan pernyataan ini. Hal ini tentu lebih mudah dimengerti bagi seseorang yang mempunyai pengalaman serupa.
Rocco? Dia adalah kucing oren yang sudah cukup lama tinggal denganku. Rocco bukanlah dari golongan kucing berada layaknya anggora, persia atau pun jenis kucing mahal lainnya. Jika ditilik dari jenisnya dia adalah seekor kucing kampung biasa. Sudah memasuki tahun keempat kucing yang pendiam ini menemaniku menghuni rumah ini.
Rocco bukanlah kucing yang pertama dekat dan tinggal bersamaku. Dulu pun aku juga sudah sering hidup berdampingan dengan kucing. Tapi yang namanya kucing kampung atau kucing rumahan sifatnya datang dan pergi. Biasanya ketika mereka kecil akan akan sangat betah untuk tinggal di rumah. Memasuki umur siap kawin mereka akan pergi merantau. Bisa pulang bisa juga tidak pernah kembali lagi.
Beberapa kali ada juga kisah yang cukup menyedihkan dengan kucing-kucing yang tinggal di rumahku. Ada yang lama tidak kelihatan batang ekornya kemudian terdengar kabar bahwa ia sudah ditemukan mati. Yang paling masih membekas di memoriku adalah ketika kucingku pulang dalam keadaan teracuni. Entah ada orang yang sengaja meracunnya atau hanya dia salah makan makanan yang sudah diberi racun untuk tikus. Ia meraung meronta tidak jelas kemudian berjalan sempoyongan mencari tempat di sudut-sudut ruangan. Waktu itu aku mengikutinya dari belakang ketika ia sedang berjalan gontai tak tentu arah. Tak tega melihatnya akupun membopongnya. Tepat di pangkuanku ia kejang-kejang untuk beberapa saat dengan lidah berwarna biru yang terjulur. Ia pun mati dipangkuanku. Melepas kepergiannya dengan cara yang menyedihkan seperti itu membuatku berkaca-kaca sampai meneteskan air mata.
Rocco adalah kucing dengan tingkat kecerdasan yang paling tinggi dibandingkan dengan kucing-kucing lain yang pernah aku kenal. Tingkahnya tidak hanya lucu menggemaskan tapi terkadang polahnya juga membuatku terkesima.
Berperawakan sedang berisi tidak kurus juga tidak terlalu gemuk Rocco adalah tipikal kucing yang tidak banyak bersuara. Sama seperti kucing-kucing yang lainnya orang-orang pun akan berdatangan untuk Rocco sekedar untuk mengelus bulu-bulunya. Jika datang orang yang belum dikenalnya seekor kucing tentu akan mengendalikan daya dan upayanya untuk segera bisa pergi dari tempatnya yang dirasa sudah tidak nyaman lagi. Rocco mempunyai kebiasaan untuk bermain diluar layaknya kucing-kucing kampung pada umumnya. Ketika matahari sudah bersahabat biasanya dia akan segera keluar untuk berjemur dan bermain di halaman rumah ataupun menunggu atau pergi ke tempat teman-temannya. Mengejar-ngejar serangga, mengigit-gigit rumput itu adalah salah satu kebiasaan-kebiasaannya ketika bermain di luar sana. Terkadang kucing-kucing komplek perumahan yang lain juga datang untuk bermain dan mengajaknya pergi. Setahuku ada dua ekor kucing yang akrab dengannya. Yang pertama kucing putih yang badannya tambun dan kekar. Dengan badan yang lebih besar dan kuat aku suka kasihan kalau Rocco sedang bermain tarung-tarungan dengan si putih. Si putih kadang suka tidak bisa mengontrol tenaganya. Terpaksa aku suka turun tangan untuk menghentikan permainan mereka. Yang kedua kucing berwarna kembang asem. Itulah nama warna pada kucing dengan bulu berwana hitam, putih dan oren. Kembang asem tidaklah lebih besar dari si putih cenderung kurus tapi ia mempunyai badan paling panjang diantara yang lainnya. Sifatnya cenderung ngemong. Usianya yang paling tua membuatnya mempunyai sikap yang lebih tenang dibandingkan dengan si putih ataupun Rocco yang usianya paling muda. Trio kucing jantan inilah yang bisa dibilang menjadi jawara di perumahan ini. Tapi status itu dengan segera bisa terhapus begitu saja ketika ketiga-tiganya lari tunggang langgang ketika datang kucing besar berwarna hitam yang selalu mengincar mereka. Aku heran dengan kucing hitam ini bahkan dia sama sekali tidak ada takut-takutnya dengan manusia. Dibutuhkan intimidasi yang lebih serius untuk mengusir kucing hitam ini.
Kedatangan anak kecil bernama Lisa sebagai tetangga baru berarti juga datangnya seorang teman baru bagi Rocco. Kedekatan mereka dimulai secara perlahan-lahan. Mengamati pertemanan mereka menjadi tontonan yang cukup menarik.
Pertama kali Lisa melihat Rocco ia langsung menunjukkan ekspresi ketertarikannya. Wajahnya begitu gembira ketika melihat kucing oren sedang bersantai di bangku ayunan di halaman depan rumahku. Lisa berlari menghampiri apa yang membuatnya begitu senang dengan langkah kegirangan. Tapi apa yang didapati Lisa, Rocco yang menyadari kehadiran seseorang yang belum dikenalnya langsung saja mengambil langkah sigap dan begitu saja menghilang dari pandangan Lisa. Aku melihat wajah kecewa dari Lisa. Dan aku juga melihat bagaimana Rocco begitu terkejut kala itu.
Anak kecil itu benar-benar cepat belajar. Setelah usaha pertamanya yang gagal untuk bisa menangkap kucing oren. Dipertemuan selanjutnya ia pun memulai dengan pendekatan yang berbeda. Setelah pengamatannya dari depan rumahnya yang ia lakukan secara hati-hati dan sembunyi-sembunyi memastikan bidikannya berada di tempat yang ia inginkan. Langkah-langkah kecilnya perlahan mulai mendekati sasaran. Meskipun cara seperti itu tidak langsung berhasil di awal-awal percobaan karena terbaca oleh insting sang kucing pada akhirnya kesabarannya membuahkan hasil ketika sang kucing lengah dengan kesantaian yang sedang ia lakukan. Lisa akhirnya bisa menangkap Rocco dengan telak.
Di luar dugaanku Rocco tidak bertindak agresif dan malah sebaliknya ia menyerahkan dirinya dengan mengusap manja kepalanya kepada orang yang baru saja menangkapnya. Apakah interaksi antara keduanya yang terjadi sebelum-sebelumnya sudah cukup menumbuhkan rasa saling percaya? Sejak saat itulah mereka berdua menjadi begitu akrab dan sering menghabiskan waktu bersama di halaman depan rumahku.
Adakalanya Lisa menyaksikan dan mengikuti Rocco yang berlarian kesana-kemari. Ada juga waktu dimana Rocco hanya terdiam menyaksikan Lisa yang tengah asyik dengan mainan-mainannya. Karena usia Rocco yang sudah tidak lagi muda untuk bermain bola ataupun lempar tangkap ia pun tidak begitu tertarik dengan benda-benda asing yang sering dibawa oleh Lisa. Hal yang paling disukai olehnya dari gadis kecil itu adalah ketika ia menyisihkan bekalnya untuk diberikan kepadanya. Dan hal yang paling menyebalkan bagi kucing oren adalah ketika tangan gadis kecil sudah tidak lagi terkendali ketika sedang membelai-belainya yang berlanjut seperti mengacak-acak ketimbang sebuah belaian lembut. Di situlah ketika Rocco mulai menjadi sedikit agresif dan lebih memilih untuk menghindar. Bahkan ada kalanya kucingku benar-benar sudah tidak mau lagi untuk sekedar berada di satu area dengan gadis kecil itu. Mungkin apa yang dirasakan gadis kecil itu hanya bermain seperti biasanya tetapi apa yang dialami si kucing oren justru sebaliknya. Sesuatu yang mengganggu kenyamanan dan waktu bersantainya.
Ketika semua fase itu sudah terlewati maka hubungan antara keduanya kembali kepada fase awal dimana Lisa sekarang harus kembali sembunyi-sembunyi jika ia ingin bercengkrama dengan kucing oren yang kini telah menjadi kesayangannya.
“Pus pus... Rocco”, Lisa mencoba memanggil Rocco dengan menjulurkan makanan yang ada ditangannya.
Tanpa bersuara Rocco bangkit dari posisi nyamannya untuk menghampiri Lisa. Di saat Rocco makan Lisa membelai-belainya. Setidaknya dengan cara memberi makan bisa menjadi salah satu cara alternatif untuknya jika ingin bermain dengan Rocco. Meski berhasil diawalnya nyatanya trik seperti itu tidak selalu berjalan mulus. Terkadang Rocco hanya mengambil makanan yang dibawakannya kemudian pergi.
Menonton film adalah salah satu diantara sedikit kegiatan menghibur diri yang cukup sering aku lakukan. Ada salah satu film yang manjadi favoritku. Sebuah film yang ceritanya berdasarkan kejadian nyata yang pernah terjadi. Di film itu pelaku utamanya merupakan seorang yang sangat kaya raya. Ia mempunyai dua penjaga keamanan di dalam area rumahnya. Nama penjaga keamanan itulah yang menginspirasiku untuk memberikan nama pada kucing orenku. Mereka berdua bernama Rocco.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!