NovelToon NovelToon

Pendekar Kelabang Dewa

Lahirnya Sang Pendekar

Sinar mentari pagi itu, menebarkan cahaya di sebuah lembah yang hijau nan indah. Lembah yang luas itu di lindungi bukit dan tebing raksasa yang menjulang tinggi. Di datarannya terdapat padang rumput dengan aneka macam bunga ber warna-warni. Bersebelahan dengan petak-petak sawah yang menghijau. Tak jauh dari pesawahan itu terdapat sebuah air terjun yang besar pula. Menjulang tinggi mengalirkan tumpahan air yang menebar bagai kapas berterbangan.

Sungguhlah indah pemandangan yang diciptakan oleh yang maha kasih. Bagai lukisan hidup membentang di pelupuk mata. Betapa damai kehidupan di desa sendang galuh. Petani yang membawa cangkul. Para wanita yang membawa bakul berisi makanan yang akan di nikmati bersama sang suami yang lelah bekerja disawah.

Seorang wanita yang masih terhitung muda menghampiri suaminya yang sedang mengipasi wajahnya yang penuh dengan keringat dibawah sebuah pohon di pinggir sawah. Sambil membawa bakul berisi nasi dan lauk, berjalan melintasi pematang sawah.

"Oh nyai..marilah duduk disampingku. Kita makan bersama.." Nyai Kinasih meletakkan bakul nasi dan kendi disamping Ki Darmala. Dibukanya kain penutup bakul. Aroma sambal terasi, ikan asin dan sayur asam menyeruak. Dibawah piring lauk mengebul asap nasi yang masih hangat.

"Muantap Nyai..kau memang pandai membuat air liurku meleleh hehe.." Nyai Kinasih tersenyum senang. "Ah Kakang..beginilah masakanku tiap hari.."

"Ya tapi aku tak pernah bosan Nyai. Sebagaimana aku memandang wajahmu.." Nyai Kinasih pun tersipu malu. "Ih kakang bisa aja. Sudah punya anak satu masih bisa bergombal.."

"Hehe..ini bukan gombal nyai. Tapi ini gembul.." Kening Nyai Kinasih berkerut heran. "Loh ko gembul kang..?"

"Ya masakanmu yang sedap ini membuatku tambah gembul.." Nyai tertawa lepas. "Kakang Darma..inilah yang membuatku juga tak jemu denganmu Kakang, kau suka melucu.." Semilir Angin berhembus menyapu batang padi yang hijau. Membuat suasana makin sejuk dibawah pohon itu.

"Beruntunglah kita pindah ke desa ini nyai. Alam disekitar desa ini membuat lima petak sawah kita subur. Tak perlu kita membuat bendungan irigasi. Karena air melimpah di sungai yang berasal dari air terjun itu. Tiga bulan lagi kita akan panen nyai. Ternak-ternak kita tak perlu jauh mencari rumput. Ikan pun melimpah disungai yang tak terlalu besar itu. Kebun kita juga subur. Walau kita hidup di pedesaan terpencil dengan rumah yang sederhana, tapi aku merasa bahagia Nyai.." Setelah kenyang, Ki Darmala bersender di pohon itu. Semilir angin menimpa wajahnya, membuat suasana semakin sejuk.

"Aku pun bahagia bila Kakang ada disini. Tapi bila kau pergi bertugas untuk beberapa lama, aku kesepian kakang.." Nyai Kinasih mengeluh sejenak.

Ki Darmala mengerutkan keningnya. "Akan tetapi sekarang kan sudah ada senjaya anak kita Nyai, kenapa kau masih terasa kesepian..?"

"Maksudku bukan demikian Kakang. Tapi aku merasa kurang aman. Senjaya bukanlah anak yang paham beladiri. Mengapa engkau tak pernah mengajarkan nya Kang?. Padahal siapa yang tak kenal dengan kesaktian kakang. Para demang mengakuinya. Bahkan perampok pun jerih mendengar namamu.."

"Kinasih. Bukanlah aku tak ingin mengajarinya. Sudah berapa kali kutawarkan. Tapi anak kita yang menjelang dewasa itu tak berminat sama sekali. Yang ia pikirkan hanya ladang, sawah dan kucing-kucing peliharaannya. Anak itu beda kinasih. Sewaktu aku se usia dia, aku sudah belajar beberapa jurus beladiri, Tapi anak itu lebih menyukai peliharaannya dan bertani.."

"Aku juga heran Kakang, hati anak itu memang beda dari anak yang sebayanya. Kawan-kawannya pun sudah berlatih bela diri. Tapi pernah kutanyakan kepadanya kenapa tak ada niat untuk belajar bela diri?. Ia menjawab "buat apa belajar untuk mencelakai orang..?"

"Itulah anakmu Kinasih. Aku pun tak bisa memaksanya. Padahal aku ingin ia mewarisi kepandaianku dan pekerjaanku sebagai pengawal lepas di berbagai kademangan. Pekerjaan itulah yang bisa menghasilkan sesuatu seperti lima petak sawah ini. Rumah kita. Ladang kita. Ternak kita. Hmm..entah mau jadi apa anak itu.."

"Sudahlah Kang mungkin suatu saat hatinya berubah karena sesuatu. Yang pasti aku akan merasa bangga bila senjaya mewarisi ilmu mu Kang.."

"Aku pun berharap demikian Kinasih. Hmmm tapi apakah karena hanya karena kesaktianku kau mau menikah dennganku cah ayuu..?" Kinasih terperanjat lalu tersenyum

"Itu hanya salah satu Kakangku sayang. Sebagai wanita maklumlah bila pria pujaan hatinya bisa melindungi keluarganya lahir dan batin. Lagipula banyak pendekar sakti, tapi aku hanya memilih dirimu Kang. Itulah...yang penting, kalau tak ada cinta mana mungkin aku mau padamu.." Ki Darmala pun tersipu malu.

"Ah yang benar?". Sambil mengerling kepada istrinya. "Ah Kakang becanda aja. Benarlah kang.." Sambil menggoyang bahu suaminya manja. Tiba-tiba dari kejauhan tampak seorang berlari kecil ke arah mereka melewati pematang sawah.

"Itu Senjaya nyai. Ada apa pula ia tergesa-gesa..?" Mereka pun berdiri menyambut anaknya.

"Ada apa Senjaya? Kenapa tergesa-gesa seperti itu..?" Senjaya pun mengatur nafasnya yang tersengal-sengal.

"Ayah, dirumah ada Ki Demang yang mencari ayah.."

"Hmm. Ada apa Ki Demang mencariku sepagi ini.." Ki Darmala bergumam dalam hatinya. "Baiklah kita pulang nyai. Tumben sepagi ini ia mencariku.."

"Mudah-mudahan bukan tugas pengawalan lagi Kang. Baru tiga hari yang lalu engkau pulang".

"Entahlah nyai. Marilah kita sambut Ki Demang dirumah.." Perjalanan dari pesawahan kerumah Ki Darmala tidaklah jauh. Sesampainya dirumah tampak dua kuda terikat di halaman rumah. Tampak Ki Demang dan seorang lagi yang tak dikenal berdiri disampingnya sambil mengulum senyum melihat ki Darmala sekeluarga menghampirinya.

"Apa kabar Ki Demang?. Apa kau saja sampai..?" Bertanya Ki Darmala

"Kabar baik Darmala. Ya kami baru saja sampai. Bagaimana kabarmu sekeluarga..?"

"Baik Ki Demang. Marilah kita ke pendapa. Nyai tolong buatkan kopi hitam 3 cangkir ya.."

"Ah tak usah repot-repot Ki, kami hanya sebentar saja ingin berbicara.."

"Oh tak apa Ki Demang. Selagi masih pagi. Dan cuaca yang dingin ini cocok sekali. Oh ya sepagi ini Kau sudah kesini. Ada apa gerangan kah? Dan maaf siapa kisanak ini..?"

"Begini Ki Darmala, sebelumnya perkenalkan dulu, ini keponakanku dari adik ku yang pertama, ia bernama Sura Gading.." Lalu Sura pun menyambut pembicaraan.

"Maaf Ki Darmala, pagi-pagi kami sudah merepotkan.." Pembicaraan terhenti karena Kinasih membawa tiga cangkir kopi yang masih mengepul hangat.

"Oh tak apa. silakan di minum, mumpung masih hangat.." Mereka pun menyeruput kopi yang masih hangat itu, lalu Ki Demang pun melanjutkan pembicaraan.

"Keponakanku ini tinggal di kademangan jati gandar, ia sebentar lagi ingin melangsungkan pernikahan.."

"Oh ya??. Wah selamat Sura, mudah-mudahan nanti acaranya lancar. Tapi begitu jauh jati gandar itu, tinggal melewati alas tambak baya sampai lah ke mataram.."

"Nah itulah yang ingin kami bicarakan Ki Darma. Keluarga Sura ini termasuk keluarga yang kekurangan. Alangkah berdosanya bila aku tak membantu biaya pernikahan itu. Sedikit banyak tentu sudah menjadi tanggung jawabku pula sebagai paman.." Ki Demang berhenti sebentar lalu melanjutkan kata-katanya

"Ki Darma, kami ingin meminta pertolonganmu untuk mengawal kepulangan keponakanku ini yang akan membawa beberapa peti uang dan perhiasan, untuk membantu pernikahan nya.." Ki Darmala mengerutkan keningnya

Lahirnya Sang Pendekar Bag 2

"Ki Demang ini sungguh berhati mulia," ujar Ki Darma. "Ia tak melupakan sanak saudara, dan tak tanggung-tanggung dalam membantu."

"Tapi Ki Demang, perjalanan ini akan sangat jauh, memakan waktu tiga hari tiga malam," balas Ki Darma. "Aku butuh waktu untuk membicarakannya dengan istriku. Apa Ki Demang tidak terburu-buru?"

"Oh, tidak, Ki Darma. Kami tidak terburu-buru," jawab Ki Demang. "Begini saja, bila kamu bersedia, kami tunggu dua hari lagi di rumahku. Kami sangat berharap kamu bersedia, karena aku tahu siapa Ki Darma ini. Hanya kamu yang kami harapkan. Soal biaya, kamu tidak usah khawatir."

"Hmm, baiklah, Ki Demang. Apa pengawal kademangan akan ikut?" tanya Ki Darma.

"Sepertinya tidak, Ki Darma. Para pengawal kademangan rata-rata sudah berumur sekarang, mereka tak kuat berjalan jauh. Sebaiknya Ki Darma memanggil kawan-kawanmu untuk ikut serta, dan lagi-lagi soal biaya, kamu tak perlu risau," jelas Ki Demang.

Ki Darma berpikir sejenak. Namun, karena Ki Demang Chandra memang sudah dekat dengannya dan sering meminta bantuannya, ia pun menyetujuinya.

"Yah, sepertinya aku tertarik, Ki Demang. Tunggulah dua hari lagi. Persiapkanlah semuanya sebelum aku datang. Aku pun butuh waktu untuk memanggil kawan-kawanku. Pagi sekali aku akan sampai di rumahmu," kata Ki Darma.

"Baiklah, Ki Darma, aku tunggu dua hari lagi. Kesediaanmu sangat kami harapkan," ujar Ki Demang. Kemudian Sura Gading melanjutkan, "Betul, Ki Darma, sedikit banyak aku juga tahu siapa dirimu ini. Akan lebih aman bagiku bila kamu mengawal sampai tujuan."

Perbincangan itu berlangsung cukup lama hingga menjelang siang. Setelah itu, Ki Demang pamit bersama keponakannya.

Ki Chandra adalah orang berada. Ia memiliki puluhan petak sawah dan rumah besar yang juga berfungsi sebagai gedung Kademangan Bantar Mulya, yang dipimpinnya. Padukuhan Induk Bantar Mulya terletak tidak jauh dari Desa Sendang Galuh.

Setelah makan siang di rumahnya, Kinasih bertanya tentang perbincangan itu.

"Kakang, apakah kamu akan pergi lagi, Kang? Bukankah tiga hari lalu kamu baru saja bertugas?" tanyanya.

"Sebenarnya aku pun tak ingin, Kinasih. Tapi kalau bukan Ki Demang Chandra, pasti sudah kutolak. Badanku masih belum segar betul," jawab Ki Darma. "Tapi tak apa, hitung-hitung untuk masa depan anak kita juga. Lagi pula, aku akan dibantu Warok Jangkrik."

Ya, Warok Jangkrik adalah kawan dekat Ki Darmala. Ia adalah seorang mantan perampok terkenal di Hutan Bedari, sebuah hutan lebat di sebelah selatan Desa Sendang Galuh. Kelompoknya bermarkas di sebuah bukit.

Suatu hari, ketika Ki Darmala mengawal seorang saudagar melewati jalan setapak di Hutan Bedari, ia dicegat oleh Warok Jangkrik. Terjadilah pertempuran seru, di mana Warok Jangkrik dan anak buahnya dapat dikalahkan oleh Ki Darmala dan pengawalnya. Di ujung napas terakhirnya, Ki Darmala sempat memaafkan Warok Jangkrik, hingga pedang yang sudah terbentang di lehernya dilepaskan. Karena kebaikan Ki Darmala, Warok Jangkrik berjanji akan mengubah jalan hidupnya, meninggalkan kehidupan kelam dunia perampokan. Ki Darmala pun menawarkan pekerjaan sebagai pengawal lepas kepadanya.

Maka, mulai hari itu, Warok Jangkrik memulai hidup barunya sebagai kawan setia Ki Darmala dalam dunia pengawalan. Mereka melanglang buana bersama. Yang tadinya merampok, kini ia melawan perampok. Markasnya di sebuah bukit diubah menjadi sebuah padepokan kecil dengan beberapa murid yang dulunya juga anak buahnya sewaktu menjadi kepala rampok.

Ki Demang pun tahu riwayat Warok Jangkrik itu. Di mana ada Ki Darmala bertugas, pasti ada Warok Jangkrik. Maka, Ki Demang dan masyarakat pun memakluminya.

Pria itu berdiri di depan murid-muridnya. Umurnya yang sudah 40 tahun mulai menyiratkan kerut di wajahnya. Kumis tebal melintang menambah kesan garang di wajahnya. Berpakaian hitam dengan golok di pinggang, ia membentak-bentak muridnya yang sedang diajari beladiri. Namun, bagi murid-muridnya yang juga mantan anak buahnya itu, mereka sudah hafal betul watak gurunya yang dulu juga memimpin komplotan rampok. Hingga bentakan itu bagai cambuk untuk lebih giat lagi belajar beladiri.

Maka, hutan yang sepi itu pun jadi hingar-bingar oleh bentakan Warok Jangkrik dan murid-muridnya.

"Satu... hiyaa! Dua... hiyaaa! Tiga... hiyaaaa! Empat... hiyaaa! Lii... dutt prett dut!" Warok Jangkrik terkejut mendengar suara alam yang 'beracun' itu. Sekejap matanya melotot. "Jangkrik! Kurang ajar, siapa itu?!" Murid-muridnya yang tak tahan dengan ekspresi wajah gurunya tersenyum-senyum sambil menutup mulut. Lalu salah satu murid yang di tengah berteriak, "Jangkrik 6, Ki! Bukan main harumnya, Ki! Mau pingsan rasanya!" Murid itu menunjuk-nunjuk teman di sampingnya. Temannya pucat pasi tatkala gurunya menghampiri. Namun, selagi mendekat, Warok Jangkrik menghentikan langkahnya. "Hoekkk... bukan main. Makan apa kamu, hah? Apa kamu baru makan bangkai curut, hah?! Hoekkk!" Murid-muridnya pun makin terpingkal-pingkal, kecuali yang pucat satu itu.

"Maaf, Ki. Pas tendangan tadi sudah kutahan. Tapi apa lacur, ia keluar juga. Tadi aku makan ubi jalar tiga biji, Ki. Bukan bangkai curut," jelas si murid. Warok Jangkrik pun makin melotot hingga Jangkrik 6 makin pucat. Begitulah Warok Jangkrik memanggil muridnya yang berjumlah 10 orang. Ia menyebut muridnya dari Jangkrik 1 hingga Jangkrik 10.

"Sekarepmu mau makan apa. Tapi lain kali kalau makan ubi jalar, sekalian sebakul!" bentak Warok Jangkrik.

"Lho, kok sebakul, Ki?" tanya si murid.

"Ya, biar kamu di jamban seharian dan tak usah ikut latihan. Sekarang kamu harus kena hukuman karena kamu membuatku hampir pingsan... hoekk!" Jangkrik 6 makin pucat.

"Maaf, Ki. Jangan berat-berat hukumannya..." mohon Jangkrik 6.

"Ohh, kamu mau tawar-menawar, hah? Baik... tenang saja, Jangkrik 6, hukumanmu sangat ringan," kata Warok Jangkrik. Jangkrik 6 pun tersenyum. "Terima kasih, Ki Warok memang guru yang baik sekali."

"Oh, tentu... Nah, kamu lihat lapangan kecil itu? Larilah mengelilinginya. Mudah, bukan?" Jangkrik 6 pun makin tersenyum melihat lapangan yang kecil itu. "Oh, mudah sekali, Guru, tapi berapa kali, Guru?"

"Tiga ratus kali. Hehehe." Jangkrik 6 terkejut dan kembali pucat mematung. "Heh, kenapa diam saja? Cepat sana lari! Atau mau kutambah?!" Tanpa tendeng aling karena takut ditambahi hukumannya, murid itu pun langsung lari terbirit-birit.

"Hehehe, murid yang patuh. Nah, buat yang lain, kalian harus paham. Dalam latihan beladiri itu kalian harus diselipin..." Murid-muridnya meralat, "Disiplin, Guru!"

"Ya, itu maksudku. Nah, karena arena ini sudah tercemar oleh racun jahat, kalian boleh membubarkan diri," kata Warok Jangkrik. Para Jangkrik pun bertebaran dan beristirahat. Kemudian Warok Jangkrik memanggil muridnya, "Jangkrik 1, kemari kamu!"

"Ya, Guru. Ada apa, Guru?"

"Kamu ambilkan kendi. Dan kamu bawa ke pinggir lapangan kecil itu. Kalau sebelum tiga ratus ia sudah kelelahan, hentikan saja dan beri ia minum," perintah Warok Jangkrik.

"Baik, Guru," jawab Jangkrik 1.

Sambil menyeka keringat di lehernya, Warok Jangkrik beristirahat di pendapa padepokan. Angin semilir di sore hari itu membuat tubuhnya segar. Sementara para muridnya kembali ke pekerjaan masing-masing. Ada yang ke ladang, mengairi petak-petak sawah yang ada di belakang padepokan, menebarkan pakan ikan di kolam. Adapula yang bekerja di dapur. Warok Jangkrik memang mengubah kebiasaan anak buahnya yang tadinya suka merampok, sekarang mereka harus mencari rezeki dengan jujur dan kerja keras. Mereka pun dengan rela mengerjakannya. Padahal sewaktu dirinya bertobat, ia membubarkan komplotannya itu. Tapi mereka tak mau dan tetap bertahan di markas.

Mereka tetap ingin berjuang bersama pemimpinnya itu. Walau dirinya suka membentak dan galak, tapi mereka tahu pemimpinnya itu selalu baik dan adil dalam pembagian hasil rampokan: sama rata. Tak pernah sekalipun Warok Jangkrik mencelakai perempuan atau anak kecil. Bahkan, bila keluarga anak buahnya ada yang sakit, ia akan menjenguk dan memberi bantuan.

Lahirnya Sang Pendekar Bag 3

Maka jelaslah kesetiaan mereka pada Warok Jangkrik. Sejak ia menjadi kawan Ki Darmala, mereka pun kerap ikut mengawal dan mendapatkan tambahan uang. Masyarakat di luar hutan juga merasakan kebaikan Warok Jangkrik. Bila hasil panen dan kebun melimpah, dirinya akan membagikannya kepada warga desa secara gratis. Padahal, dulu betapa takutnya mereka kepada Warok yang garang itu, tapi sekarang semuanya sudah berubah. Bahkan, Desa Sendang Galuh merasa aman dan tidak pernah terjadi perampokan lagi.

"Hei Darwo, sudahlah berhenti. Mukamu terlihat pucat, mari minum," ajak Jangkrik 6, menghentikan lari Darwo menuju pinggir lapangan.

"Kakang Juda, aku takut dimarahi guru. Aku baru sampai hitungan 187," kata Darwo.

"Tak apa. Minumlah. Guru yang menyuruhku, jadi ia tidak akan marah. Tapi lain kali jangan makan ubi kalau mau latihan. Justru kamu akan terasa cepat lelah karena perutmu kembung. Kamu mengerti?" jelas Juda.

"Baik, Kang, memang sial aku hari ini. Gara-gara ubi itu, hehe," jawab Darwo. Tidak lama setelah itu, Darwo yang sedang minum, melihat seorang berkuda dari kejauhan. Debu mengepul di belakangnya, mengarah ke padepokan itu.

"Kang Juda, apa kamu lihat orang berkuda itu?" tanya Darwo.

"Ya, aku lihat. Sepertinya itu Ki Darmala. Hmmm... mari kita beritahu guru," ajak Juda. Mereka pun bergegas ke pendapa tempat gurunya sedang beristirahat. Sesampainya di pendapa, mereka memberitahukan bahwa mereka melihat Ki Darmala menuju padepokan. Warok Jangkrik pun bergegas ke luar halaman padepokan lalu menyambut Ki Darmala yang telah tiba.

"Wahai sobatku, sore hari yang indah ini kulihat kamu makin gagah saja," Warok Jangkrik menyambut dengan memuji Ki Darmala.

"Ah, kamu Jangkrik, masih saja suka bergurau. Padahal, tentu saja kamu pun melihat ubanku ini yang makin banyak," balas Ki Darmala.

"Hmm... uban itulah yang membuat kita makin gagah, Ki Darmala. Ibarat kelapa yang sudah tua, menghasilkan santan yang lebih baik. Hehe. Marilah masuk, sobat, baru saja para Jangkrik selesai latihan," ajak Warok Jangkrik.

Mereka pun menuju pendapa. Sementara itu, murid-murid menyiapkan minum dan sedikit camilan untuk Ki Darmala yang sudah mereka kenal itu. Secangkir kopi panas dan ketan serut kelapa memang sangat sedap dipandang. Ketan itulah kesukaan Ki Darmala. Padi ketan yang ditanam di tengah hutan itu menghasilkan ketan yang lembut dan empuk, hingga Ki Darmala pun tak pernah bosan bila berkunjung ke padepokan, itulah yang dicari.

"Mantap betul ketan ini. Beda dengan yang di luaran, rasanya kasar dan pera. Hmmm... hasil panenmu pasti laku keras di pasar ya, Warok?" puji Ki Darmala.

"Ya, Kang, lumayanlah. Kalau bukan karena Kakang yang mempunyai ide untuk membuat padepokan ini, mungkin anak buahku ini masih berjibaku dengan dunia perampokan. Sekarang mereka sudah mandiri, bisa mencari nafkah yang halal buat anak istri. Dari hasil sawah, ladang, dan ternak, lumayanlah, Kang. Semua ini juga berkatmu. Bila aku tak pernah bertemu dengan dirimu, mungkin sekarang aku pun masih berkubang dengan barang haram," jawab Warok Jangkrik.

"Kamu salah, Jangkrik. Aku hanya perantara saja. Yang mentakdirkan itu Yang Maha Kuasa. Dialah yang mempertemukan kita. Kamu harus banyak mengucap syukur kepadanya dengan banyak beramal dan ibadah. Jangan lupa itu, Jangkrik. Itulah bekal buatmu nanti di akhirat. Karena semua yang kita punya tak ada arti di hadapannya, kecuali kita gunakan untuk kebaikan kepada sesama. Nah, kulihat kamu sudah membuat langgar, apa kamu dan murid-muridmu rutin menggunakannya?" tanya Ki Darmala.

"Ya, Kang. Sedikit-sedikit aku pun sudah mulai belajar mengaji. Yah, walau cuma ayat pendek, tapi bisa dipakai untuk menjadi Imam," jawab Warok Jangkrik.

"Bagus, Warok. Aku bangga jadi sahabatmu. Kamu sudah mulai memikirkan hari akhiratmu. Kulihat murid-muridmu pun berwajah cerah," puji Ki Darmala.

"Ah, para Jangkrik itu masih saja ada satu dua yang suka berjudi dan minum arak, jiwa bengal para Jangkrik masih saja ada, walau lebih banyak yang benar-benar lurus. Tapi kalau soal merampok, mereka sudah tak berani lagi, Kang. Bisa kupilin leher mereka satu per satu," gurau Warok Jangkrik.

Ki Darmala tertawa mendengar hal itu. Warok Jangkrik memang suka bertindak tegas dan sangat galak menghadapi tingkah laku para Jangkriknya. Pernah suatu hari dirinya memergoki muridnya yang sedang berjudi dan minum arak, lalu ia menghukumnya dengan berendam di kolam ikan sehari semalam. Tidak ada yang berani membantah. Selain hormat, mereka pun tahu siapa guru mereka itu yang mempunyai kesaktian tak jauh dari Ki Darmala. Selama melanglang buana dunia perampokan, gurunya itu tak pernah gagal walau lawannya seorang sakti mandraguna sekalipun. Baru dengan Ki Darmala saja gurunya kalah, tapi itu pun hanya beda selapis kesaktiannya dengan Ki Darmala.

"Haha, kamu yang harus sabar, Warok. Memang tak mudah mengubah batu menjadi bongkahan kecil. Tapi air pun bisa menghancurkan batu, kamu tahu itu, Warok?" kata Ki Darmala.

"Ya, Ki. Begitulah seharusnya. Memang tak mudah. Tapi sedikit demi sedikit aku berusaha mengubahnya. Dan aku pribadi pun demikian, Ki Darmala. Aku juga berjuang untuk menjadi pribadi yang lebih baik lagi," jawab Warok Jangkrik.

"Ya, ya, Warok. Kamu betul, aku pun juga begitu. Tak ada yang sempurna. Kita hanya berusaha untuk menjadi lebih baik dari yang lalu. Nah, kedatanganku ke sini juga karena sesuatu. Kita punya tugas lagi, Warok. Ki Demang Bantar Mulya meminta kita mengawal keponakannya yang ingin pulang untuk menikah. Mereka akan membawa beberapa peti uang kecil dan perhiasan," jelas Ki Darmala. Warok Jangkrik mengerutkan keningnya heran.

"Hmm... apakah semua itu bantuan dari Ki Demang?" tanya Warok Jangkrik. Ki Darma pun menganggukkan kepalanya.

"Luar biasa Demang Chandra. Tak tanggung-tanggung membantu keponakannya," puji Warok Jangkrik.

"Ya... keponakannya itu sepertinya meminta bantuan pamannya, karena memang ia dari keluarga yang kekurangan," kata Ki Darma.

"Baiklah, Ki. Aku bersedia ikut. Kapan kita ke sana?" tanya Warok Jangkrik.

"Besok pagi kita sudah harus berada di Gedung Kademangan. Dari situ kita akan menuju Kademangan Jati Gandar, tepatnya di Desa Gujar," jawab Ki Darmala. Agak terkejut Warok Jangkrik setelah mengetahui jarak yang akan ditempuh.

"Hmm. Jarak yang sangat jauh, Ki. Ini di luar daerah yang biasa kita kawal. Aku pernah ke daerah itu dulu sekali. Kita akan menjumpai hal yang kita belum pahami. Kita harus benar bersiap untuk hal itu," ucap Warok Jangkrik.

"Kamu betul, Warok. Kita tak tahu apa yang akan kita hadapi. Tapi mudah-mudahan saja lancar. Kita tak usah berprasangka apa-apa dulu. Aku pun sebenarnya tak berminat dengan tugas ini. Tapi karena yang meminta Ki Demang, mau tak mau lah. Tapi jangan cemas dengan biaya. Demang Chandra sudah memastikan itu," jelas Ki Darmala.

"Baik, Ki. Aku akan tiba besok pagi sekali. Aku akan membawa serta lima Jangkrik. Apakah cukup?" tanya Warok Jangkrik.

"Ya, kukira cukuplah lima muridmu saja. Ingat, ini adalah sebuah perjalanan yang jauh. Kamu harus mempersiapkan murid-muridmu itu," kata Ki Darmala.

"Baik, Ki. Apa kamu akan pulang dahulu atau menginap di sini?"

"Aku pulang dahulu, Warok. Besok kita berjumpa di kademangan."

Maka, mereka pun mempersiapkan diri masing-masing untuk sebuah perjalanan yang panjang: pakaian ganti, senjata-senjata utama dan rahasia, serta bekal uang perjalanan. Sementara itu, Ki Darmala pun sampai di rumah dan juga mempersiapkan diri. Istrinya, Kinasih, sibuk. Sementara Senjaya masih saja bermain dengan kucing-kucingnya.

Sebenarnya, ia anak yang rajin dan patuh kepada orang tuanya. Tapi keengganannya berlatih beladiri membuat orang tuanya kecewa. Baginya, hal itu hanya akan membuat permusuhan dan menyakiti sesama manusia. Tidak ada hal baik dari beladiri, begitu menurutnya. Ada sedikit pujian atas Senjaya: karena ia giat dan rajin bekerja di sawah ladang, membuat tubuhnya kekar dan kuat. Walau tak bisa beladiri, tenaganya besar. Namun, sekembalinya di rumah, ia jarang keluar bermain dengan kawan-kawannya. Ia lebih suka bermain dengan kucingnya, sehingga ia pun kurang bermasyarakat.

"Hei Senjaya, tidurlah, Nak. Besok ayahmu akan pergi jauh. Butuh waktu enam hari pulang pergi. Andai saja kamu bisa beladiri, Ibu pun jadi tak cemas bila ditinggal ayahmu. Cobalah kamu berubah, Nak, demi ibumu ini," Kinasih mencoba menasihati anaknya yang tak bisa beladiri itu.

"Tapi, Bu. Selama ini kan kita baik-baik saja kalau ditinggal ayah bertugas?" jawab Senjaya.

"Kamu tak boleh bilang begitu. Walau kita menginginkan keadaan yang demikian, tapi kita harus tetap punya bekal buat menghadapi hal yang tidak kita inginkan," tegas Kinasih.

"Yah, bagaimana lagi, Bu. Ibu kan tahu aku tak cocok dengan kegiatan itu. Lagipula aku pernah melihat dua orang berkelahi dengan ilmunya, lalu seorang terbunuh. Dari situlah aku menganggap berlatih beladiri hanya akan menyakiti sesama," kilah Senjaya.

"Alasan itu lagi yang kamu pakai, Senjaya? Sekarang Ibu tanya. Bagaimana bila nyawaku yang terancam, atau malah nyawa kamu yang terancam, hah?" tanya Kinasih.

"Ya, tak tahu lah, Bu. Selama ini kita baik-baik saja kok. Mengapa kita harus memikirkan hal yang belum terjadi?" balas Senjaya.

"Ibu pun demikian, Senjaya. Ibu juga tak mau hal itu terjadi. Tapi bila memang terjadi bagaimana? Sementara kamu pun tak bisa melindungi dirimu sendiri. Kamu lihatlah kawanmu yang seumuran sudah pandai beladiri, karena mereka sadar kalau itu akan menjadi bekal mereka untuk menyelamatkan orang lain atau diri sendiri," jelas Kinasih.

Mendengar ribut-ribut itu dari ruang tamu, Ki Darmala pun menghampiri bilik anaknya lalu duduk di samping Senjaya.

"Senjaya, yang dikatakan Ibumu itu benar. Beladiri memang ilmu tentang kekerasan. Tapi kita bisa menggunakannya dengan baik. Memang ada yang menggunakannya dengan jalan yang sesat, dan banyak pula. Nah, tugas kita lah memperbaiki yang sesat itu. Tentu tak mungkin hanya dengan kata-kata. Menghadapi mereka yang berilmu tinggi, kita harus bisa melawannya, bukan untuk sewenang-wenang membunuh lawan, tapi untuk menyadarkannya dari jalan yang sesat," terang Ki Darmala.

"Tapi, Yah, bila mereka tak mau sadar juga bagaimana?" tanya Senjaya.

"Senjaya, manusia hanya bisa mengingatkan. Ayah pun bukan orang yang mulia. Ayah juga bukan orang yang sempurna. Terkadang dengan terpaksa sekali aku membunuh perampok karena mereka tak mau menyerah, hingga aku pun melawan hingga tetes darah penghabisan. Begitulah dunia ayah, dunia persilatan yang sesungguhnya. Kita sekarang hidup di zaman ini. Kita harus bisa membela diri kita dan juga membela kehormatan dan keselamatan orang lain. Bukankah itu termasuk juga pahala di sisi kita, Senjaya? Nah, kamu pikirkanlah apa yang aku dan ibu katakan. Semuanya demi kebaikanmu juga. Sekarang tidurlah. Sudah hampir tengah malam," nasihat Ki Darmala.

Kemudian, Senjaya pun menganggukkan kepalanya. "Baik, Yah." Ki Darmala dan Nyai Kinasih pun keluar bilik anaknya dengan sebuah pengharapan akan anaknya yang mau berubah. Sebenarnya, ia memikirkan hal itu di pembaringan. Nasihat orang tuanya mengiang-ngiang di kupingnya, hingga membuatnya sulit tidur. Senjaya berpikir keras, tapi hatinya pun masih meragukan dirinya sendiri.

"Apa aku bisa belajar beladiri? Apa aku harus berkelahi? Kenapa dunia ini seperti punya dua sisi bagai uang koin? Yang satu buruk dan yang satu baik?" Senjaya bergumam dalam hatinya seakan diombang-ambing oleh kenyataan itu.

Tapi akhirnya, ia pun tertidur pulas dan bermimpi. Dalam mimpinya, ia bertemu dengan seekor kelabang raksasa. Badannya bersisik-sisik besar berwarna hitam, sementara kepalanya berwarna merah dengan capit yang besar dan menyeramkan. Senjaya pun bergidik melihatnya. Ia pun lari terbirit-birit saking takutnya. Tapi apa lacur, kelabang itu berlari lebih cepat lagi dengan kaki-kakinya yang banyak. Senjaya pun meremang bulu kuduknya. Tak pernah ia melihat binatang sebesar itu. Macan yang pernah ia lihat di hutan ternyata masih jauh lebih kecil. Betapa takutnya ia dikala kelabang raksasa itu menyergap dan mencengkeram dirinya dengan kakinya yang banyak itu. Senjaya meronta-ronta, tapi tak ada yang mendengar. Nasib sudah. Ia berpikir mungkin ini akhir hidupnya, dimakan kelabang raksasa hidup-hidup.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!