Sinar mentari pagi itu, menebarkan cahaya di sebuah lembah yang hijau nan indah. Lembah yang luas itu di lindungi bukit dan tebing raksasa yang menjulang tinggi. Di datarannya terdapat padang rumput dengan aneka macam bunga ber warna-warni. Bersebelahan dengan petak-petak sawah yang menghijau. Tak jauh dari pesawahan itu terdapat sebuah air terjun yang besar pula. Menjulang tinggi mengalirkan tumpahan air yang menebar bagai kapas berterbangan.
Sungguhlah indah pemandangan yang diciptakan oleh yang maha kasih. Bagai lukisan hidup membentang di pelupuk mata. Betapa damai kehidupan di desa sendang galuh. Petani yang membawa cangkul. Para wanita yang membawa bakul berisi makanan yang akan di nikmati bersama sang suami yang lelah bekerja disawah.
Seorang wanita yang masih terhitung muda menghampiri suaminya yang sedang mengipasi wajahnya yang penuh dengan keringat dibawah sebuah pohon di pinggir sawah. Sambil membawa bakul berisi nasi dan lauk, berjalan melintasi pematang sawah.
"Oh nyai..marilah duduk disampingku. Kita makan bersama.." Nyai Kinasih meletakkan bakul nasi dan kendi disamping Ki Darmala. Dibukanya kain penutup bakul. Aroma sambal terasi, ikan asin dan sayur asam menyeruak. Dibawah piring lauk mengebul asap nasi yang masih hangat.
"Muantap Nyai..kau memang pandai membuat air liurku meleleh hehe.." Nyai Kinasih tersenyum senang. "Ah Kakang..beginilah masakanku tiap hari.."
"Ya tapi aku tak pernah bosan Nyai. Sebagaimana aku memandang wajahmu.." Nyai Kinasih pun tersipu malu. "Ih kakang bisa aja. Sudah punya anak satu masih bisa bergombal.."
"Hehe..ini bukan gombal nyai. Tapi ini gembul.." Kening Nyai Kinasih berkerut heran. "Loh ko gembul kang..?"
"Ya masakanmu yang sedap ini membuatku tambah gembul.." Nyai tertawa lepas. "Kakang Darma..inilah yang membuatku juga tak jemu denganmu Kakang, kau suka melucu.." Semilir Angin berhembus menyapu batang padi yang hijau. Membuat suasana makin sejuk dibawah pohon itu.
"Beruntunglah kita pindah ke desa ini nyai. Alam disekitar desa ini membuat lima petak sawah kita subur. Tak perlu kita membuat bendungan irigasi. Karena air melimpah di sungai yang berasal dari air terjun itu. Tiga bulan lagi kita akan panen nyai. Ternak-ternak kita tak perlu jauh mencari rumput. Ikan pun melimpah disungai yang tak terlalu besar itu. Kebun kita juga subur. Walau kita hidup di pedesaan terpencil dengan rumah yang sederhana, tapi aku merasa bahagia Nyai.." Setelah kenyang, Ki Darmala bersender di pohon itu. Semilir angin menimpa wajahnya, membuat suasana semakin sejuk.
"Aku pun bahagia bila Kakang ada disini. Tapi bila kau pergi bertugas untuk beberapa lama, aku kesepian kakang.." Nyai Kinasih mengeluh sejenak.
Ki Darmala mengerutkan keningnya. "Akan tetapi sekarang kan sudah ada senjaya anak kita Nyai, kenapa kau masih terasa kesepian..?"
"Maksudku bukan demikian Kakang. Tapi aku merasa kurang aman. Senjaya bukanlah anak yang paham beladiri. Mengapa engkau tak pernah mengajarkan nya Kang?. Padahal siapa yang tak kenal dengan kesaktian kakang. Para demang mengakuinya. Bahkan perampok pun jerih mendengar namamu.."
"Kinasih. Bukanlah aku tak ingin mengajarinya. Sudah berapa kali kutawarkan. Tapi anak kita yang menjelang dewasa itu tak berminat sama sekali. Yang ia pikirkan hanya ladang, sawah dan kucing-kucing peliharaannya. Anak itu beda kinasih. Sewaktu aku se usia dia, aku sudah belajar beberapa jurus beladiri, Tapi anak itu lebih menyukai peliharaannya dan bertani.."
"Aku juga heran Kakang, hati anak itu memang beda dari anak yang sebayanya. Kawan-kawannya pun sudah berlatih bela diri. Tapi pernah kutanyakan kepadanya kenapa tak ada niat untuk belajar bela diri?. Ia menjawab "buat apa belajar untuk mencelakai orang..?"
"Itulah anakmu Kinasih. Aku pun tak bisa memaksanya. Padahal aku ingin ia mewarisi kepandaianku dan pekerjaanku sebagai pengawal lepas di berbagai kademangan. Pekerjaan itulah yang bisa menghasilkan sesuatu seperti lima petak sawah ini. Rumah kita. Ladang kita. Ternak kita. Hmm..entah mau jadi apa anak itu.."
"Sudahlah Kang mungkin suatu saat hatinya berubah karena sesuatu. Yang pasti aku akan merasa bangga bila senjaya mewarisi ilmu mu Kang.."
"Aku pun berharap demikian Kinasih. Hmmm tapi apakah karena hanya karena kesaktianku kau mau menikah dennganku cah ayuu..?" Kinasih terperanjat lalu tersenyum
"Itu hanya salah satu Kakangku sayang. Sebagai wanita maklumlah bila pria pujaan hatinya bisa melindungi keluarganya lahir dan batin. Lagipula banyak pendekar sakti, tapi aku hanya memilih dirimu Kang. Itulah...yang penting, kalau tak ada cinta mana mungkin aku mau padamu.." Ki Darmala pun tersipu malu.
"Ah yang benar?". Sambil mengerling kepada istrinya. "Ah Kakang becanda aja. Benarlah kang.." Sambil menggoyang bahu suaminya manja. Tiba-tiba dari kejauhan tampak seorang berlari kecil ke arah mereka melewati pematang sawah.
"Itu Senjaya nyai. Ada apa pula ia tergesa-gesa..?" Mereka pun berdiri menyambut anaknya.
"Ada apa Senjaya? Kenapa tergesa-gesa seperti itu..?" Senjaya pun mengatur nafasnya yang tersengal-sengal.
"Ayah, dirumah ada Ki Demang yang mencari ayah.."
"Hmm. Ada apa Ki Demang mencariku sepagi ini.." Ki Darmala bergumam dalam hatinya. "Baiklah kita pulang nyai. Tumben sepagi ini ia mencariku.."
"Mudah-mudahan bukan tugas pengawalan lagi Kang. Baru tiga hari yang lalu engkau pulang".
"Entahlah nyai. Marilah kita sambut Ki Demang dirumah.." Perjalanan dari pesawahan kerumah Ki Darmala tidaklah jauh. Sesampainya dirumah tampak dua kuda terikat di halaman rumah. Tampak Ki Demang dan seorang lagi yang tak dikenal berdiri disampingnya sambil mengulum senyum melihat ki Darmala sekeluarga menghampirinya.
"Apa kabar Ki Demang?. Apa kau saja sampai..?" Bertanya Ki Darmala
"Kabar baik Darmala. Ya kami baru saja sampai. Bagaimana kabarmu sekeluarga..?"
"Baik Ki Demang. Marilah kita ke pendapa. Nyai tolong buatkan kopi hitam 3 cangkir ya.."
"Ah tak usah repot-repot Ki, kami hanya sebentar saja ingin berbicara.."
"Oh tak apa Ki Demang. Selagi masih pagi. Dan cuaca yang dingin ini cocok sekali. Oh ya sepagi ini Kau sudah kesini. Ada apa gerangan kah? Dan maaf siapa kisanak ini..?"
"Begini Ki Darmala, sebelumnya perkenalkan dulu, ini keponakanku dari adik ku yang pertama, ia bernama Sura Gading.." Lalu Sura pun menyambut pembicaraan.
"Maaf Ki Darmala, pagi-pagi kami sudah merepotkan.." Pembicaraan terhenti karena Kinasih membawa tiga cangkir kopi yang masih mengepul hangat.
"Oh tak apa. silakan di minum, mumpung masih hangat.." Mereka pun menyeruput kopi yang masih hangat itu, lalu Ki Demang pun melanjutkan pembicaraan.
"Keponakanku ini tinggal di kademangan jati gandar, ia sebentar lagi ingin melangsungkan pernikahan.."
"Oh ya??. Wah selamat Sura, mudah-mudahan nanti acaranya lancar. Tapi begitu jauh jati gandar itu, tinggal melewati alas tambak baya sampai lah ke mataram.."
"Nah itulah yang ingin kami bicarakan Ki Darma. Keluarga Sura ini termasuk keluarga yang kekurangan. Alangkah berdosanya bila aku tak membantu biaya pernikahan itu. Sedikit banyak tentu sudah menjadi tanggung jawabku pula sebagai paman.." Ki Demang berhenti sebentar lalu melanjutkan kata-katanya
"Ki Darma, kami ingin meminta pertolonganmu untuk mengawal kepulangan keponakanku ini yang akan membawa beberapa peti uang dan perhiasan, untuk membantu pernikahan nya.." Ki Darmala mengerutkan keningnya
"Ki Demang ini memang berhati mulia. Tak lupa dengan sanak saudara. Tidak tanggung-tanggung kalau membantu.." Berkata Ki Darma.
"Tapi Ki Demang, perjalanan ini akan menempuh waktu yang jauh. Butuh waktu 3 hari 3 malam. Aku butuh waktu untuk membicarakannya dengan istriku. Apa Ki Demang tidak tergesa-gesa..?"
"Oh tidak Ki Darma. Kami tidak tergesa-gesa. Begini saja. bila Kau bersedia, kami tunggu dua hari lagi di rumahku. Tapi kami harap engkau bersedia. Karena aku tau siapa Ki Darma ini. Hanya kau lah yang kami harapkan. Kalau soal biaya, kau tak usah takut.."
"Hmm baiklah Ki Demang. Apa pengawal kademangan akan ikut..?"
"Sepertinya tidak Ki Darma. Para pengawal kademangan sekarang rata-rata sudah berumur. Tak kuat mereka berjalan jauh. Sebaiknya Ki Darma memanggil kawan-kawannya untuk ikut serta, dan lagi-lagi soal biaya, kau tak perlu risau.." Ki darma berpikir sejenak. Tapi karena Ki Demang Chandra yang memang sudah dekat dengannya dan sering meminta bantuannya. Ia pun menyetujuinya.
"Yah sepertinya aku tertarik Ki Demang. Tunggulah 2 hari lagi. Persiapkanlah semuanya sebelum aku datang. Aku pun butuh waktu untuk memanggil kawanku. Pagi sekali aku akan sampai di rumahmu.."
"Baiklah Ki Darma, aku tunggu 2 hari lagi. Kesediaanmu sangat kami harapkan.." Lalu Sura gading melanjutkan.
"Betul Ki Darma, sedikit banyak aku juga tau siapa dirimu ini. Akan lebih aman bagiku bila engkau mengawal sampai tujuan.." Perbincangan itu pun berlangsung agak lama hingga menjelang siang. Tapi setelah itu Ki Demang pamit bersama keponakan nya.
Ki Chandra adalah orang yang berada. Ia mempunyai puluhan petak sawah. Rumah yang besar, sekaligus gedung untuk kademangan bantar mulya yang di pimpinnya. Padukuhan induk bantar mulya berada tidak jauh dari desa sendang galuh.
Setelah makan siang dirumahnya. Kinasih bertanya tentang perbincangan itu.
"Kakang..apakah kau akan pergi lagi kang?. Bukankah 3 hari lalu kau bertugas?".
"Sebenarnya aku pun tak ingin kinasih. Tapi kalau bukan Ki Demang chandra. Pasti sudah ku tolak. Karena badanku masih belum segar betul. Tapi tak apa lah. Hitung-hitung buat masa depan anak kita juga. Lagi pula aku akan dibantu Warok Jangkrik.."
Ya Warok Jangkrik adalah kawan dekat Ki Darmala. Ia adalah seorang mantan perampok terkenal di hutan bedari. Sebuah hutan lebat yang berada di sebelah selatan desa sendang galuh. Komplotannya bercokol di sebuah bukit.
Suatu hari dikala Ki Darmala mengawal se orang saudagar melewati jalan setapak di hutan bedari, ia pun di cegat oleh Warok Jangkrik. Terjadilah pertempuran seru, dalam pertempuran itu. Warok Jangkrik dan anak buahnya dapat dikalahkan oleh Ki Darmala dan pengawalnya. Di ujung nafas yang terakhir, Ki Darmala sempat memaafkannya Hingga pedang yang sudah terbentang dileher warok Jangkrik dilepaskannya. Karena kebaikan ki Darmala, Ia berjanji akan mengubah jalan hidupnya. Meninggalkan kehidupan kelam di dunia perampokan. Ki Darmala pun menawarkan pekerjaan sebagai pengawal lepas kepadanya.
Maka mulai hari itu. Warok Jangkrik memulai hidup barunya menjadi kawan setia Ki Darmala dalam dunia pengawalan. Malang melintang bersamanya. Yang tadinya merampok, maka kini ia melawan rampok. Markasnya di sebuah bukit di ubah menjadi sebuah padepokan kecil dengan beberapa murid yang dulunya juga anak buahnya sewaktu menjadi kepala rampok.
Ki Demang pun tahu riwayat Warok Jangkrik itu. Dimana ada Ki Darmala dalam bertugas pasti ada Warok Jangkrik. Maka Ki Demang dan masyarakat pun memakluminya.
Pria itu berdiri di depan murid-muridnya. Umurnya yang sudah 40 tahun mulai menyiratkan kerut diwajahnya yang berumur. Kumisnya tebal melintang menambah kesan garang diwajahnya. Berpakaian hitam dengan golok di pinggang. Membentak-bentak muridnya yang sedang di ajari beladiri. Tapi bagi murid yang juga mantan anak buahnya itu sudah hapal betul watak gurunya yang juga dulu memimpin komplotan rampok. Hingga bentakan itu bagai cambuk untuk lebih giat lagi belajar beladiri.
Maka hutan yang sepi itu pun jadi hingar bingar oleh bentakan Warok Jangkrik dan muridnya
"Satu...hiyaa. dua ... Hiyaaa... Tiga hiyaaaa..empat hiyaaa...liii....dutt prett dut.." Warok Jangkrik terkejut mendengar suara alam yang beracun itu. Sekejap matanya melotot. "juangkrik...kurang ajar siapa itu..?" Murid-muridnya yang tak tahan dengan ekspresi wajah gurunya..tersenyum-senyum sambil menutup mulut. Lalu salah satu murid yang di tengah berteriak.
"Jangkrik 6 ki. Bukan main harumnya ki. Mau pingsan rasanya.." Murid itu menunjuk-nunjuk teman yang disampingnya. Pucat lah temannya itu, tatkala gurunya menghampiri. Tapi selagi mendekat, Warok Jangkrik menghentikan langkahnya. "Hoekkk.. bukan main. Makan apa kau hah? Apa kau baru makan bangkai curut hah?..hoekkk" Murid-muridnya pun makin terpingkal-pingkal kecuali yang pucat satu itu.
"Maaf Ki. Pas tendangan tadi sudah kutahan. Tapi apa lacur ia keluar juga. Tadi aku makan ubi jalar 3 biji ki. Bukan bangkai curut" Warok Jangkrik pun makin melotot hingga jangkrik 6 makin pucat. Begitulah Warok Jangkrik memanggil muridnya yang berjumlah 10 orang. Ia sebut muridnya dari jangkrik 1 hingga jangkrik 10.
"Sekarepmu mau makan apa. Tapi lain kali kalo makan ubi jalar sekalian sebakul.."
"Loh ko sebakul ki..?"
"Ia biar kamu di jamban seharian dan tak usah ikut latihan. Sekarang kau harus kena hukuman karena kau membuatku hampir pingsan..hoekk.." Jangkrik enam makin pucat.
"Maaf Ki. Jangan berat-berat hukumanya.."
"Ohh sampean mau tawar menawar hah? Baik..tenang saja jangkrik 6, hukumanmu sangat ringan" Jangkrik 6 pun tersenyum. "Terima kasih. Ki Warok memang guru yang baik sekali.."
"Oh tentu... Nah kau liat lapangan kecil itu? larilah mengelilinginya. Mudah bukan..?"Jangkrik enam pun makin tersenyum melihat lapangan yang kecil itu. "Oh mudah sekali guru, tapi berapa kali guru..?"
"300 kali. Hehehe" Jangkrik 6 terkejut dan kembali pucat mematung. "Heh kenapa diam saja. Cepat sana lari. Atau mau kutambah..?" Tanpa tendeng aling karena takut ditambahi hukumanya, murid itu pun langsung lari terbirit-birit.
"Hehehe murid yang patuh. Nah buat yang lain, kalian harus paham. Dalam latihan beladiri itu kalian harus diselipin.." Murid-muridnya meralat. "Disiplin guru"
"Ya itu maksudku. Nah karena arena ini sudah tercemar oleh racun jahat, kalian boleh membubarkan diri.." Para jangkrik pun bertebaran dan beristirahat. Kemudian Warok Jangkrik memanggil muridnya. "Jangkrik 1, kemari kau.."
"Ya guru. Ada apa guru..?"
"Kau ambil lah kendi. Dan kau bawa ke pinggir lapangan kecil itu. Kalau sebelum 300 ia sudah kelelahan, hentikan saja dan beri ia minum.."
"Baik guru" Sambil menyeka keringat dilehernya, Warok Jangkrik beristirahat di pendapa padepokan. Angin semilir di sore hari itu membuat segar tubuhnya. Sementara para muridnya kembali ke pekerjaanya masing-masing. Ada yang ke ladang. Mengairi petak-petak sawah yang ada di belakang padepokan. Menebarkan pangan ikan dikolam. Adapula yang bekerja di dapur. Warok Jangkrik memang mengubah kebiasaan anak buahnya yang tadinya suka merampok, sekarang mereka harus mencari rezeki dengan jujur dan kerja keras. Mereka pun dengan rela mengerjakannya. Padahal sewaktu dirinya bertobat, ia membubarkan komplotannya itu. Tapi mereka tak mau dan tetap bertahan di markas.
Mereka tetap ingin berjuang bersama pimpinan nya itu. Walau dirinya suka membentak dan galak. Tapi mereka tau pemimpinnya itu selalu baik dan adil dalam pembagian hasil rampokan. Sama rata. Tak pernah sekalipun Warok Jangkrik mencelakai perempuan atau anak kecil. Bahkan bila keluarga anak buahnya ada yang sakit, ia akan menjenguk dan memberi bantuan.
Maka jelaslah kesetiaan mereka pada Warok Jangkrik. Semenjak ia menjadi kawan Ki Darmala, merekapun kerap ikut mengawal dan mendapat tambahan uang. Masyarakat diluar hutan juga merasakan kebaikan Warok Jangkrik. Bila hasil panen dan kebun melimpah. Dirinya akan membagikannya kepada warga desa secara gratis. Padahal dulu betapa takutnya mereka kepada Warok yang garang itu. Tapi sekarang sudah berubah. Bahkan desa sendang galuh merasa aman dan tak pernah terjadi perampokan lagi.
"Hey Darwo sudahlah berhenti. Mukamu terlihat pucat, mari minum.." Jangkrik 6 menghentikan lari nya menuju pinggir lapangan.
"Kakang Juda. Aku takut dimarahi guru. Aku baru sampai hitungan 187.."
"Tak apa. Minumlah. Guru yang menyuruhku. Jadi ia tak akan marah. Tapi lain kali jangan makan ubi kalau mau latihan. Justru kau akan terasa cepat lelah karena perut mu yang kembung. Kau mengerti..?"
"Baik Kang, memang sial aku hari ini. Gara-gara ubi itu hehe.." Tak lama setelah itu Darwo yang sedang minum, melihat seorang berkuda dari kejauhan. Debu mengepul di belakangnya. Mengarah ke padepokan itu.
"Kang Juda. Apa kau lihat orang berkuda itu..?"
"Ya aku lihat. Sepertinya itu Ki Darmala. Hmmm.. mari kita beritahu guru.." Mereka pun bergegas ke pendapa dimana gurunya sedang beristirahat. Sesampainya di pendapa mereka memberitahukan bahwa mereka melihat ki Darmala menuju padepokan. Warok Jangkrik pun bergegas ke luar halaman padepokan lalu menyambut Ki Darmala yang telah tiba di padepokan.
"Wahai sobatku, sore hari yang indah ini ku lihat kau makin gagah saja.." Warok Jangkrik menyambut dengan memuji Ki Darmala.
"Ah kau Jangkrik, masih saja suka bergurau. Padahal tentu saja kau pun melihat ubanku ini yang makin banyak.."
"Hmm..uban itulah yang membuat kita makin gagah Ki Darmala. Ibarat kelapa yang sudah tua, menghasilkan santan yang lebih baik. Hehe. Marilah masuk sobat, baru saja para Jangkrik selesai latihan.."
Mereka pun menuju pendapa. Sementara murid-murid menyiapkan minum dan sekedar cemilan untuk Ki Darmala yang mereka sudah kenal itu. Secangkir kopi panas dan ketan serut kelapa memang sangat sedap di pandang. Ketan itulah kesukaan Ki Darmala. Padi ketan yang ditanam di tengah hutan itu menghasilkan ketan yang lembut dan empuk. Hingga Ki Darmala pun tak pernah bosan bila berkunjung ke padepokan, itulah yang dicari.
"Muantap betul ketan ini. Beda dengan yang diluaran. Rasanya kasar dan pera. Hmmm....hasil panenmu pasti laku keras dipasar ya Warok..?"
"Ya Kang lumayan lah. Kalau bukan karena kakang yang mempunyai ide untuk membuat padepokan ini. Mungkin anak buahku ini masih berjibaku dengan dunia perampokan. Sekarang mereka sudah mandiri. Bisa mencari nafkah yang halal buat anak isteri. Dari hasil sawah. Ladang dan ternak lumayanlah Kang. Semua ini juga berkatmu. Bila aku tak pernah bertemu dengan dirimu, mungkin sekarang aku pun masih berkubang dengan barang haram.."
"Kau salah Jangkrik. Aku hanya perantara saja. Yang mentakdirkan itu yang Maha Kuasa. Ia lah yang mempertemukan kita. Kau harus banyak mengucap syukur kepadanya dengan banyak ber amal dan ibadah. Jangan lupa itu Jangkrik. Itulah bekal buatmu nanti di akhirat. Karena semua yang kita punya tak ada arti di hadapannya. Kecuali kita gunakan untuk kebaikan kepada sesama. Nah ku lihat kau sudah membuat langgar, apa kau dan murid-muridmu rutin menggunakannya..?"
"Ya Kang. Sedikit-sedikit aku pun sudah mulai belajar ngaji. Yah walau cuma ayat pendek. Tapi bisa dipakai tuk menjadi Imam.."
"Bagus Warok. Aku bangga jadi sahabatmu. Kau sudah mulai memikirkan hari akhiratmu. Ku lihat murid-murid mu pun berwajah cerah.."
"Ah para Jangkrik itu masih saja ada satu dua yang suka berjudi dan minum arak, jiwa bengal para jangkrik masih saja ada. Walau lebih banyak yang benar-benar lurus. Tapi kalo soal merampok, mereka sudah tak berani lagi kang. Bisa ku pilin leher mereka satu persatu.."
Ki Darmala tertawa mendengar hal itu. Warok Jangkrik memang suka bertindak tegas dan galak sekali menghadapi tingkah laku para jangkriknya. Pernah suatu hari dirinya memergoki muridnya yang sedang berjudi dan minum arak, lalu ia menghukumnya dengan berendam di kolam ikan sehari semalam. Tak ada yang berani membantah. Selain hormat mereka pun tahu siapa guru mereka itu yang mempunyai kesaktian tak jauh dari Ki Darmala. Selama malang melintang dunia perampokan. Tak pernah gurunya itu gagal walau lawannya seorang sakti mandraguna sekalipun. Baru dengan Ki Darmala saja gurunya kalah. Tapi itu pun hanya beda selapis kesaktiannya dengan Ki Darmala.
"Haha, kau yang harus sabar Warok. Memang tak mudah merubah batu menjadi bongkahan kecil. Tapi air pun bisa menghancurkan batu, kau tau itu Warok..?"
"Ya ki. Begitulah seharusnya. Memang tak mudah. Tapi sedikit demi sedikit aku berusaha merubahnya. Dan aku pribadi pun demikian ki Darmala. Aku juga berjuang tuk menjadi pribadi yang lebih baik lagi.."
" Ya ya Warok. Kau betul, aku pun juga begitu. Tak ada yang sempurna. Kita hanya berusaha untuk menjadi lebih baik dari yang lalu. Nah kedatangan ku kesini juga karena sesuatu. Kita punya tugas lagi Warok. Ki Demang bantar mulya meminta kita mengawal keponakannya yang ingin pulang untuk menikah. Mereka akan membawa beberapa peti uang kecil dan perhiasan.." Warok Jangkrik mengerutkan keningnya heran.
"Hmm...apakah semua itu bantuan dari Ki Demang..?" Ki Darma pun menganggukkan kepalanya.
"Luar biasa Demang Chandra. Tak tanggung-tanggung membantu keponakannya.."
"Ya..keponakannya itu sepertinya meminta bantuan pamannya. Karena memang ia dari keluarga yang kekurangan.." Ki Darma berkata.
"Baiklah Ki. Aku bersedia ikut. Kapan kita kesana..?"
"Besok pagi kita sudah harus berada di gedung kademangan. Dari situ kita akan menuju kademangan jati gandar. Tepatnya di desa gujar.." Agak terkejut Warok Jangkrik setelah mengetahui jarak yang akan ditempuh.
"Hmm. Jarak yang sangat jauh Ki. Ini diluar daerah yang biasa kita kawal. Aku pernah ke daerah itu dulu sekali. Kita akan menjumpai hal yang kita belum pahamii. Kita harus benar bersiap untuk hal itu.."
"Kau betul Warok. Kita tak tau apa yang akan kita hadapi. Tapi mudah-mudahan saja lancar. Kita tak usah berprasangka apa-apa dulu. Aku pun sebenarnya tak berminat dengan tugas ini. Tapi karena yang meminta Ki Demang. Mau tak mau lah. Tapi jangan cemas dengan biaya. Demang Chandra sudah memastikan itu.."
"Baik Ki. Aku akan tiba besok pagi sekali. Aku akan membawa serta 5 Jangkrik. Apakah cukup..?"
"Ya kukira cukuplah 5 muridmu saja. Ingat ini adalah sebuah perjalanan yang jauh. Kau harus mempersiapkan murid-muridmu itu.."
"Baik Ki. Apa kau akan pulang dahulu atau menginap disini..?"
"Aku pulang dahulu Warok. Besok kita berjumpa di kademangan.."
Maka mereka pun mempersiapkan diri mereka masing-masing untuk sebuah perjalanan yang panjang. Pakaian ganti. Senjata-senjata yang utama dan rahasia. Bekal uang diperjalanan. Sementara Ki Darmala pun sampai di rumah dan juga mempersiapkan diri. Istrinya Kinasih sibuk. Sementara Senjaya masih saja bermain dengan kucing-kucing nya.
Sebenarnya ia anak yang rajin dan patuh kepada orang tuanya. Tapi keengganannya berlatih bela diri membuat orang tua nya kecewa. Bagi dia hal itu hanya akan membuat permusuhan dan menyakiti sesama manusia. Tak ada hal yang baik dari beladiri. Begitu menurutnya. Ada sedikit pujian atas Senjaya.
Karena ia giat dan rajin bekerja di sawah ladang, membuat tubuhnya kekar dan kuat. Walau tak bisa beladiri. Tapi tenaganya besar. Namun sekembalinya dirumah. Ia jarang keluar bermain dengan kawan nya. Ia lebih suka bermain dengan kucingnya. Sehingga ia pun kurang bermasyarakat.
"Hey Senjaya. Tidurlah nak. Besok ayahmu akan pergi jauh. Butuh waktu 6 hari pulang balik. Andai saja kau bisa beladiri. Ibu pun jadi tak cemas bila ditinggal ayahmu. Cobalah kau berubah nak. Demi ibumu ini.." Kinasih mencoba menasihati anaknya yang tak bisa beladiri itu.
"Tapi bu. Selama ini kan kita baik-baik saja kalau ditinggal ayah bertugas.."
"Kau tak boleh bilang begitu. Walau kita menginginkan keadaan yang demikian, tapi kita harus tetap punya bekal buat menghadapi hal yang tidak kita inginkan.."
"Yah bagaimana lagi bu. Ibu kan tau aku tak cocok dengan kegiatan itu. Lagipula aku pernah melihat 2 orang berkelahi dengan ilmunya. Lalu seorang terbunuh. Dari situlah aku menganggap berlatih beladiri hanya akan menyakiti sesama.."
"Alasan itu lagi yang kau pakai Senjaya?. Sekarang Ibu tanya. Bagaimana bila nyawaku yang ter ancam?, atau malah nyawa kau yang terancam hah..?"
"Yaa tak tau lah Bu. Selama ini kita baik-baik saja kok. Mengapa kita harus memikirkan hal yang belum terjadi..?"
"Ibu pun demikian senjaya. Ibu juga tak mau hal itu terjadi. Tapi bila memang terjadi bagaimana? Sementara kau pun tak bisa melindungi dirimu sendiri. Kau lihat lah kawanmu yang seumuran sudah pandai beladiri, karena mereka sadar kalau itu akan menjadi bekal mereka untuk menyelamatkan orang lain atau diri sendiri.." Mendengar ribut-ribut itu dr ruang tamu Ki Darmala pun menghampiri bilik anaknya lalu duduk disamping Senjaya.
"Senjaya, yang dikatakan Ibumu itu benar. Beladiri memang ilmu tentang kekerasan. Tapi kita bisa menggunakannya dengan baik. Memang ada yang menggunakannya dengan jalan yang sesat. Dan banyak pula. Nah tugas kita lah memperbaiki yang sesat itu. Tentu tak mungkin hanya dengan kata-kata. Menghadapi mereka yang berilmu tinggi. Kita harus bisa melawannya. bukan untuk sewenang wenang membunuh lawan. Tapi untuk menyadarkannya dari jalan yang sesat.."
"Tapi Yah bila mereka tak mau sadar juga bagaimana..?"
"Senjaya. Manusia hanya bisa mengingatkan. Ayah pun bukan orang yang mulia. Ayah juga bukan orang yang sempurna. Terkadang dengan terpaksa sekali aku membunuh perampok karena mereka tak mau menyerah. Hingga aku pun melawan hingga tetes darah penghabisan. Begitulah dunia ayah. Dunia persilatan yang sesungguhnya. Kita sekarang hidup di zaman yang sekarang ini. Kita harus bisa membela diri kita dan juga membela kehormatan dan keselamatan orang lain. Bukankah itu termasuk juga pahala disisi kita Senjaya?. Nah kau pikirkanlah apa yang aku dan ibu katakan. Semuanya demi kebaikanmu juga. Sekarang tidurlah. Sudah hampir tengah malam.."
Kemudian Senjaya pun menganggukkan kepalanya. "Baik yah. " Ki Darmala dan Nyai Kinasih pun keluar bilik anaknya dengan sebuah pengharapan akan anaknya yang mau berubah. Sebenarnya lah ia memikir kan hal itu dipembaringan. Nasihat orang tua nya mengiang-ngiang dikupingnya. Hingga membuatnya sulit tidur. Senjaya berpikir keras. Tapi hatinya pun masih meragukan dirinya sendiri.
"Apa aku bisa belajar beladiri? Apa aku harus berkelahi? Kenapa dunia ini seperti punya 2 sisi bagai uang koin?. Yang satu buruk dan yang satu baik..?" Senjaya bergumam dalam hatinya seakan di ombang ambing oleh kenyataan itu.
Tapi akhirnya ia pun tertidur pulas dan bermimpi. Dalam mimpinya ia bertemu dengan se sekor kelabang raksasa. Badannya bersisik-sisik besar berwarna hitam. Sementara kepalanya yang berwarna merah dengan capit yang besar dan menyeramkan. Senjaya pun bergidik melihatnya. Ia pun lari terbirit-birit saking takutnya. Tapi apa lacur. Kelabang itu berlari lebih cepat lagi dengan kaki-kakinya yang banyak. Senjaya pun meremang bulu kuduknya. Tak pernah ia melihat binatang sebesar itu. Macan yang pernah ia lihat dihutan ternyata masih jauh lebih kecil. Betapa takutnya ia dikala kelabang raksasa itu menyergap dan mencengkram dirinya dengan kakinya yang banyak itu. Senjaya meronta-ronta. Tapi tak ada yang mendengar. Nasib sudah. Ia berpikir mungkin ini akhir hidupnya. Dimakan kelabang raksasa hidup-hidup.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!