Di sebuah ruangan kecil, pengap dengan pencahayaan minim. Hanya biasan cahaya redup berasal dari bulan sabit, menerobos masuk melalui lubang-lubang kecil jendela yang tertutup tirai putih.
"Lo mau bahagia kan Za?" tanya remaja berhoodie hitam, dengan tudung kepala yang menyamarkan wajahnya, bibirnya tersenyum smirk saat menyaksikan lawan bicaranya itu menganggukkan kepala.
"Ya... ya! Gue mau bahagia! Tolong, bantu gue!" jawabnya seperti orang tidak waras.
"Tentu saja, tentu saja sayang. Gue bakal bantu lo," balasnya sembari memegang dagu anak tersebut, yang posisinya tengah duduk di kursi tua dengan kondisi rambut acak-acakan.
Lalu, berjalan beberapa langkah ke belakang, membentangkan tirai putih yang menutupi jendela sampai terlihat pemandangan langit malam.
"Lo lihat bintang-bintang yang ada di sana Za," ujarnya. "Kata orang, kalau lo berhasil menjadi salah satu dari mereka, itu artinya lo bahagia," sambung remaja berhoodie hitam itu, sembari menolehkan kepalanya kepada anak tersebut. "Gue akan bantu lo menjadi salah satu dari mereka."
Mengeluarkan pistol dari dalam saku, "anggap aja pistol ini adalah malaikat baik, yang akan membantu lo meninggalkan dunia mengerikan ini. Lo mau bahagia kan?"
"Pistol..... malaikat baik?" batin anak itu terbelalak.
"Ya... YA!!! YA! BUNUH GUE SEKARANG, TEMBAK GUE SEKARANG!!!" teriaknya sangat keras.
"BUAT GUE BAHAGIA! GUE MAU BAHAGIA! ANTAR GUE MENJADI BINTANG, MENGGUNAKAN MALAIKAT BAIK LO ITU!!! LAKUKAN SEKARANG!!!"
"Hm, dengan senang hati," lirihnya tersenyum smirk.
//DOR DOR DOR//
"Selamat tidur sayang, sekarang keinginan lo sudah tercapai. Hm, semoga."
...********...
Satu tahun kemudian.....
Di perpustakaan sekolah.
Samar-samar, gelitik suara seseorang memanggil-manggil namaku, semakin lama semakin mengeras. Suara yang berat namun juga lembut.
Benar-benar malas, untuk membuka kelopak mata ku sebentar saja. Hingga sang empu pemilik suara berat itu, mendaratkan tangan kanannya tepat di atas kepalaku.
"Kay bangun! Lo mau tidur di perpustakaan," bisiknya kesal, aku bisa tahu dari deru nafasnya.
Aku menguap lebar, tubuhku menggeliat meregangkan kedua tangan. "Levi, lo ada di sini," ujar ku serak-serak basah sembari mengusap-usap kedua mata, hal pertama yang diriku lihat adalah laki-laki jangkung mengenakan jaket hitam geng motor itu, dengan logo tiga kepala serigala di bagian belakangnya.
"Iya, lo ngapain masih ada di sini? Haah, lo baca koran itu lagi," Levi menghela napas berat, setelah melihat diriku—Kayla. Memegang selembar koran dengan judul berita 'ditemukannya beberapa potong tubuh manusia setengah membusuk di rumah tua'.
Setahun yang lalu, berita tersebut sempat menggemparkan seisi kota. Bagaimana tidak, beberapa potong tubuh manusia hasil mutilasi dari pelaku yang tidak bertanggung jawab, berceceran di dalam rumah tua yang lokasinya tak jauh dari sekolah kami. Saat polisi datang mengotopsi tempat tersebut, daging nya sudah dalam kondisi setengah membusuk.
Hal ini menyebabkan polisi cukup kesulitan untuk mengetahui identitas korban, ditambah lagi tidak ada lagi bukti yang berhasil mereka temukan. Lambat laun kasus tersebut tidak ada perkembangan, sampai terpaksa harus ditutup begitu saja.
Namun, walaupun begitu. Aku tetap merasa penasaran dengan apa yang sebenarnya terjadi pada malam itu, ditambah lagi semenjak kejadian tersebut sahabat ku—Faza dikabarkan menghilang.
"Stop baca koran ini Kay!" kesal Levi merebut paksa selembar koran itu dari tangan ku. "Mental lo bisa terganggu, kalau terus-terusan baca berita kriminal," khawatir nya menatap cemas ke arah ku.
"Huh iya-iya, bawel," jawab ku cemberut.
"Jangan ngambek, gue cuman khawatir sama kesehatan lo. Gue gak mau cewek gue sampai sakit, cuman gara-gara mikirin berita macam ini," ucap Levi.
Mendengar perkataan itu, aku memasang raut muka datar. Aku sudah hapal dengan apa yang Levi katakan, ya kadang aku merasa heran. Kenapa orang-orang bisa sesantai itu? Bukankah ini adalah sebuah rahasia yang mesti diungkap, apa mereka tidak penasaran sama sekali?
Menyaksikan ekspresi Kayla yang berubah menjadi badmood, seketika mode childish Levi pun muncul. Anak itu berjalan sedikit mendekat kepada Kayla, lalu jongkok di hadapan gadis tersebut.
"Apa? Gak mau!" tolak ku, sudah mengerti apa maksud dari perubahan sikap laki-laki tampan itu.
"Kay, Levi pingin!" pinta Levi berlagak seperti anak kecil.
"Gak," tolak ku sekali lagi, raut wajah Levi sungguh menggemaskan mirip anak kucing, aku ingin lebih lama lagi menyaksikan ekspresi imut ini.
"Kaylaaa, Levi mau puk puk!" rengek Levi menggoyang-goyangkan pelan paha Kayla, sembari terus memohon kepadanya.
"Iya," angguk ku yang akhirnya pasrah, lalu mendaratkan tangan kanan ku di atas kepala Levi dan mengelusnya dengan lembut. Aku menikmati jari-jemari ku yang mengacak gemas rambut laki-laki itu, terasa lembut dan halus.
Pandangan ku lalu menunduk, beralih ke arah logo jaket Levi. 'ALPHA WOLF GANG' begitulah tulisan yang terpampang di punggung jaket hitam itu, bibirku tersenyum miring, Levi adalah pemimpin geng motor paling ditakuti di kota Azura ini.
Namun, kenapa si raja menyeramkan bagi semua orang itu bisa begitu lunak bahkan sangat manja jika berhadapan dengan diriku? Entahlah, padahal pertemuan kami berdua dulu juga cukup buruk.
...#Flash back#...
Malam itu, lebih tepatnya pukul delapan malam. Ibu menyuruh ku untuk membeli kopi dan gula di warung, dengan mengenakan hoodie abu-abu dan celana training hitam. Aku pun pergi keluar melewati gang-gang kecil yang lumayan sepi.
Jujur, aku sangat takut, pencahayaan yang redup serta kondisi gang yang sempit, semakin membuat isi pikiran ku berkecamuk tak karuan. Deru angin malam membelai halus permukaan kulit, membuat bulu kuduk ku merinding.
"Gue harus cepet-cepet keluar dari sini," gumam ku mencoba mempercepat langkah, rasanya seperti ada sesuatu yang mengintai dari arah belakang.
//Bam// satu hentakan besar, berasal dari pria bertubuh gempal dengan tato-tato sangar memenuhi lengan dan lehernya. Pria berkepala botak itu tersenyum cabul kepada ku, sial! aku membenci suasana ini.
"Halo cewek, sendirian aja nih," ucapnya menggelikan, mencoba memegang genit dagu wajahku. Namun dengan cepat, aku langsung menepisnya.
"Diem lo! Jangan macem-macem! Atau gue teriak," balasku berusaha tetap berani.
Preman itu tertawa terbahak-bahak, "hahahaha, teriak aja, memang siapa yang bakal denger? Gang ini sepi, gue penguasa tempat ini," ucapnya tersenyum lebar.
"Haha, daripada ngelawan lebih baik lo nurut aja, gak baik jadi cewek nakal," sambung preman tersebut lalu kembali mencoba menyentuh ku.
"Woy galon!" sahutan suara dari seseorang, sontak membuat perhatian kami berdua teralihkan kepadanya.
Sesosok laki-laki bertubuh tinggi, mengenakan jaket hitam berlogo tiga kepala serigala 'ALPHA WOLF GANG' berdiri memandang remeh ke arah kami berdua, mungkin lebih tepatnya ditujukan kepada preman itu.
"Woy bocah! Siapa yang lo panggil galon hah!" bentak pria itu tidak terima.
"Heh, ya lo lah.... sampah," lirihnya tersenyum smirk, lalu tiba-tiba berlari kencang menuju pria bertubuh gempal tersebut dan menghadiahkan pukulan uppercut tepat di bawah dagu. Lalu menyebabkan preman itu tumbang tak sadarkan diri.
"Kalau lo penguasa tempat ini, maka gue raja di kota ini," ucapnya tajam, sembari memandang rendah ke arah korban.
Aku yang menyaksikan langsung perkelahian singkat itu, rasanya seluruh tubuh ku membeku, mulut ku terbungkam bisu. "Apa-apaan ini?" batin ku merasakan aura begitu mengerikan menjalar keluar dari tubuh laki-laki tersebut.
bahu ku sedikit bergetar, saat tatapan tajam tersebut melakukan kontak mata dengan ku. "Ma-makasih."
"Hm? Cuman makasih doang?" tanyanya berjalan beberapa langkah menghampiri diriku. "Gue gak butuh kata terima kasih dari lo," sambungnya terdengar menyakitkan.
"Terus?" balas ku bingung.
"Gue mau lo jadi pacar gue, gue gak menerima kalimat penolakan," ucapnya mampu membuat diriku terkejut bukan main.
"What?!"
"Nama gue Levi, mulai sekarang lo jadi kekasih gue. Jangan sampai lo gak ingat nama pacar lo sendiri," tambahnya tak merubah ekspresi dingin itu sama sekali.
Aku berjalan menuju gerbang sekolah, bersama Levi yang sedang menuntun sepeda motornya. Keadaan sekarang benar-benar sepi, hanya ada Pak satpam tidur lelap di dalam pos dengan wajahnya ditutupi topi.
"Ayo naik!" titah Levi meminta ku agar segera naik ke atas motor.
Kepala ku mengangguk beberapa kali, "oke." Mesin kendaraan pun menyala, dan melaju meninggalkan area sekolah.
Dalam perjalanan, tidak terlalu banyak kendaraan yang berlalu lalang di jalan raya, sedikit bahkan bisa dihitung dengan jari. Mungkin karena sudah sore, langit berwarna oranye keemasan dengan sedikit goresan awan putih. Mata ku benar-benar tengah dimanjakan, ditambah matahari di ujung sana yang sebentar lagi akan tenggelam.
"Lev!" panggil ku kepada laki-laki itu.
"Iya?" balas Levi sembari sibuk mengendarai sepeda motor.
"Lo habis tawuran lagi?" tanya ku baru menyadari ada bekas luka sayat cukup panjang, di tengkuk leher Levi. Luka itu masih berwarna merah, bahkan belum sembuh sempurna.
"Hm," balas Levi mengakui.
Aku menghela napas, anak ini memang keras kepala. Aku tahu kalau Levi adalah pemimpin geng motor, tapi tidak harus setiap hari mesti dihabiskan untuk berkelahi.
"Kenapa tawuran?" tanya ku malas.
"Mereka yang nantang geng gue duluan, yaudah gue ladenin," jawab Levi.
"Tapi seminggu ini lo sudah tawuran empat kali Lev, badan lo gak capek apa? Gue tahu lo kuat, tapi pikirin kesehatan lo juga lah," tutur ku malah mendapat senyuman simpul dari laki-laki itu.
"Iya Kay," balas Levi lalu tertawa kecil. Tuan putrinya ini memang menggemaskan.
"Kalau besok lo tawuran lagi, gue gak mau kasih lo puk puk," ancam ku.
"Heee jangan gitu dong Kay, gue tetep mau puk puk, iya deh besok gue gak bakal tawuran lagi. Janji!" jawab Levi panik.
"Hm pinter," senang ku dan menepuk-nepuk gemas kepala laki-laki itu.
Tak terasa, kami berdua telah sampai di depan gerbang rumah berwarna hitam. Levi mulai melambatkan laju kendaraannya, dan berhenti.
"Mau masuk dulu?" tawar ku kepada Levi.
"Boleh," balas Levi lalu memarkirkan sepeda motor tersebut di sana, dan berjalan bersama-sama menuju pintu rumah.
Baru saja aku dan dia memijakkan kaki pada satu buah keramik. Tiba-tiba suara teriakan, disusul bentakan cukup keras terdengar dari dalam rumah.
Aku menelan ludah, dengan tatapan sendu bersama hati yang marah. Yah, mereka bertengkar lagi, orang tua ku bertengkar lagi.
"Lev," Levi menyadari akan perubahan sikap dari Kayla, tubuh gadis itu menjadi lemah, bahkan suaranya pun tidak lagi semangat.
"Sorry ya, setiap kali lo mau mampir ke rumah gue, selalu gue kasih wejangan seperti ini. Gue tahu, ini pasti membuat lo gak nyaman," sambung ku tersenyum kecut.
Levi yang tak kuasa menyaksikan kekasihnya dalam kondisi terpuruk seperti itu, ia langsung meraih tangan Kayla dan memeluknya. "Tenang aja, gue gak masalah kok," ujar Levi berbisik di telinga ku.
"Hm," deham ku merasakan tubuh kekar itu membungkus hangat tubuh kecil ku. Selama ini, jarang ada yang mengulurkan tangan bahkan mau memperlakukan ku secara istimewa seperti ini. Hanya dia.
Levi melonggarkan pelukannya, setelah dirasa aku sudah tenang. "Gimana kalau kita nikah aja? Gue bakal bawa lo pergi jauh dari sini dan buat lo bahagia," ujar Levi sukses membuat diriku terkejut.
Reflek aku langsung mencubit kecil pinggang laki-laki itu, "lo pikir nikah itu mainan? Main ceplos aja kalau ngomong," balas ku.
"Kalau gue serius, lo mau?" sahut Levi menatap intens ke arah ku. Jujur, saat ini kondisi jantung ku berdetak tidak karuan, pipi ku menyemu merah.
"Eng-enggak! udahlah gue mau masuk dulu," jawab ku gugup, dan memutuskan segera masuk ke dalam rumah.
"Bye Kayla! Besok gue jemput!" ucap Levi senang melihat ekspresi malu gadis itu.
...********...
Di dalam rumah, lebih tepatnya di ruang tamu aku masih berdiri di belakang pintu. Mencoba menormalkan kembali detak jantung ku yang masih berpacu cepat. "Dasar Levi!" gumam ku sebal sembari memegang dada.
Sedikit penasaran, aku mengintip sedikit dari jendela rumah. Levi sudah pergi dari sana.
"Jaga omongan kamu Mas! Kamu memang gak becus jadi kepala rumah tangga!" namun, seketika perasaan senang itu hilang selepas aku mendengar kembali pertengkaran mereka.
Aku berjalan memasuki ruang tengah, tempat dimana pertengkaran antar dua orang dewasa itu tengah berlangsung. Pandangan ku menatap datar ke depan, tidak ada ekspresi yang mampu aku tunjukkan, aku sudah bosan dengan ini semua.
Kadang aku penasaran, bagaimana kehidupan anak-anak remaja di luar sana? Apa kepulangan mereka dari sekolah juga disuguhkan suasana seperti ini oleh orang tuanya.
Kaki ku terus melangkah, hingga sampailah di depan sebuah pintu berwarna coklat, dengan terdapat tempelan nama 'Valencia' bergambar hello Kitty.
"Cia!" panggil ku sembari membuka pintu tersebut, samar-samar aku bisa mendengar rintih suara tangis anak kecil. Ternyata dia adalah Valencia—adik perempuan ku. Ia tengah menangis meringkuk, di tepi kasur.
"Hiks hiks hiks," tangis Valencia sembari menutup kedua telinganya rapat-rapat, anak itu pasti sudah mendengar pertengkaran orang tuanya cukup lama.
Terasa aura hangat mulai menyelimuti tubuh Valencia, anak kecil berusia sembilan tahun itu bisa merasakan, jari-jari lentik memegang kedua tangannya. "Cia, jangan nangis ada Kakak di sini," ucap ku duduk membungkuk di depannya.
Valencia yang sadar akan kedatangan Kakaknya, tubuhnya seketika tertarik untuk memeluk Kayla. "Kakak hiks, Ayah sama Bunda bertengkar lagi Kak," tangis Valencia pecah di pelukan ku.
"Iya, Cia jangan sedih lagi, sudah ada Kakak di sini. Maaf ya, Kakak pulangnya lama," ucap ku seraya mengelus-elus punggung adik perempuan ku.
"Hm iya Kak," jawab Valencia sesegukan.
Ya, beginilah kehidupan ku yang sebenarnya. Terkadang aku terlalu takut meninggalkan rumah terlalu lama, bahkan untuk sekolah sekalipun. Aku takut dengan kondisi Valencia, cukup aku saja yang menjadi korban, jangan adik ku.
"Cia mau tidur?" tanya ku dan mendapat anggukan dari anak itu.
"Iya," balas Valencia lalu naik ke atas kasur, dan menidurkan tubuhnya pada ranjang empuk itu. Sedangkan diriku berada di samping tubuh Valencia, sembari membelai lembut kepala anak itu sampai tertidur.
"Selamat tidur Cia," ucap ku melihat mata Valencia perlahan tertutup.
"Kakak berjanji akan membuat kamu bahagia, Kakak berjanji peristiwa tiga tahun yang lalu tidak akan terjadi lagi," batin ku serius.
Dini hari, pukul tiga pagi. Aku terbangun dari tidur ku, karena disebabkan suara berisik yang sangat menggangu dari ruang tengah. "Gue ketiduran di sini," gumam ku baru menyadari, kalau aku masih berada di dalam kamar Valencia.
Manik mata ku menatap teduh wajah Valencia yang sedang tertidur pulas itu, lalu segera pergi keluar kamar untuk mengetahui darimana asal suara berisik tersebut.
Sesampainya di ruang tengah, ternyata suara berisik yang sangat menggangu itu berasal dari televisi yang masih menyala, dengan volume cukup keras. Bibir ku mendecak kesal, "ck, kenapa gak dimatiin sih?" gumam ku dan mengambil sebuah remote yang tergeletak di atas meja.
Jari jempol ku hendak menekan tombol power pada remote tersebut, namun. "Lagi-lagi, ditemukan beberapa potongan daging manusia hasil mutilasi. Polisi beranggapan bahwa kasus ini hampir sama seperti kasus satu tahun silam. Para anggota berwenang masih berusaha untuk menangani kasus ini lebih lanjut," ujar pembawa acara televisi.
Setelah mendengar berita tersebut, bola mata ku terbelalak. Aku tak percaya, dengan apa yang baru saja aku saksikan. "Apa orang itu kembali lagi?" batin ku mengepal kuat kedua tangan.
...********...
Keesokan harinya, aku berangkat sekolah lebih awal daripada biasanya. Aku beralasan kepada Bunda, kalau ada pelajaran tambahan di kelas. Tidak, itu tidak benar, aku melakukan ini agar bisa pergi ke rumah tua dekat sekolah.
"Lo yakin mau masuk Kay?" tanya ku pada diri sendiri, yang telah berdiri di depan rumah tua itu. Ck! Lihat film horor aja masih takut, mau sok-sokan masuk ke sana.
Kepala ku menggeleng cepat. "Gak! Gue harus berani," batin ku dan mulai melangkah penuh keraguan ke dalam rumah tersebut.
Pintu kayu yang sudah tua, bahkan sedikit berlubang. Suara decitan menusuk telinga saat ku buka. Sangat kotor keadaan di dalam sana, banyak sarang laba-laba dan berdebu. "Uhuk uhuk."
"Ruangannya kosong, semua barang bukti pasti sudah dibawa sama polisi waktu itu," ujar ku tidak berhasil menemukan apapun.
"DOR!!!" kejut seseorang dari arah belakang, sontak bahu ku bergetar karena terkejut.
"Berlian!" marah ku kepada perempuan tersebut, yang malah puas melihat ekspresi terkejut ku. Dia adalah Berlian—sahabat ku.
"Hahaha sorry Kay, lagian lo ngapain ada di sini? Kurang kerjaan banget, entar diculik sama setan tahu rasa lo," balas Berlian masih belum bisa berhenti tertawa.
"Ya lo kali, lo kan satu jenis sama mereka," ketus ku sebal.
"Yaudah mending keluar aja yuk! Gue gak nyaman nih," ajak Berlian merasakan bulu kuduknya berdiri.
"Lo tahu kan, berita satu tahun yang lalu, yang terjadi di rumah tua ini? Gue masih penasaran," ujar ku.
"Maksud lo, tentang manusia yang dimutilasi itu? Setahu gue, sampai sekarang kasus itu masih ditutup," jawab Berlian.
"Tapi Kay, apa yang membuat lo sangat penasaran soal kasus itu? Gak mungkin kan, lo tiba-tiba begitu terobsesi sampai seperti ini. Pasti ada alasan lain," tanya Berlian penasaran.
"Karena...." jeda ku, tiba-tiba melintas potret wajah seseorang dalam pikiran ku.
"Yaudah lah lupain! Mending sekarang kita balik aja yuk! Gue gak mau lama-lama di tempat serem kayak begini," sahut Berlian tidak kuat, dan segera mengajak diriku pergi dari sana. Lalu berangkat bersama-sama menuju sekolah.
...********...
Sesampainya di sekolah, baru saja aku dan Berlian sampai dan berjalan di sekitar lapangan basket. Dari arah sana, terdengar suara keributan yang cukup ramai, serta banyak sekali gerombolan siswa dekat pintu gerbang sekolah.
"Pagi-pagi ribut bener Ber," ucap ku pada gadis itu.
"Cih, itu kan ulah cowok lo," balas Berlian tersenyum miring.
Benar, suara keributan besar tersebut berasal dari geng ALPHA WOLF, yang tengah memasuki gerbang sekolah dengan menaiki motor-motor besar mereka. Mengenakan jaket kulit hitam berlogo tiga kepala serigala, mereka semua tampak gagah terutama Levi yang memimpin para anggotanya di barisan depan.
Teriakan semakin bergemuruh ketika motor-motor besar tersebut masuk ke dalam sekolah menuju area parkir khusus anak-anak ALPHA WOLF. Kasta tertinggi di SMA ini ada tiga tingkatan, pertama guru, kedua geng ALPHA WOLF, dan yang terakhir siswa biasa.
"Gawat!" batin ku cemas, aku baru ingat kalau kemarin Levi sempat mengatakan akan menjemput ku berangkat sekolah. Tapi dia malah sibuk untuk pergi ke rumah tua itu.
"Dia marah nggak ya?" gumam ku takut.
"Kay! Kay, lo kenapa? Ngelamun bae," ucap Berlian membuyarkan lamunanku.
"Gue nggak apa-apa kok, mmm gue pergi ke kelas dulu ya!" balas ku.
"Owh oke, kalau lo pulang sendirian gue bareng ya!" ujar Berlian.
"Beres, entar gue kabarin, bye!" pamit ku lalu berjalan pergi menuju ke kelas, begitupun juga dengan Berlian. Kami harus berpisah, sebab kelas kami berbeda.
Aku berjalan melewati lorong sekolah, tiba-tiba, dari arah belakang tangan ku ditarik oleh seseorang, dan tubuhku di dorong bersandar ke tembok.
Wajah kami saling berdekatan, dengan posisi tangan kanannya menempel di dinding samping kepala ku.
"Le-Levi," kejut ku melihat laki-laki itu, sial ini terlalu dekat.
"Lo berani ninggalin gue," ucap Levi dengan suara beratnya, sorot mata laki-laki itu sama persis seperti pertama kali kami bertemu.
"Maaf, gue lupa," balas ku sedikit merasa takut dengan tatapan tajamnya.
"Hm, maaf aja gak cukup," ujar Levi tersenyum smirk, lalu menarik lengan ku menuju ke suatu tempat. "Gue harus beri lo hukuman."
"Eh tunggu! Lo mau bawa gue kemana?!"
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!