NovelToon NovelToon

The Stones

chapter 1

"Disaat dunia telah hancur, dan para iblis hampir menguasai seluruh daratan Esferion, keturunannya akan bangkit pada waktunya untuk melawan kejahatan.

Daratan Esferion, ditemukan oleh seorang penyihir putih yang dibuang oleh kelompoknya. Dia dituduh mengikuti penyihir hitam, padahal hanya kesalahpahaman. Dibuang, dia menemukan sebuah daratan terpencil yang dulunya hanyalah sebuah bioma biasa tanpa penghuni.

Penyihir itu berdiam diri, merasa kebosanan, dan memasuki bioma tersebut hingga menemukan gua yang gelap dan dalam. Di dasar gua, ia menemukan sebuah batu terang yang tiba-tiba menghilang ke dalam tubuhnya, membuatnya pingsan.

Ketika dia bangun, suara samar terdengar di telinganya. Dewa-dewa telah memanggilnya, duduk di persidangan Dewi Õiglus, Dewi Keadilan.

Para dewa dan Dewi Keadilan berdebat, menyebabkan kebingungan pada penyihir tersebut. Bertanya-tanya, dia berani menanyakan apa yang terjadi.

Meski disalahkan oleh salah satu dewa, Dewi Keadilan menjelaskan bahwa batu dalam dirinya memiliki lima kekuatan besar: keabadian, kekuatan, kepintaran, kelincahan, dan kekayaan tak terbatas. Jika jatuh ke tangan yang salah, dunia akan hancur.

Penyihir bertanya apa yang harus dilakukannya, dan Dewa Esferion menawarkan untuk mengeluarkan batu dengan syarat dia menjadi pemimpin di daratan tersebut. Setuju, batu dikeluarkan dan dia menjadi raja, menyelamatkan dunia.

Namun, muridnya, Zulian, berubah menjadi penyihir hitam dan berusaha merebut batu itu. Perang terjadi, dan Zulian harus dihukum dengan dilempar ke Palung Paling Dalam.

Penyihir putih tidak bersalah, tetapi Fakfenus, anaknya, diberi peringatan oleh seorang peramal tentang bangkitnya monster dan keturunan akan mengambil jiwanya.

Setelah kematian penyihir putih, Fakfenus pergi ke kota lain bersama keluarganya, tetapi pertanyaannya tetap: apakah Zulian benar-benar jahat?

Di kota Vzit, Danny meminta kakeknya mengajari sihir, sementara langit mengancam dengan kegelapan.

Di Palung Izui, Meylin dan pria sinis merangkak untuk membebaskan Zulian, menyebabkan langit gemuruh dan kurungan terbuka.

kota Vzit

"Danny!...Danny!" Kakek itu terus saja memanggil anak itu, yang sedang sibuk membantu neneknya di dapur.

"Dan, tuh dipanggil kakek," sahut nenek itu tersenyum.

Anak itu langsung kesana dan menemui kakeknya.

"Dan ada yang mau kakek omongin," sahut Kakek itu dengan raut wajah yang serius.

"Apa ya, Kek?" Tanya anak itu penasaran.

"Kakek ingin bilang sesuatu padamu, dan itu benar-benar penting," raut wajah kakek yang serius benar-benar keren, pikirnya.

"Pergilah ke kota Syon sekarang, dan carilah patung Fakfenus, dan disitu kamu harus menyentuh hidungnya," sahut Kakek itu.

Anak itu pun langsung mengerti, dia pergi ke kota Syon dan meninggalkan nenek dan kakeknya.

"Baguslah, anak itu sudah pergi, sekarang waktunya, Miranda!"

"Ada apa, Sayang?" Miranda langsung pergi menuju suaminya dan melihat ke arah langit.

"Apa yang terjadi, Sayang? Kenapa awannya berubah?" tanya Miranda.

"Zulian telah bangkit, Miranda," jawab sang kakek.

"Sial, ini tidak mungkin terjadi," Miranda seolah-olah tak percaya.

"Ayo kita pergi ke Palung, Miranda! Takutnya bajingan itu akan keluar!" seru kakek itu.

"Tapi, Sayang, bagaimana dengan Danny?" tanya nenek Miranda dengan khawatir.

"Jangan khawatir, aku sudah menyuruhnya pergi dan aku juga sudah siap menyiapkan kertas untuk apa yang dia lakukan selanjutnya. Anak itu harus selamat, karena dialah kunci untuk menyelamatkan dunia ini," sahut Kakek itu dengan serius.

Mereka berdua pun langsung pergi menuju ke Palung Iziu. Dua orang tua itu melihat Cobra dan Meylin yang sedang mencoba membuka kurungan itu.

"Siapa kalian berdua!?" tanya Kakek itu dengan suara yang keras.

"Meylin, bunuh mereka berdua. Aku mencium sesuatu yang tidak enak pada mereka," sinis Cobra.

"Meylin! Kalau kau tidak membunuhnya, aku tidak mencintaimu lagi."

"Baik, akan saya lakukan!" Gadis itu semakin ragu-ragu saja, apa yang harus dia lakukan, dia benar-benar bingung.

Dari lubuk hati yang paling dalam, gadis itu tidak ingin membunuh mereka tapi itu tetap harus dilakukan karena itu adalah perintah.

Cobra yang melihat keraguan dalam diri Meylin mencoba untuk menyakinkannya.

"Ingat siapa yang menolongmu dari orang-orang itu, Meylin. Apa kau berani mengkhianati orang yang sudah menolongmu?" Sahut Cobra.

Dia mencoba merapalkan mantra nya lagi, tapi sayang nenek Miranda terlebih dahulu merapalkan mantranya. Seketika bola api datang dan langsung pergi menuju Cobra dengan kecepatan tiada tara.

"Shushh!!" Bola api itu hampir mengenai Cobra, tapi dia berhasil diselamatkan oleh selendang milik Meylin.

"Maafkan aku, tapi aku tidak bisa berkhianat," sahut Meylin.

Meylin berlari ke arah kakek dan nenek itu, walaupun dia hanya memakai baju cheongsam tapi dia masih bisa berlari secepat itu, benar-benar mengerikan.

Kakek itu dengan cepat merapalkan sebuah mantra dan tiba-tiba terjadi sesuatu di dalam tanah sehingga tanah itu menjulang tinggi melindungi kakek dan nenek itu.

Gadis itu berhenti dan meraba dinding tanah itu, dan Seketika tangan muncul dari dinding itu dan langsung menangkapnya.

Tapi sangat disayangkan mereka berdua terlambat, sosok monster itu akhirnya keluar dari kurungannya, kebahagiaan Cobra benar-benar tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata.

Zulian muncul dihadapannya dengan tubuh seperti laki-laki tua yang kurus kering tanpa makanan dan minuman selama bertahun-tahun, matanya yang sayup, dan kedua kakinya menggetar seperti tidak tahu caranya berjalan, rambut dan janggut berwarna putih panjang dengan pakaian compang-camping.

"Wahai Zulian yang agung, saya pengikut Anda yang setia," tunduk Cobra.

"Kau? Lantas siapa mereka?" tunjuk Zulian dengan gemetar.

"Zulian? Kau Zulian, bukan?" tanya kakek itu dengan tatapan melotot.

"Dia kakekku, kenapa?" sinis kakek itu.

"Kakekmu? Pantas saja," senyum Zulian.

Zulian berjalan menghampiri kakek itu, "Aku yakin kau pernah dengar bagaimana penyihir itu memiliki murid yang bernama Zulian, tapi apa kau yakin kisahnya tidak ada yang terlewat?" sahut Zulian berbisik padanya.

"Apa maksudmu?" kakek itu mulai kebingungan.

"Apa yang dia katakan, Sayang?" tanya Miranda.

"Pada waktu itu, aku difitnah, dan aku yakin kau tahu siapa yang memfitnahku," senyum Zulian.

"Waktu itu, aku bersamanya. Saat penyihir hitam datang, aku tidak melakukan apapun, dan disitulah saat dia bilang ke guru kalau aku berkhianat," sinis Zulian.

"Tidak mungkin, kau pasti bohong!" seru kakek itu.

"Tuan Zulian tidak pernah berbohong!" balas Cobra.

"Kau tampaknya sama seperti dia, yah," Zulian menunjuk ke arah kepala kakek itu dan seketika "splash," kepala kakek itu seketika pecah dan menyisakan tubuhnya yang mengeluarkan cucuran darah seperti hujan yang mengenai nenek Miranda.

"Tidak!"

"Tidak!"

Gadis itu berhasil melepaskan diri dari genggaman tanah, dan Zulian tersenyum penuh kemenangan sambil melihat darah yang mengalir, dengan rasa senang yang tak terbantahkan.

chapter 2

"Kau pendosa besar, Zulian!" seru nenek itu, dan seketika dia merapalkan sebuah mantra. Muncul api biru, api yang lahir dari kemarahan dan kesedihan seseorang.

"Hati-hati!" sahut gadis itu.

Zulian menunjuk dengan santainya ke arah tangan wanita itu, dan seketika itu "splash," tangan wanita itu pecah. Teriakan wanita itu membangunkan beberapa warga.

"Ada apa? Kenapa teriak-teriak?" tanya salah satu warga, memandang ke arah jembatan.

"Pengikutku yang setia, bunuh semua warga di sini," perintah Cobra.

"Baik yang mulia, Meylin bunuh seluruh warga di sini," sahut Cobra.

Meylin terbang, dan tiba-tiba jarum-jarum muncul mengelilingi tubuhnya. Dia memutar tubuhnya sehingga jarum-jarum itu meluncur cepat menuju para warga di kota.

"Ap..apa yang kau lakukan, Zulian?" tanya nenek itu, merasakan sakit di tangannya.

"Sayang si kakek sudah tiada, tapi kau akan menjadi bahan yang sempurna. Bawa dia, Cobra," kata Zulian sambil merapalkan mantra. Muncullah sebuah portal di depan mereka.

Cobra membawa nenek Miranda, dan Meylin mengikuti mereka berdua.

*Hutan Lamone*

"Seperti kata kakek, aku harus ke kota itu," ucap anak itu sembari berjalan.

"Ada apa dengan kakekmu?"

Anak itu mendengar suara tapi tidak melihat siapa pun di sekitarnya. Dia hampir ketakutan.

"Santailah, jangan takut, anak kecil yang manis," suara itu mencoba menenangkan dia.

"Siapa disana, jangan main-main, aku punya sihir," balas anak itu cepat.

"Bukannya anak-anak tidak diperbolehkan main sihir. Dan omong-omong, kenapa kau kesini?" tanya suara itu.

"Tunjukkan diri anda terlebih dahulu," balas anak itu.

"Sudah kutunjukkan diriku padamu, lihatlah ke belakang," kata suara itu. Anak itu melihat ke belakang dan melihat seseorang di balik pohon tua.

"Perkenalkan, namaku Kynox. Jangan tanya usiaku karena aku masih muda, hahaha," kata orang itu.

"Kau punya tanduk?" tanya anak itu heran.

"Tentu, karena aku adalah ras Ejderha," jawab Kynox.

Ras Ejderha, yang dikenal sebagai ras paling terkuat di daratan Esferion, mempesona dengan keajaiban yang menakutkan. Tubuh setengah manusia, setengah naga mereka memancarkan keangkeran yang melampaui imajinasi, dengan tanduk melingkar dan gigi runcing yang menyeramkan. Namun, yang paling menakutkan adalah ekor yang menjulang di belakang tubuh mereka, menandai kekuatan misterius yang tersembunyi di dalamnya.

Kehadiran Kynox menandakan kekuatan tak tertandingi, karena mereka memiliki kemampuan luar biasa untuk berubah menjadi Ejderha yang mematikan. Namun, harga yang harus dibayar untuk mendapatkan kekuatan itu sungguh menyeramkan: mereka harus memakan daging dari sesama Ejderha yang telah meninggal untuk memicu transformasi tersebut.

Pemandangan Kynox yang menggertak, dengan mata yang menyala-nyala dan nafsu yang ganas, mengirimkan gemetar ke dalam jiwa setiap orang yang melintasi jalur mereka. Keberadaan mereka menjadi cerminan kegelapan yang mengintai di dalam alam semesta, mengingatkan semua bahwa kekuatan tanpa ampun dapat terlahir dari kengerian yang paling dalam.

"Tuan hanya sendiri?" anak itu bertanya.

"Tentu tidak, aku memiliki pasangan. Dia gadis yang luar biasa, memiliki tanduk melingkar yang indah! Seperti mentari pa..."

"Tapp...tapp"

Terdengar suara langkah kaki, Kynox mencium aroma seseorang dan tahu siapa pemilik langkah kaki itu.

"Ayo, ikuti aku jika ingin selamat, anak muda," kata Kynox.

Anak itu bingung, tapi Kynox memegang tangannya dan langsung berlari melewati beberapa pohon yang menjulang tinggi.

Mereka terus berlari hingga masuk ke dalam hutan. "Hati-hati dengan batang pohon besar itu! Hahahaha," tawa Kynox.

Anak itu berhati-hati dengan batang pohon besar yang menghalangi jalan mereka, melompat jika batang pohon itu terlalu panjang.

Hutan Lamone menyambut dengan kedalaman yang menakjubkan, pohon-pohonnya menjulang tinggi ke langit, menjalin kanopi yang menghalangi sinar matahari masuk sepenuhnya. Udara terasa tebal dan berat, diisi dengan aroma tanah hitam yang terbakar, menyelubungi setiap sudut hutan dengan aura misteri yang menggugah kekhawatiran.

Di antara rimbunnya pepohonan, langkah-langkah terasa hening, hanya diiringi suara desiran daun dan gemuruh jauh dari kegelapan yang menakutkan. Tanah yang terbakar menimbulkan kesan kehancuran yang melanda, menggambarkan kejadian-kejadian yang telah terjadi di dalamnya. Suasana hutan Lamone memikat, memancing rasa penasaran untuk mengungkap rahasia-rahasia yang tersembunyi di balik pohon-pohon raksasa dan tanah yang terbakar habis.

Mereka terus berlari hingga sampai di sebuah gubuk kecil yang terbuat dari batu. "Inilah dia, gubukku, istanaku. Masuklah, jangan malu-malu," sahut Kynox dengan ceria.

"Ciett!" pintu berdecit keras.

Di dalam gubuk itu hanya ada perapian, tempat tidur kayu tanpa alas, bahkan lantainya pun dari tanah liat.

"Bagaimana bisa anda membangun gubuk ini?" tanya anak itu sambil menyentuh perapian yang terbuat dari batu.

"Aku dan istriku yang membuatnya, sudah lama sekali, saat perang besar."

"Jadi dimana istri anda?" tanya anak itu penasaran.

"Istriku sudah tiada, padahal dia sudah berubah menjadi Ejderha waktu itu," jawab Kynox dengan senyuman yang sirna.

"Ah, maafkan aku," kata anak itu, tidak tahu tentang itu.

"Lupakan, oh iya, kau mau kemana? Melewati hutan ini sendirian?" tanya Kynox penasaran.

"Aku ingin pergi ke kota Syon," jawab anak itu dengan senyuman.

"Syon? Kota itu memiliki putri yang cantik jelita, apakah kau penggemarnya?" tanya Kynox menggoda.

Anak itu hanya tertawa kecil mendengarnya.

"Oh iya, apakah kau mau makan sesuatu? Aku ada beberapa makanan yang mungkin akan cocok dengan perut manusia," sahut Kynox dengan yakin.

Anak itu mengangguk karena merasa lapar.

"Akan aku siapkan, duduklah terlebih dahulu," kata Kynox. Anak itu duduk di tempat tidur, tertarik dengan sebuah foto dua orang yang saling menatap dengan bahagia.

"Oh, apakah kau melihatnya?" Kynox sudah siap mengantarkan makanan.

"Dia adalah istriku Diana, lihatlah tanduknya benar-benar indah," puji Kynox pada mendiang istrinya.

"Aku juga berpikir demikian, tuan," jawab anak itu.

"Benarkah? Kau memiliki selera yang bagus. Omong-omong, silahkan dimakan. Jangan malu-malu," balas Kynox.

Selesai makan, anak itu segera berpamitan dengan Kynox, "Makasih atas makanannya, tuan. Saya mau pergi dulu," sahut anak itu.

Anak itu ingin pergi, tapi tiba-tiba Kynox memanggilnya, "Tunggu!"

"Hmm?" Anak itu melihat ke belakang, "Biarkan aku ikut dengan mu," sahut Kynox.

Anak itu ragu-ragu; ada rasa cemas dipikirannya dan ada rasa tidak enak menolak dihatinya. "Maaf, tapi kakek saya pernah bilang jangan terlalu percaya pada orang lain," sahut anak itu dengan sopan.

"Kau masih tidak percaya padaku? Atas semua yang kulakukan, kau ini seperti istriku saja," balas Kynox dengan agak kesal.

"Kalau begitu, bagaimana caranya agar aku bisa mendapatkan kepercayaanmu, wahai anak muda?" sahut Kynox dengan nada yang sama.

"Hmmm, entahlah aku tidak tahu," balas anak itu.

"Percayalah padaku, kalau aku orang jahat, aku akan membiarkanmu sendirian, dan pasti tidak akan memberikanmu makanan," lanjut Kynox, suaranya penuh keyakinan.

Anak itu merenung, memikirkan kata-kata Kynox. "Tapi kenapa tuan ingin bersikeras mengikuti saya? Apa tuan memiliki maksud terselubung?" tanya anak itu dengan curiga.

Kynox menghela nafas, lalu menatap mata anak itu dengan tulus. "Aku tidak yakin kamu bisa pergi sendirian, dan aku juga perlu menikmati dunia luar. Lihatlah pakaianku, pakaiannya benar-benar compang camping. Aku di sini begitu lama," ungkapnya, wajahnya dipenuhi oleh campuran rasa penyesalan dan keinginan untuk memperbaiki kesalahannya.

Anak itu menatap pakaiannya dan benar saja, pakaian itu benar-benar tidak layak untuk dipakai. "Hah, sekarang kamu percaya kan? Waktu istriku meninggal, aku hanya berdiam di sini, takut dengan dunia luar karena perang terus saja terjadi waktu itu," tambahnya lagi, suaranya terasa berat dipenuhi oleh kenangan yang menyayat hati.

"Lalu, dimana makam istri tuan?" tanya anak itu dengan penasaran, matanya penuh dengan keingintahuan.

"Aku tidak bisa mengatakannya untuk saat ini, karena aku yakin kau akan ketakutan saat mengetahuinya," jawab Kynox dengan yakin, namun matanya menyiratkan rasa sakit yang dalam.

Anak itu sebenarnya makin penasaran, tapi dia berpikir bahwa mungkin tempat pemakamannya benar-benar mengerikan. "Baiklah, tuan bisa ikut," sahut anak itu tanpa ada rasa ragu-ragu lagi.

"Tunggu sebentar," sahut Kynox. Pria itu berlari menuju bingkai foto itu dan mengatakan sesuatu.

"Diana, terimakasih sudah membantu ku membuat rumah ini. Terimakasih sudah menemaniku disaat aku terpuruk dan bahagia. Terimakasih sudah melindungi para badebah itu walaupun dia tidak menganggap mu sebagai pahlawan. Kau itu gadis yang baik, manis, cantik. Aku selalu mencintaimu, Diana. Kau selalu bersamaku dan itu pasti," Kynox mengambil bingkai itu dan langsung merobek fotonya, lalu mengambil foto Diana dan diletakkannya di saku celananya.

Wajah Kynox terlihat penuh dengan campuran emosi: kesedihan, rasa syukur, dan nostalgia yang mendalam, yang membuat anak itu semakin yakin bahwa ada sesuatu yang lebih dalam terkait dengan kisah di balik fotonya.

"Ayo kita pergi sekarang, nak!" seru Kynox. Anak itu mengangguk, dan mereka meninggalkan hutan Lamone menuju kota Syon.

"Jadi, kau tinggal sama kakek dan nenekmu, ya?" tanya Kynox sembari berjalan di belakang anak itu.

"Ya, begitulah, hehehe," jawab anak itu.

"Orang tua kamu kemana, emangnya?" tanya Kynox penasaran.

Anak itu menghentikan langkahnya, "Gak tau. Kata kakek sih mereka lagi nugas di pedalaman Goyu."

"Tunggu, kakekmu bilang begitu?" tanya Kynox seolah tidak percaya.

"Iya, kenapa ya?" Anak itu balik bertanya pada Kynox.

Kynox ingin sekali menjawab pertanyaan itu, tapi dia tahu bahwa jika dia menceritakan apa itu pedalaman Goyu, kemungkinan anak itu akan menangis. Pedalaman Goyu adalah tempat yang berarti surga atau neraka, tergantung pada jalur yang dipilih. Kalau ada kesalahan apapun, jalur yang dipilih pasti akan salah, dan sebaliknya.

"Gak papa, hanya saja orang tuamu benar-benar keren," jawab Kynox, mencoba bersikap tenang.

chapter 3

Kerajaan Bahemoth menjulang tegak di bagian barat daratan Esferion, menjelma menjadi pusat kegelapan yang menguasai cakrawala. Tanah tandus yang meluas di sekelilingnya menjadi saksi bisu akan kekuasaan gelap yang memerintah di sana. Di balik bentengnya yang megah, tersembunyi rahasia-rahasia yang menyeramkan, menggiring ketakutan yang menggigil dalam hati siapa pun yang berani mendekat.

Dalam kesunyian yang mencekam, Kerajaan Bahemoth menjadi tempat kediaman bagi ras iblis yang menyembunyikan kekejaman di balik wajah mereka yang merayu. Kehadiran mereka menggetarkan jiwa, menyiratkan ancaman yang menggantung di udara. Di masa lalu, kerajaan ini diperintah oleh dua sosok yang menakutkan: Bahemoth yang kejam dan Diablo sang pemburu cahaya. Namun, kematian Diablo oleh tangan Zulian telah mengukir luka yang dalam dalam sejarah kelam kerajaan ini. Sekarang, bayang-bayang kegelapan merajalela di setiap sudut, mengingatkan akan bahaya yang mengintai di balik keheningan yang menakutkan.

"Apakah dia sudah memberitahukan keberadaan batu itu, Cobra?" tanya Zulian dengan kekesalan di wajahnya.

"Dia masih tidak mau bicara, Yang Mulia Zulian," tunduk Cobra.

"Sialan, bilang pada nenek tua itu, kalau dia tidak memberitahukan batu itu maka dia akan kubunuh secepatnya," balas Zulian dengan kesal.

"B... baik, Yang Mulia," kata Cobra sebelum pergi menuju penjara bawah tanah.

Meylin, seorang gadis, lebih sering disuruh untuk melakukan pekerjaan rumah seperti menyapu dan mengepel layaknya seorang pembantu.

Arsitektur kerajaan ini berwarna abu-abu gelap secara keseluruhan, dan singgasananya terbuat dari pedang-pedang para pejuang atau bahkan pimpinan mereka.

"Meylin!" panggil Zulian dengan keras.

Meylin langsung mendatangi pimpinannya itu dan menunduk dengan hormat.

"Kenapa kau lama sekali?" tanya Zulian hampir kesal.

"Maafkan saya, Tuan, tadi saya menyapu di lorong sebelah sana," balas Meylin.

Zulian mempercayainya, lalu tiba-tiba Cobra datang. "Salam, Yang Mulia Zulian, kata nenek itu dia tidak takut sama sekali," kata Cobra terengah-engah.

"Bawa dia sekarang, aku tunggu di sini," perintah Zulian.

Meylin melirik Cobra dan bertanya pada Zulian, "Apa yang akan kau lakukan pada nenek itu?"

"Ayolah, aku hanya bermain-main, jangan khawatir," jawab Zulian dengan senyum yang agak mencurigakan.

Tak berselang lama, Cobra membawa nenek itu dihadapan Zulian. "Ini, Yang Mulia Agung," kata Cobra.

"Meskipun begitu, aku tidak akan pernah memberitahumu tentang batu itu. Kau dengar itu, Zulian!" sahut nenek itu spontan.

"Kenapa? Mengapa kau tidak mau memberitahukannya?" tanya Zulian.

"Persetan dengan pertanyaanmu itu, Zulian. Kalau pun aku memberitahumu tentang batu itu, mungkin sudah dibawa oleh seseorang," sahut nenek itu dengan yakin.

"Siapa? Siapa yang membawanya?" spontan Zulian terkejut mendengarnya.

"Kau belum pernah mendengar ramalannya, ya?" sahut nenek itu.

Zulian seketika berdiri dari singgasananya. "Ramalan apa yang kau maksud!?"

"Aku akan memberikanmu sebuah ramalan. Tak lama lagi, sosok monster akan bangkit dari tempat tidurnya, dan sang keturunan akan mengambil jiwanya," jawab nenek itu.

Entah mengapa, kaki Zulian menggetar dengan sendirinya. "Anda baik-baik saja, Tuan?" tanya Meylin melihat ke arah kaki pemimpinnya.

"Berani sekali kau mengatakan itu!" sahut Cobra. Dia ingin memukul nenek itu, tapi ditentang keras oleh Zulian.

"Dimana keturunannya?" tanya Zulian sambil berjalan ke arah nenek itu.

"Berapa kalipun kau berusaha, kau tidak akan pernah mendapatkan informasi apapun tentang keturunan itu, Zulian!" seru nenek itu.

"Bunuh dia!" perintah Zulian, menunjuk ke arah nenek itu, dan menatap Cobra seakan-akan menyuruhnya untuk membunuhnya.

Cobra langsung paham, dan ia menusuk pisau ke tubuh nenek itu hingga meneteskan darah.

"Setidaknya ini yang bisa kulakukan untuk menjaganya," kata nenek itu.

"Kenapa kakiku gemetar sekali?" Zulian bertanya pada dirinya sendiri.

"Apakah ini pertanda bahwa aku akan mati ditangan keturunan itu? Aku harus mencarinya, hidup atau mati," sahut Zulian.

Dia kembali ke singgasananya, dan memanggil Meylin dan Cobra.

"Iya, tuanku," sahut mereka berdua.

"Bawa keturunan itu ke sini, hidup atau mati, dan aku mungkin tahu di mana dia berada," sahut Zulian percaya diri.

"Dimana, Yang Mulia Agung?" tanya Cobra penasaran.

"Kota Syon, atau kusebut kota penyihir putih nan agung. Hahahaha," tawa Zulian seperti orang gila.

"Cepatlah pergi kalian berdua!" seru Zulian dengan kesal.

"Mari, kita pergi sekarang," jawab Cobra.

Mereka berdua pun pergi ke kota Syon untuk mencari keturunan yang diramalkan itu.

Zulian pergi ke altar dan mengucapkan mantra yang panjang.

"Oh kegelapan yang agung, bangkitkanlah sosok ini padaku, sang raja agung sekaligus pendiri kerajaan ini, Bahemoth!"

Seketika, altar menyala, asap hitam muncul dan membentuk tubuh retak dengan pakaian mewah. Tubuh yang pucat, gigi runcing, mata lebar, dan mirip mayat hidup dibandingkan iblis.

"Kau, apakah kau yang membangkitkanku?" tanya Bahemoth datar.

"Ya, aku membangkitkanmu, dan aku adalah Zulian. Salam kenal," jawab Zulian.

"Jadi, kau yang namanya Zulian?" tanya Bahemoth.

"Tentu, kenapa?"

"Kau pasti kenal dengan sosok Diablo, dia selalu membicarakanmu di neraka dan itu benar-benar membuatku muak," balas Bahemoth.

"Omong-omong, kenapa kau memanggilku?" balas Bahemoth dengan agak penasaran.

"Karena aku ingin menaklukkan dunia, dan kau adalah pion terbaikku saat ini," jawab Zulian.

"Kau gila! Aku tidak pernah ingin menjadi pionmu, atau pion siapapun. Aku adalah Bahemoth, sosok iblis yang ditakuti semua orang!" marah Bahemoth.

"Tapi sekarang kau sudah mati, kau hanyalah mayat hidup tanpa arti, bukankah begitu?" kata Zulian dengan yakin.

"Lagian, kalau kau mati, kau akan masuk neraka dan hidup sengsara di sana untuk seumur hidupmu. Namun, kalau ingin pergi, kau tidak bisa karena kau terikat padaku, dan itu tidak bisa diakhiri kecuali kau sudah melakukan tugasmu," tambah Zulian.

"Sial, jadi aku terjebak begitu? Lagian, apa yang kamu inginkan dariku? Dan apa untungnya aku sebagai pionmu?" Bahemoth mengejek Zulian dengan nada yang penuh kebencian.

Zulian hanya tersenyum, senyuman sinis terukir jelas di wajahnya. "Kau memang terjebak. Aku menginginkan kekuatanmu karena hampir setara dengan dewa Esferion. Kau bisa menjadi menteriku dan mengambil alih daerah yang kau jarah. Namun, jika ada orang yang berbakat dalam hal apapun, bawalah dia padaku," ujarnya dengan dingin.

"Lagian, tugasmu hanya sederhana untuk saat ini," tambah Zulian dengan nada meremehkan.

"Apa?" tanya Bahemoth, matanya memancarkan kemarahan yang mendalam.

"Ambil busur panah yang ada di hutan Iyin. Para elf hutan itu lemah dalam pertarungan jarak dekat, biasanya mereka handal hanya menggunakan busur biasa," jawab Zulian dengan nada acuh tak acuh.

"Biarkan aku berpikir terlebih dahulu," balas Bahemoth dengan suara yang gemetar oleh amarahnya.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!