Malam itu, bintang tidak bersinar.
Gelombang demi gelombang awan hitam menyelimuti cahaya bulan purnama yang suram, tiupan angin dingin disertai suara gemerisik pepohonan, sesekali diselingi lolongan anjing liar di tepi jalan luas ber-paving rapi, merupakan satu-satunya yang mengisi kekosongan di tengah kota.
Keramaian malam telah lama usai. Pintu-pintu sudah terkunci rapat, dan lampu-lampu tak lagi menyala, menyisakan kegelapan yang terus menuju puncaknya.
Namun, diantara setiap barisan rumah-rumah berjendela kayu, sebuah cahaya remang datang dari satu jendela sebuah bangunan besar bak istana yang megah.
Tembok-tembok kokoh yang menjulang ke langit sangat tinggi, bahkan cahaya bulan yang kusam sekalipun masih bisa menyinari setiap detail ukirannya.
Siapa yang tidak tahu rumah ini? Bahkan gelandangan yang berasal dari lubang manapun, dapat menyebut silsilah keluarga sang pemilik dengan lengkap.
Bangunan ini tidak lain adalah rumah kediaman Tuan Duke Sheridan, penguasa wilayah Sheridan, Kastil Silverstein.
Angin malam menerobos masuk dengan liar, menghempaskan gorden putih transparan yang memperlihatkan samar-samar sebuah bayangan hitam seorang gadis kecil yang sesekali bergerak mengikuti api lentera yang ada di sampingnya.
Diatas lantai keramik putih polos, gadis kecil itu berlutut mengamati pola rumit raksasa berbentuk lingkaran yang dia buat sendiri.
Rambut peraknya yang berkilauan di bawah sinar bulan berkibar tertiup angin. Manik biru peraknya terbuka lebar, memerah dan basah, menatap kosong pada setiap garis dan lekukan merah yang dia sentuh dengan jari-jarinya yang penuh dengan darah kering.
Dia seakan mati rasa.
Sesekali api lentera berkedip.
Sesekali butiran air jatuh dari wajah kecilnya.
Sesekali nafasnya tersengal, menghasilkan suara kecil memenuhi setiap sudut ruangan yang sepi.
"Hiks...lagi...sekali lagi....aku, aku tidak bisa...menyelamatkan mereka...hiks...ayah...ibu...Elle...."
Gaun tidur biru muda yang sudah lengket oleh keringat, kini basah dibanjiri air mata yang tak terbendung.
Tapi langit seakan tak mendengar. Di tengah malam yang hampa ini, isak tangis seorang gadis kecil, tenggelam dalam kesunyian.
Dia menyeka matanya yang sembab dengan jemarinya, membuat noda darah bercampur air mata terpapar pada kulit wajah yang putih nan lembut itu.
"Hiks...maaf...maafkan aku...aku...aku tidak berguna...maafkan...maafkan Thalia...."
Thalia, seorang putri duke yang terlantar tanpa belas kasih.
Dia yang teraniaya dari kecil hingga dewasa oleh sorot mata ayah dan ibunya yang tak pernah dia miliki.
Namun, dia sendiri tidak pernah membenci itu.
Sampai keluarganya hancur pun, dia dengan segenap tenaganya yang terbatas, berusaha untuk mencegah itu terjadi, meski itu melawan takdir.
Dua kehidupan dia jual demi keluarganya.
Tapi apa yang dia terima?
Hadiah kecil berupa jepit rambut murahan dan liontin imitasi dari toko biasa, adalah satu-satunya yang berubah dari lingkaran hidupnya yang terulang.
Namun, bagi hatinya yang sudah lama tandus akan kasih sayang, itu seperti disejukkan oleh air terjun yang segar.
'Keluarganya ternyata memperhatikannya juga'.
'Keluarganya juga mencintainya'.
Hanya beralaskan harapan kecil seperti itu, cintanya pada keluarganya semakin dalam.
Kehidupan keduanya sungguh dia anggap sebagai berkah dari dewa.
Jadi ketika dia menyaksikan keluarganya hancur dengan cara yang sama untuk kedua kalinya, dia mengutuk dirinya sendiri yang tidak bisa melakukan apa-apa selain menonton mereka menjerit kesakitan.
Bahkan setelah diberi kesempatan dua kali dari dewa, dia masih tidak bisa mengubah takdir.
Dia masih tidak bisa melakukan apapun.
Memangnya, ditengah dunia yang sangat mendewakan sihir ini, apa yang bisa dilakukan oleh seorang putri bangsawan yang tidak diberkahi mana?!
Ah lihat, betapa tidak bergunanya sampah seperti dia? Bahkan dia sendiri merasa jijik.
Berbeda sekali dengan Elle....
Elle, adiknya yang pandai. Anak yang mengharumkan nama keluarganya, setidaknya dia malu menjadi kakak anak sempurna seperti Elle....
Bila Elle yang ada di posisinya saat ini, mungkin tidak perlu menyia-nyiakan waktu untuk menyelamatkan semuanya.
Jika Elle disini, orang tuanya tak perlu menderita. Nama keluarganya pun tak akan terhina sampai berulang kali.
Ya, jika Elle ada disini, dan bukan dirinya yang tak berguna, maka semua tidak akan jadi seperti ini.
Betapa kasihan orang tuanya untuk memiliki putri memalukan seperti dia?
Maka dari itu, dia harus menyelamatkan keluarganya. Entah bagaimana pun caranya, bila kedua kehidupannya tidak cukup, maka dia akan senang hati memberi kehidupannya yang ketiga ini untuk keluarganya tercinta.
Setidaknya dengan ini, hidupnya sedikit berguna.
Perlahan, gadis kecil itu membuka matanya. Rona merah pada kedua ujung matanya masih belum memudar, dengan butiran-butiran air mata kering pada bulu mata perak yang panjang.
Meski begitu, sorot mata perak biru yang hanya terpaku pada sebuah buku disebelahnya, kini sangat tenang dan pasti.
Buku usang bersampul kulit coklat kosong tanpa judul, dipenuhi noda-noda cokelat termakan usia. Meski begitu kedua tangan anak itu tidak berhenti bergetar, menggenggam buku itu seperti emas dengan tatapan penuh harap.
Dia, membuka buku itu dan menatapnya sebentar sambil tersenyum miring, "...aku sungguh tidak berguna...aku tidak bisa menyelamatkan kalian...jadi ayah...ibu...Elle, mungkin...ini adalah jalan terakhirku...."
Gadis itu membalik halaman pertama, lalu halaman kedua, dan beberapa halaman selanjutnya dibuka dengan tergesa.
Nafasnya berpacu beriringan dengan degup jantungnya yang tak beraturan.
Srak! Srak!
Tidak ada yang mendengar, tidak ada yang datang.
Tidak ada yang tahu bahwa pada titik itulah roda kehidupan dari seorang gadis kecil, Thalia, akan berubah untuk selama-lamanya.
Jari jemari mungilnya menyentuh tulisan-tulisan panjang dan juga pola lingkaran rumit diatas kertas coklat yang persis seperti garis-garis merah dibawahnya.
Dengan suara lantang, dia mengucapkan kata demi kata dalam bahasa lain yang tertulis didalam buku itu.
Seketika itu juga, angin berhenti berhembus. Gelombang awan tak lagi bergerak.
Pepohonan kembali diam, lolongan anjing-pun hilang ditelan kesunyian yang semakin sunyi.
Dunia seakan berhenti berputar, bersamaan dengan waktu yang terhenti.
Akan tetapi, kamar tempat gadis kecil itu berada, tak tersentuh ruang dan waktu. Api lentera yang semakin membesar, berkedip liar. Menyatu dengan cahaya gelap bercampur merah yang melesat sana-sini, seperti membawa seisi ruangan dalam gerbang neraka.
Walaupun begitu, mulutnya terus berkomat-kamit, tak menghiraukan apa yang tengah terjadi di sekelilingnya.
Kata demi kata yang keluar, melayangkan garis-garis cahaya hitam yang masuk kedalam pola lingkaran di lantai dan membuatnya bercahaya merah terang.
Situasi menjadi semakin tak terkendali, mengikuti mantra yang terucap.
Kegelapan menjadi saksi, kesunyian menjadi bukti. Thalia, gadis kecil malang, putri pertama Duke Sheridan, merapalkan mantra terlarang.
Bersamaan dengan kata terakhir terlontar dari mulutnya, sinar merah dari pola lingkaran di lantai bercahaya dengan liar menyoroti setiap sudut ruangan tanpa terkecuali.
Pada akhirnya, seisi ruangan bergetar hebat. Angin dingin berhembus semakin kencang, menyibakan tirai transparan dan menghempaskan lentera dengan bunyi prang! yang keras.
Dalam waktu singkat, suasana kamar berubah menjadi dingin menusuk.
Thalia, yang belum sempat menarik nafas dengan benar, seketika diselimuti rasa sesak. Dia mencoba untuk bersuara, namun mulutnya seakan hilang kendali, tak bisa dia gerakan sama sekali.
Pandangannya semakin buram, kelima indranya mati rasa bahkan saat tubuhnya membentur lantai dia sudah tidak merasa sakit.
Sambil tersengal-sengal, Thalia memandangi langit-langit kamarnya yang mulai pudar.
Dia panik, rasa takut yang begitu nyata menggerogoti otaknya.
Padahal, dia sudah yakin untuk menggunakan mantra itu namun pada detik ini, dia tidak bisa untuk tidak merasa cemas.
Akankah dia berhasil?
Akankah dia gagal?
Kalau dia gagal, apa yang akan terjadi?
Ayah, Ibu, Elle? Mereka akan mengulangi nasib yang sama tanpa ada yang berusaha mengeluarkan mereka dari maut.
Tidak.
Itu tidak boleh terjadi.
Dia tidak mengizinkannya.
Meski matanya terasa semakin berat tapi Thalia menolak untuk menutupnya. Walaupun dia tak bisa berbicara, dia berteriak dalam hatinya berharap ada yang bisa mendengar.
Bukan melantunkan sebuah doa, melainkan permintaan yang dia inginkan sejak dulu namun tidak pernah terwujud entah apapun yang dia lakukan.
Kalau ritual ini gagal, maka dia ingin suara batinnya itu terdengar oleh makhluk apa saja, siapa saja yang berbaik hati untuk menolongnya.
Kalau ritual ini berhasil, maka dia berharap agar sosok yang menjadi penolongnya dapat mengabulkan permintaanya ini.
"Jadi tolong, siapa saja, siapapun kamu, tolong selamatkan keluargaku!"
Napasnya terhenti. Jantungnya membeku.
Seketika cahaya terakhir di ujung matanya sirna.
Dengan tubuh yang terbujur kaku di lantai, Thalia tertidur untuk selamanya.
****
"Ahhhhh!"
Slash!
"T-tolong Jangan! Argh!"
Jleb!
"K-kumohon! Ugh!"
"Crot!"
"D-dewa!"
Cratt!
Kepingan demi kepingan gambar dengan latar hitam berputar seperti klise film.
Berulang kali terlintas wajah orang-orang menangis, terluka, menderita.
Mereka menjerit kesakitan sampai urat leher mereka seakan mau putus. Kilatan horor dimata mereka yang terbelalak, menatap satu sosok yang sama.
"Dewi Alianora, Dewi Alianora yang agung!"
"Ampunilah! Mohon belas kasih!"
"Dewi maha perkasa!"
"Dewi Alianora!"
"DEWI ALIANORA!"
'Dewi Perang haus darah' yang melegenda.
Paling ditakuti dan disegani bukan oleh dunia saja, melainkan surga pun tak berani menyebutnya sembarangan.
Dewi yang disembah oleh darah dan ratapan manusia. Hidup untuk membunuh, membunuh untuk disembah.
Tidak pernah ada satu saat pun dalam masa emasnya tanpa melihat tubuhnya bermandikan darah.
Surga mengutuk, sungguh dewi yang berdosa.
Akan tetapi, dunia tidak dibiarkan gelap selamanya. Tiga alam akhirnya sepakat untuk memberi hukuman.
Dari sudut surga yang paling kudus, seorang Dewa Cahaya penguasa surgawi, memimpin pasukan gabungan tiga alam, bersama-sama menjatuhkan Dewi Alianora dalam dunia dasar yang paling dalam dan menyegelnya untuk tertidur selama seribu tahun.
Selama itulah jiwa Dewi Alianora dihantui oleh teriakan mengerikan orang-orang yang merupakan bayangan dalam memorinya di masa lalu.
Dibalik kelopak mata yang terpejam, dan tubuhnya yang terlentang di dalam ruang dimensi tanpa waktu, adegan demi adegan berdarah berganti satu persatu secara acak.
"Hentikan! Tidakk!"
"Tolong!"
"Arghhh!"
Srak! Srek!
Cahaya hitam menyapu. Latar berganti.
Dibawah gemerlapan cahaya bulan, kelima orang yang tak asing, berlutut sambil menggumamkan sesuatu.
Layar berkedip sekali lagi menampilkan pemandangan dengan warna merah darah.
Lalu dengan sekali kilatan, darah muncrat kemana-mana.
Tombak berbalut cahaya emas berkilauan membelah pandangannya.
Alianora mencoba menggapai gambar yang terbelah itu dengan jari-jarinya namun dia tidak sempat.
Sekelebat cahaya muncul dari sela-sela retakan gambar dari benaknya, perlahan menyelimutinya seutuhnya.
Alianora sontak terbangun, matanya terbuka lebar.
Gambar terakhir begitu buruk, entah sudah berapa kali dia mengulang cuplikan ini kembali, tapi tetap saja dia merasa tidak enak.
'Hiss'
Bangun dengan tiba-tiba seperti itu membuat kepalanya terasa sedikit sakit, sungguh tidak nyaman sekali, apalagi sudah lama tubuhnya tidak merasa...
Hm?
Sakit?
Kesadaran Alianora dengan cepat pulih, dan dengan dahi mengernyit, pandangannya perlahan tertuju pada kedua tangan transparan dihadapannya.
Tangan...tanganku?! Tunggu, ini roh? Kenapa, kenapa aku bisa melihat rohku?!
Mimpi yang Alianora saksikan selama bertahun-tahun memang begitu nyata. Daripada mimpi, itu lebih tepatnya disebut mengulang kembali kehidupan.
Tapi untuk menyentuh dan melihat rohnya sendiri, hal ini tidak pernah terjadi sebelumnya.
Kondisi ini seakan-akan Alianora akhirnya tersadar dari tidur lelapnya yang terasa hanya sebentar.
Seperti kurang yakin, Alianora menggerakkan tangan, menyentuh wajah juga kakinya, lalu melihat di sekitarnya.
Dimana ini?
Belum sempat dia memastikan situasinya saat itu, sepasang mata perak biru tiba-tiba sudah ada dalam pandangannya.
Mata itu menatap manik merah darah Alianora dengan ekspresi yang tidak bisa dia jelaskan. Sedih? Gembira? Takut? Mungkin ketiganya.
Hah, siapa ini?
Wanita muda pemilik mata cantik itu menyadari tatapan Alianora, raut wajahnya seketika menjadi cerah, lalu ia melangkah dengan cepat, untuk bersujud dihadapan Alianora.
Alianora yang kaget menjadi semakin bingung sampai tidak bisa berkata apa-apa.
Apa-apaan orang ini?
Menyadari keheningan disekitarnya, wanita itu menengadah, memperlihatkan kepada Alianora, wajah cantik dengan kulit putih dan mulus seperti bunga persik.
Air mata yang berlinang membuat mata perak birunya semakin berkilau seperi kristal, serta mulut kecilnya dengan bibir merah muda yang cerah sedikit bergetar.
Kesan pertama yang Alianora dapatkan dari wanita ini adalah 'Si cantik yang kasihan'.
Dengan tatapan lurus tertuju pada Alianora, wanita itu akhirnya berseru lirih, "Tolong selamatkan keluargaku!"
Tunggu
Hah?
"Mmm...."
Sinar matahari pagi yang cerah, menerobos masuk melalui sela-sela gorden. Alianora menyipitkan kedua matanya, mencoba beradaptasi dengan cahaya yang datang tiba-tiba.
Dia ingin bangun dari posisinya, namun rasa nyeri dan pegal di sekujur tubuh tiba-tiba muncul, membuatnya kaku untuk sesaat.
Alianora menghela napas berat.
Meski hal ini sudah dia lakukan berulang kali, tapi itu hanya sekedar berpindah lokasi bermil-mil. Kali ini, gerbang teleportasinya terletak dari dimensi satu ke dimensi lain, tidak heran kalau dia merasa agak pening.
Jika itu seorang manusia biasa yang mendapati rohnya disedot masuk ke ruang antar dimensi secepat kilat lalu kemudian tiba di dunia lain, mungkin dia akan jauh lebih tersiksa daripada sekedar pusing.
Untunglah dia seorang yang bukan manusia.
"Ah...dimana...?"
Setelah menggosok-gosok mata sebentar sampai semua nyawa terkumpul dengan benar, barulah Alianora menyadari kalau dia tengah berada dalam sebuah kamar tidur.
Kamar itu cukup luas tapi bisa dibilang ini masuk dalam kategori kamar terjelek di tiga alam.
Dalam hidupnya, dia baru pertama kali melihat kamar yang seburuk ini. Bahkan kamar penjara bawah tanah di dunia bawah saja masih lebih bersih.
Alianora tidak bisa berkata apa-apa.
Bukan karena tembok yang menguning atau wallpaper putih lapuk setengah sobek.
Saat ini, diatas lantai marmer putih, yang mungkin menjadi satu-satunya bagian yang bagus, Alianora telah dikelilingi oleh segala macam perabot yang berserakan seperti habis dilanda tsunami besar.
Alianora melihat satu-satunya tempat tidur di sana yang kumal sambil sedikit linglung. Hanya satu pertanyaan yang ada dalam benaknya, apa dia menjadi orang gila sekarang?
Dulu, setiap kali Alianora datang ke dunia manusia karena di panggil, dia selalu mendapatkan 'status samaran' yang bisa membuatnya membaur di tengah masyarakat. Pedagang, pemerintah, ksatria, orang kaya, dia sudah pernah memerani itu semua dan itu semata-mata mempermudah misinya.
Tidak pernah dia mendapat status se-ekstrim ini.
Alianora berdecak kesal. Ini akan sulit.
Ah sudahlah, karena sudah seperti ini, mari lihat siapa identitasku sekarang, pikir Alianora.
Alianora menarik badannya dengan puas tapi...
mungkin sedikit...sempit, aneh lagi...
Dia menggelengkan kepala, tidak terlalu menghiraukannya.
Toh sudah sejak ribuan tahun lalu dia terakhir kali hidup dalam tubuh mortal, pasti saat ini dia belum terbiasa.
Tiba-tiba pandangan matanya tanpa sengaja jatuh pada garis-garis merah tua, berbentuk sebuah pola rumit yang besar, tepat diatas lantai dimana dia duduk.
Meski tidak mencolok, namun bila ditempatkan pada lantai marmer putih, akan sulit bagi siapa saja untuk tidak melihat. Apalagi ditambah dengan bau amis yang dapat tercium disekitarnya.
Lingkaran sihir berdarah, siapa lagi yang lebih mengenal itu dari pada dia?
Alianora menatapnya sekilas, keseriusan telah kembali di matanya.
Seketika situasi berantakan disekitarnya terjawab sudah.
Lingkaran sihir ini adalah lingkaran sihir dari mantra Kontrak Jiwa. Mantra yang dia ciptakan sendiri, sekaligus mantra yang sekarang ini sedang mengikat jiwanya dengan jiwa seorang wanita muda yang menariknya dari dunia bawah, dan membawanya ke dunia manusia sekali lagi.
Kontrak Jiwa.
Satu dari tiga mantra terlarang yang dikutuk surga dan ditabukan di dunia manusia.
Dulu, saat dunia dalam masa kegelapannya, ras manusia yang terpecah menjadi beberapa ras kecil, saling berseteru satu sama lain. Tidak ada yang namanya kawan, semuanya adalah lawan, dan masing-masing dari mereka menginginkan apa yang dimiliki yang lain.
Api peperangan hampir tidak pernah padam.
Melihat kericuhan dunia saat itu, tiba-tiba sebuah sosok yang agung membelah langit, turun dari surga untuk meminjamkan tangannya pada mereka melalui sebuah ikatan kontrak.
Sosok itu adalah Dewi Alianora, sang dewi perang yang disembah oleh darah.
Sayangnya, syarat yang diperlukan untuk memanggil sosok dewi yang agung itu tidaklah ringan.
Bayarannya adalah inti jiwa, salah satu bagian tersuci dan terbersih yang ada pada semua makhluk.
Sebagai gantinya, Dewi Alianora akan hadir dan memenuhi apapun yang diinginkan oleh sang kontraktor.
Semakin tinggi permintaannya, maka akan semakin banyak inti jiwa yang harus diberikan.
Ditengah dunia yang dipenuhi peperangan tiada habisnya, permintaan apa lagi yang bisa diharapkan dari manusia selain untuk menghabisi musuh-musuh mereka?
Jangankan membunuh satu orang, bahkan mengorbankan ratusan inti jiwa untuk menaklukan dunia pernah dilakukan oleh seorang manusia biasa.
Namun ketika Dewi Alianora jatuh tertidur dalam dunia bawah, masa kegelapan dunia juga sudah mulai sirna.
Mantra ini bersama dengan dua mantra ciptaannya yang lain, dimasukan dalam kategori mantra terlarang, yang kemudian semua catatannya dihilangkan.
Sejak saat itu, mantra Kontrak Jiwa hilang untuk selamanya.
Tapi tentu saja, Alianora tidak mengetahui semua ini.
Alianora berpikir keras.
Harusnya dia tidak muncul disini. Demi mengelabuhi batasan dunia, dia bisa muncul disembarang tempat, kecuali di sini.
Tapi kenapa?
Lalu dimana kontraktornya sekarang?
Alianora terkekeh pelan, mengarahkan pandangan kebencian ke arah langit biru dibalik jendela.
Apa ini ulah para kakek tua bangka yang bau diatas sana?
Hm...tidak.
Kemungkinannya memang ada tapi sangat kecil. Batasan dunia manusia tidak akan mengizinkan mereka bertindak sesuka hati.
Malah bisa jadi sekarang, para tetua peot diatas sana masih belum sadar akan kehadirannya di sini, sejak tidak ada tanda-tanda apapun.
Dalam kebingungannya Alianora menggerakan pandangannya ke rongsokan sampah disekelilingnya.
Tiba-tiba dia teringat akan wajah lugu kontraktornnya yang sekarang entah dimana.
Di satu sisi, Alianora menganggumi wanita itu, bisa memiliki tekad yang sangat kuat tapi secara bersamaan Alianora juga menertawakannya.
Tolong selamatkan keluarganya dia bilang?
Apakah dia tidak salah orang?
Alianora adalah Dewi Perang, sejak kapan dia beralih profesi jadi pahlawan?
Menyerahkan kehidupannya untuk permintaan konyol ini....
Tidakkah dia menyesal?
Alianora menggelengkan kepala sambil mendengus, hendak beranjak dari lantai.
Namun kakinya tanpa sengaja menginjak sebuah buku tua yang tergeletak terbuka dan hampir membuatnya jungkir balik.
Untungnya dia masih bisa menyeimbangkan tubuhnya pada saat-saat terakhir, kalau tidak maka dia akan mengutuk siapapun penulisnya dan juga keturunannya.
Setelah mengatur napas dengan benar, Alianora menatap sinis ke arah buku itu seolah dia ingin menelannya bulat-bulat.
Pada halaman kecoklatannya yang hampir sobek tadi, terdapat sebuah pola lingkaran sihir rumit lengkap dengan beberapa paragraf kalimat dibawahnya.
Alianora mengernyit. Keseriusannya kembali.
Dia meraih buku itu dan melihatnya baik-baik.
Sebuah lingkaran sihir Kontrak Jiwa dan penjelasannya tertera di sana.
Alianora cukup mengerti tapi dia masih merasa aneh dan melihat sampul buku itu.
Sampul kulit coklat yang agak kusam dengan sebuah judul tertulis besar diatasnya.
Itu membuat Alianora sedikit terkejut.
Alianora sangat paham karaktersitik para tetua surga itu dengan baik. Dari semua hal yang mungkin mereka lakukan, tidak mungkin mereka membiarkan mantra Kontrak Jiwa masuk kedalam daftar 'Kumpulan Sihir-Sihir Pemula Edisi 13' ini.
Aneh, sungguh aneh.
Semuanya seperti...sudah diatur.
Pengorbanan kontraktornya...Kedatangannya...
Pandangan Alianora menerawang, "Seseorang di luar sana...menginginkan kedatanganku?"
Siapa...
Sssttt....
Alianora melirik pada garis cahaya ungu gelap mendesir samar pada sampul buku itu.
Jejak mana.
Alianora menyipitkan mata, hendak meneliti jejak mana itu tapi saat jari-jarinya menyentuh permukaan buku, matanya tiba-tiba menangkap suatu hal yang ganjil.
Huh?
Dia terbelalak dengan wajah pucat seketika, tak percaya dengan apa yang baru saja dia sadari.
Apa mungkin dia berhalusinasi?
Pikirannya belum sepenuhnya sadar sehabis siuman, jadi entah bagaimana dia sampai bisa melihat hal yang bukan-bukan.
Alianora menampar pipinya, mengucek matanya, dan mencubiti lengannya, namun alih-alih menghilangkan halusinasi, dia malah semakin menyadari bahwa ada sesuatu yang benar-benar tidak beres.
Tangannya....
Kenapa tangannya...kecil?
Semakin panik, Alianora menengok kaki-kakinya, meraba-raba perutnya, lengannya, dan wajahnya.
Semuanya, semuanya aneh!
"Kenapa...semuanya kecil!?"
Bahkan suaranya juga terdengar tinggi dan lembut. Apa-apaan ini?!
Apa...terjadi kesalahan? Tidak, itu tidak mungkin, dia sudah ribuan kali melalukan ini dan tidak pernah terjadi kesalahan.
Atau....
!!!
Dalam hitungan detik, Alianora sudah berlari menuju cermin besar berukuran satu badan yang terletak disamping meja rias.
Dia melihat pantulan refleksinya dan seketika terkejut sampai kehilangan kata-kata.
Bagaimana sesuatu yang tidak masuk akal begini adalah kenyataan?!
Saat ini, di dalam cermin, terpampang wajah seorang anak kecil yang tidak lebih dari 10 tahun, sedang menatap balik kearahnya dengan mata melotot dan mulut menganga.
Rambut perak kebiruan yang terpangkas sebahu itu kusut, namun bila terpapar sinar matahari, maka kilatan perak bercampur emas akan membuatnya bercahaya dan kelihatan lembut seperti sutra.
Kulit wajah seputih salju, lembut dan lentur, serta mata perak biru bagai permata yang besar dan bulat, memantulkan cahaya matahari yang membuatnya terlihat lebih berkilauan, mau dilihat dari sisi manapun, anak yang mirip boneka bayi ini, jelas bukanlah dirinya!
Seingatnya pada waktu dia tinggal di dunia manusia, tubuh mortalnya selalu memiliki kemiripan 30-50% dengan penampilan aslinya, dan sudah pasti berwujud orang dewasa. Dia tidak pernah mendapatkan tubuh yang berbeda seperti apa yang dia lihat sekarang.
Alianora menepuk pipi dan juga menggerakkan kepala ke samping, dan anak dalam cermin itu juga melakukan hal yang sama, bahkan juga meniru ekspresinya yang terlihat bodoh.
Apa yang sebenarnya terjadi?!
Sambil menggaruk kepalanya, Alianora terduduk di lantai, tidak tahu harus bilang apa.
Apa ini juga sudah diatur...?
"Hahaha...!"
Dengan posisi dahinya yang menyentuh cermin, Alianora tertawa pahit.
"Haa...apa kau bercanda", katanya sambil menatap cermin dengan wajah gelap.
Dia tidak tahu. Entah itu buku sihir aneh dengan mantra sihir ciptaannya, wanita lugu yang menjadi kontraktornya, serta tubuh yang tiba-tiba berwujud anak kecil ini.
Benar-benar diluar dugaan.
Dia tidak menyangka bahwa kejadian seperti ini akan terjadi, dan ini pertama kali baginya untuk menemukan hal yang tidak berada dalam kendalinya sama sekali.
Sembari terus menatap dirinya di cermin, Alianora tersenyum lebar.
Membuatnya, seorang dewi terkuat sepanjang sejarah, terkejut...? Haa...apa yang harus dia lakukan?
"Heh, aku tidak menyangka kalau aku akan mengatakan ini tapi...haha...ini sungguh menarik!"
GUBRAK!
Tiba-tiba pintu kamarnya dibanting dengan kasar menampilkan seorang wanita muda dengan menggunakan seragam pelayan.
Alianora: ??
Alianora yang sedang dalam mood bagus, merasa sedikit jengkel. Siapa yang begitu tidak sopan terhadap dirinya, Dewi Alianora?
Mereka sungguh ingin cari mati.
Wanita pelayan itu berdiri didepan pintu dengan sebuah nampan dan semangkuk bubur diatasnya.
Gaun yang dia kenakan merupakan seragam pelayan pada umumnya dengan apron putih, hanya saja itu berwarna biru cerah yang merupakan seragam khusus pelayan pribadi anggota keluarga Sheridan. Berbeda dengan seragam hitam-putih yang digunakan oleh pelayan biasa.
Ketika dia membuka pintu kamar, seketika aroma aneh seperti paduan antara bau besi dan sedikit bau minyak tanah, menghantam wajahnya.
Hidung pelayan itu memerah dan keningnya berkerut, berusaha untuk tetap profesional namun ketika dia menyaksikan suasana kamar yang sudah seperti kapal pecah didepannya, dia tidak bisa untuk tidak mengutuk dalam hatinya.
Lagi-lagi pekerjaannya semakin banyak saja.
Pelayan itu menghela nafas lelah, sebelum melayangkan pandangannya ke tengah ruangan untuk mendapati seorang gadis kecil yang berdiri sambil menatap lurus ke arahnya.
Tunggu, menatap lurus?
Pelayan itu mengerjapkan matanya beberapa kali, seakan apa yang ada dihadapannya saat ini merupakan ilusi tak dimengerti.
Di tengah tumpukan sampah berserakan, seorang gadis kecil kurang lebih sepuluh tahun berdiri diam sambil memandang ke arahnya.
Gaun tidur putih yang dia kenakan kusut dan penuh dengan bercak kemerahan sana-sini. Ekspresinya datar, bibir merahnya terkatup rapat, dan sorot mata biru perak itu membuatnya hampir tersedak.
Dingin memang, namun tidak mati seperti biasanya.
Pelayan itu tertegun sejenak, namun dengan cepat dia menggelengkan kepalanya.
Tidak mungkin, tidak mungkin, aku pasti salah lihat. Dia mencoba untuk menepis perasaan aneh itu, dan berhasil.
Pelayan itu akhirnya berjalan mendekat, lalu menyodorkan nampan di tangannya pada Alianora.
"Ini, ambil." katanya dengan acuh.
Semangkuk cairan pucat yang terlihat seperti bubur itu berasap samar, tapi ketika dia menghirupnya cairan diperutnya seperti akan loncat keluar.
Sial! Ini bahkan lebih buruk dari daging yang membusuk di jalanan!
Apa wanita ini baru saja memberinya sampah?
Raut wajah Alianora berubah gelap. Dengan tatapan sedingin es yang penuh dengan kebencian, sama sekali tidak ada kekanak-kanakannya sama sekali.
Melihat Alianora yang diam saja, pelayan itu menjadi sedikit kesal. Dia meraih tangan Alianora dengan kasar dan memaksanya untuk memegang nampan itu.
"Nona Thalia, ini sarapannya. Makanlah dengan cepat agar aku bisa mencuci mangkuknya."
Bang!
Alianora merasa seperti disiram air es.
Emosi dalam batinnya menurun drastis digantikan oleh perasaan bingung dan tidak percaya.
Didepannya, melihat Alianora yang tetap bergeming, wanita pelayan itu mencoba untuk memanggil-manggilnya, namun Alianora tetap tidak merespon.
Kini telinganya berdengung, pikirannya hanya satu.
Thalia?
Thalia La Sheridan?
Kenapa wanita ini memanggilnya Thalia?
Syuuttt....
Perasaan buruk mencengkeram hatinya.
Tanpa memperdulikan pelayan didepannya, Alianora segera berlari melihat cermin, dan itu membuatnya menganga selebar-lebarnya.
Paras ini....
Rambut perak yang menjuntai sebahu…
Mata perak biru yang seperti kristal serta kulit putih mulus...ini, ini jelas sama seperti wanita itu!
Thalia, ya tentu saja dia ingat. Wanita itu, Thalia La Sheridan adalah manusia yang dengan susah payah mengorbankan dirinya sendiri demi membuat kontrak jiwa dengan Alianora.
Alianora teringat, dalam ruang dimensi putih itu, selain memperkenalkan dirinya dengan lengkap, dia juga menceritakan sendiri, kalau dia seorang putri bangsawan, ayahnya seorang duke, ibunya duchess, mereka begini, mereka begitu…tentang dua kehidupannya…
Dua kehidupan…
Kali ini harusnya merupakan yang ketiga...
Mata Alianora berubah serius, kedua alisnya terangkat, raut wajahnya sudah tidak sekaget sebelumnya, dan dia mengangguk seakan paham akan sesuatu.
Oh, jadi dia merasuki tubuh kontraktornya, Thalia, yang dikehidupannya kali ini masih berusia 10 tahun.
Tapi kenapa bisa seperti ini?
Alianora mencoba berpikir dan segera mendapat asumsi bahwa dirinya tidak sempat menyiapkan tubuh mortal selama tertidur di dunia bawah, jadinya dia mendapat tubuh kontraktornya yang kebetulan sudah kosong.
Disisi lain, pelayan wanita pribadi Thalia, Mary, menatap nona mudanya ini dengan perasaan ragu dan semakin bingung. Bukan karena kamar Thalia yang berantakan, atau pakaian kotor, penampilan yang acak-acakan, melainkan entah kenapa pagi ini ada sesuatu yang berbeda dari nona mudanya.
Alih-alih melihat nona Thalia yang meringkuk di tempat tidur ketakutan, berteriak-teriak tidak jelas dengan seluruh badan bergetar, nona mudanya bisa dengan tenang menatapnya, membuat Mary merasa kalau nona mudanya ini menjadi sedikit lebih waras.
Sudah sekitar setahun yang lalu, Nona Thalia dinyatakan mengalami gangguan mental berat, membuatnya sering berhalusinasi dan mengkhawatirkan sesuatu yang tidak ada secara berlebihan. Penyebab penyakit itu tidak diketahui, para dokter hanya menyimpulkan kalau itu timbul dari dalam dirinya sendiri.
Semacam kutukan.
Sejak saat itu pula, Nona Thalia yang penakut dan penyendiri, menjadi berubah. Saat penyakitnya kambuh, dia jadi sering berteriak tiba-tiba, menangis tersedu-sedu, tertawa sendiri, bahkan menyakiti dirinya sendiri beberapa kali.
Jika tidak, Nona Thalia lebih banyak menghabiskan waktu melamun sendirian, atau tidur sepanjang hari. Mary yang selalu berada di sisi Thalia saat itu, hanya bisa melihat dari jauh sambil menebak apa isi pikiran nona mudanya saat itu.
Tetapi meskipun begitu, orang tua Thalia yang acuh tak acuh hanya melakukan sedikit usaha, bahkan cenderung tidak sama sekali. Mereka malah mengurung Thalia di kamarnya, memasang mantra kedap suara, dan memanggil dokter untuk mengecek kondisinya sebulan sekali.
Selebihnya, mau itu kekacauan, keributan atau apa, mereka tidak mengurusnya.
Karena itu, kondisi Thalia bukannya membaik, malah semakin memburuk. Perasaan cemas berlebihannya sudah keterlaluan sampai untuk menatap wajah orang secara langsung saja dia tidak berani.
Sejak kapan Mary terakhir kali melihat wajah nonanya dengan jelas seperti ini?
Namun ketika menyaksikan tubuh Alianora mulai bergetar, dan tiba-tiba berlari ke arah cermin dengan wajah gelap, timbul keraguan besar dalam benak Mary.
Mungkin, alih-alih membaik, kondisi nona mudanya menjadi lebih buruk!
Dengan cemas, Mary menghampiri Thalia, mengguncang tubuhnya perlahan sambil memanggil dengan suara serak, "Nona Thalia...?"
Gadis kecil itu tidak merespon. Dia hanya berdiri dengan kepala yang masih terpaku pada cermin.
Mary menjadi semakin cemas.
Akan tetapi, Mary tidak tahu kalau yang ada didalam tubuh nona mudanya saat ini adalah Alianora, bukan Thalia.
Dewa perang gila, bukanlah putri duke sakit jiwa.
"Nona-"
Suara helaan nafas berat yang diikuti oleh tawa kecil nona mudanya, membuat kalimat yang akan terlontar dari mulut Mary, terhenti.
Plak!
Dengan sekali gerakan kasar, Alianora menepis tangan pelayan itu dari bahunya, membuat Mary membelalakkan mata dan segera menarik tangannya kembali. Sebuah goresan panjang berdarah, terpapar pada pergelangan tangannya.
Alianora perlahan mengangkat kepalanya, memperlihatkan manik permata biru yang berkilau gelap, sangat kontras dengan senyuman cerah pada bibir merah muda dibawahnya.
"Siapa kau?"
Alianora bertanya dengan lamban, suaranya kecil khas anak-anak tapi kedinginan didalamnya hanya membuat siapapun merinding.
"...Nona…?"
Mary membalas dengan suara parau, tidak mengerti maksud pertanyaan nonanya.
Genggamannya pada lengan Alianora semakin yang kencang, cukup membuat anak kecil biasa menangis menjerit, tapi Alianora bahkan tidak mengedipkan mata.
"Kau tidak dengar? Kau siapa?"
Mary menjilati bibirnya yang kering, tanpa berpikir panjang menjawab dengan spontan.
"Nama saya...Mary Winston, Nona."
"Mary...oh jadi kau Mary."
Alianora bergumam rendah sambil melihat Mary dari atas ke bawah, lalu dia tiba-tiba tersenyum, dan Mary lagi-lagi tersedak.
Saat ini, nona mudanya berbicara dengan normal. Itu terasa aneh ditelinganya sekaligus pantas.
"Nona, kenapa, kenapa anda melakukan ini?"
Kenapa Anda tiba-tiba bersikap aneh?
Sebenarnya apa yang terjadi pada Anda?
Akan tetapi, Alianora terlihat seperti tidak mendengar suaranya, dan terus tenggelam dalam pikirannya sendiri.
Mary menggigit bibirnya, "Nona, apa yang salah denganmu?"
Mary mengangkat kedua tangannya hendak memegang kedua bahu Alianora tapi pergelangan tangannya telah lebih dulu ditahan oleh Alianora.
"Jangan sentuh." Alianora melotot tanpa ekspresi.
Mary tersentak.
Sedetik kemudian senyuman kembali ke wajahnya.
"Kau bilang kau Mary, jadi kau pelayan pribadiku ya? Kau tadi membawakanku sarapan, sungguh perhatian sekali."
Mary menangkap nada suara sarkas Alianora sambil menatap tumpahan bubur yang sudah dingin dengan horor.
"N-nona Thalia...itu…saya tidak-"
"Thalia? Heh..Thalia, ya, ya tentu saja. Aku Thalia. Kebetulan sekali Mary, aku pagi ini tidak lapar. Jadi pelayan pribadiku," Alianora menunjuk ke arah tumpahan bubur dilantai. Suaranya masih terdengar ceria, namun sorotan matanya tajam tak berperasaan, "habiskan ini ya."
Mata perak biru itu menatap Mary lekat-lekat, seakan ingin menelannya hidup-hidup. Jika pandangan bisa membunuh, dia pasti sudah mati seribu kali.
Mary tetap berdiri mematung di tempatnya, menolak untuk melihat sepasang manik setajam silet itu, hanya memandangi tumpahan bubur dengan penuh keluh.
"Hm? Tidak mau?"
Alianora melangkah perlahan mendekati Mary, senyuman di wajahnya hilang meninggalkan ekspresi dingin yang membuat Mary dengan segenap kemauannya berusaha melangkah mundur.
Sayangnya, kedua tungkainya lemas dan dia jatuh terduduk sebelum bisa bergerak.
Alianora melihat Mary dengan datar, lalu berkata dengan sinis, "Ah, tidak bisa begini. Meski kau tidak mau, kau harus melakukannya."
Alianora menunduk mendekati wajah Mary dan memelintir seutas rambut coklatnya yang tidak terikat. Kedua manik coklat Mary bergetar.
"Baiklah, karena aku sedang baik hati sekarang. Bagaimana kalau kau kuberi pilihan."
Jari-jari mungil seputih susu itu meraih sendok yang tergeletak di lantai, menyendok cairan bubur bau itu, kemudian menarik lengan baju Mary, dengan kencang sampai membuatnya membungkuk.
"Nah, sekarang kau mau membuka mulutmu untuk suapan ini, atau duduk manis disini dan menjawab semua pertanyaanku?"
"Jika kau memilih yang pertama, maka jilati semua sampah itu sampai bersih. Jika itu yang kedua, kau harus menjawab apapun yang kutanyakan padamu dengan jujur, kalau kau tidak tahu bilanglah, aku tidak akan memaksa. Tapi kalau kau berbohong, maka aku akan tahu."
"Jadi kau mau pilih yang mana?"
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!