NovelToon NovelToon

STUCK WITH A MR. XANDER

Perebutan Kekuasaan

Dari Klan baru, jadi jangan tanya dari Klan mana. Ini fress dan masih anget kayak telor yang baru netes.

"Kau hanya sampah yang tidak berguna!" teriak seorang wanita sambil menunjuk pria yang duduk berseberangan dengannya. "Jangan lupakan kalau kau hanyalah anak yang terlahir dari istri simpanan!" lanjutnya lagi dengan nada naik satu oktaf. Bahkan urat-urat dilehernya sampai terlihat ketika amarahnya semakin membumbung tinggi.

Malam itu semua keluarga Thompsom berkumpul di ruang tengah, memperebutkan kekuasaan sang ayah yang sudah wafat satu minggu yang lalu. Ketegangan itu terjadi ketika pengacara telah selesai membacakan surat wasiat Tuan Thompsom.

Daisy Thompsom sebagai anak tunggal di keluarga tersebut tidak terima jika perusahaan milik ayahnya di serahkan pada Xander Thompsom yang notabennya hanyalah seorang anak dari gundik simpanan ayahnya. Sedangkan dirinya hanya mendapatkan bagian 3 restoran, dan 2 hotel. Sebenarnya kalau dihitung bagian Daisy lebih banyak dari pada bagian Xander. Tapi sifat Daisy yang begitu tamak dan ingin menguasai semuanya.

"Daisy jaga sikapmu!" tegur Airin sang Ibu dengan suara lembut dan rendah. Wanita paruh baya yang bulan depan genap berusia 60 tahun itu masih terlihat sangat cantik dan anggun, meski sudah banyak kerutan di wajah dan kulitnya.

"Mama masih membela anak sialan ini!" teriak Daisy penuh amarah seraya menunjuk Xander yang duduk di depannya.

Xander hanya diam, menundukkan kepala, tanpa berniat menyahut atau  membalas amarah dan caci maki yang dilontarkan Daisy.

"Bagaimanapun juga darah ayahmu mengalir di tubuhnya. Dia masih saudara kandungmu." Airin mencoba memberikan pengertian pada putrinya dan meredakan amarah Daisy. "Dia sudah tidak mempunyai siapa-siapa lagi di dunia ini. Ibunya sudah meninggal sejak 5 tahun yang lalu dan 1 minggu yang lalu ayah kalian meninggal. Mama harap kalian bisa menjadi saudara seperti pada umumnya. Apalagi usia kalian hanya terpaut 1 tahun," ungkap Airin bijaksana. Meski hatinya dirundung sakit hati yang luar biasa karena mendiang suaminya telah menduakannya selama belasan tahun, tapi dia masih bisa tersenyum dan berlapang dada untuk menerima semuanya.

"Aku nggak sudi punya saudara sampah kayak dia!" Daisy semakin geram dibuatnya, lalu mengambil segelas air dari meja dan menyiramkannya ke wajah Xander tanpa belas kasihan.

BYUR!!!

"Dasar sampah!"

Hah!

Hah!

Nafas Xander tersengal-sengal, dia terbangun dari tidurnya ketika mimpi tentang kejadian 15 tahun yang lalu terus mewarnai alam bawah sadarnya--hampir setiap malam. Xander  mengusap wajahnya dengan kasar seraya mendudukkan diri kemudian menyalakan lampu utama dengan remot yang tergelak di atas nakas. Menatap jam di dinding dan waktu baru menunjukkan jam 3 malam.

Kini usia Xander sudah 35 tahun. Usianya tidak muda lagi, namun sampai saat ini dia masih betah melajang. Tanggung jawab yang dia emban serta tekanan dari keluarganya membuatnya mengesampingkan keinginannya untuk menikah.

Xander kembali merebahkan diri di kasur, berusaha memejamkan mata namun tidak bisa sampai sinar matahari memberikan kehangatan pada bumi.

*

*

"Pagi, Ma." Xander sudah rapi dengan setelan pakaian kerja yang membalut tubuh kekarnya. Dia mengecup pipi sang mama yang sedang duduk di ruang makan sambil mengoleskan selai stroberi ke permukaan roti tawar. Tak berselang lama disusul Daisy yang melakukan hal yang sama seperti Xander lakukan.

Menyapa dan mencium pipi sang mama seolah sudah menjadi tradisi di keluarga tersebut.

"Anak-Anak Mama hari ini terlihat kompak dan semangat," puji Airin sembari tersenyum menatap Xander dan Daisy secara bergantian.

Daisy melengos, segera menyantap sarapannya, seolah muak dengan pria yang duduk di sebelahnya.

Airin menghela nafas panjang, sudah belasan tahun berlalu tapi anak perempuannya itu seolah masih belum menerima kehadiran Xander. Dan kebencian di dalam hati Daisy sepertinya semakin mendarah daging. Airin terkadang pusing dan menyerah menghadapi sikap Daisy.

Sedangkan Xander tumbuh menjadi pria yang bijaksana, baik, pengertian dan perhatian.

"Xander makan sarapanmu. Peralatan makan sudah di sterilkan, jadi tidak perlu khawatir," ucap Airin pada putranya dengan lembut. Ya, dia sudah menganggap Xander sebagai putra sendiri.

Xander mengangguk dan tersenyum patuh, "terima kasih, Ma." Xander segera melahap sarapannya dengan lahap. Sejak kecil, Xander menderita mysophobia, ketakutan berlebih dan tidak masuk akal terhadap sesuatu yang tampak kotor, kontaminasi kuman, atau virus. Bahkan Xander sering pingsan jika bersentuhan secara langsung dengan benda kotor atau pun bersentuhan dengan orang yang tidak menjaga kebersihan.

"Dasar sampah! Mau se-bersih apa pun dirimu, kamu akan tetap jadi sampah yang nggak berguna!" maki Daisy seraya beranjak berdiri karena sudah selesai sarapan.

Yuhu! Jangan lupa subsribe dan berikan bintang lima, jangan lupa komentar dan like-nya ya😘

Seorang Diktator!

JANGAN DI_SKIP!! TOLONG DI BACA SEKSAMA!

Diingatkan sekali lagi kalau novel ini sangat berbeda dengan novel keluarga Clark (nggak ada sangkut pautnya) Ini novel baru, masih anget, hanya nama pemerannya saja yang sama dan jalan ceritanya pun berbeda.

***

Sepatu pantofel berwarna hitam dan mengkilap itu menyentuh lantai lobby perusahaan Angkasa Jaya. Sebuah perusahaan yang bergerak di bidang spearpart motor, dan mobil terbesar se-Indonesia. Angkasa Jaya berkantor pusat di Jakarta namun sudah mempunyai banyak pabrik yang sudah tersebar ke seluruh Kota besar di Indonesia.

Suara derap langkah kaki itu terdengar begitu menyeramkan. Semua karyawan yang berada di lobby langsung menepi dan menundukkan kepala sebagai tanda hormat pada boss mereka yang tengah melintas.

Xander seolah sedang berjalan di atas catwalk pasalnya semua karyawannya langsung membentuk formasi barisan di sisi kiri dan kanan dengan jarak yang sangat aman.

Xander memperbaiki masker yang selalu dia gunakan untuk menutupi hidung dan mulutnya. Alasannya selalu memakai masker tentu saja untuk kesehatan, terlebih lagi di Kota Jakarta sangat ber-polusi dan banyak debu tajam dan kotor yang bertebaran di udara.

"Selamat Pagi, Pak." Sapa Asistennya bernama Devan yang sudah menunggu di dekat lift. Seperti itulah pekerjaannya setiap hari, menunggu bossnya di depan lift seperti orang bodoh.

Xander hanya menjawab dengan anggukkan kepala sebagai jawaban atas sapaan Devan.

Devan menekan tombol di samping pintu lift. Tidak berselang lama pintu lift terbuka lebar, Devan masuk lebih dahulu lalu mengeluarkan cairan disenfektan dari kantong jasnya, kemudian menyemprotkannya ke udara agar kuman dan virus di lift itu lenyap. Menunggu beberapa detik, barulah setelah itu Devan mempersilahkan boss-nya masuk ke dalam lift.

"Apa jadwalku hari ini?" tanya Xander, datar. Menatap punggung Devan yang berdiri dihadapannya dengan jarak yang lumayan jauh.

"Hari ini ada kunjungan di Pabrik Bandung. Saya harap Bapak menyiapkan stamina untuk kunjungan kita kali ini, karena jarak Jakarta ke Bandung lumayan jauh," jawab Devan sekaligus menjelaskan.

"Kenapa kamu baru mengatakan tentang kunjunganku hari ini?!" tanya Xander dengan suara dingin dan sangat datar.

Devan langsung mengusap tengkuk ketika suhu di lift itu berubah dingin, dan seluruh bulu kuduknya berdiri, bahkan dia merasakan tatapan tajam Xander seolah ingin menusuk punggungnya.

"Karena Bapak baru bertanya," jawab Devan ringan.

DUG!

Devan meringis sakit ketika salah satu kakinya ditendang Xander dari belakang.  Tendangan itu lumayan keras, membuat kakinya terasa ngilu luar biasa, namun sekuat tenaga Devan bersikap baik-baik saja seolah tidak merasakan sakit.

"Jangan diulangi lagi! Setiap akan ada kunjungan ke luar kota kau harus memberitahukannya sehari sebelumnya!" tegas Xander dengan suara yang begitu mengerikan.

"Iya, maaf, Pak," jawab Devan.

"Kamu memang salah, dan sudah sepatutnya di salahkan dan meminta maaf!" ucap Xander, sinis.

'Iya-Iya, Anda selalu benar, tidak pernah salah sama sekali. Tapi, jangan menendang kakiku, sialan!'

"Kamu berani mengumpatiku di dalam hati, Van!" Xander kembali bersuara dengan pelan namun penuh penekanan.

"Eh! Tidak, Pak. Mana mungkin saya berani memaki Anda, meski di dalam hati sekalipun," jawab Devan, menoleh ke belakang sambil tersenyum manis pada Xander, kemudian kembali menghadap ke depan.

'Dia adalah seorang diktator yang sangat kejam! Aku sumpahkan kamu mendapatkan jodoh wanita jorok, wahai perjaka tua!'

Bab 3

Mobil Range Rover berwarna hitam melesat membelah jalanan Ibu Kota menuju Bandung tepat jam 10 pagi. Perjalanan terasa membosankan bagi Xander, apalagi sejak tadi dia mendengar Devan terus bernyanyi dengan suara fals-nya dengan penuh percaya diri sambil menyetir mobil.

Oh-oh-oh-oh-oh

You're gonna hear me roar

Roar, roar, roar, roar, roar

Lagu Katty Perry--Roar yang dinyanyikan Devan saat ini. Bahkan pria itu bernyanyi sambil menganggukkan kepala dan menggerakkan salah satu tangannya seperti kucing yang akan mencakar mangsa. Tingkah Devan membuat Xander semakin jengkel.

"Apakah kamu tidak bisa diam!" tegur Xander sambil menendang jok yang di duduki Devan dari belakang.

DUG!

Devan sontak saja terkejut dan langsung kicep, kembali fokus menyetir mobil. Jika boss-nya sudah bersuara berarti sudah muak padanya.

"Maaf, Pak," jawab Devan, kemudian berdehem pelan karena tenggorokannya terasa serak.

"Suaramu memang bagus, tapi lebih bagus lagi kalau kamu diam!" sindir Xander dengan nada pedas, seraya kembali fokus pada ponselnya. "Mengganggu saja!" dumel Xander yang sedang asyik bermain candy crush.

"Maaf." Devan kembali berkata sambil melirik Xander dari kaca spion tengah.

'Seharusnya kalau cowok sejati mainnya mobile legend, COC atau permainan seru lainnya, tapi ... ini kenapa agak lain ya? Mainnya candy crush, bukankan itu permainan sayuran yang sering dimainkan keponakanku?'

''Devan! Fokus menyetir mobil!" seru Xander tanpa mengalihkan pandangannya dari ponsel, tapi dia mempunyai insting kuat saat diperhatikan Devan dari kaca spion tengah.

'Astaga! Hampir saja jantungku copot dari tempatnya. Kenapa suaranya begitu menyeramkan. Dan anehnya aku begitu betah berkerja dengannya selama 10 tahun ini. Sungguh ajaib memang.'

Devan kembali fokus menyetir mobil, dan bernyanyi di dalam hati saja. Biar aman.

*

*

Airin terseyum ketika seorang gadis cantik meletakkan semangkuk mie nyemek di atas meja. Saat ini dia berada di sebuah kedai kecil, tepatnya di pinggiran Kota Jakarta. Dia sering makan di sana, karena pemilik kedai itu adalah temannya sendiri.

"Silahkan dinikmati hidangannya, Nyonya," ucap gadis ramah, dan tersenyum lembut.

Gadis itu mempunyai senyuman yang begitu memikat dan tulus. Wajah cantiknya selalu berseri-seri dan ceria. Membuat siapa saja langsung terpesona hanya dengan sekali melihatnya.

"Terima kasih. Bisakah kamu duduk menemaniku?" pinta Airin pada gadis tersebut.

Gadis itu tersenyum canggung seraya menyelipkan anak rambut yang terurai ke belakang telinga, "iya, apakah tidak apa-apa?" tanyanya dengan penuh keraguan duduk di hadapan wanita setengah baya namun masih tampak cantik dan anggun.

"Tentu tidak," jawab Airin.

"Aku sudah membicarakan mengenai hal ini kepada ibumu, aku harap kamu menyetujuinya," ucap Airin memulai obrolan.

"Ah, membicarakan mengenai apa?" Gadis itu menatap Airin lalu beralih melirik ibunya yang duduk dibalik meja kasir sambil menganggukkan kepala berulang kali seolah menyuruhnya untuk setuju saja dengan segala ucapan yang dilontarkan Airin.

"Aku berniat menjodohkanmu dengan putraku," jawab Airin. "Untuk pertimbangannya kamu bisa melihat foto putraku terlebih dahulu," lanjut Airin seraya mengambil selembar foto dari tasnya dan memberikan ke gadis tersebut.

Gadis itu terkesiap karena sangat terkejut mendengar jawaban Nyonya Airin yang ingin menjodohkan dirinya. Dengan penuh keraguan, dia menerima foto tersebut, menatap pada foto pria tampan dan gagah memakai setelan tuxedo dengan raut wajah dingin dan datar.

"Putraku sudah berusia 35 tahun. Memangsih usianya lebih tua darimu 10 tahun. Tapi dia baik, bijaksana, dan bertanggung jawab," jelas Airin tersenyum anggun seraya menggeser mangkuknya dan mengambil sendok serta garpu, mulai memakan makanan khas Yogyakarta itu dengan nikmat.

Gadis tersebut meletakkan foto itu di atas meja, "maaf, Nyonya, saya perlu memikirkannya matang-matang," ucapnya, sebenarnya menolak perjodohan tersebut dengan cara halus. Tidak mungkin dirinya menikah dengan pria yang sama sekali tidak pernah ia kenal sebelumnya.

"Aku harap kamu tidak menolaknya, Jenita." Airin menatap gadis itu penuh harap.

"Iya, sebenarnya aku ..."

"Tenang saja ... Tenang saja Airin! Putriku pasti menerima perjodohan ini!" ucap Ningrum sambil berjalan menghampiri putrinya. "Dia hanya malu-malu saja, aku yakin Jeje menerima perjodohan ini. Iya, 'kan, Je?" Ningrum menatap putrinya dengan pandangan memohon.

Jeje belum menjawab ucapan ibunya tapi sudah keduluan Airin.

"Syukurlah. Aku senang sekali mendengarnya. Kalau begitu aku akan segera mengurus pernikahan mereka." Airin berkata dengan penuh semangat dan bahagia. Dia sebentar lagi akan mempunyai mantu dan cucu. Betapa senangnya hatinya ini.

"Ibu." Jeje langsung lemas mendengar ucapan Airin. Dia ingin bersuara namun ibunya melarangnya untuk tetap diam.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!