PROLOG
Perbincangan di teras rumah di waktu sore.
“Temanmu yang kemarin tidak main ke sini lagi?”, tanya seorang kakek kepada cucunya.
“Tidak mbah. Anaknya aneh”, cucunya menjawab.
“Aneh kenapa?”, tanya kakek.
“Katanya indigo”, jawab cucu.
“Apa?! Indihome?”, tanya kakek tentang kejelasan apa yang disampaikan oleh cucunya.
“Indigo mbah!”, sang cucu mempertegas dan memperkeras jawabannya. “Budek”, lirih kata sang cucu.
“O... Indigo. Apa itu?”, tanya kakek.
“Jawab buk”, sang cucu menyuruh ibunya untuk menjawab pertanyaan dari kakeknya lalu ia masuk ke dalam rumah.
“Itu lho pak. Anak yang katanya bisa melihat hal-hal gaib”, jawab sang ibu.
“Anakmu itu lho. Tidak sabaran. Tidak sopan. Ditanya malah kabur”, ucap sang kakek kesal.
“Apa indigo Mi?”, tanya kakek kepada ibu sang cucu.
“Apa kamu mau kabur juga!?”, tuduh kakek.
“Itu lho pak. Orang yang bisa melihat setan. Pak... pak”, sang ibu mencoba bersabar mengulangi jawabannya.
“Oalah orang pinter”, kata kakek.
“Itukan seperti dulu yang sering aku ceritakan padamu waktu kamu masih kecil dulu itu Ratmi”, lanjut kakek.
“Iya pak”, jawab Ratmi ibu dari cucu kakek.
“Ya memang ada orang-orang dengan kemampuan seperti itu. Dari dulu juga ada. Yang aku ceritakan ke kamu itu bukan mengada-ada lho Mi. Kisah nyata yang bapak dan teman-teman bapak alami sendiri. Kamu tidak percaya sama bapakmu sendiri? Kamu pikir aku ini ngapusi (berbohong)?”, jelas kakek.
“Lha yang bilang tidak percaya itu siapa pak?”, jawab Ratmi.
“Lha itu kamu bilang?”, kata kakek.
“Ratmi percaya sama bapak”, tegas Ratmi.
“Kalau percaya jangan menganggap mereka aneh dong”, sanggah kakek.
“Lha siapa juga yang menganggap mereka aneh? Aku tidak ngomong apa-apa?”, sanggah Ratmi.
“Itu tadi anakmu bilang temannya itu aneh. Itu pasti ajaranmukan? Hayo ngaku?!”, tuduh kakek.
“Bapak asal tuduh”, jawab Ratmi.
“Kamu dikasih tahu sama orang tua tidak percaya. Meremehkan. Sakkarepmu (terserah kamu) Mi Mi”, kakek kesal.
“Enggih bapak”, bakti Ratmi.
“Sakkarepmu Pak”, batin Ratmi.
“Lho kamu mau kemana Mi?”, tanya kakek.
Ratmi pun mengikuti langkah anaknya. Ia meninggalkan bapaknya yang kini sendirian duduk di teras rumah yang hanya tinggal berteman dengan ubi rebus yang sudah anyep (dingin).
***
AWAL MULA
Di sebuah kawasan rumah dinas yang luas dan mewah. Rumah bergaya kebarat-baratan dengan dominan cat berwarna putih. Ornamen-ornamen dari kayu jati membuat sebuah perpaduan antara gaya barat dengan corak nusantara. Sebuah rumah besar yang dikelilingi halaman yang begitu luas. Di rumah dinas itu tinggallah salah seorang yang mempunyai kedudukan penting di pusat pemerintahan. Di rumah kerjanya itu beliau tinggal bersama dengan keluarga dan juga para perewangnya.
Bapak. Itulah biasanya para penghuni rumah memanggil beliau. Sosok yang begitu dihormati dan juga disegani oleh mereka. Di rumah itu bapak tinggal bersama istrinya tercinta dan juga putri semata wayang mereka beserta juga menantunya. Ada dua perewang perempuan. Seorang laki-laki sebagai tukang kebun sekaligus merangkap sebagai penjaga malam. Dan yang terakhir seorang pria muda sebagai ajudan atau asisten pribadi bapak yang sangat ia percayai yang sekaligus merangkap menjadi supir pribadi untuk bapak. Total ada delapan orang yang menghuni rumah dinas tersebut. Rumah keluarga terpisah dengan dapur dan juga kamar-kamar para perewangnya.
Bisa dibilang perjalanan kehidupan bapak dari zaman perjuangan hingga setelah masa telah berhasilnya kembali direbutnya kedaulatan negara baik-baik saja dan lancar-lancar saja. Bahkan bapak adalah seorang yang punya peran penting dan begitu diandalkan oleh orang nomor satu di negeri ini. Tapi menjelang akhir masa jabatannya beliau justru nampak murung seakan dirundung begitu banyak pelik masalah.
Memang bapak orangnya jarang sekali untuk mengeluh dan mengungkapkan keresahannya terhadap siapa saja. Satu-satunya yang sering dicemaskannya hanyalah bahwa ia belum juga dikaruniai seorang cucu setelah putri tunggalnya sudah berjalan setahun lebih menikah. Tapi akhir-akhir ini tidak bisa dipungkiri kegundahan hatinya tercermin jelas di raut wajah tuanya. Tidak hanya bapak saja yang merasakannya. Semua penghuni rumah pun juga merasakan hal yang sama dengan apa yang dicemaskan bapak. Semua ini tidak ada kaitannya dengan pekerjaan bapak dimana bapak akan pensiun di beberapa bulan ke depan. Tapi apa yang menjadi pusat perhatian mereka di rumah itu adalah kejadian-kejadian aneh yang mereka alami dalam beberapa minggu terakhir.
Para perewang perempuanlah yang mulai mendapati kejadian-kejadian aneh hingga mereka pun menyampaikan apa yang mereka alami kepada bapak. Lastri yang merupakan pembantu dengan usia paling muda di rumah itu yang pertama kali mengalaminya. Tugas Lastri adalah membantu Mbok Salmi yang merupakan perewang yang sudah senior dan lama ikut dengan keluarga bapak. Kala itu Lastri yang sudah di dalam kamarnya bersiap untuk tidur terganggu dengan suara-suara yang terdengar seperti besi atau logam yang dipukul. Menurutnya jelas itu adalah suara wajan yang dibunyikan dengan cara dipukul-pukul. Kamar Lastri yang dekat dengan dapur bisa dengan jelas mendengar suara tersebut.
“Mbok... mbok...”, Lastri ingin memastikan siapakah orang yang sedang berada di dapur dan memainkan wajan itu.
Setelah Lastri memanggil-manggil Mbok Salmi. Hasilnya nihil dan suara yang sedari tadi didengarnya pun hilang.
Baru beberapa saat saja Lastri berhasil memejamkan matanya suara yang seperti wajan yang dipukul-pukul itu kembali terdengar. Lastri yang sudah tidak sabar pun akhirnya langsung beranjak bangun dari ranjangnya langsung menuju ke dapur. Lastri ingin memarahi orang yang sudah mengerjainya tersebut. Yang ada di pikiran Lastri adalah Pak Jan. Meskipun tukang kebun itu berwatak pendiam tapi terkadang ia juga suka jahil menggoda Lastri.
Lastri hanya bisa terdiam. Kata-kata yang sudah ada di mulutnya tidak jadi ia keluarkan ketika ia tidak mendapati seseorang pun yang sedang berada di dapur. Setelah itu Lastri langsung kembali mematikan lampu dapur kemudian langsung kembali menuju kamarnya dengan sedikit berlari.
Keesokkan harinya Lastri menjadi banyak terdiam dengan wajah pucat yang menghiasi mimik mukanya. Di pagi itu ia hanya tertunduk sambil mempersiapkan makanan untuk sarapan. Apa yang terjadi semalam masih menghantui Lastri. Mbok Salmi yang mengetahui perubahan sikap Lastri lantas menegurnya.
“Sudah tidak usah dipikirkan nduk”, mbok Salmi sambil memegang pundak Lastri.
Meskipun sedikit kaget Lastri mencoba menyembunyikan kepanikannya, “Ada apa mbok?”
“Semalam aku juga mendengarnya”, jawab mbok Salmi.
Mbok Salmi berbicara lirih dan mengisyaratkan untuk Lastri diam dengan menaruh jari telunjuknya menempel dibibir.
“Ayo lanjutkan masaknya. Sudah mau jam enam”, kata mbok Salmi menuntun Lastri kembali ke rutinitas paginya.
Ada sedikit kelegaan di hati Lastri. Ternyata apa yang didengarkannya semalam juga didengar oleh mbok Salmi. Tapi Lastri pun masih menyimpan penasaran sekaligus rasa takut tentang suara apa yang sebenarnya didengarnya itu.
Berbeda dengan Lastri dan mbok Salmi, Pak Jan yang merupakan tukang kebun sekaligus merangkap sebagai penjaga malam punya ceritanya sendiri. Pak Jan merupakan salah seorang warga yang tinggal di kampung yang lokasinya berada di dekat kawasan rumah dinas bapak. Bahkan sebelum bapak beserta keluarga menetap menjadi penghuni rumah itu Pak Jan sudah terlebih dahulu berkerja di sana. Jika sudah selesai dengan kegiatan berkebunnya Pak Jan di siang harinya akan terlebih dahulu pulang untuk urusan di rumahnya dan biasanya akan kembali ke rumah dinas antara jam 8 sampai jam 9 malam. Baru jika ada keperluan khusus yang membutuhkannya orang rumah atau pun bapak sendiri yang akan memberitahukan kepadanya. Mengenai kisah gangguan-gangguan mistis tentu saja Pak Jan juga pernah mengalaminya jauh sebelum Lastri dan mbok Salmi datang. Pak Jan berpikir wajar karena memang kawasan rumah yang asri masih banyak pohon-pohon besar dan jauh dari keramaian ibu kota itu jika terdapat hal-hal demikian. Apalagi tidak jauh dari kawasan rumah dinas berdekatan dengan kuburan kampung di daerah tersebut.
Suara-suara ketukan di malam hari. Suara tawa perempuan. Hal-hal semacam itu sudah terlampau biasa bagi Pak Jan. Baginya menanggapi yang semacam itu ia buat lalu saja. Tapi tidak dengan kejadian yang baru kemarin malam ia alami. Baginya yang sudah sering menemui suara-suara atau pun penampakkan-penampakkan yang telah ia terbiasa olehnya pengalaman pada malam itu benar-benar lain.
Pak Jan malam itu sampai di rumah dinas jam 9 lebih karena ia harus menghadiri acara hajatan di rumah salah seorang warga di kampungnya. Karena rasa kenyang yang didapatkannya dari hidangan di acara hajatan tersebut ia pun merasa sudah mengantuk ketika tiba di pos jaga yang terletak di jalan masuk area rumah. Pak Jan sempat tertidur beberapa menit di kursi di dalam ruangannya. Suara yang menawarinya kopi membangunkannya.
“Kopi Pak Jan?”, suara itu terdengar jelas oleh Pak Jan sehingga ia terbangun. Pak Jan merasa itu adalah suara dari Bagus yang merupakan ajudan pribadi sekaligus supir pribadi bapak. Pak Jan tidak merasa curiga apa pun karena Bagus menawarinya kopi untuk kemudian dilajutkan dengan obrolan malam bukanlah untuk pertama kalinya ini. Masih dalam posisi duduknya dengan sedikit mengangkat setengah badannya Pak Jan membuka pintu pos jaga lebar-lebar dari yang sebelumnya ia buka separuh saja. Terlihat dua tangan yang membawa dua buah gelas berisi kopi hitam. Penglihatan itu sudah sering kali Pak Jan lihat ketika Bagus memasuki rumah jaga dengan kopi racikannya. Tapi malam itu benar-benar berbeda. Pak Jan benar-benar terperanjat ketika melihat sosok pembawa kopi itu masuk utuh ke dalam ruangannya.
Adzan subuhlah yang membangunkan Pak Jan. Ia mendapati dirinya sudah tergeletak di lantai. Ia pun beristigfar mengingat kejadian yang menimpanya semalam. Sosok tanpa kepala yang untuk pertama kali dilihatnya yang tidak hanya mengagetkannya tapi sampai membuatnya pingsan. Penampakan itu menambah daftar sosok makhluk yang pernah dilihatnya. Sebelumnya sosok kuntilanak, pocong, genderuwo, sampai tuyul pernah ditemuinya hingga menjadikannya sesuatu yang sudah tidak mengejutkannya lagi. Tapi sosok tanpa kepala baru pertama kali bagi Pak Jan. Ia pun terus memikirkan kejadian itu. Yang menjadi pokok pikirannya bukanlah sosok yang menakutkannya. Tapi penampakkan yang dapat sama persis meniru suara dan tampilan berserta kebiasaan Baguslah yang dikhawatirkannya. Menurutnya ini adalah sebuah kemampuan yang tidak biasa dibandingkan dengan yang sering dilihatnya dari penampakkan-penampakkan di wilayah yang ia tinggali. Ini sudah diluar kebiasaan mereka pikirnya. Pak Jan menaruh curiga akan ada sesuatu yang tidak baik. Ia pun berinisiatif untuk membicarakan persoalan ini kepada bapak.
Berbeda dengan para perewang yang mengalami gangguan-gangguan gaib. Dahlia merupakan putri tunggal dari bapak. Ia dan suaminya yang baru menikah setahun yang lalu tidak pernah sama sekali mengalami hal-hal mistis atau pun menakutkan. Masa-masa kasmaran mereka masih hangat di tahun pertama pernikahan mereka. Bumbu-bumbu cinta masih sering kali mereka tunjukkan tanpa malu-malu di dalam rumah dan di depan para penghuni lainnya. Keributan kecil yang sering terjadi antara keduanya adalah ketika kunci motor kesayangan Haris yang merupakan suami dari Dahlia sering tidak ditemukannya dan berpindah-pindah tempat dari dimana sebelumnya ia meletakkannya. Mulailah Haris yang selalu bertanya kepada Dahlia sang istri dimana ia menyembunyikan kunci motornya. Haris pun menuduh Dahlia sengaja menyembunyikan kunci motornya. Topik inilah yang sering kali menjadi pemicu pertengkaran kecil diantara keduanya. Beruntung keduanya selalu masih bisa saling meredam emosinya. Juga dengan wejangan-wejangan dari ibu Dahlia pertikaian mereka selalu bisa dipadamkan. Dengan segala pengakuan dari Dahlia bahwa bukan dialah yang mempermainkan Haris dengan menyembunyikan kunci motornya. Di dalam hati Haris tidak begitu saja percaya dengan semua perkataan istrinya itu.
Dahlia dan Haris sama-sama masih sangat muda. Usia mereka belum juga genap 20 tahun ketika mereka menikah. Bapak dan juga ibu menyadari hal ini bagaimana mereka terkadang masih menampakkan sisi kekanak-kanakan mereka. Bapak berharap agar cepat bisa diberi cucu sehingga bisa menambah ramai rumah dan juga sekaligus membuat putri dan menantunya terbawa menjadi dewasa. Itu sejatinya harapan bapak paling besar kepada mereka berdua. Satu hal lagi yang menyita perhatian bapak tentang dua romansa anak muda itu. Kunci motor milik Haris yang katanya disembunyikan dan menimbulkan perdebatan diantara keduanya. Jika itu terjadi satu dua atau tiga kali mungkin itu masih wajar. Tapi kunci motor yang sering berpindah-pindah itu terlalu sering terjadi. Di situlah bapak mulai curiga akan adanya sesuatu yang tidak benar.
“Saya mendengarnya lagi pak. Tiga hari berturut-turut. Bahkan di malam yang ketiga Lastri juga bisa mendengarnya. Suara itu sama persis seperti kejadian empat tahun yang lalu pak.”
“Apa kamu yakin Salmi?”, tanya bapak kepada mbok Salmi.
“Saya sangat yakin pak.”
“Jangan kamu beritahu kepada siapa pun. Jangan kamu jelaskan kepada Lastri apa maksud dari suara itu. Dan yang terpenting jangan sampai ibu dan anak-anak tahu”, pesan bapak kepada mbok Salmi.
“Baik pak”.
Begitulah pengaduan mbok Salmi kepada bapak dan bagaimana bapak menanggapi apa yang dialami oleh mbok Salmi dan juga Lastri. Bapak berpesan keras agar mbok Salmi merahasiakan bunyi suara seperti wajan dipukul-pukul yang ia dengar selama tiga malam berturut-turut itu. Bapak sama sekali tidak ingin seorang pun di rumahnya ada yang tahu kecuali hanya dirinya dan mbok Salmi saja. Apalagi jika sampai ibu dan juga Dahlia tahu.
Hal yang sama juga dilakukan oleh Pak Jan. Berdasarkan pengalaman selama ia bekerja di rumah dinas ini Pak Jan percaya jika kejadian tempo hari yang ia alami adalah sebuah pertanda buruk yang akan datang. Meskipun itu hanya berdasarkan firasat semata tapi ia tidak ingin menyesal dikemudian hari jika ia tidak menyampaikan apa-apa yang sedang bergelantungan di pikirannya itu.
Bapak merasa senang dengan maksud dan niat baik Pak Jan yang telah memberikannya sebuah laporan dan juga peringatan tentang apa yang dipercayainya. Bapak pun selama ini juga tahu bagaimana situasi malam hari di area kawasan rumah dinas. Bapak juga tahu jika Pak Jan bukanlah orang yang sembarangan dalam bertutur kata apalagi untuk hal-hal semacam ini. Bapak pun berpesan dan meminta tolong kepada Pak Jan untuk lebih berhati-hati serta menjaga satu sama lain antara orang-orang yang tinggal di rumah dinas ini. Dengan catatan bapak pun ingin supaya Pak Jan diam saja tidak usah mencerita-ceritakan kondisi ini hingga menimbulkan kegaduhan dan kecemasan. Setelah kejadian malam hari itu Pak Jan pun sekarang sehabis magrib sudah berada di rumah dinas.
Hari itu seharusnya bapak sudah sampai di rumah sebelum petang. Tapi karena ada masalah dengan mobil Kijang yang diinventariskan oleh kantor sehingga bapak dan juga Bagus supir pribadi sekaligus ajudan bapak masih dalam perjalanan pulang di waktu larut malam. Berhadapan dengan mobil yang bermasalah bukanlah sesuatu yang asing bagi Bagus karena dia memang juga tahu tentang mesin dan memang diwajibkan untuk tahu karena pekerjaannya sebagai seorang supir. Sore itu Bagus dengan bantuan teman kantornya berhasil mengatasi permasalahan klasik dari Kijang yang rata-rata dipakai oleh para pejabat kantor. Tapi Bagus waktu itu benar-benar tidak tahu kalau apa yang akan dihadapinya dalam perjalanan pulang bersama bapak di malam hari bukanlah sesuatu yang sudah familiar baginya.
Hampir tidak ada pembicaraan berarti dalam perjalanan pulang yang telat dari kantor ke rumah di malam itu. Lelah dan penat hinggap di keduanya.
“Berhenti dulu Gus”, tiba-tiba bapak mengagetkan Bagus dengan menyuruhnya untuk berhenti.
“Ada apa pak? Ada yang tertinggal?”, Bagus perlahan memberhentikan mobilnya.
“Lihat itu Gus.”
Bagus melihat dengan seksama apa yang membuat bapak menyuruhnya untuk berhenti.
“Orang gila itu Pak”, ucap Bagus.
“Di tempat sepi seperti ini joget-joget sendiri”, tambah Bagus.
“Coba kamu perhatikan lagi Gus. Nyalakan lampu jauhnya.”
“Astagfiruallahaladzim. Apa itu pak?”, Bagus tampak kaget setelah menyalakan lampu jauhnya.
“Itu namanya setan joget Gus”, bapak menjawab pertanyaan Bagus sambil tertawa kecil.
“Jangan takut ya Gus”, lanjut bapak.
“Kita harus bagaimana ini pak?”, tanya Bagus sedikit panik.
“Ditunggu saja. Sebentar lagi juga hilang”, kata bapak.
Setelah menunggu beberapa saat akhirnya setan joget yang menghadang laju kepulangan mobil bapak pun hilang. Dengan aba-aba dari bapak Bagus pun melanjutkan perjalanannya untuk pulang ke rumah.
Kejadian yang baru saja dialaminya membuat Bagus malam itu sulit untuk tidur. Ia masih terbayang-bayang sosok yang tadi menampakkan dirinya di tengah jalan dalam perjalanan pulangnya. Untuk menghilangkan rasa suntuknya ia pun menghampiri Pak Jan dan berharap pak tua penjaga malam itu masih terjaga.
Perempuan bergaun putih lusuh dengan rambutnya yang keriting dan acak-acakkan. Matanya melotot ke arah kami dengan senyum yang begitu lebar hingga ujung bibirnya hampir menyentuh telinga. Sosok itu menari dengan gerakan yang patah-patah mondar-mandir di depan jalanan yang harusnya kami lewati.
Sosok penampakkan itulah yang diceritakan oleh Bagus kepada Pak Jan. Sama seperti bapak Pak Jan pun berpesan kepada Bagus supaya ia jangan sampai takut dan bisa segera menguasai diri. Bagus sendiri memang dikenal sebagai seorang pemuda yang rajin beribadah. Baik bapak maupun Pak Jan tahu bahwasanya apa yang dialami oleh Bagus tidak akan membuatnya lemah begitu saja.
Keesokan paginya seisi rumah geger. Lastri menemukan Dahlia tergeletak di depan pintu kamar mandi. Lastri berteriak histeris mendapati putri majikannya sudah terbujur dengan mata mendelik dan mulut menganga tanpa ekspresi lainnya. Lastri sudah berusaha mengoyang-goyangkan tubuh Dahlia. Tapi Dahlia hanya bisa mengeluarkan suara yang sangat lirih. Terdengar seperti suara mendesis.
Semua penghuni rumah tanpa terkecuali langsung mendatangi Lastri. Satu per satu berdatangan menghampiri Lastri yang sudah terduduk lesu di depan pintu kamar mandi. Semua orang dibuat menjadi panik ketika melihat bagaimana kondisi Dahlia yang sudah terkapar tidak sadarkan diri dengan mulut menganga dan tatapan mata kosong yang membelalak. Tanpa bantuan seorangpun dengan badannya yang kekar Haris membopong istrinya untuk dibawa masuk ke dalam kamar.
“Ris. Dibawa ke kamar bapak saja”, perintah bapak.
Haris membawa Dahlia ke dalam kamar bapak dan ibunya. Dahlia ditidurkannya di ranjang besi tua.
Haris sang suami masih tidur di kamarnya ketika kejadian yang dialami oleh Dahlia terjadi. Begitu juga Bagus yang meskipun sudah terbangun tapi dia saat itu masih berada di dalam kamarnya. Pak Jan saat itu setelah subuh sudah pulang seperti kebiasaanya. Mbok Salmi sedang berada di dapur mempersiapkan kebutuhan memasak seperti rutinitas biasanya. Lastri saat itu hendak pergi ke sumur yang berada di dekat kamar mandi untuk mengambil air untuk keperluan dapur. Niatannya itu berubah menjadi sebuah jeritan histeris ketika mendapati Dahlia yang sudah tergeletak di depan kamar mandi. Teriakkan itu pula yang mengumpulkan para penghuni rumah.
Saat itu semua terjadi bapak dan ibu pun masih berada di dalam kamar mereka. Saat itu bapak dan ibu sedang berbicara serius. Ibu mengadu tentang apa yang dilihatnya di malam harinya. Ibu dengan jelas melihat dua telapak tangan yang sedikit bergoyang-goyang di kaca ventilasi kamar mereka. Tangannya bersih sama sekali tidak nampak seram dengan darah atau semacamnya. Ibu yakin itu bukan ulah manusia iseng yang malam-malam di waktu dini hari memanjat tinggi tembok yang lebih dari dua meter untuk sekedar melakukan hal semacam itu. Bapak mendengarkan dan mempercayai apa yang diadukan oleh istrinya itu. Sebelum bapak memberikan tanggapan jeritan Lastri memaksa mereka berdua keluar dari kamar.
Semua penghuni rumah tahu. Bahkan Lastri yang masih polos nan lugu pun juga tahu. Mereka meyakini bahwa apa yang menimpa Dahlia bukanlah sebuah kecelakaan semata. Tidak ada tanda luka bekas jatuh di seluruh bagian tubuh Dahlia. Yang ada adalah Dahlia tidak sadarkan diri dengan wajah dan tatapan yang kosong. Mulutnya yang ketika ditemukan menganga sudah bisa dikatupkan oleh bapak. Tapi tidak dengan matanya yang tidak bisa dipejamkan dan terus membelalak dengan tatapan nanar dan kosong. Syukurnya Dahlia masih hidup.
Bagus segera disuruh untuk menjemput dokter secepatnya. Sementara Lastri yang masih sedikit syok di suruh untuk memanggil Pak Jan di rumahnya. Sebelum mereka keluar kamar. Semua orang yang berada di kamar itu, semua penghuni rumah diperintah bapak untuk merahasiakan kejadian yang menimpa putri semata wayangnya ini. Haris dan Lastri mempunyai wajah panik dan bingung. Sementara yang lainnya meskipun khawatir tapi mimik mereka seakan sudah tahu peristiwa seperti ini akan datang pada mereka. Ibu dan Haris menunggu dan menjaga Dahlia di kamar. Ibu senantiasa berada di samping putrinya sembari mengusap-usap kepala Dahlia. Sementara Haris hanya duduk termangu dengan pikirannya yang kalut.
Lastri dan Pak Jan tiba. Pak Jan pun diminta oleh bapak untuk turut menjaga Dahlia di kamar bersama dengan Ibu dan juga Haris. Sementara Lastri kembali ke urusannya untuk membantu mbok Salmi. Sesaat kemudian baru tibalah Bagus bersama dengan seorang dokter keluarga. Dan setelah benar-benar diperiksa oleh dokter dugaan para penghuni rumah pun terbukti. Tidak ada kaitannya dengan medis apa yang sedang dialami oleh Dahlia sekarang ini. Dokter pun lantas kembali pulang dengan Bagus yang juga disuruh oleh bapak membawa berkas dari rumahnya ke kantor sekaligus menyampaikan izinnya untuk tidak berangkat ke kantor di hari itu.
Bapak seorang diri menuju ke sumur. Di sana bapak berbicara.
“Ono opo? Opo Dahlia ono salah karo kowe?”
(Ada apa? Apa Dahlia berbuat salah terhadapmu?)
“Hudu aku mas”, jawab suara dari dalam sumur itu.
(Bukan aku mas)
“Lha terus sopo?”, tanya bapak.
(Terus siapa?)
“Aku ra wani.”
(Aku tidak berani)
Apa yang terjadi pada Dahlia sudah pasti bukanlah dengan cara medis atau pun berpikir logis untuk menyelesaikannya. Beberapa orang pintar atau pun juga pemuka agama sudah didatangkan untuk mengobati putri bapak. Semua dari mereka sepakat bahwa jiwa Dahlia sekarang sudah tidak lagi berada di dalam raganya. Jiwanya tengah ditawan dan disembunyikan di tempat yang hanya orang-orang dengan tingkatan ilmu tertentu saja yang bisa menemukan dan mengembalikan ke dalam raganya. Beberapa orang yang sudah mempunyai nama pun kalah sakti dibandingkan dengan orang yang sudah mencelakai Dahlia. Bapak menegaskan kepada semuanya untuk segera mengutamakan keselamatan Dahlia. Persoalan siapa dalang dan motif dibalik perkara ini bapak meminta untuk mengabaikannya.
Nyai Asma adalah seorang ahli pengobatan alternatif yang juga ahli dan sudah teruji di bidang santet, teluh dan berbagai penyakit hitam lainnya. Namanya sudah tersohor di seantero negeri. Semua orang dari penjuru nusantara pergi ke rumah tempat praktek Nyai Asma di daerah Taliwang, Nusa Tenggara Barat jikalau mereka menginginkan kesembuhan lantaran penyakit yang disebabkan oleh ilmu hitam. Nyai Asma pun tidak pernah mematok tarif untuk jasanya. Ia menerima dengan ikhlas berapapun atau pun tidak dibayar oleh para pasien-pasiennya. Kendala jika berobat kepada Nyai Asma adalah banyaknya jumlah antrian pasiennya yang bisa mengantri sudah dari jauh-jauh hari sebelumnya. Meski dulu sempat terkena kasus difitnah praktek ilmu hitam tapi berkat ketulusan dan niat baiknya, Nyai Asma akhirnya sampai detik ini masih membuka praktek dan tetap dipercaya oleh orang banyak.
Nama bapak berhasil membawa seorang Nyai Asma yang selama ini hanya melakukan praktek pengobatan di rumahnya untuk mau datang ke rumah dinas bapak yang berada di Jakarta.
Pertarungan sengit antara Nyai Asma melawan jin-jin yang menaungi tubuh Dahlia berlangsung cukup lama. Pada akhirnya Nyai Asma yang dikenal kondang dengan kemampuannya dapat membinasakan segala bangsa jin jahat yang sering bersemayam di tubuh manusia itu kalah. Ia menyerah. Dengan tegas dan meminta maaf kepada bapak dan keluarga bahwasanya jika pertempurannya diteruskan Nyai Asma bisa binasa. Mereka jin-jin suruhan itu terlalu banyak dan kuat-kuat. Tapi usaha Nyai Asma tidak sampai di situ. Sebelum kepulangannya ke kediamannya di NTB Nyai Asma memberikan sebuah nama. Yaitu seorang pemuka agama yang tinggal di daerah Rembang, Jawa Tengah. Beliau adalah guru dari Nyai Asma. Nyai Asma yakin jika gurunya bisa mengatasi apa yang tengah bersemayam di tubuh Dahlia.
Hari itu juga Bagus ditemani oleh satu orang temannya berangkat ke Rembang, Jawa Tengah untuk meminta tolong sekaligus menjemput Sang Kyai yang dimaksud oleh Nyai Asma. Tapi apa yang didapatkan Bagus setelah menempuh perjalanan berjam-jam dari Jakarta ke Rembang diluar dugaan. Setibanya di rumah Sang Kyai inilah percakapan yang terjadi.
“Pertama-tama ketika nanti kalian pulang ke Jakarta sampaikan salam dari saya kepada bapak”, kata Sang Kyai.
“Saya sudah tahu maksud dan sedang menunggu kedatangan kalian.”
“Tapi itu semua bukanlah takdir atau jalan saya.”
“Sama seperti Asma dengan usia saya yang sudah sepuh aku bisa mati konyol jika berhadapan dengan mereka dan orang yang menjadi suruhan untuk mengusik keluarga bapak.”
“Tapi tenang saja. Ada jalannya putri Dahlia bisa selamat.”
“Ini”, Sang Kyai menyerahkan selembar kertas bertuliskan sebuah nama beserta alamat kediamannya kepada Bagus.
“Sampaikan kepada bapak. Orang itu bisa membantu kalian.”
Bagus pun kaget mengetahui siapa nama di tulisan kertas itu.
Pada malam harinya Bagus sudah sampai di rumah. Di rumah sudah ada tambahan penjaga semenjak kejadian yang menimpa Dahlia. Kedua orangtua Haris pun datang dan menginap di kediaman menantunya yang kini tengah terbaring lemah. Bagus menceritakan semua percakapan dan apa yang terjadi ketika kunjungannya ke Rembang. Meski sempat kecewa karena Sang Kyai tidak mau datang tapi bapak masih punya harapan di selembar kertas yang dibawa oleh orang kepercayaannya itu. Kaget bukan kepalang ketika bapak membaca nama yang dituliskan oleh Sang Kyai. Ki Blinger. Orang yang dikenal sebagai jawaranya ilmu hitam di negeri ini yang ternyata disarankan oleh Sang Kyai untuk menolong putrinya. Bapak pun geleng-geleng kepala dibuatnya dengan usulan nama Ki Blinger dari Sang Kyai. Bahkan nama Ki Blingerlah yang awalnya dicurigai oleh sebagian besar orang rumah sebagai dalang permasalahan ini. Meski kurang begitu yakin bapak sudah mengambil keputusan untuk sehabis terbit nanti supaya Bagus menghubungi Ki Blinger. Bapak tidak ingin lebih lama lagi membahayakan keselamatan nyawa putrinya.
Gila benar menurut Bagus dunia ilmu mistis ini. Pagi itu ketika ia sudah siap berangkat untuk menuju ke rumah Ki Blinger yang hanya berjarak 2 jam dari rumahnya bertugas. Bagus sedang menunggu Pak Jan yang rencanannya akan menemaninya karena Pak Jan tahu dimana lokasi rumah Ki Blinger dan pernah ada urusan dengannya. Sebuah mobil berhenti di depan jalan masuk kawasan rumah dinas bapak. Penjaga menanyainya perihal urusan kedatangannya. Bagus pun ikut maju ke mobil mercy cantik yang menarik minatnya itu.
“Bapak yakin pak?”, tanya penjaga.
“Siapa pak?”, tanya Bagus kepada penjaga.
“Ngakunya Ki Blinger”, jawab penjaga.
Kaca mobil bagian belakang terbuka. “Kamu dan Jan tidak perlu repot-repot ke rumahku Gus. Tolong sampaikan ke bapak aku Ki Blinger sudah datang”, ucap orang yang duduk dibelakang mobil yang mengaku sebagai Ki Blinger.
“Baik Ki”, dengan sedikit terbata Bagus menyanggupi permintaan orang itu. Bagus dibuat kagum dengan kesaktiannya yang tahu bahwa dirinya akan ke rumahnya di hari itu. Apalagi dia juga menyebut namanya dan juga nama Pak Jan.
Ki Blinger memang penganut dan juga orang yang berpraktek dalam ilmu hitam. Bahkan di dunia pergaiban tanah air Ki Blinger dengan Sang Kyai adalah musuh bebuyutan. Tapi di samping itu semua Ki Blinger adalah nasionalis sejati. Ia tidak rela jika ada yang mengganggu kedamaian nusantara. Tentu saja Ki Blinger sangat mengidolakan sosok bapak.
Ki Blinger meminta untuk bertemu dengan bapak di teras rumah. Pria paruh baya dengan kumis dan jambang yang sangat lebat dan pakaian serba hitam itu enggan untuk masuk ke rumah apalagi untuk masuk ke kamar dimana Dahlia berada. Bapak pun menyanggupinya dengan menemui Ki Blinger yang sudah duduk menunggu di teras rumah.
“Ki Blinger”, sapa bapak dari kejauhan.
Ki Blinger lantas berdiri dari duduknya. Ia bersikap tegap menghadap bapak lalu memberikan salam hormat kepada bapak. “Salam nusantara pak”, katanya.
Bapak sebenarnya ingin tertawa melihat tingkah Ki Blinger. Tapi tentu saja bapak menahannya. “Salam nusantara Ki. Silahkan duduk lagi”, jawab bapak.
“Siap pak”, kata Ki Blinger.
Bapak dan Ki Blinger duduk di teras rumah pagi itu lengkap dengan kopi hitam dan juga gorengan hangat.
“Ki. Betapa cintanya sampeyang dengan tanah air kita ini. Tapi kenapa Ki Blinger tidak pindah aliran saja? Berbuat luhur kepada rakyat ibu pertiwi yang begitu sampeyang cintai”, pertanyaan bapak untuk Ki Blinger.
“Kalau itu sudah tidak bisa diubah pak. Itu semua konsekuensi saya dengan mereka. Tapi sampai kapan pun bagi saya merah putih harga mati”, jawab Ki Blinger.
“Kenapa aki tidak masuk untuk melihat Dahlia?”
“Sebelum menjawab persoalan itu izinkan saya untuk memberikan testimoni saya kepada bapak”, kata Ki Blinger.
“Saya benar kagum dan juga bangga dengan apa yang telah bapak lakukan dan perjuangkan untuk negeri ini dan juga para rakyat. Termasuk saya di dalamnya pak. Saya sangat berterimakasih kepada bapak dan sekali lagi kagum dengan perjuangan dan pengorbanan bapak”, Ki Blinger lantas dengan sigap bersimpuh dihadapan bapak dan hendak mencium kaki bapak.
“Sudah Ki”, bapak mengangkat tubuh Ki Blinger untuk kembali berdiri dan duduk di kursi.
“Itu memang kewajiban semua orang untuk menjaga kedaulatan negaranya sendiri”, tambah bapak.
“Mengenai putri bapak. Bukannya apa saya tidak mau melihatnya. Tapi siapa saja yang berada di sana dan yang membuat anak bapak seperti sekarang ini saya tahu betul siapa mereka”, kata Ki Blinger.
“Siapa mereka Ki?”, tanya bapak.
“Mereka kolega-kolega saya pak. Tapi saya tidak bisa memberikan nama-nama mereka. Itu sudah menjadi kode etik di ranah dunia kami”, tegas Ki Blinger.
“Lantas apa solusinya Ki?”, tanya bapak.
Ki Blinger merogoh saku bajunya. Sebuah lipatan kertas berwarna usang dikeluarkannya. Dibuka lipatan kertas itu olehnya. Itu adalah sebuah peta.
“Seperti yang bapak tahu itu adalah peta pulau Jawa pak. Di situ sudah saya kasih tanda berupa titik atau pun lingkaran. Empat titik itu jika ditarik garis dan dihubungkan maka akan membentuk kemana sesuai arah mata angin. Empat arah mata angin. Utara, Selatan, Timur dan juga Barat. Carilah dari ke titik-titik itu empat orang yang akan menyelamatkan nyawa putri bapak. Pintalah mereka”, jelas Ki Blinger.
“Bagaimana caranya mencari orang-orang itu jika tidak tahu nama dan alamat pastinya” tanya Bagus yang sedari tadi berdiri di belakang samping bapak.
“Carilah di tempat yang sudah kutandai itu. Mereka sudah punya nama di sana bagi orang yang mengetahuinya”, jawab Ki Blinger kepada Bagus.
Ki Blinger lantas berdiri. Ia pun pamit kepada bapak dengan mencium tangan bapak.
“Jan. Kamu tidak usah ikut-ikut. Kamu tidak akan sanggup. Jangan cari mati. Ingat, yang kalian butuhkan adalah orang-orang muda”, pesan terakhir Ki Blinger sekaligus tergurannya kepada Pak Jan yang juga sedari tadi berdiri di sana.
Rasa nasionalisme yang sangat kuat dan mengakar di diri Ki Blinger merontokkan batasan-batasan yang seharusnya dipatuhinya di dunia kegelapan dimana ia bekerja. Rasa hormat dan kagumnya terhadap bapak membuatnya nekat untuk memberikan bantuan yang sangat berarti terhadap bapak dan keselamatan hidup buah hatinya.
“Gus. Kamu sebaiknya segera bersiap-siap. Lebih cepat lebih baik”, perintah bapak ke Bagus.
“Baik pak”, jawab Bagus.
“Gus. Kamu berangkat sendiri. Dan ini sangat rahasia”, tambah bapak.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!