...Cinta tahu bagaimana cara memaafkan, tetapi tidak untuk melupakan sakit ketika dikecewakan....
......••••••......
Alana membuka lembar demi lembar album foto miliknya. Foto-foto di dalam album itu menunjukkan Alana dan seseorang yang tengah tersenyum bahagia, bukan menangis tersedu seperti sekarang.
Di foto itu Alana tampak sedekat nadi dengan sosok tersebut, bukan sejauh matahari seperti sekarang.
Di sana Alana masih memikirkan tentang ribuan hari yang akan mereka lalui bersama bukannya memikirkan bagaimana caranya menghapus seseorang yang sudah menorehkan luka terlalu dalam Pada Perasaannya. Bukan memikirkan bagaimana caranya dia menghindari seseorang yang masih sangat dia cintai.
Namun, cukup. Sekarang, Alana sadar diri dan akan berhenti.
Berhenti untuk bersikap bodoh dengan terus bertahan ketika sudah ditinggalkan.
“ Alana!” Panggil Cecil, mama Alana.
“ iya, Ma?" sahut Alana.
“ Ayo, Sayang, lima menit lagi kita berangkat.”
Alana menghela napas sejenak, lalu menutup album Foto itu seraya menghapus air matanya yang terjatuh.
Alana harus meninggalkan Kota Bandung, kota sejuta kenangan antara dirinya dengan sosok yang mengajarkannya tentang arti luka yang sebenarnya. Dia akan Pindah ke Jakarta.
Mungkin di sana akan ada kisah baru untuk Alana yang akan menghapuskan luka dari dia yang terlalu dalam menggoreskan luka.
...•••••...
Sudah seminggu Alana meninggalkan Kota Bandung, kota yang mampu membuatnya tersenyum dan tersedu Pada satu waktu di kala dia mengingatnya. Baginya, Bandung kota yang telah menciptakan Cerita yang cukup indah untuknya, sekaligus yang mengajarkannya arti luka yang sebenarnya.
Sudah satu minggu juga Alana memasuki sekolah barunya di Jakarta. Sekolah itu bernama SMA Arwana Sekarang, Alana sudah duduk di bangku kelas XI. Di sana, Alana memilih untuk mendaftar menjadi Pengurus OSIS dan ini hari Pertamanya untuk memasuki organisasi itu.
Langkah Alana terdengar sangat jelas karena dia tengah berjalan cepat untuk menuju ruang OSIS. Bahkan karena terlalu cepat dia tak memperhatikan lingkungan di sekitarnya, sampai-sampai dia tak sengaja menabrak seseorang yang tengah memegang gitar.
Gitar itu terlepas dari tangan Pemiliknya dan terlempar mengenai kepala Alana. Alana memegangi kepalanya yang sakit seraya menatap gitar yang jatuh di dekatnya. itu bukan gitar murahan. Alana mengetahui harganya.
“ Eh, Sorry," Lelaki itu meminta maaf. Alana hanya mengangguk, lalu mengalihkan Pandangan ke arahnya.
Saat menatap wajah lelaki itu entah mengapa darahnya terasa berdesir lebih cepat Perasaannya juga menjadi tak karuan.
Alana tidak mengerti mengapa wajah lelaki itu bisa sangat mirip dengan seseorang yang Pernah dia kenal.
" Kepala lo sakit," tanya lelaki itu sambil menatap Alana lekat-lekat. Alana membalas tatapan itu Kini dia seperti menatap mata yang sama, tapi milik orang yang berbeda.
Tatapan lelaki itu sangat tajam. Dia tak henti-hentinya memandangi wajah Alana Entah karena dia merasa bersalah atau karena Alana sedari tadi hanya diam saja.
" Lo enggak apa-apa " tanyanya lagi yang membuat Alana tersadar dari lamunannya.
" Hah ? Enggak apa-apa, kok, gue juga salah.”
" Ya, udah, kalo lo enggak kenapa-kenapa, gue duluan, ya. Gue lagi buru-buru soalnya.” Lelaki itu mengambil gitarnya yang terjatuh, lalu Pergi meninggalkan koridor.
Alana melanjutkan langkahnya dan segera memasuki ruangan OSIS. Sesampainya di sana seisi ruangan menyorot dirinya dengan tatapan tajam. Terutama, sosok lelaki yang kini tengah berjalan menghampirinya.
" Maaf, Kak. Saya telat—” ujar Alana terpotong.
" Anak baru udah berani telat, ya?” tanya lelaki berparas tampan Ketua OSIS SMA Arwana Namanya Satria
" Yang daftar OSIS, tuh, banyak, kali Enggak kamu doang!” sentak Satria.
" Kamu baru masuk aja udah seenaknya kayak gini Gimana ke depannya Enggak usahlah masuk ke sini.” lanjutnya
" Saya minta maaf, Kak. Tapi, saya—” lagi-lagi ucapannya terpotong.
" Saya enggak butuh kata maaf dari kamu ini Kamu baca semua Peraturan di sini, terus kamu tentuin bidang apa yang mau kamu urus Oh, iya, kalo kamu mau di sini, kamu harus dapat tanda tangan wakil saya sama ketua koordinasi bidang yang kamu Pilih Lusa, surat itu harus udah ada di saya atau kamu enggak usah ada di sini.” Satria menyerahkan surat-surat tersebut kepada Alana
Alana menerimanya. " Oke, Kak, makasih.”
" Ya, udah, sekarang kamu duduk sana,” suruh Satria. Alana mengangguk, lalu duduk di kursi kosong di sebelah gadis yang berparas Cantik.
" Yang sabar, ya,” ujar gadis itu. " Kak Satria emang otoriter banget Apalagi, kalo ada orang baru, dia enggak mau kalo misalnya ada yang masuk Cuma main-main doang Tapi, kalo lo udah resmi masuk, dia bakal baik, kok,” ujar gadis itu Alana mengangguk mengerti.
" Kenalin, nama gue Bella.” Gadis itu mengulurkan tangannya.
Alana menjabat tangan gadis itu. " Gue Alana Anastasya,"
" Gue Pasti bakal bantu lo, kok, buat Penuhin syarat dari Kak Satria Semangat,” ujar Bella menyemangati.
" Siapa yang suruh kamu buat nolongin dia," sentak Satria seraya menatap Bella tajam Bella hanya terdiam.
" Pokoknya, kamu harus Penuhin semuanya sendiri Emang susah, ya, syarat kayak gitu doang?” bentak Satria
" iya, nanti saya Cari wakil Kakak sendiri kok,” Jawab Alana
Satria Menatapnya sinis lalu kembali ke depan Alana menghela napas sejenak.
" Pokoknya, wakil ketua OSIS kita itu namanya—” ujar Bella terpotong.
Belum selesai Bella berbicara Alana sudah memotongnya.
" Gue bisa cari dia sendiri, kok,"
" Aduh, Alana dari mana lo bisa tahu Daripada nanti Kak Satria marah-marah sama lo kalo lusa belom bisa dapat tanda tangan dari wakilnya,” dumel Bella.
" Waketos kita itu kadang masuk kadang enggak Bukan berarti dia demen bolos, tapi dia sibuk dispen acara ini-itu Pokoknya, lo bakal susah, deh, kalo mau nemuin dia. Kalo mood-nya lagi ancur apalagi, minta ditonjok.”
“ Oh, ya?” Alana tertawa Pelan. “ Lo baik banget makasih, ya. Tapi, gue Pasti bisa sendiri, kok.”
...•••••...
Cinta tahu bagaimana cara memaafkan, tetapi tidak untuk melupakan sakit ketika dikecewakan.
" Alana siapa, sih ? Kata siapa dia itu mantan gue Gue aja enggak Pernah kenal sama dia. Ngaku-ngaku aja kali dia.” Kata-kata itu masih teringat jelas di memori Alana Hatinya Selalu terasa Panas ketika dia mengingatnya.
Dia ingat betul, bagaimana rasanya mencintai seseorang yang tak mungkin jadi miliknya.
Bagaimana rasanya mencintai seutuhnya, tapi dikecewakan seutuhnya juga.
Bagaimana rasanya Pernah sedekat nadi dan menjadi sejauh matahari.
Bagaimana Pernah merasa disayang, tapi kenyataannya dianggap ada Pun tidak.
Bagaimana dia selalu menunggu, tapi diabaikan.
Bagaimana dia mengorbankan banyak hal, tapi berujung sia-sia.
" Gue serius Bukannya lo Pernah Pacaran sama dia, masa, sih, enggak kenal?”
" Gue enggak kenal. Kenapa, sih, lo enggak Percaya?”
...•••••...
Satu hari berlalu, tapi Alana tak kunjung menemukan Wakil Ketua OSIS SMA Arwana dan Ketua Koordinasi Seksi Bidang yang dia Pilih Padahal, Alana sudah mencari di semua tempat yang kira-kira akan didatangi sosok itu. Alana juga sudah stalk akun Instagram OSIS Arwana untuk mengecek formatur Namun Percuma, sepertinya semuanya sudah dirancang dengan baik oleh Satria dan rekan-rekannya.
Alana terpaksa keluar dari koridor sekolah dan menunggu angkutan umum datang, tapi tidak ada yang lewat. Mungkin karena hari sudah terlalu sore.
Sebenarnya, Alana bisa saja menaiki ojek online, tetapi hari ini Alana lupa membawa Ponselnya karena tadi Pagi dia terburu-buru untuk ke sekolah.
Alana mencoba berjalan untuk kembali mencari angkutan umum. Namun tiba-tiba sebuah motor dengan kecepatan kencang tak sengaja menyerempet kakinya sehingga dia terjatuh dan terhantam trotoar di sampingnya.
" Ah " Alana memegangi kakinya yang berdarah Sosok Itu tampak melepas helmnya, lalu beranjak turun dari motornya untuk menghampiri Alana
" Hati-hati dong, kalo bawa motor Gimana, sih?” dumel Alana seraya masih memegangi kakinya. Alana mendongak, lalu menatap orang itu lekat.
Dia lagi ?
Alana tak mengerti mengapa semesta seakan kembali mempertemukannya dengan sosok yang berwajah mirip dengan mantan kekasihnya itu.
" Lo " Lelaki itu langsung mengerutkan dahinya. " Maaf, maaf banget sumpah, gue bawa motornya ngantuk," Ujar lelaki itu Alana masih menatap wajahnya Memang benar, wajah lelaki itu sudah tampak lesu dan mengantuk, tapi nyatanya yaitu malah menambah ketampanannya.
" Tapi, lo bisa enggak, sih, enggak usah minggir-minggir kalo bawa motor Kalo yang lo tabrak anak kecil gimana? kan, bahaya!” dumel Alana lagi.
Lelaki itu mengangguk.
" iya, iya, gue minta maaf. Lo mau ke dokter?”
Alana menggeleng. “ Enggak usah.”
Lelaki itu tampak mengamati kaki Alana yang tampak terluka karena tertabrak motornya
" Tapi ... kaki lo Parah.”
" Enggak, gue enggak apa-apa,” tepis Alana.
" Coba gerakin,” Pinta lelaki itu seraya sedikit mengangkat kaki Alana
Alana meringis kesakitan karena itu. " Sakit Gila lo, ya.”
" Lo yang gila Kalo kaki lo enggak kenapa-kenapa, ya, enggak bakal sakit, lah, kalo gue angkat. Kaki lo itu Parah lukanya,” jelas lelaki itu seraya menatap tajam Alea.
" Kalo lo enggak mau ke dokter, gue harus anter lo Pulang Biar gue obatin kaki lo,” ujar lelaki itu Namun, Alana masih saja menatap lekat matanya Lelaki itu benar-benar mirip dengan mantan kekasihnya, meskipun dapat dibedakan.
Sesungguhnya lelaki itu lumayan baik, tapi dekat-dekat dengannya selalu mengingatkan Alana Pada sakit yang seharusnya sudah dia lupakan.
" Gue bisa jalan sendiri, kok," Alana beranjak berdiri. Meski begitu, kakinya yang sedang terluka tak mampu untuk menopang tubuhnya sehingga dia hampir terjatuh. Untungnya, lelaki itu menahan tangannya.
" Lo enggak usah sok kuat, deh Ayo, gue anterin balik Gue enggak mau, ya, lo bilang gue tabrak lari.” Lelaki itu terdengar sangat memaksa.
" Yaelah, lebay lo. Siapa, sih, yang bakalan bilang lo tabrak lari ? Lo Pikir, gue bakalan lapor Polisi gitu ? Ya, enggak, lah. Lagian juga, kan, tadi gue udah bilang—” ujar Alana terpotong. Tanpa Persetujuan Alana, lelaki itu langsung membopong tubuh Alana ke atas motornya.
" Eh, apa-apaan lo,"
“ Berisik!” sentak lelaki itu.
Alana memejamkan matanya. " Gue takut duduk miring begini. Kalo gue jatuh, gimana,”
Lelaki itu menarik napas gusar. " Lebay lo Nenek-nenek duduk miring aja enggak Pernah jatuh.”
" Ya, tapi, kan, gue bukan nenek-nenek.”
" Berisik lo," Bukannya menggubris Alana lelaki itu malah mengegas motornya kencang.
“ Woi, lo gila ? Pelan-pelan bisa kali!”
Lelaki itu tidak memelankan kecepatan laju motornya. Dia malah mengegas motor itu semakin kencang.
Alana spontan mencengkeram kuat baju lelaki yang ada di depannya. Lelaki itu menatap Alana dari kaca spionnya sehingga Alana melepaskan tangannya.
" Maaf "
Namun lelaki itu tak menggubrisnya. Di menit-menit berikutnya yang tercipta hanyalah keheningan.
Lelaki itu terus melaju, Alana baru tersadar ini bukan arah menuju rumahnya. Dia menepuk Pundak lelaki didepannya.
" Eh. Eh. ini bukan arah ke rumah gue.”
" iya, emang enggak ke rumah lo,” jawab lelaki itu.
" Lo mau bawa gue ke mana,” tanya Alana Panik Namun lelaki itu tak menjawab Pertanyaan Alana
" Heh, lo mau bawa gue ke mana ? Jangan bilang, lo mau nyulik gue.”
Lelaki itu berdecak kesal. Tak lama, motornya berhenti di depan sebuah kafe yang belum Pernah Alana kunjungi sebelumnya.
" Ngapain lo malah bawa gue ke kafe,” Alana bingung. " Beneran, kan, lo mau nyulik gue ? Gue teriak, nih?”
Lelaki itu turun dari motornya, lalu menatap Alana dengan tajam. " Ngapain juga gue nyulik Cewek kayak lo,"
“ Ya, terus ngapain lo bawa gue ke sini?” tanya Alana
" Mau ketemu nenek gue!” jawabnya asal.
Alana mengerutkan dahinya. " Serius lo ? Ngapain coba lo mau ketemu nenek ngajak-ngajak gue Jangan-jangan, lo kerja sama, ya, bareng nenek lo buat nyulik gue,”
" Ya, enggak, lah.”
" Terus, kita ngapain?” tanya Alana lagi.
Lelaki itu sudah terlebih dahulu berjalan meninggalkan Alana. " Ya, mau makan, lah, ngapain gue ngajak lo ke sini kalo enggak buat makan ? Ayo!”
" Ya, sebentar, enggak sabaran amat.” Alana mencoba turun dari motor dan berjalan Pelan tetapi kakinya terasa sakit sekali.
" Ah " ringis Alana memegangi kakinya.
Lelaki itu kembali menghampiri Alana, lalu menuntun Alana ke dalam. Alana melihat tangan yang menyentuh bahunya Aneh sekali, jantungnya berdebar lebih cepat. Padahal Alana belum mengenal lelaki itu.
Hanya karena wajahnya mirip dengan mantan kekasihnya masa, iya, Alana merasakan debaran yang sama ?
" Lo mau makan apa?”
" Enggak, ah," tolak Alana. " Lo aja enggak kenal gue,kenapa lo mau bayarin gue ? Atau, jangan-jangan, lo mau ngeracunin gue, ya?” tanya Alana curiga.
Lelaki itu berdecak kesal. " Emang muka gue sekriminal itu, apa ? Anggap aja, sih, ini tanda Permohonan maaf gue karena gue udah nabrak lo.”
" Enggak usah lebay, deh!”
" Lo diem di situ,” suruh lelaki itu.
Alana berdecak lalu bergumam. " Emang kriminal.”
Namun, sepertinya gumaman Alana terdengar oleh lelaki itu sehingga dia menoleh sejenak ke arah Alana sebelum dia berjalan ke arah kasir.
" Permisi, Mbak. Nasi goreng spesialnya dua, sandwich dua, ice tea-nya dua, sama air mineralnya dua. Oh, iya, Mbak, ada kotak P3K enggak?”
" Ada, sebentar, ya, Mas.” Setelah Devan membayar makanan yang dia Pesan, kasir itu memberikan kotak berisi obat-obatan kepadanya Lalu, lelaki itu kembali menghampiri Alana.
Alana langsung terkaget saat lelaki itu menarik kaki Alana untuk mengobati kakinya yang terluka.
" Eh Enggak sopan banget,sih, lo megang-megang Sakit," ringis Alana ketika lelaki itu meneteskan obat ke bagian lukanya Si lelaki memutar kedua bola matanya malas.
" Bisa diem enggak, sih, lo ? Nih, ya, kalo enggak diobatin kaki lo, tuh, bisa infeksi, nanti ujung-ujungnya gue juga yang disalahin.”
" Lo, tuh, lebay banget, sih, siapa juga yang bakal nyalahin lo," dumel Alana.
" Diem " Lelaki itu kembali meneteskan beberapa cairan Pada kaki Alana.
" Kenapa muka lo harus mirip sama dia, sih ? Batin Alana
" Udah, tuh. Cepet, kan, kalo lo diem,” lelaki itu mendongak dan sadar Alana memperhatikannya.
" Enggak usah lihat-lihat.”
" Siapa juga yang ngelihatin lo,"
" Lo, lah.”
Alana berdecak. " Enggak usah kegeeran, deh.”
Dia menatap Alana datar dan berdiri untuk mengembalikan kotak itu. Tak lama Perasaan mereka datang. Alana menatap bingung meja di depannya, yang seketika terisi oleh begitu banyak makanan. Dia menatap lelaki itu malas.
" Eh, gila. Kan, gue bilang enggak mau makan. Lo ngapain Pesen banyak banget?”
Lelaki itu menatap Alana lekat. " Lo, kan, lagi sakit Orang sakit itu harus banyak makan.”
" Apa hubungannya ? Yang sakit, kan, kaki gue.”
" Pokoknya, lo harus makan!” lelaki itu memaksa.
Alana menatap lelaki itu tajam. “ Gue enggak mau!”
" Makan. Atau, lo gue tinggal sendirian di sini!” ancam lelaki itu sambil menatap Alana tak kalah tajam.
" Ya, udah, tinggalin aja,” tolak Alana. “ Emang lo Pikir gue bakalan takut,"
" Makanan itu mubazir kalo enggak dimakan mendingan lo makan, deh.”
Alana menghela napas kesal.
" Ya, udah, lo makan aja duluan,” sahut Alana malas.
" Lo, lah, yang harusnya makan duluan, kan, lo yang lagi sakit. Gimana, sih?” sentaknya.
" Ya, tapi, kan, lo yang beli makanan sebanyak itu Jadi harusnya lo yang makan duluan, lah. Lagian sejak kapan ada Peraturan kalo orang sakit harus makan duluan?”
Seorang Pelayan di kafe itu menatap bingung kedua remaja yang tak berhenti berdebat hanya karena Perkara siapa yang harus makan duluan.
" Maaf, Mas, Mbak,” celetuknya. " Kalo enggak ada yang mau makan, makanannya boleh saya yang makan aja enggak, ya?” tanyanya seraya menunjukkan deretan giginya tanpa rasa bersalah.
Akhirnya, Alana dan lelaki yang ada di hadapannya Pun Perlahan memakan makanan yang sudah tersedia di atas meja sedari tadi. Mereka sejenak saling bertatapan.
...•••••...
...•••••••...
Pagi ini Alana harus masuk sekolah dan menyerahkan surat itu kepada Satria Namun, bahkan sampai kini Pun dia tak kunjung menemukan sang wakil ketua Kakinya masih terasa sakit tapi dia tahu dirinya harus tetap Pergi ke sekolah Selain karena dia harus mengaku kepada Satria bahwa dia belum menemukan wakil ketuanya, dia juga harus mengumpulkan tugas sekolah.
Alana menghampiri Satriayang sudah terlebih dahulu berada di depan ruang OSIS. " Kak Satria saya belum dapat tanda tangan dari wakil Kakak,” ujar Alana gugup.
" Kamu enggak sanggup," tanya Satria ketus.
" Saya bisa, kok, saya cuma minta Perpanjangan waktu,” jawab Alana lalu menundukkan kepalanya.
" Kamu baru masuk aja udah ngelunjak. Ya, udah, saya kasih waktu ke kamu dua hari lagi. Tapi, gantinya, kamu harus lari keliling lapangan dua Puluh Putaran,” suruh Satria tanpa melihat kaki Alana yang tengah berbalut Perban.
" Dua Puluh Putaran, Kak?”
Satria mengangguk tegas. " iya, kenapa Kamu enggak sanggup juga?”
Alana berpikir sejenak, bagaimana dia bisa berlari dengan kondisi kakinya yang seperti ini ? Alana menatap Satria sejenak mencoba meminta Penawaran.
" Kak, tapi kaki saya lagi sakit.”
" Lembek banget, sih, kamu. Pokoknya Saya enggak Peduli. Pokoknya kalo kamu enggak lari, ya, enggak ada Perpanjangan waktu.” Lelaki itu tampak marah dengan mata yang membelalak ke arah Alana
" iya, deh, saya lari.”
Alana Pun mulai berlari mengitari lapangan. Namun, baru tiga Putaran saja, dia sudah Jatuh tersungkur hingga sulit untuk bangun. Dan, sialnya, Alana tidak melihat Satria di sana. Ternyata, Satria tidak mengawasinya.
" Ah, gila, sakit banget.” Dia memegangi kakinya. Namun, tak lama seseorang datang menghampirinya.
" Lo bego banget, sih. Udah tahu kaki lo masih Pincang, ngapain, sih, lari-lari,” sentak lelaki itu lelaki yang kemarin menabraknya.
" Gue, tuh, lagi dihukum, awas," jawab Alana Dia ingin beranjak bangun, tapi nyatanya tak bisa, dia Pun kembali terjatuh. Lelaki itu menarik napas sejenak lalu membantu Alana untuk bangun dan menyuruh gadis itu duduk di bangku yang terletak di tepi lapangan.
" Lo jalan aja masih Pincang, ngotak dikit kenapa, sih. Makanya, jangan bandel, dihukum guru, kan,” Lelaki itu memarahi Alana
" Sok tahu banget, sih, lo. Bukan guru yang ngehukum, tapi senior yang hukum gue. Udah, deh, gue, tuh, harus lari lagi. Nanti kalo dia lihat gue enggak lari, bisa abis gue. Minggir enggak lo,”
" Senior lo enggak Punya otak apa gimana sih Udah lo diem aja, nanti gue yang urus senior lo. Gila emang. Lo salah apa, sih, sampe dia nyuruh lo lari-lari ? Dia enggak lihat kaki lo lagi sakit kayak begitu ? Udah, deh, enggak usah takut sama senior,” ujar lelaki itu dengan begitu Perhatian.
" Enggak tahu, ah, gue Pusing Dari kemaren, gue nyari orang, tapi enggak ketemu,” jawab Alana Lelaki itu mengerutkan dahinya.
" Lo nyari siapa emang ? Siapa tahu gue kenal.”
" Enggak, senior gue bilang, gue harus cari sendiri," tepis Alana
" Yaelah, santai aja kali Gue juga enggak bakal ngomong-ngomong ke senior lo. Emang lo nyari siapa, sih?” tanyanya Penasaran.
Alana berdecak kesal. " Lo enggak Perlu tahu.”
" Enggak usah takut sama senior, dia juga manusia kali Siapa, sih, emangnya yang lo cari,"
Alana menatap lelaki itu sejenak, lalu menghela napas.
" Jadi, gue, tuh, baru seminggu di sini, terus gue mau masuk OSIS. Nah, ketuanya bilang, gue harus minta Persetujuan sana wakilnya dulu. Tapi, gue enggak tahu wakilnya siapa, gue udah nyari di mana-mana, tapi gue enggak —” ujar Alana terpotong. Dia kaget dan matanya membulat ketika lelaki itu merebut surat yang tengah Alana Pegang Lelaki itu membacanya, lalu menandatanganinya.
" Eh lo gila, ya ? Itu, kan, enggak boleh di coret-coret Aduh Kenapa lo asal tanda tangan aja, sih ? Nambahin masalah aja tahu enggak, Sih, lo,” dumel Alana.
" Nambahin masalah gimana, sih?”
" Ya, lo nambahin masalah, lah. Kalo ketos gue tahu, dia bisa tambah marah sama gue. Kertas itu enggak boleh di coret-coret. Kalo waketos gue marah terus malah enggak mau tanda tangan gimana ? Lo mau tanggung jawab?”
Lelaki itu justru tertawa. " Yaelah, kocak banget sih, lo Nih, ya, ketos lo enggak bakalan marah sama lo Apalagi waketos lo.”
" Hah ? Enggak bakalan marah gimana, sih ? Ketos gue itu galak banget. Gimana kalo misalnya wakilnya itu lebih galak dari dia ? Mereka Pasti bakalan marah, lah, gara-gara kertas itu dicoret-coret,”
" Katanya lo lagi nyari Wakil Ketua OSIS, kan?” tanyanya.
" iya.”
" Ya, udah sana kasih ke Satria,"
Alana mengerutkan dahinya. " Apaan, sih ? Ya, lo sama aja Palsuin tanda tangan, dong!” jawab Alana kesal. “ Lo emang Pengin lihat gue dimarahin abisa-bisan lagi, ya?”
" Palsuin apaan, sih ? Aneh lo. Udah kasih ke Satria sana Bilang sama dia, otak dipake jangan ditaro dengkul. Senioritas aja terus sampe mampus,” ujar lelaki itu dengan beraninya. Alana menatapnya bingung. Sepertinya, lelaki itu sadar gadis di sebelahnya tengah kebingungan.
" Gue wakil ketua OSIS,” ujarnya.
Alana menggeleng tak Percaya Dia mengamati lelaki itu dari atas hingga bawah.
" Hah ? Apa?”
" Gue wakil ketua OSIS,” ulangnya lagi.
" Boong. Masa, wakil ketua OSIS begajulan kayak lo,”
" Dih, terserah kalo enggak Percaya.”
" Emang enggak Percaya.” Alana melongo sekaligus berpikir.
" Di mana-mana anak OSIS itu keren, Pinter, Baik berwibawa Mana ada wakil ketua OSIS kayak lo?”
" Ya, udah, terserah lo, lah. Nih.” Lelaki itu mengembalikan surat itu kepada Alana, lalu Pergi meninggalkan Alana sendiri di lapangan
Alana menatap sosok itu dari belakang Masa iya, lelaki seperti dia wakil ketua OSIS sekaligus ketua koordinasi ?
Setelah itu, dengan Perlahan Alana berjalan untuk memasuki ruang kelasnya. Alana menghela napas sejenak, kemudian duduk di bangku kelasnya. Dia terus berpikir apakah mungkin bahwa lelaki yang mirip dengan mantannya itu seniornya ? Wakil ketua OSIS Pula.
" Gila, gila, gila,” seru seorang Cewek di kelasnya.
" Gue Ketemu sama Kak Devan tadi Ganteng banget, coy!”
" ih, gue juga ketemu Kak Devan di Parkiran Kak Devan Punya gue Pokoknya.”
" Enggak di Pangeran di hati gue.”
Alana bergidik geli mendengar Percakapan teman-teman sekelasnya yang sedari tadi membicarakan seseorang bernama Devan Sepertinya sudah setiap hari dia mendengar nama itu. Alana menoleh ke arah Acha, teman sekelasnya yang tengah memainkan Ponsel.
" Cha " Panggil Alana
" Hm " Acha menyahut, masih sibuk dengan Ponselnya.
" Devan—siapa, sih ? Kok, tiap hari gue denger Devan, Devan, Devan,” dumel Alana
Acha terkekeh kecil. " Orang ganteng Alana Kayak enggak tau aja nasib orang ganteng di SMA Arwana gimana Sama kayak Cewek cantik macem gue ini jadi buah bibir setiap hari,” sahut Acha.
Alana bergedik geli. " Najis "
" Lo anak OSIS, kan ? Masa, enggak kenal Devan, sih?” tanya Acha bingung.
Alana mengerutkan dahinya. " Emangnya, Devan siapa, sih?”
" Enggak usah gitu. Jelek. Devan, kan, Waketos Arwana.” Acha menjelaskan. Alana hanya mengangguk seraya mencerna Perkataan Acha Setelah mencerna ucapan Acha, Alana mengingat sesuatu. Berarti, Devan orang yang dia cari-cari.
" Lo tahu enggak orangnya yang mana Seriusan dia waketos,” tanya Alana menggebu-gebu. Acha mengangguk.
" YANG MANA ? ANTERIN GUE KE DIA BALIK SEKOLAH, YA ? PLEASE!” teriak Alana di telinga Acha. Acha mendorong kepala Alana Pelan.
" Enggak usah Pake teriak di kuping bisa enggak, ya, Ibu Alana ? Lagian ngapain, sih, lo nyariin waketos sendiri ? Setahu gue, nih, ya, di OSIS ada Peraturan kalo sesama anggota OSIS itu dilarang Pacaran. Masa, lo enggak tahu, sih,”
" Cha, siapa yang mau ngajak dia Pacaran coba Ketos gue nyuruh gue minta Persetujuan dari waketosnya dulu, baru, deh, gue resmi jadi OSIS. Lo mau, kan, nganterin gue ? Dia kelas berapa,” tanya Alana
" Iya, Alana. Iya. Dia XII IPA 2, nanti gue tunjukin, deh, orangnya yang mana, yang Paling ganteng Pokoknya," jawab Acha.
" Makasih, Cha. Lo baik, deh.” Alana memeluk tubuh mungil Acha.
" Lebay lo, ah!” Sepulang sekolah, Acha menemani Alana ke depan kelas XII IPA 2. Matanya mencari seseorang di antara ramainya siswa dan siswi SMA Arwana yang berlomba-lomba untuk segera Pulang ke rumahnya masing-masing. Tak lama kemudian, mata Acha membulat ke satu titik, lalu menepuk Pundak Alana
" Alana "
" Itu Kak Devan," Acha menunjuk seseorang yang hendak berjalan.
" Yang mana " Alana menyipitkan matanya.
" Itu ! Yang Pake jaket biru dongker Cepetan kejar dia mau balik, tuh.” Acha menunjuk orang itu.
“ Ayo, temenin.”
" Kejar sendiri, ah, Alana Laper, nih, gue, mau makan,” cengir Acha. Alana mengangguk Pasrah temannya itu memang suka sekali makan.
" Ya, udah, deh. Makasih, Cha.” Alana berjalan cepat mengejar Devan. Dia berjalan sangat cepat. Namun, ternyata Devan berjalan jauh lebih cepat.
" Permisi, permisi.” Alana menyelak orang-orang yang tengah berjalan di depannya.
" Kak " Lelaki itu tidak menoleh ke arah Alana dan tetap berjalan. Sepertinya, dia memang tidak mendengar.
" Kak " Alana sedikit berlari walaupun sebenarnya kakinya masih sangat sakit untuk dibawa berlari.
" Kak Devan,"
Lelaki itu berhenti berjalan dan menoleh ke arah Alana Napas Alana masih menggebu-gebu bulir-bulir keringat Pun bercucuran dari wajahnya.
" Kak, saya boleh minta tanda tang—” ujar Alana terpotong. Lelaki itu menoleh ke arahnya dengan tatapan datar. Ternyata, memang benar. Lelaki itu benar-benar Wakil Ketua OSIS Arwana dan lelaki most-wanted yang Paling sering dibicarakan.
" Lo?” Alana berhenti berbicara.
Devan menarik napas gusar. " Baru Percaya," tanya Devan
Alana mengangguk. Devan menatapnya tajam.
" Udah berapa kali, sih, gue bilang ? Kaki lo itu lagi sakit enggak usah Petakilan!” sentaknya Alana masih melongo menatap wajah lelaki itu.
" Lo enggak Percaya banget, sih ? Udah sana kasih suratnya ke Satria,” suruh Devan Alana mengangguk.
" Jadi, lo senior gue?" tanya Alana tak Penting.
" iya, makanya lo enggak usah songong,” jawabnya.
Jadi, gue bakal ketemu mulu, dong, sama dia ? Ya Tuhan, gimana gue mau move on ? batin Alana mengeluh.
" Sana, kasih ke Satria Atau, gue batalin, nih, tanda tangannya?” ancam Devan
" Eh, jangan, dong, Kak.”
" Pake kakak-kakaknya kalo lagi di OSIS aja Enggak Cocok muka lo jadi junior budiman,” tepis Devan
" Panggil Devan aja.”
" Oh, oke. Gue Alana," ujar Alana seraya mengulurkan tangannya.
" Udah tahu!”
" Tahu dari mana?”
Devan terkekeh kecil.
" Tahu, lah, apa coba yang enggak gue tahu?" tanya Devan dengan Percaya dirinya.
" Lo nguntit gue, ya?” Alana menajamkan tatapannya.
" Enggak usah kepo lo. Kayak Dora!” sahut lelaki itu
" Udah, kan ? Gue masih ada urusan.” Dia segera berjalan meninggalkan koridor.
" Eh, entar dulu!”
" Apa lagi?” tanya Devan
" Lo belum nulis nama lengkap lo di sini,” jawab Alana seraya menunjukkan kertas yang sudah Devan tanda tangan.
" Nama lengkap gue enggak tahu juga?” tanya Devan
Alana menggeleng seraya tersenyum.
" Enggak usah senyum. Jelek lo. Sini kertasnya!” ujar Devan ketus, lalu menuliskan nama Devan Galan Mahendra di sana.
" Makasih.”
" Makasih doang ? Junior laknat emang lo,” dumel Devan
Alana berdecak kesal. “Lah, terus maunya apa?”
" Makasih, Waketos ganteng,” jawab Devan dengan PD.
" Kenapa, sih, lo, tuh, narsis banget,"
" Cepetan. Gue batalin, nih, tanda tangannya Gue bakal bilang ke Satria kalo lo maksa minta tanda tangan gue,” ancam Devan
" Dih, ogah. Apa banget, sih, Lo," dumel Alana tak terima.
" Cepetan!”
" iya, iya. Makasih, Waketos gan —-teng,” ujar Alea Penuh Penekanan.
" Udah, jauh-jauh sana lo dari gue!” usir Devan
Alana menarik napas kesal. Walaupun, Devan memang sangat menyebalkan, setidaknya Alana sudah melaksanakan syarat dari ketua OSISnya.
...•••••...
Sepulang sekolah, Alana harus berkumpul dengan anggota-anggota OSIS yang lain. Dia memasuki ruang OSIS dan menghampiri Satria yang sudah menatapnya tajam dari jauh.
" Saya lihat, tadi kamu enggak lari sampe dua Puluh Putaran Kamu mau coba bohongin saya, ya?”
" ini suratnya, Kak,” Alana mengalihkan Pembicaraan dan menyerahkan Surat itu. Satria membukanya. Terlihat Jelas di sana sudah ada dua tanda tangan Devan Tandatangan sebagai Wakil Ketua OSIS dan Ketua Koordinasi Seksi Bidang Penyiaran dan Musik.
Satria terdiam. " Kamu udah dapat tanda tangan Devan Cepet banget? Kamu Pake cara curang?” tanyanya.
" Tanya aja sama Kak Devan-nya,” jawab Alana santai.
Satria mendengus kesal. " Ya, udah, kamu resmi jadi Pengurus OSIS sekarang,” ujarnya.
Alana tersenyum bahagia. " Makasih, Kak.”
Sedari tadi, Alana menunggu sosok itu datang Di mana dia ? Apa dia tidak ikut Pertemuan hari ini ?
" Lo, kok, bisa dapetin tanda tangan Kak Devan ?” tanya Bella.
" Waktu gue, sih, susah.”
" Oh, ya ? Susah?” tanya Alana Penasaran Susah dari mananya ? Malahan, Devan sendiri yang sengaja menandatangani surat itu.
" iya, dia malah ngerjain gue buat joget-joget di depan kelasnya. Gila emang, kan, waketos lo,” jawab Bella.
Alana tertawa mendengar cerita Bella.
" Sumpah, ya, ganteng-ganteng gendeng itu orang,” dumel Bella.
Alana masih tertawa. " Emang, dia orangnya kayak gimana?” tanya Alana lagi.
" Dia itu sebenernya asyik sama temen-temennya, baik juga. Tapi, dia itu moody tingkat akut. Untungnya, lo ketemu dia Pas mood-nya lagi bagus. Kalo enggak, minta ditendang kepalanya. Sumpah,” jawab Bella.
" Kenapa gue malah Penasaran sama dia Amit-amit, iiih," batin Alana menolak.
" Tapi, di sini ada aturan enggak boleh ada yang Pacaran sesama anak OSIS. Padahal, kalo boleh, kan—”
" Dia enggak mau sama lo. Maunya sama gue!” sahut Vei, yang juga anggota OSIS. Alana menggeleng-geleng. Di mana-mana, Devan memang yang Paling diinginkan.
" Tapi, sayangnya Kak Devan jarang ngumpul gini. Paling Dia itu ada Pas ngumpul wajib hari Rabu doang Kayaknya dia sibuk, deh.”
Alana mengangguk mengerti.
...•••••••...
Alana berjalan menelusuri koridor sekolah Anak-anak OSIS sudah Pulang terlebih dahulu, tapi Alana lebih memilih untuk tinggal di sekolah lebih lama karena hujan tengah turun. Hujan membuat suasana hatinya lebih melankolis. Dia juga tidak mengerti mengapa Perasaannya bisa berubah begitu saja hanya gara-gara itu. Mungkin, luka itu memang belum benar-benar hilang dari hatinya. Mungkin, memang benar bahwa hujan bisa membangkitkan jutaan kenangan dan jutaan luka yang terpendam lama.
Teruntuk kamu, yang sudah menggenggam hatiku dengan erat. Aku memercayainya dengan memberikan untuk seutuhnya tapi mengapa kamu hancurkan semuanya ?
Apakah kamu tahu bagaimana rasanya jadi aku ?Pernah sedekat itu denganmu, tapi ternyata kamu tidak menganggapku lebih dari orang asing?
Aku sudah menganggapmu bagian Penting dari hidupku. Namun, nyatanya aku hanya tempat berlabuh di saat kamu bosan.
Kamu jahat. Tapi, aku bodoh karena tetap mencintaimu.Aku ingin sekali membencimu, tapi rasa benci itu selalu kalah dengan keinginan untuk terus bersamamu.
Aku rindu kamu, meski tak ingin benar-benar memilikimu lagi. Namun, sejenak menganggapku ada, apakah sulit ?
Aku masih di sini. Biar kusimpan dan nikmati rasa ini entah sampai kapan.
Alana Clarissa
Alana meremas kertas yang baru saja dia tulis. Tanpa dia sadari, air matanya ikut terjatuh bersamaan dengan turunnya air hujan.
" Woi Punya otak enggak, sih, lo ? Ngapain lo ujan-ujanan," Pekik seseorang dari kejauhan.
Alana menatap orang itu sejenak. Dia tak kuat untuk menatapnya lebih lama lagi. Karena, setiap melihatnya, Alana selalu teringat masa lalunya.
Devan terpaksa menerobos hujan dan menghampiri gadis yang berada di tengah lapangan itu. " Nanti lo sakit Ngapain, sih, ujan-ujanan kayak anak kecil,"
" Mau gue sakit, kek, mau gue jungkir balik di lapangan juga bukan urusan lo. Gue suka hujan.” Alana berputar-putar di tengah derasnya hujan.
" Enggak usah kayak anak kecil!”
" Tapi, ini seru, tahu.” Alana menarik Devan untuk berputar-putar dengannya.
" Kaki lo masih sakit, enggak usah nambah-nambahin Penyakit, deh.”
" Lo kenapa, sih, Peduli amat sama kaki gue Men-tang-mentang Io yang nabrak gitu ? Santai aja, gue enggak bakal nganggap Io tabrak lari,” ujar Alana
" Lo itu Kenapa, sih, susah banget dibilangin," Devan terpaksa membopong tubuh gadis itu.
" Woi, ngapain Pake acara gendong-gendongan segala, sih?” teriak Alana. Dia memukul bahu Devan karena lelaki itu tak mau menurunkannya.
" Turunin, enggak?”
Akhirnya Devan menurunkan gadis itu di bangku koridor yang tak jauh dari lapangan. Lelaki itu kemudian membuka tasnya yang tadi dia tinggalkan di bangku itu dan mengambil sebuah jaket kering.
" Mending lo Pake ini Baju lo basah banget,” suruh Devan
Alana menggeleng kuat. " Enggak ah, enggak, mau.”
" Cepetan Pake,”
" Enggak. Lo juga, kan, ujan-ujanan, mendingan lo yang Pake Lagian, itu, kan, jaket lo,” tolak Alana
" Gue enggak kedinginan. Lihat bibir lo udah Pucet terus gemeteran gitu.” Memang benar, sedari tadi bibir dan wajah Alana sudah sangat Pucat.
" Ganti, nanti lo sakit!”
" Lo Pikir, lo itu manusia yang Punya kekuatan super gitu ? Superman ? Iron Man? Batman ? Apa tokoh Avangers ? Terus, kalo misalnya gue sakit karena ujan-ujanan, lo enggak bisa sakit, gitu ? Mending lo yang Pake,” suruh Alana.
" Berisik banget, sih, lo. Tinggal Pake juga.”
" Lo kenapa, sih, Peduli banget sama gue?” tanya Alana bingung.
Devan menatap Alana sinis. " Ya, karena, Lo ..... "
Alana membulatkan matanya ke arah Devan menanti jawaban selanjutnya.
" Ya, karena lo junior gue. Kalo sakit, kan, gue juga yang ribet!” jawab Devan ketus.
" Udah cepetan Pake,”
" Enggak mau. Lo aja!" tolak Alana
" Ribet lo!”
" Apaan, sih, maksa-maksa ? Lo aja!”
" Lo aja, muka lo udah kayak mayat hidup tahu, enggak?” suruh Devan ketus.
Alana berdecak kesal. “ Lo aja Muka lo, tuh, udah keriput kayak kakek-kakek.”
Mereka terus bertengkar, saling memberikan jaket itu kepada satu sama lain. Hingga akhirnya, jaket itu terlempar ke dalam kubangan air yang cukup dalam Devan berdecak kesal lalu mengambil jaketnya.
“ Maaf,” ujar Alana
" Ya, udah, deh, kita Pulang aja,” suruh Devan
" Kok, kita?” tanya Alana bingung.
" iya, lo gue anterin Pulang,” jawab Devan
Alana menggeleng dengan cepat. “ Enggak mau Lo bawa motor enggak bener,” tolaknya.
Devan menatapnya tajam. “ Gue bawa mobil,” ujarnya.
" Tetep aja gue enggak mau, bawa motor aja enggak bener apala—” ucapan Alana terpotong.
Devan sudah menatapnya dengan lekat. Alana menyadarinya, tatapan yang sama meski dari orang yang berbeda.
" Kenapa lo sama banget kayak dia ? batin Alana meringis. Melihat Devan sama saja seperti mengorek luka lama yang sudah kering.
" Apa Io lihat-lihat?” ketus Alana
" Lo itu masih sakit, Alana, jadi selama lo masih sakit, ya, lo masih tanggung jawab gue,” ujar Devan dingin.
Alana tersadar dari lamunannya. “ Tanggung jawab apaan Ketinggian bahasa lo!” tepis Alana dengan cepat.
" Lo Perlu gue gendong lagi?” tanya Devan
" Enggak Gue bisa, kok, Pulang sendiri,” Alana segera melangkah mengambil tasnya dan bergegas meninggalkan koridor sekolah.
Namun, sepertinya Devan tak mau tinggal diam. Dia berjalan mendekati Alana yang masih sedikit Pincang, lalu menggendongnya seperti tadi dan kemarin.
" KAK DEVAN ENGGAK LUCU APAAN, SIH ? GUE TERIAK, NIH KALO ADA YANG LIHAT GIMANA ? TURUNIN GUE ENGGAK?” Alana terus memukul Pundak lelaki yang tengah menggendongnya itu.
" Lo udah teriak,” sahut Devan lalu membuka Pintu mobilnya dan meletakkan tubuh Alana di sana.
" Lo bisa enggak, sih, sehari aja enggak usah bikin gue emosi?” tanya Alana ketus.
" Lo aja yang emosian,” jawab Devan tak kalah ketus.
Alana menatap Devan sinis.
“ Apa lo lihat-lihat?”
" Terserah lo.” Alana meluruskan Pandangannya ke depan Dia tak ingin berdebat lagi.
Setelah itu, mereka saling diam sementara mobil melaju Tak ada yang bicara dan tak ada Perdebatan lagi. Tak lama mata Alana terasa sangat berat.
" Enggak usah nyender,” ketus Devan Namun, tak ada respons dari gadis di sebelahnya.
" Woi, enggak usah nyen—” ujar Devan terpotong. Dia melihat gadis di sampingnya telah tertidur lelap.
Devan menghela napas sejenak,lalu mengambil bantal di jok belakang dan memakaikan jadi kepala Alana Dia menyeka rambut berantakan gadis itu, lalu menggelengkan kepalanya.
" Ada-ada aja, nih, cewek.”
...••••...
" Kalo banyak yang bilang gue berengsek, ngapain masih Percaya sama gue ? Kapan gue minta lo buat Percaya sama gue?”
" Gue Percaya sama lo karena gue sayang sama lo.”
" Lo sadar diri aja, deh, lo itu jauh dari tipe Cewek gue Gue juga malu ngakuin lo jadi Pacar gue di depan temen-temen gue.”
" Kenapa lo jahat sama gue, Darren ? Lo jahat. Jahat,"
...•••••...
Setelah lama di Perjalanan mereka akhirnya tiba di jalan menuju rumah Alana Namun, napas Alana menjadi Pendek gerakannya Pun menjadi tak karuan. Dia meremas kuat tangan Devan disampingnya tanpa sadar. Air matanya mengalir Napasnya benar-benar tak karuan.
" Heh Woi Bangun Ngigo lu aneh tahu, enggak?” Devan menepuk Pelan Pipi Alana agar gadis itu tersadar.
" Enggak. Lo jahat!”
" Nenek lo jahat ? Bangun, woi!” Devan menggerakkan lengan Alana agar gadis itu terbangun. Namun, tingkah Alana masih sama.
" ini anak kesurupan apa ketindihan, ya?” Akhirnya, Perlahan Alana membuka matanya dan memegang Pipinya yang terasa Panas.
" Kok, lo nampar gue?” tanya Alana linglung.
Devan semakin bingung. " Tadi, lo ngigo, gue kira lo ketindihan,” jawabnya.
Alana mengerutkan dahinya. Dia menarik napas sejenak menenangkan dirinya dari mimpi buruknya.
“ Ya, sorry, abis lo ngigonya aneh.”
Alana menatap lekat mata Devan
Gue enggak boleh samain dia kayak Darren. Mereka orang yang beda. Alana memegangi kepalanya yang terasa sakit.
" Lo sakit, kan ? Gue bilang juga apa Ngeyel banget, sih,” ujar Devan
" Salah sendiri tadi lo enggak mau Pake jaket.”
" Enggak, gue enggak apa-apa, kok,” tepis Alana Dia menatap Devan sangat lekat, tapi melihatnya justru membuat air matanya nyaris terjatuh lagi.
" Enggak apa-apa apanya, orang lo—” kalimat Devan terpotong.
" Gue cuma mimpi buruk, seriusan, deh,” tepis Alana seraya mengangkat kedua jarinya. Namun, air matanya sudah tertahan di kantung matanya.
" Lo—nangis?”
Alana menggeleng, dia memalingkan wajahnya dari Devan
" Enggak Gue enggak nangis.”
" Beneran?”
Alana hanya mengangguk tanpa menoleh.
" Gue serius, Alana," Devan menarik lengan Alana agar dia menoleh ke arahnya.
" Gue juga serius, gue enggak apa-apa," Alana meyakinkan.
Devan mencondongkan tubuh dan meniup sekilas mata Alana sehingga mata Alana berkedip dan air matanya ikut mengalir.
" Perih, dodol!” Alana mengusap matanya sendiri.
" Ya, makanya lo jangan nangis, dong Gue, kan,jadi bingung,” ujar Devan
" Gue, kan, udah bilang, gue mimpi buruk Gue enggak nangisin lo, kok. Jijik juga,” sambung Alana
" Makanya, lo kalo mau tidur baca doa dulu jangan asal tidur,” kata Devan lagi.
" Udah gitu, kalo mau tidur enggak usah kebanyakan mikirin gue.”
Alana mendengus geli. " Dih, najong, amit-amit tujuh turunan tujuh tanjakan.
Tak lama mereka sampai di depan rumah Alana. Alana melepas sabuk Pengamannya, lalu membuka Pintu mobil
" Makasih,” ujar Devan
Alana menoleh sejenak. " sama-sama,” balas Alana
" Eh, kok " Alana menggaruk kepalanya yang tidak gatal
" Dasar aneh.”
...•••••...
...Mata Perantara Pertama yang mungkin bisa membuatmu jatuh Cinta....
Setelah dua minggu Alana yang kakinya sudah membaik, jadi jarang bertemu manusia menyebalkan itu.
Devan sering melakukan dispensasi untuk mengikuti olimpiade atau kegiatan lomba lainnya Jarak kelas mereka juga Cukup jauh sehingga mereka sangat jarang bertemu Dan, malam ini Alana jadi bingung. Kenapa dia malah memikirkan Devan ?
Hari ini 22 Mei Usia Alana genap 16 tahun tapi Alana bahkan hampir melupakan ulang tahunnya sendiri.
Alana mencoba mengambil Ponselnya yang terletak di meja samping tempat tidurnya Matanya membulat ketika dia melihat notifikasi dari aplikasi LINE miliknya.
✉️ Devan Galan : Happy birthday
" Hah " Alana bingung. " Dari mana dia tahu gue ulang tahun?” Dia membuka notifikasinya lebih jelas karena tulisan Devan yang muncul di notifikasi hanya sepotong. Tapi, mengapa Alana sangat Penasaran ingin membukanya, ya ?
✉️ Devan Galan Dirgantara : Happy birthday, Kak Farrel.
✉️ Farrel : Lah, Devan
✉️ Rasya : Heh, Cumi. Berisik banget, sih, lo Pagi-pagi
✉️ Sisca : Emang, berisik banget lo bulepotan
Alana menganggukkan kepalanya. " Oh, Kak Farrel ulang tahun juga?”
Dia membuka notifikasi Instagram-nya. Sudah banyak sekali temannya yang mengucapkan selamat ulang tahun untuknya.
✉️ 242 Pesan
Happy birthday, Alana Anastasya
Begitulah isi Pesan yang dikirimkan oleh teman-temannya.
✉️ Farrel : Happy birthday dedek gemes Jangan kurus entar enggak gemesin
Alana menggeleng. Sebenarnya, Farrel hampir sama dengan Devan Bedanya, dia tidak moody dan jauh lebih gila dari Devan
✉️ Tasya : Wah, bisa aja, nih, Kak Farrel, by the way, Happy Birthday juga !
✉️ Farrel : Bisa, dong, jangan sampe enggak bisa buat Alana mah, tapi ulang tahun saya September
Alana mengerutkan dahinya. Jika Farrel tidak berulang tahun hari ini, mengapa Devan mengucapkan ulang tahun kepada Farrel di grup OSIS ? Membingungkan.
" Serius Kak Farrel enggak ulang tahun?” Alana menggaruk belakang kepalanya yang tidak terasa gatal sama sekali.
Apa mungkin sebenarnya ucapan ulang tahun itu bukan untuk Farrel, melainkan untuk Alana ? Jika memang untuk Alana mengapa Devan tak mengucapkannya secara langsung saja ?
...•••••...
Hari ini Alana cukup dikagetkan oleh teman-temannya yang ternyata mempersiapkan banyak kejutan untuknya. Padahal, dia baru sebulan bersekolah di sini.
Karena terlalu banyaknya kejutan, Alana hampir lupa bahwa hari ini dia masih ada kegiatan OSIS Jam sudah menunjukkan Pukul 3.00 sore. Harusnya dia ikut berkumpul Pukul 1.00 siang tadi Alana menepuk kepalanya sendiri.
" Duh, mampus gue!” ujar Alana
" Jangan mampus dulu, lo belum bongkaran, nih," sahut Acha.
" Cha, gue harusnya ngumpul OSIS setengah dua tadi, " Kata Alana
Acha menggelengkan kepalanya. " Tuh, kebiasaan, kan,lo mah. Ya, udah, sana!” suruh Acha.
" Serius gue harus tetep ke sana?” tanya Alana lagi.
Acha memutar kedua bola matanya. " Iya, serius Kalo lo kabur hari ini terus ketahuan ketos lo, malah makin Parah Tahu sendiri ketos lo gimana?”
Alana mengangguk mengerti, lalu mengambil tasnya. Membayangkan karakter Satria yang memang keras kepala dan otoriter Alana tahu bahwa Perkataan Acha benar.
" Gue duluan, ya, Cha. Makasih banyak,” ujar Alana lalu bergegas Pergi meninggalkan kelasnya.
Dia melangkah memasuki ruang OSIS dan terlihat Satria sudah menatapnya sinis dari jauh.
" Kamu itu serius di OSIS enggak, sih ? Jam segini kamu baru dateng," tanya Satria ketus.
" Ayo, ikut saya!” Lelaki itu menarik Pergelangan tangan Alana dengan kasar.
" HAPPY BIRTHDAY, ALANA," Seketika, wajah Alana dipenuhi oleh shaving cream. Dia terkejut ketika Satria menariknya ke koridor sekolah yang tak jauh dari ruang OSIS. Ternyata sudah banyak sekali anggota OSIS yang mempersiapkan kejutan untuk ulang tahun Alana
" Make a wish,” suruh Bella. Alana terkekeh kecil Dia mengharapkan sesuatu di dalam hatinya.
" Gue harap tahun ini jauh lebih baik dari tahun sebelumnya. Gue mau jadi Pribadi yang lebih baik Gue harap bisa lupain Darren Gue harap ada sosok yang lebih baik.”
Alana meniup lilin itu dan semua tampak bertepuk tangan gembira.
" Saya enggak nyangka bakalan ada surprise kayak gini Makasih banyak, Semuanya,” ujar Alana Dia tak sadar dirinya hampir menangis.
Namun, tunggu, sedari tadi dia tidak melihat sosok yang biasanya tertangkap oleh matanya. Di mana Devan ?
" Bebeb gue mana, sih ? Kangen, nih,” tanya Vei.
Bella berdecak kesal. " Enggak usah ngakuin Pacar orang!” sahut Bella.
Alana menggeleng. Masih sempat-sempatnya teman-temannya ini berdebat.
Panjang umur, tak lama kemudian lelaki itu datang dengan wajah datarnya. Devan duduk di salah satu kursi di koridor itu. Meski begitu, dia hanya terdiam, sementara Alana masih sibuk tertawa dengan teman-temannya dan beberapa kakak kelasnya yang ikut serta memberikan kejutan ini untuknya. Namun, tawanya seakan terhenti saat dia melihat mata yang diam-diam memperhatikannya sedari tadi.
Tatapan itu masih sama, sama lekatnya dan sama tajamnya seperti sebelumnya. Alana mencoba membalas tatapan lekat itu.
Dia kenapa, sih, ngelihatin gue kayak gitu ? batin Alana
Lelaki itu hanya terdiam, tak ikut merayakan seperti teman-temannya yang bersorak heboh Sebenarnya, apa yang terjadi Padanya ? Dari raut wajahnya, Devan seperti tengah menutupi sesuatu. Dan, mengapa matanya selalu menatap Alana dengan begitu lekat ?
Alana memotong kue ulang tahunnya dan membagikannya kepada rekan-rekannya. Dia juga berencana untuk memberikannya kepada Devan yang sedang sibuk dengan Ponselnya di ujung sana. Alana Pun melangkah untuk mendekati lelaki itu.
" Kak Devan mau kue, enggak?” tanya Alana
Devan menatap layar Ponselnya lalu mematikannya.Dia mengalihkan Pandangannya Pada gadis di depannya.
" Enggak, gue kenyang,” tolak Devan
" Ih, serius.”
" Beneran, gue kenyang.” Devan kembali menolak sembari memainkan Ponselnya. Alana berdecak kesal dan duduk di bangku di samping Devan
" Ngapain, sih, lo di sini?” tanya Devan sambil menatap Alana dengan tatapan tajamnya.
" Ngasih kue,” jawab Alana memaksa.
Devan memutar kedua bola matanya. Akhirnya dia mengambil kue di tangan Alana
" Lo belum makan kuenya, kan?” tanya lelaki itu yang tengah memotong kue menjadi Potongan kecil.
Alana menggeleng.
" Lo makan dulu, baru gue makan,” suruh Devan
Alana mengerutkan dahinya.
" Ribet, deh Makan tinggal makan.”
" Udah berani, ya, nyuruh-nyuruh senior?” tanya Devan
Alana berdecak kesal.
" Ya, udah, deh, gue makan di sana. Jangan lupa dimakan, ya, Bapak Waketos yang Terhormat,” ujar Alana yang hendak berjalan. Namun Devan menahan tangannya.
" Bukan gitu maksud gue.”
" Terus?” tanya Alana
Devan tersenyum, yang membuat Alana semakin bingung. Seketika, wajah Alana dipenuhi kue cokelat. Revo menumpahkan kue itu di wajah Alea dan memutar-mutarkannya agar cokelatnya merata di wajah Alana.
Sialan, batin Alana menggerutu.
" Lihat kamera, dong.” Devan sudah memotret wajah Alana yang Penuh Cokelat ketika gadis itu menoleh.
" DEVAN "
" Kak Devan,” ujar Devan menekankan bahwa kini mereka berada di lingkup ruang OSIS, walaupun jarak mereka lumayan jauh dengan beberapa anak OSIS lainnya.
" Bodo amat. Lo kenapa, sih, ngeselin banget jadi manusia?” tanya Alana kesal. Devan justru kembali asyik dengan Ponselnya. Hal itu tentu membuat Alana sangat emosi.
" Eh, Lo itu bisa denger enggak, sih, di sini ada orang lagi ngomong," sentak Alana. Devan malah mengarahkan kamera itu lagi ke wajah Alana CEKREK. Lelaki itu mendapatkan foto wajah Alana yang Penuh Cokelat ditambah lagi dia sedang marah.
" Sialan!”
" Kasar!”
" Bodo amat. Hapus enggak fotonya?” Paksa Alana Namun Devan tetap tidak menggubrisnya.
" Hapus. Hapus fotonya!” Paksa Alana, lalu mencoba mengambil Ponsel Devan untuk menghapus foto-foto menyebalkan itu.
" Apaan, sih, lo megang-megang HP gue?” Devan menepis tangan Alana dengan cepat.
" Hapus, enggak?” suruh Alana lagi.
" Daripada lo nyuruh-nyuruh gue, mendingan lo makan dulu itu kue di muka lo," ledek Devan
" Muka lo jelek, tahu enggak?” lanjutnya
Alana tak Peduli dan tetap mencoba merebut Ponsel Devan. Saat itu, kakinya tergelincir karena lantai yang sedang dia Pijak itu sangat licin Spontan Devan menahan Alana agar dia tidak terjatuh.
Keduanya merasa kaget. Namun Devan tetap bisa memasang wajah datarnya walaupun sebenarnya dia juga terkejut. Devan tahu apa yang Alana rasakan sekarang. Gadis itu tak sepandai dirinya dalam mengatasi kecanggungan dan hal seperti ini. Wajahnya terlihat menegang, Panik, memerah.
" Gu—gue mau bersihin muka.” Dengan wajah merahnya, Alana segera berlari meninggalkan Devan Dia menuju ke kamar mandi dan membilas wajahnya dengan air. Dia menatap dirinya di cermin, lalu menepuk Pipinya.
" Tenang, Alana, tenang.” Alana membasuh wajahnya kembali dengan air untuk menenangkan dirinya. Hingga dia sadar ada tangan yang menepuk Pundaknya.
" Enggak!” teriak Alana kaget.
" Apaan, sih, lo ? Lo ke mana aja ? Gue cariin dari tadi lo enggak ada. Yang ulang tahun siapa, yang ilang siapa, anak-anak OSIS udah Pada Pulang tuh,” ujar Bella.
" Oh, ya ? Maaf, Bell. Gue duluan, ya,” Alana tergesa-gesa. Bella menggaruk belakang kepalanya yang tidak gatal.
" itu anak kenapa ? Mabok ? Nambah umur bukannya makin bener. Mana masih muda, untung tambah tua.”
...•••••...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!